Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

47. Godaan

"Langkahi mayat saya lebih dulu sebelum kamu menemui cucu saya, Nona."

Suara itu membuat Kezia menghentikan langkahnya, di lorong kantor yang dingin dan sepi ini, Kezia tidak menyangka bahwa langkah kakinya akan dicegat oleh seseorang yang sudah Kezia kenali suaranya.

Pria tua itu, yang sudah merubah jalan hidupnya, yang sudah membuatnya menjadi perempuan menderita karena ditinggal oleh kekasih yang dia cintai, karena pria tua itu juga membawa orang baru ke dalam kehidupan dirinya dan Luki.

Saat Kezia berbalik, semua pandangannya berubah. Di sana bukan hanya ada Rajasa Amidjaja saja, melainkan sosok gadis cantik yang memiliki segalanya, yang terpilih menjadi pasangan hidup untuk kekasihnya Luki.

Gadis cantik itu terlihat terkejut melihat kedatangannya siang ini, pasti tunangan Luki itu akan menemui Luki juga hari ini.

"Tuan Rajasa," sapa Kezia dengan tenang sambil berjalan mendekati Rajasa dan Denok yang ditemani oleh dua bodyguard di belakang mereka.

Gadis cantik itu tampak berusaha menahan sesuatu agar Rajasa tidak bersikap berlebihan kepadanya, tapi Kezia benar-benar penasaran apa yang dia tidak miliki dan gadis cantik itu miliki, meskipun Kezia tahu diri bahwa kekurangannya adalah dia wanita yang tidak sempurna dan cacat karena tidak memiliki rahim.

Melihat sikap tenang Kezia, Denok rasanya antisipasi untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Jangan sampai ada hal buruk yang bisa terjadi kepadanya, sementara Denok dan Luki telah memutuskan untuk saling bersama dan berjalan menuju jenjang pernikahan.

"Hai, Denok." sapa Kezia dengan senyumannya.

Setelah sekian lama, entah kapan Denok mengingat pertemuannya dengan Kezia. "Hai, Mbak." sapa Denok balik.

"Ada apa kamu datang kemari?" tanya Rajasa lebih santai dan tidak sekasar sebelumnya.

Kezia mengangkat dagunya dengan pongah sambil berkata. "Saya merindukan cucu Anda, Tuan."

Rajasa langsung berdecih dan menatap Kezia dengan sangsi. "Merindukan? Kamu sepertinya memang sudah kehilangan urat malu,"

"Terlepas dari urat malu saya," balas Kezia dengan cepat. "Saya tidak sedang berusaha merebut apa pun, ketahuilah anda yang telah mengambil kekasih saya hingga bertunangan dengan gadis pilihan Anda." liriknya kepada Denok.

Denok menarik senyuman pada bibirnya dan menarik napas. "Mbak, ada perlu dengan Mas Luki?" tanyanya dengan sopan. "Kalau begitu kita sama-sama saja, kebetulan saya dan Opa memang akan makan siang bersama kok,"

Kezia enggan menerima tawaran itu lantas berbalik lebih cepat dan berjalan lebih dulu menuju ruang kerja Luki.

Rajasa dan Denok saling melemparkan tatapan satu sama lain, namun Denok malah mengusap bahu Rajasa sambil berkata. "Nggak apa-apa, Opa... mungkin mereka memang memiliki urusan yang belum selesai, bagaimana pun, Mas Luki pernah ada dalam kehidupan Mbak Kezia,"

"Kamu jangan sering mengalah ke depannya kalau menemukan Kezia seperti ini lagi!" ancam Rajasa mengingatkan sikap Denok yang terlalu pasrah. "Mewajarkan boleh, tapi kamu juga harus hati-hati."

Denok mengangguk cepat. "Oke..."

Lalu Denok dan Rajasa kembali melanjutkan langkah kakinya menuju ruang kerja Luki, setibanya Denok dan Rajasa masuk, Luki kelihatan terkejut dengan kedatangan Denok, sementara kini... mantannya tengah memeluk Luki dengan begitu erat.

Rajasa hanya bisa membuang napasnya dengan kasar, sementara Denok terdiam melihat bagaimana posesifnya Kezia memeluk Luki dan mengatakan betapa dia merindukan Luki.

Behave... Denok bermonolog sendiri di dalam hatinya dan tersenyum tipis. "Kezia, lepas.." gumam Luki pelan yang bisa Denok dengar samar-samar.

Kezia melepaskan pelukan Luki dengan berat hati, sambil memandangi wajah Luki yang tegang dan atensi fokusnya tidak kepadanya, tapi pada gadis yang tengah berdiri dengan anggun di belakang tubuhnya.

Denok menerima beberapa paper bag berisikan makan siang kali ini, dia menatanya dengan rapi di atas meja dan tidak merasa terganggu dengan keberadaan Kezia ataupun Luki yang masih dipeluk oleh wanita itu.

"Opa, cuci tangan dulu." Denok lebih peduli pada Rajasa yang harus segera mencuci tangannya.

Tapi Rajasa tidak bisa sabar ketika dia baru saja keluar dari toilet namun Kezia masih menempel pada tubuh cucunya seperti lintah.

"Ada apa ini? Sudah selesai belum reuninya?!" sahut Rajasa membuka suara. "Kalau sudah, silakan kelar. Ada hal penting yang harus kami bicarakan sebagai keluarga dan lagi jam makan siang akan habis sebentar lagi,"

Kezia langsung memutarkan tubuhnya dan memandang Rajasa dengan sengit. "Anda mengusir saya?"

Rajasa tertawa dengan pongah. "Oh, jadi Anda merasa?"

"Opa..." Denok mengingatkan Rajasa dengan suaranya yang lembut.

Luki berdeham canggung dan berjalan mendekati Denok sambil mencuri kecupan di pelipis gadis itu. "Hai, sudah selesai urusan di sekolahnya?"

Denok tahu Luki tengah mengalihkan suasana dengan memancing obrolan tentang resign yang Denok baru urusi di Yayasan Hartanto.

Denok mengangguk. "Ya, Opa yang jemput aku tadi." balasnya dengan tenang.

Luki mengangguk. "Tunggu sebentar okay?"

Setelahnya Luki kembali pada Kezia dan menatap Kezia dengan datar. "Bisa kamu pergi dulu? Aku dan Opa harus berbicara,"

"And we need to talk," balas Kezia cepat.

"Tentang apa? Kamu bisa bicarakan itu dengan Sagar—"

"Terlepas dari apa yang kamu janjikan kepada aku, Luki." potong Kezia cepat. "Aku menagihnya hari ini."

Luki menatap Kezia dengan emosi sekarang, apa wanita di hadapannya ini tidak tahu bahwa Luki... ah, dia memang tidak memberitahunya. "Kezia, di sini sedang ada Opa dan calon istriku—"

"Apa?" ulang Kezia dengan wajah tidak percaya. "Calon istri kamu? Who?"

"Saya," sahut Denok tiba-tiba dengan suara kencangnya.

Luki maupun Rajasa terkejut mendengarkan suara besar Denok, namun Kezia kelihatannya memang tengah syok berat sampai-sampai tak bisa menjaga ekspresi wajahnya. "Mbak ada janji apa dengan calon suami saya? Atau mungkin, apa janji yang calon suami saya beri kepada Mbak?"

"Pernikahan." balas Kezia yang sepertinya tidak rela kalah di medan perang. "Dia juga berjanji akan menikahi saya,"

Lalu Denok mengangguk dengan santainya sambil berjalan mendekat ke arah Kezia. "Di dalam agama kami, lelaki tidak bisa memiliki dua istri, Mbak."

"Memang siapa yang akan memperistri dua? Jelas harus ada salah satu wanita yang menjadi istri Luki, benar?" jawab Kezia.

"Iya, coba Mbak tanya betul-betul pada lelaki yang ada di belakang Mbak itu, tanya dengan siapa dia akan menikah, dan janji mana yang akan dia tepati. Sebab, kalau dalam agama kami, pasangan yang telah menikah dan dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh berpisah bagaimana pun caranya, barangkali memang lelaki yang di belakang Mbak salah memilih calon istri,"

Luki panik bukan main, dia berjalan mendekati Denok dan menggeleng keras. "We have to talk about this later, Sayang."

Rajasa sudah menjatuhkan dirinya di atas sofa dan memandangi drama recehan yang sedang dia tonton secara live itu.

"Memang ada perbedaan yang jelas," balas Denok kepada Luki tanpa membuang tatapan dinginnya. "Kamu menjanjikan dia pernikahan, dan kamu mengajak aku menikah."

"No, hei—listen to me," Luki menjambak rambutnya sendiri karena merasa kesal dengan kedatangan Kezia. "You're the winner, okay?"

"Aku nggak sedang bertanding dengan siapa pun." balas Denok dengan tawanya.

Denok lalu melarikan kedua tangannya ke depan dada Luki dan merapikan sisi jas tunangannya, cincin Harry Winston itu berkilauan karena sinar yang menyinari sekitar ruangan dan berhasil merebut perhatian Kezia.

"Aku tunggu keputusan kamu akan memilih yang mana." putus Denok sambil menepuk dada Luki dan berjalan berjauh kemudian dia pamit pulang pada Rajasa yang diantar oleh Alfa dan Bagas.

Sekali lagi, Luki kelihatan frustrasi siang ini, dan Rajasa menyukai pemandangan ini. Melihat bagaimana cucu pertamanya yang masih tetap bersikap bodoh, mengusir setitik debu saja sulit.

Haduh!

***

Abby berhasil melakukan program diet dan slimming pada tubuhnya, dia sudah bisa memakai dress kecil yang dia beli beberapa tahun yang lalu, tubuhnya kian ramping dan dia terlihat seperti model jika sedang bercermin.

Ini semua Abby lakukan untuk dirinya sendiri kok, dia kan mencintai dirinya sendiri dengan amat besar. Tapi Abby jelas tidak bisa tenang, meskipun dia tengah happy begini, lihat wajah murung dan kusut milik sahabatnya Denok, tetap saja membuatnya sedikit... terganggu.

"Lo kenapa, sih? Gue sengaja lho belikan lo Valentino dress itu buat lo juga." kata Abby sambil menunjuk paper bag besar berisikan midi dress Valentino yang dia beli untuk Denok. Secara sengaja pemirsa.

Abby sengaja membeli warna hitam karena Denok manusia mamba ini jelas tidak akan pernah mau memiliki pakaian berwarna selain hitam di lemarinya.

Denok menggersah panjang dan berbaring di atas permadani tengah rumah. "Luki..."

Kedua mata Abby langsung membulat ketika mendengar nama itu. "Kenapa lagi?! Bukannya lo udah fine-fine aja sama Mas Luki?" 

Denok menggeleng dengan wajah datar sambil menatap atap rumahnya yang dihiasi chandelier kristal yang selalu berisik jika terkena angin. "Dia menjanjikan pernikahan sama mantannya."

"Terus?" Abby duduk di bersila di sisi Denok.

"Mantannya tagih janji Luki lah! Apa lagi!"

"Ya ampun... padahal kalau udah putus ya putus aja, ngapain tagih janji sama mantan." komentar Abby.

Denok menggeleng tak mengerti. "Lo berpikiran kayak gitu, kalau gue sih beda."

"Memang lo pikir apa Sayangku? Cantikku? Udah lah, selagi Mas Luki nggak ladeni ya lewat aja, De... lo tuh jangan stres-stres lah, baru kemarin keluar masuk rumah sakit, masa sekarang mau masuk rumah sakit lagi gara-gara mikirin hal yang nggak penting?" cerocos Abby.

Denok mengulat penuh tenaga dan berteriak mengeluarkan emosinya. "Gue ngerasa bersalah aja, By. Bayangin, orang yang udah di kasih janji sama Luki itu pasti berharap banget, By. Apa lagi soal pernikahan,"

"Nggak-nggak." tolak Abby langsung karena dia tahu perangai Denok yang selalu overthinking dengan hal-hal sepele. "Lo jangan berpikiran kemana-mana ya, De..."

"Tapi kan By, Luki kasih janji sama mantannya—"

"Itu urusannya Mas Luki, bukan urusannya lo. Hubungan Mas Luki sama mantannya itu sudah selesai, artinya janji itu juga udah nggak berlaku, De." kata Abby berusaha meneguhkan pikiran Denok.

Denok semakin terlihat ragu dengan kata-katanya. "Udah, jangan pikirin macam-macam, yang dipilih sama Mas Luki itu lo untuk jadi istri dia. Lo nggak ingat? Mas Luki sampai pindah ke Katolik, baru dibaptis secara Katolik sangking maunya menikah sama lo?"

Denok mengurut batang hidungnya. Tapi tetap saja, dengan begitu artinya Luki sudah ingkar pada janji yang telah dia buat sendiri. Itu namanya salah.

"De, realistis aja ya... lo kan cinta sama Mas Luki, memangnya lo rela lihat Mas Luki menikahi mantannya?" tanya Abby yang gatal.

Denok langsung bangun dan duduk dengan tegak. "Nggak, jangan begitu dong... gue nggak mau Luki menikahi mantannya—tapi By—janji adalah janji—"

"Tuhan Yesus..." Abby menyabarkan dirinya sendiri. "Masalah hidup gue sudah banyak ditambahi masalah lo, mampus aja gue."

"By..." rengek Denok.

Abby memejamkan matanya kesal. "Terus lo maunya apa?" tanyanya dengan pongah kepada Denok.

"Kalau gue egois karena menginginkan Luki, dan membiarkan Luki nggak ingat dosa akan janji yang nggak dia tepati, gue salah nggak?" tanya Denok dengan polos kepada Abby.

Abby menggelengkan kepalanya lagi dan mendadak dia ikut berpikir. "Sialan lo, De! Gara-gara lo, otak minimalis gue jadi ikut berpikir."

Begitu lah, dan selama beberapa waktu keduanya tidak menemukan solusi sama sekali.

***

Luki mengencangkan tali bathrobenya ketika panggilan video call bersama Denok telah tersambung. Di seberang sana, gadis yang telah membuat jantung Luki ketar ketir memikirkan nasib masa depannya malah terlihat tengah tipsy sambil memegangi dahinya rambut gadis itu menghalangi wajah yang ingin Luki lihat.

"D," panggil Luki.

Denok mengangkat wajahnya dan begitu wajahnya terlihat, Luki bisa melihat wajah Denok dan leher gadis itu yang memerah.

Kelihatannya Denok tengah duduk di hadapan laptopnya, hingga cahaya dari layar laptop itu bisa Luki lihat di sekitar wajah Denok yang memerah.

"Kamu tahu?" tanya Denok kepadanya dengan tatapan mata yang begitu berat. "Ada ayat Alkitab yang bilang; 'Ya, ia memandang ringan kepada sumpah dan mengingkari perjanjian. Sungguh, walaupun ia menyungguhkan hal itu dengan berjabat tangan, tetapi ia melanggar semuanya itu, maka ia tidak dapat luput.' — Yehezkiel 17:18, dengan keras Tuhan mengingatkan kalau siapapun yang melanggar janji tidak akan diluputkan."

Luki terdiam membiarkan Denok berbicara kepadanya, entah apa yang ingin gadis itu sampaikan tapi jika pembahasannya tentang janji, maka Luki tahu Denok akan membahas soal Kezia yang menagih janji kepadanya beberapa hari yang lalu.

"Kamu janji sama dia, Mas Luki..." rengek Denok dengan suara pelannya. "Kamu sudah janji,"

Benar saja, firasat Luki sejak tadi tidak enak. "Jangan ingkar, jangan..."

Sialan, ada saja cobaan yang membuat Luki kesal setengah mati. Kenapa juga Kezia harus datang kepadanya kemarin?

Kedua mata Denok berair, gadis itu menyusut air matanya dengan punggung tangannya, bibirnya bergetar karena menahan tangis yang tidak ingin Luki dengar.

"Kamu sudah bohongi orang yang sudah kamu kasih janji," kata Denok lagi kepadanya. "Jangan begitu, jangan..."

Luki bangkit mengambil ponsel kerjanya dan menghubungi Sagar dengan segera. "Siapkan kepulangan saya, malam ini, ya, sekarang juga."

Setelah mengatakannya, tanpa mematikan sambungan video call dengan Denok, Luki berjalan memakai pakaiannya dengan diam. Sementara Denok di seberang sana masih mengoceh tentang janji dan apa yang harusnya tidak Luki lakukan.

"Mas..." panggil Denok lagi.

Luki tidak menyahut, lebih tepatnya dia menjaga emosinya sendiri dan merapikan barang-barangnya. Setelah itu, Sagar datang ke ruangannya dengan tatapan bingung.

"Ada sesuatu yang terjadi Pak?" tanya Sagar dengan heran karena Luki meminta kepulangan cepat.

Luki mengarahkan tatapannya pada layar ponselnya yang masih menyala dan di sana Denok tengah membuka Alkitab dan membacanya sambil menangis.

Sagar yang ikut melihatnya pun hanya mampu terdiam dan menjaga sikap serta mulutnya yang terus ingin bertanya.

"Biar Martha yang gantikan saya di sini, saya curiga saya bisa batal menikah tahun ini kalau begini." ujar Luki kepada Sagar.

Sagar mengangguk. "Saya sudah bayar parkir pesawat Bapak di Bandara Internasional Yogyakarta."

"Sudah kamu lunasi?" tanya Luki lagi sambil memakai sabuk pinggangnya.

"Sudah, Pak."

"Ya sudah, kita ke Jakarta sekarang."

Setelah mengatakannya, Luki mendekati ponselnya kembali dan berusaha memanggil tunangannya yang masih fokus menangis membaca Alkitab. Sagar hanya bisa merasakan satu hal, dia merasa takjub karena entah kenapa... dalam keadaan tidak sadar karena mabuk sekalipun tunangan sang atasannya itu lebih memilih mengingat Tuhan daripada apa pun.

Dan sekarang Sagar tahu apa yang menjadi ketakutan paling terbesar yang pernah Luki miliki seumur hidupnya.

***

a/n:

Langsung di ulti pake ayat Alkitab:')

Udah lah gagal kawin aja.

p.s: H- menuju 2023. Resolusi tahun depan apa ni?

28, Desember 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro