Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

49. BB naik, cinta ikut naik

Abby dan Sisca Moestopo baru saja tertawa setelah mendengar keluhan utama pasien mereka siang ini, Denok Kanara Djatiwibowo yang bilang bahwa dia naik lima kilogram tanpa dia sadari. Tapi, setelah Sisca lihat-lihat lagi, Denok memang lebih berisi daripada sebelumnya, kedua pipinya terlihat chubby, jari-jari tangannya kelihatan berisi, dan tentu saja proporsi tubuhnya semakin kelihatan padat.

Tapi tetap saja, seperti apa yang sahabat anaknya katakan bahwa; naik lima kilogram untuk Denok itu bukan apa-apa, bahkan tidak memiliki pengaruh apa-apa kepada Denok. Anaknya masih tetap kelihatan cantik, dan Sisca kini tahu arti dari kata; like Mom like daughter, wajahnya jika sedang bersisian memang seperti adik kakak.

Abby saja bahkan sampai terkagum-kagum di saat pertama dia benar-benar menyadari bahwa wajah Denok semirip itu dengan Sisca Moestopo.

"Akhir-akhir ini aku nggak bisa tahan lapar, Ma." kata Denok mengadu dengan manja kepada Sisca.

"Ya nggak apa-apa, tapi tetap harus jaga batasan kalori yang masuk." Jawab Sisca dengan rasional. "Mama dulu dijaga ketat sama nutrisionis, mungkin itu alasan kenapa Mama sampai sekarang tetap sehat."

"Salah, Te!" cetus Abby kepada Sisca. "Harusnya, mungkin itu alasan kenapa Tante sampai sekarang cantik, soalnya dari dulu Tante sudah punya nutrisionis sendiri, pasti segalanya sudah di atur."

Sisca tertawa dan memeluk Abby. "Jadi artis memang banyak tantangannya, semua publik figur dituntut punya penampilan yang menarik, Nak..."

"Tapi aku bukan publik figur, Ma." sahut Denok dengan tidak suka. "Aku memang jarang kontrol berat badanku."

"Itu salahnya lo, tempe!" kata Abby kali ini sambil menusuk perut Denok dengan jarinya. "Lo kan kalau sudah dikasih seafood saus padang, apa lagi Hokben semangat banget makannya, nasinya aja bisa tambah."

Sisca menahan tawanya dan melihat wajah putrinya yang kesal. "Makan sesuka kamu, jangan pikirkan. Asal kamu selalu kontrol berat badan dan jaga kesehatan, kontrol tiap enam bulan sekali nanti ikut sama Mama, ya." ajaknya.

"Tapi, Te..." Abby memulai pertengkaran dengan Denok. "Bentar lagi kan Denok bakalan nikah, dia harus diet, Te..."

"Ah! Gue kagak mau diet!" bantah Denok dengan panik.

"Lho?" Abby mundur dan tercengang. "Katanya lo mau pakai kebaya, nggak akan pakai gaun? Ya bakal kelihatan besar nanti!"

"Ah...." Denok menjatuhkan dirinya di atas sofa sambil bergelung memikirkan bagaimana berat badannya bisa turun ke semula.

Sumpah, gara-gara tahu dia mengalami kenaikan berat badan, Denok jadi mudah gerah. "Lagian gue belum fitting kebaya tahu!"

"Ya makanya, sebelum fitting itu di jaga." kata Abby berusaha menasihati. "Terkecuali, Mas Lukinya juga suka lihat lo gendut."

"GUE NGGAK GENDUT!"

Denok menatap Abby penuh dendam, lantas dia mulai mengambil ponselnya dan segera mengirim pesan kepada Luki untuk mengadu. Terserah apa ini namanya, tapi yang jelas... Denok perlu sedikit pengakuan apa kenaikan berat badannya baik-baik saja atau tidak diterima oleh pria itu.

"Tenang aja sih, mau lo gendut juga bakal tetap kelihatan cantik." puji Abby sekali lagi.

"Mama pernah gendut?" tanya Denok kali ini kepada Sisca.

Sisca mengangguk dan terkekeh pelan. "Mama naik tujuh belas kilo waktu hamil kamu,"

Denok menganga, sementara Abby pun terkejut. "Kok bisa sih, Te?"

"Denok dulu memang lumayan besar sih, tiga koma empat kilo, terus Tante juga nggak membatasi makanan saat mengandung Denok."

"Wah..." decak Abby kagum.

"Mama kan sudah hamil tiga kali," tambah Denok.

Sisca mengangguk membenarkan. "Hamil kamu, Mama nggak rewel, nggak ada sakit, nggak ada mual. Eh... hamil Andres, Mama bed rest total, hamil Nathan badan Mama rusak semua."

"Bed rest?" kening Denok berkerut tak mengerti.

"Mm-hm, bed rest—Mama pernah keguguran sekali karena kehamilan ektopik sebelum hamil Andres," kata Sisca menceritakan kisahnya saat awal-awal menikah dengan Desmond. "Akhirnya, janin Mama diangkat, dan Mama koma hampir tiga jam."

Denok terdiam sambil menahan sendu ketika mendengarnya. "Jadi, kalau nggak keguguran ya Mama punya empat anak." katanya sambil tersenyum manis. "Enam bulan selang kehamilan anak kedua, Mama baru hamil Andres, mungkin karena kehamilan ektopik itu kandungan Mama sempat lemah,"

Abby berdecak kagum mendengarnya. "Tuh, lo bentar lagi nikah... mau punya anak berapa?"

Denok menggeleng dengan tatapan kosong. "Gue pengen punya lima anak, biar ramai rumah."

"Dih... mesin cetak anak kali lo!" sembur Abby dengan tawanya.

"Berapa pun, kalau kamu sanggup melahirkan dan mengurusnya, ya nggak apa-apa mau punya anak sebelas pun." balas Sisca kepada Denok.

"Kondisikan dengan Mas Luki tsay!" Abby menepuk bahu Denok sambil tersenyum jahil.

Sementara itu Denok mendengus, kondisikan dengan Luki? Memang... kapan pernah dia membahas soal anak dengan Luki?

Benar, belum pernah.

***


"Kenapa?" tanya Martha yang merasa aneh melihat sepupu tertuanya tertawa sendiri.

Martha dan Luki tengah berada di dalam mobil perjalanan menuju lokasi proyek, hari ini adalah final dari semua sektor, semua permasalahan dengan pemerintah daerah berhasil di menangkan kasusnya oleh Luki.

Sebab, secara legal Luki membeli tanah pada pemerintah daerah yang sejak kemarin mengagung-agungkan kekuasaan dengan cara yang bodoh. Padahal, sudah jelas Luki tahu apa yang mereka semua sukai apa lagi jika itu urusannya uang.

Presiden Indonesia sudah memantau lokasi dua hari yang lalu bersama Luki, karena posisi proyek kilang minyak yang dekat dengan area warga, beberapa warga terpaksa harus pindah agar tidak merasakan dampak dari tercemarnya lingkungan.

Kerugian yang telah diterima warga adalah air yang menjadi keruh dan berminyak, Luki mengganti berupa uang kompensasi dan mencari lahan tempat tinggal. Bahkan, Rajasa menawarkan properti secara gratis yaitu komplek perumahan yang ada di Bantul.

"Denok, lagi repot sama berat badannya sendiri." jawab Luki sambil tersenyum.

"Calon pengantin memang selalu begitu. Kelar tinjau lokasi, gue langsung balik ke Jakarta. Tante Ruth minta dijemput buat ke rumah calon istri lo nanti." ujar Martha. "Tapi Mas, gimana rasanya pindah dan ikut Denok?"

Luki tahu apa maksud dari pindah yang Martha katakan. "Semuanya sama, Tha. Kita semua tetap fokus pada satu Tuhan, sebenarnya nggak ada pembeda sih, bagi gue."

Martha manggut-manggut. "Mantan gue yang dulu juga Katolik, keluarganya taat banget, tapi salah satu keluarganya juga ada yang Buddha, gue sempat ditanya kalau ikut agama keluarga mereka mau apa nggak. Waktu itu gue belum bisa jawab."

"Terus? Oh," Luki menjentikkan jarinya. "Mantan yang selalu memukul lo itu?"

Martha mengangguk. "Ada bagusnya juga gue putus sama dia."

"Iya lah, cari yang benar, yang bisa menjaga lo. Akhir-akhir ini, gue sering dengar kata menikah dan larangannya yang selalu Mama wanti-wanti kepada gue."

"Terus?"

"Gue jadi takut kalau sering berduaan sama Denok, takut kelepasan lah. Kasihan, mana calon istri gue sucinya nggak ada dua."

Martha tergelak puas mendengarnya. "Gue dengar dari Sagar, Denok nangis sambil baca Alkitab, katanya lo dibuat kena mental."

"Iya," jawab Luki tanpa mengelak. "Gue takut betulan kalau dia sudah begitu, ya ampun..."

"Tapi lo cinta sama dia, Mas."

Luki mengangguk lagi. "Bukan lagi cintanya, gimana bisa gue punya perasaan sebesar itu sama perempuan? Maksudnya, Denok itu berbeda dari yang lain, bikin kepala gue pening, senangnya ada, takutnya ada, segala rasa gue coba ketika bersama Denok."

"Gue juga jadi kepengen nikah..." kata Martha sambil menahan tawa. "Tapi gue kepikiran juga Mas nanti suami gue, bakal gue kasih makan apa? Gue kan nggak bisa masak."

Setelah mobil masuk ke area proyek, jalanan tidak semulus tadi, Luki masih tertawa mendengarnya. "Katanya mau masuk kursus masak? Gimana sih?"

"Nggak ada waktu Mas," adunya kepada Luki. "Belum daftar aja kerjaan banyak, belum lagi gue kan harus mulai merancang proposal yang lo minta!" tekan Martha sembari tatapan penuh dendam. "Proposal sektor pariwisata Farm House with Horse di Sumbawa. Hayoh!"

Luki menepuk puncak kepala Martha dengan prihatin. "Semangat... katanya mau belajar!"

"Calon istri lo juga Mas! Suruh belajar, masa udah jadi komisaris utama masih belum mau injak kantornya sendiri."

"Itu lagi..." gumam Luki sambil mengusap wajahnya. "Senin depan gue akan bawa Denok ke kantor, memperkenalkan setiap ruangan yang ada. Itu gedung baru masalahnya,"

"Lo beli gedung itu, Mas? Berapa harga?" tanya Martha penasaran.

"Dua ratus delapan puluh milyar,"

"Gila..." decak Martha dengan kagum. "Kayaknya bakal ada pembangunan berkelanjutan nih,"

"Nanti dulu lah!" kilah Luki dengan kesal. "Gue harus nikah dulu, baru pembangunan berkelanjutan."

Martha tertawa, sementara Luki ingat bahwa ada begitu banyak pekerjaan untuk Denok, dan dirinya.

Bagaimana ini?

***

Nenny Reemer Moestopo menatap rumah besar yang digadang-gadangkan rumah mantan menantunya yang telah tiada, Erlangga Djatiwibowo. Di dalam sana, ada cucu perempuannya yang belum pernah dia temui sama sekali. Bagaimana rupanya, bagaimana sifatnya dan bagaimana kehidupannya Nenny benar-benar tidak tahu.

Sisca Moestopo, putrinya tidak mengizinkan Nenny untuk mengenali cucunya sendiri. Hari dimana Sisca lebih memilih menikah tanpa restunya dengan Erlangga, dan merelakan dirinya menjadi wanita pengemis cinta pada lelaki yang sudah memiliki istri, Nenny mengeluarkan semua amarah dan kekecewaannya kepada Sisca dan menjauh dari putrinya itu.

Memang, hati ibu mana yang tidak sakit melihat putrinya sendiri mengemis cinta pada lelaki beristri seperti Erlangg Djatiwibowo? Maaf-maaf saja, Nenny membesarkan Sisca dengan penuh kasih sayang dan cinta, apa pun yang putrinya inginkan akan Nenny berikan, bahkan hingga Sisca menjadi artis cilik pun.

Putrinya punya keistimewaan, dia cantik, berbakat, memiliki segudang hal yang bisa menarik perhatian orang. Tapi Sisca lebih memilih menyembah kepada lelaki yang bukan apa-apa di mata Nenny.

Namun, insting kemarahan itu hilang sesuai berjalannya waktu. Sisca sudah bahagia dengan lelaki yang sepadan, Desmond Winarta adalah menantu yang bisa Nenny banggakan di hadapan semua orang.

Ketua DPR, memiliki latar keluarga yang baik, latar belakang kehidupan yang rapi, meskipun saat menikah dengan Sisca, Desmond pun duda.

Dia diberi dua cucu laki-laki Andres dan Nathan, melihat bagaimana Sisca bisa bahagia tanpa memikirkan masa lalunya Nenny sangat amat tenang. Namun, ketika dimana nama cucu perempuannya terdengar lagi, dan disenggol secara langsung oleh anak keduanya, Nenny tidak bisa tinggal diam.

Meskipun dia tidak mengakui keberadaan Erlangga Djatiwibowo, tapi anak Sisca itu tetaplah darah dagingnya juga.

"Inka," Nenny memanggil suster pribadinya yang duduk di sisinya.

Mobil Toyota Harrier itu memiliki kaca jendela riben, dan itu juga yang jadi alasan Nenny bisa memandangi rumah Erlangga Djatiwibowo dengan leluasa.

"Kamu pakai masker, turun dari mobil ini dan tekan bel rumah di depan," pintanya kepada Inka.

Inka mengangguk. "Baik Bu, tapi sepertinya ada satpam rumahnya."

"Kamu tanya apa pemiliknya ada atau tidak,"

"Baik, Bu."

Nenny masih mempertahankan Inka yang kini tengah menekan bel rumah Erlangga, dilihatnya satu satpam tengah menyapa Inka.

Inka kembali masuk ke mobil, sembari menunggu kabar dari Inka, Nenny memastikan bahwa rumah di seberang juga terlihat aman. "Gimana?"

"Denok—maksud saya, Nona Denok, cucu Ibu sedang keluar, katanya lagi fitting baju untuk hari pernikahannya."

Jantung Nenny tertegun mendengarnya, cucunya akan menikah? "Dia akan menikah?"

"Iya, Bu." Inka mengangguk cepat. "Bagaimana? Apa kita mau menunggu di sini atau—"

"Telepon putri saya saja, Inka."

"Bu Sisca?"

"Iya, siapa lagi memangnya?"

"Baik, Bu.

***

Hengky Moestopo baru saja keluar dari kediamannya ketika melihat seorang pria telah menunggu kedatangan dirinya sejak tadi. Edgar Djatiwibowo belum pernah bertemu bahkan mengenal Hengky Moestopo, tapi dari cerita yang seluruhnya dia dengar dari Sisca Moestopo, Hengky Moestopo sang adik yang kelihatan amat membenci Sisca, membuat Edgar berpikir kenapa pria itu berani mengacak-acak sistem keamanan Media Global secara terang-terangan.

Untungnya, hal ini diketahui oleh Luki secara langsung, Luki tadinya ingin menemui Hengky Moestopo sendirian, tapi karena jadwalnya bertubrukan dengan fitting kebaya yang akan dilakukannya bersama Denok, akhirnya Edgar yang memutuskan untuk menjadi perwakilan menemui Hengky Moestopo.

"Siapa Anda?" tanya Hengky sambil berjalan mendekati Edgar.

Edgar enggan menjawabnya, tapi ketika Hengky sudah ada di hadapannya, Edgar menjawab. "Sudah mengacak-acak sistem Media Global? Apa yang kau dapatkan?"

Alis Hengky bertaut heran, lalu Hengky memindai penampilan Edgar yang ada di hadapannya dengan sangat teliti. "Who are you?" tanya Hengky sekali lagi.

Edgar tersenyum sinis dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Edgar Djatiwibowo, paman dari keponakan yang kau cari tahu. Bagaimana? Sudah dapat data-data keponakanmu sendiri?"

Hengky membulatkan kedua matanya dan langsung menyadari situasi yang tengah terjadi kepadanya saat ini. "Apa Ibu saya ada di Jakarta?" tanyanya.

Edgar berdecih, untuk apa juga dia mengurus Ibunya? "Saya tidak tahu,"

"Tolong beritahu saya kemana keluarga Anda dan keluarga Kakak saya menyembunyikan ibu saya?"

"Anda itu sangat aneh." timpal Edgar tak habis pikir. "Untuk apa seorang anak menyembunyikan ibunya sendiri? Saya datang ke sini untuk mengambil sesuatu hal yang sudah kamu ketahui, putar balik dan jangan mengorek ke tempat yang bahaya, tidak baik. Itu adalah pesan dari kakak perempuanmu."

Kedua tangan Hengky terkepal menahan amarah. "Lebih baik Anda beritahu kakak saya, pulangkan Ibu saya kepada saya, maka dengan itu saya tidak akan mengorek informasi tentang anak haramnya."

Kesabaran Edgar habis sudah, Edgar menonjok wajah Hengky lebih dulu hingga pria itu jatuh tersungkur di atas aspal teras depan rumah Hengky. Tampaknya, keributan itu berhasil memancing orang-orang rumah penasaran pada apa yang terjadi kepada sang tuan.

Hengky membalasnya dan Edgar pun membalas lebih dari kekuatan sebelumnya, hingga jeritan seseorang membuat Edgar menghentikan aksinya dan memandang ke arah suara.

"Berhenti!" teriaknya ketakutan.

Napas Edgar tersengal, begitu pun napas Hengky. Keduanya saling bertatapan penuh dendam, hingga saat ketika Edgar mengangkat wajahnya dia bisa melihat wanita dewasa dengan wajah penuh memar seperti telah selesai di siksa.

Ada kebiruan yang lekat di pelipisnya, bibir bawahnya sobek dan ada darah yang sudah mengering di sana, kedua tatapannya kelihatan ketakutan dan tubuhnya bergemetar. Dalam otak Edgar hanya ada satu; manusia macam apa Hengky ini? Apa wanita itu dianiaya oleh Hengky?

"Suruh siapa kamu keluar rumah sialan?!" teriak Hengky pada wanita itu.

Edgar yang sedang memahami situasi lantas memberikan isyarat dengan jari-jari tangannya agar para bodyguard mendekat, sementara itu Hengky tidak lagi memedulikan keberadaannya, tapi pria itu lari menerjang wanita itu dan menyeretnya tanpa belas kasihan.

Wanita itu berteriak kembali, entah kenapa untuk pertama kalinya insting Edgar begitu kuat hingga ingin membantu dan menyelamatkan wanita itu. Sialan, dia tidak akan pernah bisa diam melihat wanita di siksa di hadapannya seperti ini oleh kaumnya sendiri.

"BERHENTI!" teriak Edgar lebih kencang.

Edgar melangkah lebih besar dari sebelumnya dan menarik wanita yang tengah kesakitan itu akibat di seret paksa oleh Hengky.

Anehnya, wanita itu malah melemparkan dirinya kepada Edgar dengan tubuh bergemetar, bahkan wanita itu berlutut di depan kedua kakinya. Kedua tatapannya mengunci tatapan Edgar sambil berkata. "Tolong saya..."

Ini bahaya.

Edgar belum pernah memiliki empati sebesar ini, sial. Kenapa dia bisa tertarik untuk menolong wanita ini? Sebenarnya wanita ini siapanya Hengky?

***

a/n:

Apakah Om Edgar akan debut juga? Kayaknya Om Edgar itu lebih bisa iba lihat wanita yang tersakiti wkwkwk ajaib.

p.s: tahun baru dengan awan kelabu, cuaca yang abu.

30, Desember 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro