44. Kenyataan yang harus diterima
Denok tersenyum senang ketika kedua adiknya, Andres dan Nathan datang menjenguk dirinya sambil membawakan makanan kesukaan Denok. Laksmana bilang, Denok boleh makan sesuatu hal yang dia inginkan asal tekanan darahnya membaik.
Untuk saat ini, tekanan darah Denok memang cukup rendah, itu kenapa ketika Andres dan Nathan datang membawa ramen, tempuran onion ring, dan puding kesukaannya yang Sisca bawa untuknya.
Kedua adiknya itu memang sangat luar biasa, dibandingkan Nathan yang energik, Andres memang sangat tenang dan pembawaannya terlihat seperti Desmond.
"Kakak, bisa makannya? Atau mau aku suapi?" tawar Nathan kepadanya dengan wajah sumringah.
Denok menggeleng dengan senyuman. "Nggak usah, makasih." tolaknya halus.
Nathan duduk lagi di sisi ranjang Denok, sementara Sisca terdiam menatap ekspresi wajah putrinya yang terlihat senang. Jika dia memberitahu langsung apa yang terjadi... apakah sinar kebahagiaan putrinya akan menghilang?
"Ma, kakak sudah boleh pulang kapan?" tanya Nathan kepada Sisca.
"Memangnya kenapa? Kamu mau apa?"
"Aku mau ajak Kakak jalan-jalan lah, pasti kakak bosan ya dirawat." cetus Nathan kepada Denok.
Sisca mengulum senyumnya. "Tanya kakakmu, memang dia mau diajak jalan-jalan sama kamu?"
Nathan kini menoleh dengan wajah tengilnya. "Mau ya, Kak? Mau, kan? Kita jalan-jalan, oh ya... aku tahu tempat nongkrong yang nyaman, nanti kakak bakal aku kenalin sama teman-temanku, mereka asik banget orangnya."
Andres berdeham memiting leher adiknya. "Teman-teman lo itu berisik Nathan!"
"Lho, bukan berisik tapi rame!" balas Nathan tak mau kalah. "Bang, lo harus bisa bedakan mana ramai dan berisik. Oh!" katanya dengan senyuman miring. "Lo kan manusia yang suka kesepian, bukan keramaian—argh! Mama! Sakit!" protesnya ketika Andres memiting lehernya.
Sisca memukul lengan atas Andres agar melepaskan adiknya. "Kamu itu lho, Andres..."
"Mama kayak nggak tahu aja!" timpal Andres. "Nathan kalau bawa temannya ke rumah itu, sudah lah..."
Denok tertawa pelan mendengarnya. "Gimana sekolah kamu? Aman?"
"Nggak." keluh Nathan dengan wajah menyedihkan. "Guru BK di sekolahku menyebalkan, dan dia nggak kayak kakak."
Andres pun mengangguk setuju. "Kadang, guru BK di sekolahku juga nggak menerapkan ilmu psikologi, Kak." adunya kepada Denok.
Denok menarik napasnya sambil menyentuh luka jahit yang tertutupi oleh perban itu. "Guru BK itu peranannya terlalu banyak, maksimalnya murid yang dipegang guru BK nggak lebih dari seratus murid, mungkin... karena keterbatasan SDM sekolah kalian, bisa saja guru BKnya memegang seluruh murid di sekolah jadi melebihi kapasitas yang diharuskan."
"Tapi tetap saja!" ujar Nathan dengan penuh semangat. "Guru BK di sekolahku juga monoton dan nggak kreatif, Kak. Mereka cuman bisanya marah aja!"
"Memang pada intinya yang kalian keluhkan itu apa sih? Peraturan? Tugas sekolah yang menumpuk?" tanya Denok kali ini.
Andres dan Nathan mengangguk setuju dan menjawabnya bersamaan. "Iya!"
"Hm..." Denok berpikir sambil memandangi wajah kedua adiknya itu, mengetuk-ngetuk dagu dan memandang Andres dengan penuh perhatian.
Sisca masih belum bisa berbicara, bahkan dia tidak punya kuasa untuk mengatakannya.
Kehadiran Andres dan Nathan benar-benar membuat Denok semakin membaik, bahkan Denok terlihat sangat bahagia. Jadi, bagaimana bisa Sisca mengatakannya?
"Andres sebentar lagi masuk dunia perkuliahan, kan?" kali ini Denok bertanya kepada Andres.
Andres mengangguk dan memberikan potongan buah apel kepada Denok.
Denok menerimanya dan mengunyahnya secara perlahan. "Kamu sudah konsultasi sama guru BK kamu perihal persiapan masuk kampus?"
Andres menggeleng. "Belum,"
"Kenapa?"
"Guru BK nya belum kasih pengumuman kok, Kak."
"Tapi niatnya Andres mau kemana?"
"Mama maunya aku masuk ke salah satu kampus Ivy League."
Denok melirik ke arah Sisca dan Sisca tersenyum tipis. "Itu kan cuman harapan Mama, bukan berarti Mama paksa Andres. Ya, semau Andres saja masuk kampus mana pun."
"Kamu mau masuk kemana kalau ambil salah satu kampus Ivy League?" tanya Denok kepada Andres.
Andres berdeham, sambil memberikan potongan buah apel lagi kepada Denok. "Pennsylvania, atau nggak Yale."
"Berarti kamu sudah harus punya rencana ke depan." jawab Denok dengan serius layaknya dia adalah guru BK Andres, sementara itu, Andres menyimak Denok dengan sangat baik dan penuh perhatian. "... detik-detik menghadapi ujian itu sudah dipastikan kamu akan banyak tugas, sebelum persiapan masuk kampus, apa lagi di luar negeri—kamu bukan hanya harus bimbel, tapi persiapan fisik, mental apa lagi kamu akan hidup sendirian dan jauh dari Mama dan Papa kamu, pengetahuan—yang bisa jadi bekal untuk kamu hidup survive, dan finansial."
Denok menjabarkannya dengan begitu teliti. "Oke, katakan saja kamu beruntung dan nggak bergantung pada beasiswa karena Papa dan Mama memberikan akses penuh kamu untuk mendapatkan finansial yang baik, tapi kesiapan kamu untuk membangun hubungan di lingkungan baru, dan persiapan fisik yang paling penting."
Andres mengangguk, entah kenapa dia merasa beruntung bisa mengenal Denok apa lagi mengetahui bahwa perempuan yang cantiknya sama seperti Mamanya ini adalah kakaknya. Mostly, Andres tidak pernah mau mendengarkan saran dari orang lain, bahkan dari Sisca sendiri.
Itu kenapa, yang membuat Sisca diam dan tertegun melihat putrinya sendiri dengan takjub. Denok begitu dewasa, anggun, dan bisa menarik hati lawan bicaranya dengan sangat baik.
Sekelas putranya saja, Andres si keras kepala, pemarah dan memiliki sifat yang tidak pernah mau kalah saja bisa diam di hadapan Denok.
"Oke..." Andres mengangguk paham dan mengangkat bahunya. "Aku paham, paling untuk saat ini aku harus cari informasi mengenai kampus, gitu, Kak?"
Denok mengangguk. "Iya, cari infonya—gali sedalam mungkin sampai kamu menemukan mana yang bisa jadi potensi dalam diri kamu itu bangkit dan mana yang tidak."
Kali ini, Andres menatap Sisca dengan cengirannya yang jahil. "Tuh, Ma! Gimana?"
"Lho kok jadi tanya Mama? Mau kamu di UI atau IPB aja Mama nggak bakal marah." balas Sisca dengan senyum yang kecut.
Nathan tertawa meledek Sisca. "Alah, Mama... kayak nggak ingat, Mama pernah bilang sama aku, Nathan, nanti kuliah di Harvard ya biar kayak Papa, ingat nggak?"
Sisca menepuk keningnya. "Ingat, namanya orang tua itu pasti mau yang baik-baik untuk anaknya. Apa lagi kalau kamu mau kuliah di jurusan yang prospeknya bagus di masa depan."
Nathan malah menggeleng acuh. "Aku masih jauh, Ma. Tanya aja Bang Andres tuh jadinya ambil jurusan apa! Lawyer apa business?"
Andres langsung mencaplok leher Nathan dengan jari-jarinya yang besar. "Nggak usah kepo lah ya kau!"
"Hilih! Buruan sono minggat kuliah! Biar gue bebas nggak digangguin sama lo!" protes Nathan.
Andres langsung merangkul Nathan dengan lengannya yang besar dengan gemas. "Awas aja nanti lo kangen sama gue kalau gue jadi ke Yale!"
"Nggak akan—argh—Mama! Sakit bego!" teriak Nathan yang berusaha lepas dari cekalan sang Abang.
Sementara Denok ikut tertawa sambil menahan perutnya agar rasa ngilu dari jahitannya tidak terasa sakit saat dia tertawa.
Dan pada saat itu juga, Sisca angkat tangan. Dia tidak sanggup menghilangkan keceriaan yang ada di wajah putrinya.
***
"Jadi belum ada yang berani bicara sampai sekarang?" ujar Luki kepada semua orang yang ada di hadapannya.
Rajasa Amidjaja mengurut pelipisnya, sementara Sisca Moestopo yang ditemani suaminya Desmond Winarta saja ikut terdiam. Adjie dan Laksmana hanya bisa membuag napasnya dengan berat.
"Ini nggak semudah yang Mas pikirkan," kata Ariel, istri Adjie yang merasa bisa merasakan duka karena telah ditinggalkan oleh sang Ayah. "Kita semua menemani Denok sejak pagi, bahkan Tante Sisca sendiri sengaja bawa Andres dan Nathan agar bisa mencairkan suasana tadinya—tapi... nggak ada yang tega, Mas."
Luki berjalan mondar mandir, resah dan jelas dia kebingungan. Dia sendiri merasa tidak sanggup, tapi jika orang-orang yang ada di hadapannya saja tidak sanggup, lalu bagaimana dengannya? Sinting.
"Kehilangan seseorang apa lagi orang tua itu bagaikan hukuman," cetus Ariel dengan tatapan mata yang sendu, hal itu berhasil menarik perhatian Adjie hingga menggenggam tangan Ariel. "Aku pernah kehilangan Papi, dan semua hal benar-benar jadi berubah, aku kehilangan peran Papi di rumah sejak aku remaja."
"Denok tidak sedekat itu dengan Papanya kok," ujar Sisca menyahut dengan suara yang serak. "Sejak dulu, Denok itu tidak pernah dekat dengan Erlangga. Erlangga tidak pernah memberikan perhatiannya kepada Denok."
Ariel paham betul. "Terlepas dari perhatian, Denok tetap punya ikatan batin dengan mendiang Papanya, Tante. Jangankan mendiang Papanya, Tante saja pasti punya ikatan batin dengan Denok."
Luki membuang napasnya dan melepaskan dasi yang terasa mencekik. "Biar aku saja yang memberitahunya."
Rajasa mengangkat wajahnya terkejut. "Beneran kamu akan bicara kepada Denok?"
"Ya," kata Luki dengan lelah. "Siapa lagi yang masih sanggup memberitahu dia? Sudahlah, biar aku saja."
"Luki, jangan gegabah." kata Rajasa mengingatkan Luki lagi.
Luki mengangguk. "Kita semua akan beri Denok waktu untuk berduka, termasuk aku. Jadi, jangan lupakan kalau aku akan menikahi dia."
"Jangan grasa-grusu." sahut Laksmana yang merasa tidak enak hati mendengar apa yang Luki inginkan. "Pernikahan dan masa duka itu nggak bisa dijadikan satu. Perasaan sedih dan kehilangan yang Denok akan rasakan nanti tetap harus dilepaskan, dan itu tidak memiliki jangka waktu panjang atau pendek, Luki. Setiap orang berbeda."
Luki mengangguk cepat karena merasa tidak bisa membiarkan Denok merasakan perasaan sedih yang mendalam hingga berlarut-larut. "Intinya, biarkan aku memberitahu semuanya kepada Denok. Kalian semua, tunggu keadaan sampai aku mengatakan aman, okay?"
Semuanya mengangguk setuju mendengarkan apa kata Luki.
***
"Hei," Luki mencium punggung tangan Denok dan duduk di sisi ranjang.
Denok memberikan senyuman manisnya dan menatap Luki begitu lekat. "Kamu darimana aja seharian ini?" tanyanya kepada Luki.
Luki mengangkat alis sebelah dan tersenyum miring. "Kamu tunggu kedatangan aku?" tanyanya sengaja menggoda Denok.
Namun Denok malah mengangguk dan jujur. "Iya, sibuk banget ya?"
"Mengubah kamu jadi komisaris utama Media Global ya sibuk,"
Kedua mata Denok membulat seketika. "Apa?!"
"Tenang..." Luki mengusap bahu Denok dengan lembut. "Belajar sedikit-sedikit, nanti aku akan ajarkan."
"Tapi kan aku nggak—"
"Aku tahu kamu bingung, aku juga sama bingungnya. Habis Mama kandungmu yang minta kamu untuk aku bergerak cepat."
Luki memberikan tatapan hangatnya dan meminta Denok kembali berbaring. "Gimana? Lukanya masih sakit?"
"Ngilu..."
"Nanti kalau lukanya sudah kering, kita nikah ya?"
Ajakan Luki tadi berhasil membuat Denok tertawa pelan. "Aku kan sudah tanya, pemberkatannya mau di gereja mana, tapi kamu malah nggak jawab."
"Kamu maunya dimana?"
"Bebas." jawab Denok dengan kedua bahu yang terangkat. "Sebetulnya aku baru tahu ini dari Mama kamu, katanya kamu Protestan."
Luki mengulum senyumnya dan mengangguk. "Aku sudah bicarakan hal ini sama Mama, Papa dan juga Opa. Aku akan ikut kamu,"
Kedua mata Denok menatap Luki dengan tidak percaya. "Ikut aku? Tapi—maaf, maksud aku... jadi kamu... jangan... kamu harus mantapkan hati kamu kalau ingin pindah, apa lagi kalau dasarnya keterpaksaan ya jangan, kita bisa menikah sesuai gereja campuran. Tapi, kalau kamu ingin pindah, dan sudah yakin dengan keyakinan yang bakal kamu ambil nanti, aku bisa bilang sama Pastor kenalanku," ujar Denok kepada Luki.
Luki tertawa pelan. "Boleh, sekalian tanya pelatihannya berapa lama, jangan terlalu lama biar kita bisa cepat menikah."
Denok memukul lengan atas Luki dengan kesal.
Luki hampir saja lupa tujuannya datang menemui Denok untuk apa, tapi benar apa yang dikatakan oleh Sisca Moestopo, melihat Denok tersenyum seperti ini jelas menjadi suatu alasan berat kenapa Sisca tidak bisa mengatakannya. Tapi Luki tidak bisa melakukan itu semua, bagaimana pun Denok harus mengetahui kebenarannya.
"Sayang, aku mau bicara, jangan potong aku sampai aku selesai bicara okay?" Luki menyentuh kening Denok dengan telapak tangannya lalu menjatuhkan kecupan di sana."
Denok mengangguk. "Ada hal penting?"
Luki ikut mengangguk. "Ya, sangat penting."
"Kenapa?"
Luki mempersiapkan dirinya, menarik napasnya dan mencium kening Denok kembali dengan rentang waktu yang cukup lama. Menyalurkan kasih sayang yang bisa membuat Denok mengerti bahwa Luki benar-benar menyayanginya dengan tulus.
Dengan cara ini lah Luki menyayangi Denok, dan dengan cara ini juga Luki mencintai Denok. Jika kejujuran bisa membuat kisahnya lanjut menuju tahap yang lebih serius, maka Luki tidak akan meninggalkan Denok sedikit pun. Tidak ada niat buruk yang pernah dia pikirkan setelah melihat bagaimana Denok hampir meregang nyawa di hadapannya sendiri.
Terlepas dari apa yang terjadi di masa lalu antara Sisca Moestopo—Erlangga Djatiwibowo—Banuwati Gayatri, Denok hanya lah seorang anak yang tidak bersalah.
Denok tidak pernah minta dilahirkan dengan cara dan posisi yang harus dia hadapi sepanjang hidupnya. Semuanya telah berjalan sesuai takdir, dan jika kenyataan ini pun harus diketahui oleh Denok, maka Luki akan menyebutnya sebagai takdir.
Sambil menyelami kedua bola mata Denok, dan mengusap pelipis gadis itu, Luki membungkuk dan tersenyum patah. "Papa kamu meninggal empat hari yang lalu, D. Papamu meninggal karena terkena serangan jantung mendadak, serta pembuluh darah di otak yang pecah."
Setelah mengatakannya, Luki merasa lega tapi setelah melihat bagaimana ekspresi wajah gadis yang ada di bawahnya saat ini, Luki tahu hal ini adalah hal yang bisa membuat Denok terpukul.
"Mas... apa.. tadi? Apa... papaku?" suara Denok yang terbata-bata dan sangat pelan membuat Luki menahan diri lebih kuat.
Luki mengelus sisi wajah Denok dan mengangguk. "Papamu sudah tiada, saat kamu sedang berjuang antara hidup dan mati, Papamu tiada."
"Bohong!" lawan Denok mendorong tubuh Luki menjauh.
Luki menggeleng keras. "Aku nggak bohong, Om Edgar, Mamamu dan semua orang tahu tapi mereka nggak sanggup memberitahu kamu sejak kamu sadar kemarin, Sayang."
Denok kelihatan terluka dan merasa tertipu. "Bohong!" ulangnya lagi, menyangkal apa yang Luki katakan kepadanya bahwa kata-katanya adalah sebuah kebohongan. "Kamu bohong sama aku!"
Luki mengungkung Denok kembali dari atas, dan membiarkan gadis itu menarik Luki ke dalam pelukannya. Luki bisa merasakan Denok meremas lengannya sekuat tenaga gadis itu, diciumnya sisi kepala dan pelipis Denok berkali-kali oleh Luki.
"Maaf, aku gagal menjaga kamu dan Papamu, D. Maaf..." sesal Luki kepada Denok.
Denok menarik napasnya dengan amat kuat, tangisan gadis itu menjelma menjadi suara yang paling amat Luki benci, Luki berjanji bahwa ini adalah terakhir kalinya dia mendengar tangisan yang begitu menyayat hatinya karena telah kehilangan sang Ayah.
***
a/n:
Yak, inilah tingkat kebucinan Luki GUYS! Siapa nih yang tunggu-tunggu pengorbanan Luki?
Secara, Denok itu dari lahir sudah Katolik karena Erlangganya pun Katolik. Sebenarnya, kalau mau menikah (Denok Katolik) dan (Luki Protestan) pun tetap bisa, hal itu bakal disebut sebagai perkawinan campuran beda gereja. Itu pun harus disepakati oleh pendeta atau Romo begitu gais.
Kalau ada kesalahan, bantu jawab aja ya di sini penjelasannya.
Biasanya, kalau pindah Katolik harus ada katekisasi biasanya satu tahun pelatihan begitu buat memantapkan diri benar nggak mau mengenal ajaran Katolik. Terus sambil memantapkan iman, biasanya memang dalam satu tahun itu harus tetap didampingi sama pasangan.
Kalau sudah diundang jadi Katolik akan ada proses katekumen, yang berarti bakal ada baptis dewasa juga. Jadi, secara harfiah nanti Luki di baptis secara Katolik.
Hehe.
Begitu lah...
Btw, cerita perpindahan agama ini adalah kisah nyata dari pasangan yang aku jadikan sebagai sumber informasi.
Aku nggak mau ada yang tersinggung atau merasa tidak nyaman membaca ceritaku. Semua agama itu indah, dan semuanya memberikan kedamaian. Kalau semua agama itu baik, dan semuanya membuat kita menjadi dekat dengan Tuhan.
Semoga, semua pembacaku yang baca cerita Denok dan Luki ini bisa menikmati segala kehidupan dengan tenang, entah itu kehidupan sosial, ataupun dalam beragama, saling menghormati, dan saling memberikan ketenangan ketika semua agama sedang beribadah, seperti saat ini hari raya Natal.
Pokoknya BHINNEKA TUNGGAL IKA!
Hehehe....
p.s: btw part ke depan nantinya bakal masih sedih nih, masih masa berkabungnya Papa Erlangga Djatiwibowo.
25, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro