45. Pamit yang tidak terucap
Sisca Moestopo menginjakkan kakinya ke dalam area pribadi Erlangga Djatiwibowo yang sudah lama tertutup. Bi Siti, asisten rumah tangga keluarga Djatiwibowo yang sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun itu mengatakan bahwa segala hal tentang Bapak tidak pernah ia sentuh, selain membersihkannya dan menjaga ruangannya agar tetap terjaga setelah Erlangga jatuh sakit.
Bahkan, Sisca mengucapkan terima kasih secara langsung dan membantu putri Bi Siti yang akan masuk ke universitas tahun ini, Sisca berjanji bahwa dia akan memberikan biaya full untuk putri Bi Siti karena jelas, Bi Siti memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga Denok.
Bi Siti bahkan memperlakukan Denok layaknya putri dia sendiri. Jadi, bagaimana Sisca tidak berterima kasih kepadanya?
"Ruangan Bapak sudah saya bersihkan minggu lalu, Bu." kata Bi Siti sambil membuka tirai jendela hingga taman samping rumah keluarga Djatiwibowo bisa terlihat sekarang. "Dulu, Bapak suka mengawasi Nona dari ruang kerjanya, Nona itu suka duduk di paviliun sana,"
Sisca terkekeh pelan sambil membayangkan bagaimana Erlangga mengawasi putrinya sendiri bermain sendirian, pasti pria itu hanya bisa berkicau dengan pikiran dan hatinya sendiri.
Sisca menyentuh kursi kerja berbahan kulit itu dan melihat jejak bagian tubuh yang membuat kursi itu terlihat bahwa pemiliknya lebih sering mendudukinya dibandingkan area lain.
Meja kerjanya begitu rapi, ada kalender yang berdiri tegak dan berhenti di bulan Mei karena pemiliknya telah jatuh sakit sejak bulan itu, Sisca menggulirkannya menuju bulan lain dan menemukan bulan Juli, bulan kelahirannya pada tanggal tujuh belas yang sudah dilingkari oleh spidol merah.
Air matanya turun begitu saja dan membuat Sisca terisak, Sisca duduk di atas kursi kerja Erlangga dan membuka laci kerja pria itu. Di sana, terdapat satu buah kacamata baca dan dua amplop sedang berwarna coklat yang diberi tulisan.
For: Love of my life.
Sisca mengambilnya dan membukanya setelah Bi Siti pamit undur diri dari ruangan Erlangga dan meninggalkan Sisca sendirian di sana.
Surat itu adalah surat yang ditulis langsung oleh Erlangga, bahkan setelah sekian lama Sisca berpisah pun Sisca masih hapal dengan baik tulisan tangan pria itu.
Denok Kanara,
Nama Denok Papa berikan untuk kamu karena kamu lahir sebagai perempuan. Denok itu memiliki arti perempuan. Dan arti nama Kanara adalah jalan kehidupan yang tentram, bahagia dan sempurna, dan nama itu juga punya arti berkah Tuhan.
Sisca tak bisa membendung tangisannya yang sejak tadi dia usahakan untuk tidak meledak, tapi nyatanya dia telah menangis dan mengeluarkan semua suaranya di ruangan kerja Erlangga.
Lalu ingatannya terlempar menuju masa-masa yang pernah dia habiskan bersama Erlangga.
"Kamu habis buat pengakuan dosa sama Romo?" tanya Sisca kepada Erlangga yang baru saja memasuki mobil setelah Misa minggu pagi ini.
Erlangga terkekeh pelan dan mengecup dahinya. "Iya, aku pusing soalnya... aku juga butuh pencerahan."
"Terus Romo bilang apa?" tanya Sisca lagi.
Erlangga mengusap perut Sisca yang buncit karena kehamilannya yang baru saja menginjak enam belas minggu. "Rahasia dong, tapi aku dapat nama yang Romo kasih untuk anakku ini."
Sisca melebarkan kedua matanya dan tersenyum senang. "Oh ya? Siapa? Kasih tahu aku!"
"Ya sudah, kita taruhan. Kamu pilih laki-laki apa perempuan?" tanya balik Erlangga dengan tatapan hangatnya.
Sisca berpikir sejenak dan mengusap perutnya. "Aku pilih laki-laki, kalau dia laki-laki aku bakal ajarkan dia buat menikahi satu wanita saja! Jangan sampai mau memiliki dua wanita, soalnya pasti memusingkan. Sama kayak kamu, dipusingkan dua wanita aku dan—"
"Sudah," Erlangga menutup mulut Sisca dengan jari-jarinya yang besar. "Kita baru selesai ibadah beberapa menit yang lalu kamu malah mau buat keributan, aku nggak mau berantem sama kamu hari ini Sayang."
Sisca meringis dan tertawa pelan lalu memeluk Erlangga. "Maaf Papa... ya sudah, pokoknya aku pilih laki-laki, apa pun itu semoga dia sehat dan sifatnya mirip aku, karena aku baik, cantik, dan pintar."
Erlangga tersenyum sinis dan mendengus, tapi ketika Sisca memajukan wajahnya dan meminta untuk di cium, Erlangga mencium pipi wanita yang paling dia cintai itu.
"Ya sudah, aku pilih perempuan. Soalnya, Romo memang kasih nama buat anak perempuan lho, kayaknya feeling Romo kuat."
Sisca lantas tertawa. "Jadi, apa nama yang Romo kasih buat anak aku?"
"Kanara." jawab Erlangga dengan senyuman. "Kata Romo, Kanara punya arti yang baik untuk anak kita."
"Apa artinya?" tanya Sisca bergelayut manja.
Erlangga melepaskan safety belt yang bisa menekan perut Sisca dan mendekatkan tubuh Sisca padanya. "Jalan kehidupan yang tentram, bahagia dan sempurna, dan nama itu juga punya arti sebagai berkah Tuhan."
Sisca menyipitkan matanya dan terkekeh lembut. "Aku suka,"
"Kamu suka?"
"Mm-hm,"
"Bagus," Erlangga mencium dahi Sisca lagi. "Kita pulang sekarang? Katanya kamu lapar dan tadi siapa yang minta sup asparagus?"
Sisca mengangkat tangannya dan berseru. "Aku! Awas aja kalau kamu masaknya nggak enak!" ancamnya pada Erlangga.
Erlangga terkekeh gugup dan mencium dahi Sisca kembali. "Nggak akan."
Tidak ada hal yang pernah Sisca lewatkan jika semua ingatan tentang Erlangga bahkan tidak pernah pergi dari benaknya sama sekali. Lalu, bagaimana bisa pria itu pergi meninggalkannya tanpa pamit?
Sisca menghapus air matanya yang terus berjatuhan dan melanjutkan kembali surat yang Erlangga tulis untuk Denok.
Kamu putri Papa satu-satunya, kamu harta yang Papa miliki dan sudah jelas kamu adalah milik Papa. Suatu hari nanti, kamu pasti akan mempertanyakan kenapa Papa dulu begini, kenapa Papa dulu begitu. Papa sengaja melakukannya demi kebaikan kamu, demi putri Papa yang tidak boleh terluka sedikitpun.
Semoga, ketika kamu baca surat ini, kamu sudah dalam posisi yang aman dan baik-baik saja, dan ya... kalau kamu belum mengenalinya, kamu harus mengenali perempuan lain yang Papa cintai juga.
Tapi tenang, Papa lebih cinta kamu daripada ibu kandungmu. Jangan kasih tahu dia, Papa cinta kamu sangat banyak.
Sisca tertawa tapi dia juga menangis. Bagaimana ini? Dasar pria kurang ajar! Bisa-bisanya dia menulis hal yang akhirnya dibaca olehnya seperti ini, tapi bagaimana lagi? Sisca mencintai pria kurang ajar itu.
Papa sudah titipkan kunci brankas di Om Edgar, nanti kamu ambil, semuanya untuk kamu. Janji sama Papa, kamu harus selalu sehat, lanjutkan pendidikan kamu, jadi apa pun yang kamu mau. Kalau mau menikah, cari lelaki yang baik yang bisa menjaga kamu lebih baik daripada Papa menjaga kamu.
Maaf,
Hanya maaf yang Papa bisa katakan untuk saat ini. Papa tahu Papa banyak salah, Papa selalu mengabaikan kamu. Ditatap oleh kamu saja Papa malu, mau ajak kamu bicara saja Papa sudah grogi duluan, kamu kok bisa cantik mirip Mamamu banget? Nggak ada miripnya dengan Papa sama sekali, Mamamu itu keterlaluan.
"Kenapa dia jadi marah padaku?" gumam Sisca dengan tawa serta tangisannya.
Dulu, saat kamu lahir dan Papa menggendong kamu, Papa bertanya-tanya dalam hati, kok begini wajahnya... ya, ternyata kamu memang anak Mamamu. Sepertinya kamu lebih sayang Mamamu daripada Papa, padahal Papa yang rela begadang buat baca buku Adolf Hitler kesukaan Mamamu.
Papa sudah siapkan hadiah untuk tahun ini, hadiahnya ada di lemari Papa, nanti kamu boleh ambil kalau kamu ada waktu santai.
Dan..
Jika kamu sudah mengetahui siapa Mamamu, ambil jas Papa yang berwarna hitam, jas itu beda dari yang lain. Jas Kiton K-50, jas pemberian orang yang Papa cintai, di sana ada surat untuknya. Tolong kamu kasihkan kepada dia.
Apa pun alasannya, Papa sayang kamu. Papa cinta kamu. Terima kasih karena sudah lahir jadi anak Papa, selamanya Denok akan tetap menjadi cinta pertama Papa yang tidak pernah tergantikan oleh siapa pun.
Salam sayang,
Papa.
Sisca buru-buru melipat kertas itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop, membawanya ke dalam tas yang akan dia berikan kepada Denok nanti, lalu Sisca berlari kencang memanggil Bi Siti untuk menunjukkan dimana kamar Erlangga dan lemari jas pria itu.
Ternyata, Erlangga meninggalkan surat untuknya.
***
Luki menggendong Denok sampai kompleks pemakaman Erlangga Djatiwibowo yang ada di San Diego Hills, dengan izin Laksmana, Denok diizinkan keluar dengan catatan bahwa dia tidak boleh banyak jalan atau bergerak karena dikhawatirkan luka jahitan yang bisa terbuka. Akhirnya, Luki membopongnya sampai pemakaman.
Alfa dan Bagas berdiri di belakang Luki, sementara itu Luki menurunkan tubuh Denok dengan hati-hati di depan pusara Erlangga Djatiwibowo yang masih baru daripada yang lain.
Denok sudah tidak menangis, bahkan gadis itu kelihatan biasa-biasa saja meskipun wajahnya mendung dan kelihatan tidak ada gairah kehidupan. Tapi Edgar bilang, bahwa Denok pasti akan baik-baik saja.
Erlangga tidak akan mungkin meninggalkan Denok tanpa pamit, sedikitnya kakaknya itu pasti meninggalkan sesuatu untuk Denok.
"Aku nggak sangka Papa pergi dengan cepat, bahkan aku nggak tahu Papa meninggal." kata Denok sambil menyimpan satu tangkai mawar putih di depan pusara Erlangga. "Pa, maaf ya... aku baru tahu sekarang, maaf karena aku juga sempat sakit kemarin, tapi aku sudah sembuh."
Luki mengusap puncak kepala Denok dan menenangkan gadis itu yang tengah menarik napasnya dengan begitu berat.
"Papa... aku belum pernah jalan-jalan sama Papa," Denok mengucapkannya dengan begitu ringan, sementara Luki yang mendengarkannya merasa sangat bersalah. "... kita belum pernah liburan, aku belum pernah rayakan ulang tahun sama Papa, dan aku juga belum pernah ucapkan selamat ulang tahun buat Papa. Kita berdua belum melakukan hal yang menyenangkan."
Denok menangis, dia ingat hari dimana Bi Siti bilang bahwa dia diberi kuda putih bernama Scout, kuda putih sebagai hadiah ulang tahun yang diberikan oleh Papanya.
"Kita bahkan belum pernah berkuda bareng..."
Luki memeluk tubuh Denok dari belakang dan mencium sisi kepala gadis itu. "Sudah..."
Denok mengangguk dan tersenyum mengusap pusara Erlangga sekali lagi. "Aku janji aku bakal sering datang ke sini, setiap ada kabar baik aku bakal kasih tahu Papa. Makasih ya, Pa... aku sayang sama Papa."
Denok menunduk mencium pusara Erlangga, sementara Luki menahan lekukan perut Denok agar tidak membahayakan luka jahit yang ada di perut kanannya.
Luki tersenyum dengan bangga ketika Denok menghapus air matanya untuk ke sekian kalinya. "Okay? Enough?"
Denok mengangguk singkat. "Enough, bisa tolong telepon Mamaku? Aku mau ketemu sama Mama, kayaknya Mama juga sedih..."
Alfa lantas berkata. "Ibu Sisca ada di rumah sakit, beliau bilang ada pesan peninggalan mendiang Papa Nona,"
Kedua mata Denok yang berkaca-kaca seketika langsung terbuka lebar. "Ada pesan untuk saya?"
Alfa dan Bagas mengangguk. "Ya,"
Denok buru-buru meraih lengan Luki. "Ayok pulang," ajaknya.
Luki mengangguk, menggendong kembali Denok. Sepanjang perjalanan menuju mobil, Luki mencuri ciuman di sekitar pelipis dan rambut Denok, padahal Denok baru keramas tadi pagi, itu pun di bantu oleh suster. Dalam setahun ini, setelah dipikir-pikir Denok sudah masuk rumah sakit dua kali. Melelahkan.
Tahu dan merasakan Luki terus mencium rambutnya, Denok berdecak dan mengalungkan kedua lengannya lebih erat di seputar leher Luki. "Apa sih? Kok cium-cium rambut aku terus sih?" keluhnya.
Luki terkekeh pelan. "Habisnya wangi, pakai shampo apa, sih?"
"Kenapa?" tantang Denok. "Mau samaan kayak aku?"
Luki mengangguk lugu. "Iya, setelah ini aku bakal minta Sagar buat beli shampo yang sama."
Denok meringis, dan ketika Bagas membuka pintu mobil dan Luki mendudukkan dirinya begitu hati-hati Denok menjawab. "Cari aja Kerastase."
"Nama shampo kamu?"
"Iya, katanya mau samaan? Nanti rambut kamu cepat panjang kayak rambutku, terus jadi lembut."
Luki masuk ke dalam mobil dan tertawa. "Boleh juga, aku betah mainin rambut panjang kamu,"
"Aku mau potong rambut." kata Denok sambil menyisiri rambutnya.
Luki langsung menyipitkan matanya tak suka. "Jangan,"
"Kenapa jangan? Aku pernah potong rambut sebahu lho, enak banget kepalaku langsung ringan." tanya Denok dengan heran.
Luki mengambil sejumput rambut Denok dan menyelipkannya. "Jangan, aku suka rambut ini..."
Denok berdecih kuat. "Konyol kamu! Oh ya, aku udah dapat alasan paling tepat kenapa aku harus menikah sama kamu."
Alfa dan Bagas duduk di depan dan tampaknya mereka berdua tidak terganggu dengan obrolan sepasang kekasih itu.
"Apa tuh?" tanya Luki sambil mencium bahu Denok.
Denok duduk lebih tegak dari biasanya. "Kalau kata Aristoteles, kekasih yang menikah bisa berkembang dalam cinta; mereka akan berkembang menjadi manusia yang lebih baik. Jadi, semoga saja dengan apa yang Aristoteles katakan bisa terjadi untuk kita berdua, kalau dengan menikah kita berdua bisa jadi manusia yang baik, kenapa nggak?"
Luki mundur menatap Denok tak percaya, sebenarnya... gadis apa yang dia cintai ini? Kenapa harus memakai alasan para filsuf seperti Aristoteles? Otak Denok benar-benar luar biasa.
"Dan... yang kedua," Denok memberikan jari telunjuk dan jari tengahnya kepada Luki yang masih mematung. "Kata Plato, pernikahan adalah kelanjutan dari CINTA." ujar Denok dengan penuh penekanan, bahasa tubuhnya begitu ringan ketika menjelaskan dan wajahnya terlihat tanpa beban ketika menjelaskan teori filsuf Plato. "... jadi, antara pernikahan dan cinta kita bisa mendapatkan keduanya dalam beberapa kesempatan, sama seperti kita berdua yang pernah gagal. Tapi, ada syaratnya, kalau kita mengharapkan kesempurnaan dalam cinta apa lagi di dalam pernikahan, menurut Plato kita nggak akan mendapatkan apa-apa, soalnya dalam pernikahan pasti akan ada masalah, dan sebaiknya kita jangan mengharapkan kesempurnaan."
Kepala Luki pening luar biasa, mendadak keningnya terasa berkedut. Dia menarik napas panjang dan memaksakan senyumannya. "Okay, kita memang nggak harus mengharapkan kesempurnaan, aku cinta kamu apa adanya, simpel."
Denok malah mengangkat bahunya. "Bebas," katanya tanpa dosa. "Jangan kaget kalau nanti kita berdua—aku atau kamu sama-sama punya sifat yang buruk."
Luki mengulas senyumannya lagi, dia baru saja terkena mental. "Iya, Sayang..."
"Ya sudah, tadi... harusnya kamu izin sama Papaku,"
"Aku sudah izin Papamu, sebelum dari jauh-jauh hari."
Kedua mata Denok membulat. "Kapan?!"
Jelas Denok tidak akan mengingatnya. "Pertemuan pertama aku dan Papa kamu, saat aku menculik kamu ke Singapura, aku sudah janji akan menikahi kamu di depan Papamu, aku bilang aku akan melamar kamu di Bahamas."
Denok kelihatan berusaha tengah mengingatnya. "Kamu kan bercanda saat itu!"
"Ya aku jadikan! Sekarang udah nggak ada waktu untuk bercanda lagi ya, Sayang... apa lagi dengar teori Aristoteles dan Plato yang kamu jabarkan tadi, udah... aku udah cukup paham. Udah waktunya kita menikah cepat,"
"Kamu kan belum ketemu Pastorku," kata Denok sengaja mengingatkan hal yang satu itu.
"Soon, Sayang... soon."
Luki menarik napasnya, tersenyum sambil mengusap puncak kepala Denok, dalam hati dia bertanya-tanya, sebanyak apa buku filsafat yang telah Denok baca?
***
a/n:
Yak yang bersedih dan menangis mana suaranya!
Berat, yang jadi alasan terbesar sampai hari ini kenapa Erlangga dan Sisca sampai pisah adalah keberadaan Sisca yang sebagai artis itu gonjang ganjing saat dulu, apa lagi dia sudah melahirkan Denok wah kondisinya berubah.
Sementara pilihannya, Sisca masih tetap mau berkarier, kalau nggak salah sudah dijelaskan ya di part sebelumnya. Alasan kenapa Sisca meninggalkan Denok, belum lagi istri pertama Erlangga kan nggak bisa dilepas begitu saja.
Rumit lah pusing.
Btw, lucky nya Denok adalah ketika Luki mau mengorbankan, dan mau berkorban untuk segala hal yang bersangkutan dengan Denok. Cowok kalau sudah sayang biasanya memang rela dan mau ngelakuin apa pun untuk ceweknya.
p.s: semoga kita semua mendapatkan pasangan yang merasa beruntung memiliki kita yah:') salam jomblo wkwk.
26, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro