Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48. Taubat bersama

Denok terbangun pagi ini dengan kepala sakit, mata yang berat, hidung yang memerah, dan ya... dia tidak lagi mengajar sejak pemberitaan tentangnya dan hari dimana dia mendapatkan luka tembak, Denok bukan lagi seorang guru BK.

Tidak heran kalau sekarang hidupnya jadi agak berantakan dan tidak teratur karena dia sendiri tidak memiliki pekerjaan. Apa yang harus Denok kerjakan sekarang? Selain otaknya yang mudah penuh apa lagi memikirkan Luki seharian kemarin.

Abby masih tertidur pulas di ranjangnya pagi ini, Denok menyelimuti tubuh Abby dan buru-buru mandi karena perutnya keroncongan, menjerit minta untuk di isi.

Setelah mandi dan turun dari kamarnya, Denok terkejut melihat seseorang yang tengah tertidur begitu pulas dan suara dengkurannya yang cukup keras bisa Denok dengar.

Siapa lagi kalau bukan Luki Amidjaja yang tengah tertidur?

Sepertinya semalam Luki bisa masuk karena Bi Siti, buktinya ada cangkir teh yang tinggal separuh, tapi kenapa Luki tidak tidur di kamar tamu, sih?

Denok berjalan mendekati Luki, tangan dinginnya berhasil membuat pria itu terbangun karena Denok mengusapkan telapak tangannya di sekitar kening Luki.

"Hei," sapa Luki dengan suara yang breathy.

Denok tersenyum tipis. "Kenapa nggak tidur di kamar tamu? Kamu datang jam berapa?"

"Jam empat pagi," jawab Luki dengan serak.

"Kok pulang? Bukannya kerjaan kamu banyak di Yogyakarta?"

Luki menggeleng dan berusaha bangkit, lehernya berteriak kesakitan karena pegal, setelah menidurkan dirinya di sofa yang telah membuat badannya sakit. "Kalau aku nggak pulang pagi tadi, bisa bahaya." jawab Luki dengan lemas.

Denok hanya bisa mengangguk. "Yuk, pindah ke kamar tamu, sekalian aku buatkan makanan. Mau sarapan?"

Namun ketika Denok baru saja bangkit, Luki segera menahan lengannya dan membuat Denok menoleh dengan tatapan bingung. "Kenapa?" tanya Denok.

"Duduk dulu," pinta Luki.

Denok menurut, duduk di sisi pria itu dan menunggu Luki yang masih tersenyum kepadanya. Pagi-pagi begini, melihat Denok yang baru saja bangun pagi dengan rambut basah, wajahnya yang segar, Luki tidak bisa bohong kalau dia selalu terpesona dengan penampilan Denok. Meskipun pagi ini Denok hanya mengenakan celana pendek di atas lutut serta short sleeve hitam Polo.

"Aku bicara serius kali ini, dan aku minta kamu dengarkan aku baik-baik," kata Luki sambil menggenggam tangan Denok yang dingin.

Denok menarik napasnya dan mengangkat bahunya. "Iya,"

"Dulu, aku pernah memberikan janji pada Kezia, karena aku berpikir bahwa masa depanku akan dihabiskan dengannya." kata Luki tanpa basa basi langsung pada intinya dan membawa nama Kezia dalam obrolan mereka.

Denok mematung, untuk sejenak ia berpikir kenapa Luki bisa mengajaknya bicara seberat ini pagi-pagi tanpa kompromi apa yang akan dibahas kepadanya.

Kedua mata Luki menatap Denok tanpa lepas, ibu jari tangan kanannya menyusuri rahang wajah Denok dan naik menuju pipi dan terus menuju sudut bibir Denok. "Dulu, kamu dan aku belum bertemu. Kamu tahu, sebagai manusia terkadang kita hanya bisa merencanakan dan selebihnya itu urusan Tuhan."

Denok mengangguk, lalu Luki menyentuh bibir bawahnya dan membukanya sedikit, ibu jari Luki masih betah menyusuri permukaan bibir Denok yang lembab dan mengundang untuk Luki cium.

"Opa nggak menyetujui hubunganku dengan Kezia karena sebuah alasan, D."

Ketika Luki mendekatkan dirinya, dan feromon pria itu yang bisa tercium oleh Denok membuat Denok sedikit... gugup dengan kedekatannya bersama Luki sekarang. "Kezia sudah dipastikan nggak akan bisa memberikan aku keturunan, itu yang pertama. Satu dari lain hal, ada kejadian buruk yang menimpanya, aku nggak pernah mempermasalahkan kekurangan dia sampai dimana—Opa mempermasalahkannya."

"..."

"Opa nggak rela kalau keturunan Opa, atau keturunanku nanti, berhenti di Kezia. Kamu paham apa yang aku katakan?" tanya Luki mengkonfirmasi kediaman Denok.

Denok tergugup dan menggeleng. "Maksud kamu, Mbak Kezia..."

"Dia sudah nggak memiliki rahim, dan aku pernah memutuskan untuk free child agar bisa menikah bersama dia." ujar Luki dengan jujur.

Lalu Denok mundur dan menatap Luki tidak percaya. Jadi, Luki menerima segala yang ada pada Kezia tanpa syarat? Tapi karena Opa...

"Apa pun yang kamu pikirkan sekarang, dan apa yang aku ceritakan sekarang adalah hal yang berbeda dari apa yang aku jalani sekarang." Luki menambahi apa yang dia rasakan saat ini. "Tanggung jawabku yang pernah memberikan Kezia janji, dan aku nggak menepati itu, biar itu jadi urusanku."

Luki tahu mungkin Denok tidak akan suka mendengarnya. "Dan aku nggak mau apa yang telah kita rencanakan berubah, sekarang yang ada di hadapanku ini kamu—bukan—Kezia. Paham?"

"Meskipun nanti dia bisa datang lagi kepada kamu?" tanya Denok hati-hati. "Dan menagih janji kamu?"

"Itu hanya janji yang pernah aku utarakan, tapi bukan berarti aku janji untuk mengambil sumpah di depan Tuhan, D. Itu berbeda."

"Tapi tetap saja kamu menjanjikan pernikahan kepada dia,"

Luki masih menggeleng dengan tidak setuju. "Janji mana yang lebih kamu pentingkan? Janji pada manusia apa janji pada Tuhan? Saat itu aku hanya berjanji pada manusia, bukan pada Tuhan. Kalau aku berjanji pada Tuhan, sudah dipastikan aku akan mengambil sumpah, dan sudah jelas itu namanya pernikahan."

"Aku..." Denok menggeleng tidak tahu dengan apa yang dia pikirkan. "... tapi kamu merasa bersalah?"

"Nggak." jawab Luki spontan.

Kening Denok berkerut heran. "Kenapa?"

"Karena aku nggak merasa mengambil suatu keputusan yang bisa merugikan dia, aku sudah melepaskan dia sejak lama, bahkan dia menerima lamaran dari pria yang dikenalkan oleh orang tuanya, D." kata Luki menjelaskan segalanya. "Itu artinya, janji yang pernah aku berikan kepada dia pun nggak akan berbuah menjadi apa-apa."

"Aku cuman..." Denok mengusap wajahnya dengan kasar dan menarik napasnya dalam-dalam. "Ya sudah, jangan dibahas lagi... kamu pasti capek,"

"Nggak," ujar Luki keras kepala. "Aku bakal bahas ini sampai kamu paham kalau apa pun yang berhubungan dengan Kezia bukan lagi tanggung jawabku untuk terus meladeninya, dan kamu... nggak perlu takut apa-apa lagi karena aku berniat mendaftarkan pernikahan kita di catatan sipil, bulan Desember tahun ini. Sengaja, aku pilih akhir tahun."

Denok tercengang bukan main. "Kamu... serius?"

"Serius lah!" kata Luki dengan jumawa. "Besok aku minta Alfa, Bagas, Gana dan Sagar untuk antar kamu, bebas kamu pilih mau cari berapa vendor. Kalau soal MUA, kamu bisa tanya Martha."

"Sebentar!" cegah Denok panik. "Nikahnya Desember tahun ini?"

Luki mengangguk. "Ya,"

"Tanggal berapa?"

"Aku cari tanggal merah, cuman ada hari minggu sengaja sebelum Natal kita berdua harus sudah menikah biar nanti kita bisa merayakan Natal bersama sudah jadi pasangan suami istri!" tekan Luki tak sabaran.

Denok menggigiti kulit jarinya dan langsung dicegah oleh Luki yang menjauhkan jari-jarinya. "Jorok!" katanya.

"Mamaku sudah tahu?" tanya Denok dengan kedua mata yang membulat.

"Sudah,"

"Opa?"

"Sudah."

Denok manyun, dia lantas memandang Luki dengan sebal. "Aku kepikiran dosa kamu, tapi kamu malah..."

"Namanya dosa pasti ada, tinggal bertaubat, asalkan taubatnya sama kamu." Luki menyeringai jahil dan membuat Denok berdecih pelan.

Denok bangkit berdiri mengingat perutnya yang berteriak lagi meminta untuk di isi. "Aku lapar!" katanya.

Tapi Luki tidak menyerah dan menarik tubuh Denok kembali untuk duduk. "Belum cium," katanya sambil mencuri kecupan di seluruh wajah Denok.

***

Gunadawarman, Laksmana kenal dengan nama keluarga itu, ketika salah satu pasiennya datang dan kontrol kepadanya nama Gunadawarman sering kali tidak bisa disebutkan dengan lantang karena, entah kenapa tapi keluarga Gunadawarman kelihatannya memang tidak suka privasinya dibongkar.

Seperti saat ini, siapa yang tahu Laksmana akan bertemu dengan Gunadawarman yang lain, sosok perempuan berusia 27 tahun dan mengatakan bahwa nama aslinya tidak boleh terekspos, sebagai dokter yang memiliki peraturan sendiri, Laksmana menyetujuinya demi menjaga privasi pasien.

"Tumor saya nggak bisa di angkat saja, Dok?" tanya perempuan itu.

Nama samaran, Cherish. Dan Laksmana enggan menyebutkan nama aslinya.

"Bisa, tapi akan mempengaruhi fungsi tubuh yang lain, melihat dari posisi tumor kamu yang berada dekat dengan paru-paru dan tulang rusuk." Laksmana menerangkannya lewat monitor iMac yang dia perlihatkan pada pasiennya. "Butuh pembedahan yang besar, ada satu atau dua rusuk kamu yang perlu saya bedah nantinya."

Cherish, si pasien aneh itu mengangguk. "Apa akan lama? Penyembuhannya maksud saya—soalnya saya nggak bisa lama-lama berada di Indonesia, bulan depan saya harus ke Savannah."

Laksmana ingin menjitak pasien yang seperti ini. Memang pemulihan pasca operasi besar bisa sembuh dalam sekilat? "Nggak bisa, Nona Cherish." tekan Laksmana. "Kalau kamu memang ingin diangkat sepenuhnya, agar tidak membesar dan mengganggu lapisan pelindung paru-paru, memang harus dipastikan untuk diangkat sampai bersih."

Lalu Cherish batuk kembali. Karena tumor yang tumbuh di dalam rongga dadanya itu lah yang menyebabkan perempuan itu jadi sering terbatuk, kabar buruknya... ada pembesaran jantung.

Jantung Cherish sudah membesar sekitar rentang tiga puluh persen, Laksmana belum membicarakan ini dengan dokter spesialis jantung, Krishna Indradjaja untuk memecahkan kasus Cherish ini.

"Jadi saya harus stay di Indonesia berapa lama?" tanyanya dengan penasaran, lalu Cherish memajukan tubuhnya dan menatap Laksmana dengan kedua matanya yang membulat sempurna. "Apa Genesis punya keamanan yang sangat tinggi?"

Laksmana mundur dan menatap Cherish dengan curiga. "Apa tidak ada satu pun keluarga kamu yang tahu kalau kamu sakit?" tanya Laksmana dengan tepat.

Cherish menggebrak meja dan menatap Laksmana penuh dengan dendam. "YA JANGAN DOK! TADI JANJINYA DOKTER MAU JAGA PRIVASI SAYA GIMANA, SIH?!" protesnya dengan suara stereo.

Oh... kepala Laksmana pening mendengarnya.

"Saya akan diskusikan dengan komisaris rumah sakit kalau memang kamu butuh privasi yang ketat, beberapa pejabat pernah menggunakan privacy allert untuk menjaga identitas mereka, Genesis bekerjasama dengan kantor intelijen swasta, Nona. Jadi, apakah kamu tertarik untuk sembuh dan dirawat di Genesis?"

Cherish mengerjapkan matanya lambat, kedua bulu matanya bergerak dan membuat kelopak matanya kelihatan sangat cantik saat berkedip, kedua mata Cherish memang kelihatan sangat besar dan bentuk matanya seperti almond.

"Saya bakal mati, ya?" tiba-tiba suaranya memelas dan menampilkan wajah yang sedih.

Laksmana sudah ratusan kali menghadapi pasien seperti Cherish. Dengan senyuman yang tulus dan mengembang. "Kenapa harus memikirkan mati ketika ada kesembuhan yang bisa kita kejar lebih dulu? Setiap manusia memang akan mati, tergantung Tuhan,"

Cherish malah menatap Laksmana dengan tidak suka, menyilangkan kakinya ke atas dengan angkuh dan mengetuk meja kerja Laksmana dengan jari-jarinya yang lentik, serta kukunya yang dikutuk berwarna merah marun. "Dok! Jangan kasih saya ceramah deh!"

"Saya nggak kasih ceramah," cerewet sekali pasien ini. "Saya cuman kasih tahu kalau ada hal yang bisa kita utamakan selain menunggu kematian, kita itu makhluk hidup."

"Dasar dokter aneh!" Cherish bangkit berdiri begitu saja menatap Laksmana dengan wajah kemusuhan. "Saya mau pulang aja!"

"Hei—" Laksmana ikut berdiri. "Dengar saya, Nona... perihal kamu mau sembuh atau tidak itu keputusan kamu, tapi saya... di sini adalah dokter, dan saya sudah memegang sumpah untuk membantu dan menyembuhkan pasien saya, Nona."

Lalu Cherish menghadap Laksmana lagi dengan tatapan datarnya, perempuan itu berdiri dengan canggung lalu menggaruk pelipisnya. "Tapi saya nggak mau mati, Dok..."

Laksmana menarik napasnya dengan teratur, dan memberikan senyuman tulusnya sekali lagi. Dia sudah banyak bersabar tahun ini.

***

"Opa nggak marah?" tanya Martha kepada Rajasa ketika Martha baru saja melakukan pengakuan dosa.

Rajasa sudah terbiasa, memiliki empat cucu dan keempatnya selalu melakukan dosa yang tidak pernah terlewati, entah itu pada manusia atau pada dirinya sendiri. Meskipun, dia sendiri juga memiliki banyak dosa dan sudah tua renta.

"Nggak," Rajasa mengusap puncak kepala Martha dan menatap cucu perempuan satu-satunya, yang mewarisi wajah mendiang istrinya. "Tapi kalau kamu menyiksa diri kamu sendiri, terutama perasaan kamu, Opa akan marah."

"Tapi aku nggak mungkin terus sendirian, Opa. Aku tahu, Opa nggak percaya karena aku, masih terus bermain selama ini, tapi untuk pertama kalinya..."

Martha menunduk, menatap Rajasa lagi lalu tertawa canggung. "Boleh aku pegang perusahaan punya Oma?"

"Sektor pariwisata memang belum dipegang oleh siapa pun." kata Rajasa kepada Martha. "Adjie sudah pegang sektor properti, Luki pegang sektor minyak, tambang, dan Traghana, sementara Laksmana nggak tertarik memegang apa pun, ya sudah pegang saja sektor pariwisata oleh kamu. Janji, harus serius ya?"

Martha mengangguk cepat. "Janji, Opa."

"Memang apa rencana kamu ke depan Martha?"

"Aku akan membeli beberapa vila di Bali, dan aku juga memiliki rencana untuk membangun Farm House di Sumbawa, Opa. Kuda-kuda Opa di Sumbawa belum dimanfaatkan dengan baik, aku pikir kita bisa mengelola pariwisata dengan kuda-kuda Sumbawa kita," Martha menjelaskannya dengan begitu semangat. "Kemarin, kuda Opa baru saja lahir, aku lihat kesehatan semua kuda-kuda di sana,"

Rajasa tersenyum miring mendengarnya. "Kamu senang dengan kuda? Sejak kapan?"

"Nggak tahu," jawabnya sambil mengangkat bahunya. "Tiba-tiba saja, terpikir oleh aku."

Rajasa mengangguk sambil berpikir. "Diskusikan dengan Luki, semoga saja dia setuju."

"Pasti setuju." kata Martha percaya diri.

"Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Aku punya senjata rahasia biar Mas Luki setuju dengan usulanku, Opa."

Kedua mata Rajasa mengerjap. "Apa?"

"Denok."

Ah itu lagi...

Memang, sejak tahu bagaimana berat dan besarnya perasaan Luki kepada Denok, cucu-cucunya ini senang meledek Luki. Bayangkan saja, baru-baru ini Luki sendiri lah yang sudah pindah agama menjadi Katolik, meskipun ada alasan terkuat Denok; tapi Luki juga mendadak menjadi manusia lurus dan cukup religius akhir-akhir ini. Laksmana bilang, itu adalah pengaruh Denok.

"Terserah lah, apa pun itu, asalkan kamu nggak tertekan bekerja di orang lain, dan kamu serius dengan bisnis keluarga kita." ujar Rajasa dengan pasrah.

Martha mencium kening Opanya dan tersenyum senang. "Terima kasih Opa."

***

a/n:

Eak Laksmana ketemu sama cewek baru nieeee. Btw si Laksmana ini tipikal cowok yang diem-diem ternyata iya gitu. Percaya nggak? Selama ini kita bisa aja ketipu sama kedok dia.

Laksmana jadi spinn off aja lah ya, nggak akan begitu banyak:) kalau niat, aku bakalan buat cerita dia panjang dan detail kalo nggak ya selewat aja wkwkwk.

Denok to Luki.

p.s: 3 hari menuju tahun baru nih.

28, Desember 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro