Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43. Perginya sang pelindung

Denok merasa amat asing dengan tempat yang ada di sekitarnya. Diantara semua taman yang pernah dia kunjungi, ini bukanlah taman rumahnya. Tidak ada siapa-siapa, tapi beberapa pohon kamboja yang cantik itu tengah bermekaran cantik.

Tidak panas, meskipun matahari begitu terik ada di atas kepalanya, Denok tidak merasa kepanasan sama sekali. Biasanya, Bi Siti asisten rumahnya akan memaksa Denok untuk memakai topi di kepalanya.

Oh ya, Denok kan tengah menunggu seseorang yang akan datang kepadanya siang ini.

Denok menunduk mengayunkan kedua kakinya yang terlihat kecil, ukuran sepatunya seperti ukuran anak TK. Apa dia kembali menjadi anak kecil lagi? Wah... Denok berdecak kagum ketika dia sadar bahwa dia memang masih anak kecil.

Jari-jari tangannya bahkan kecil dan sedikit gemuk, Denok selalu mengemut salah satunya, tapi ketika dia hendak melakukannya Denok ingat kalau kata Bi Siti, tangannya kotor.

Oke, kalau begitu Denok tidak akan mengemutnya hari ini.

Sambil bersenandung lagu yang selalu dia dengarkan, Denok tersenyum melihat satu mobil hitam yang familiar menuju ke arahnya.

"Wah! Papa pulang!" sambut Denok turun dari tempat duduknya.

Denok merapikan gaunnya yang naik dan berdiri sambil menggoyangkan tubuhnya. Tapi Denok kembali ingat, Papanya pasti akan marah kalau tahu Denok main ke taman sendirian. Apa lagi, Papanya itu jarang berbicara kepadanya, bahkan jarang menemaninya tidur.

Ya, Papanya pasti akan marah.

Karena tahu bagaimana sikap Papanya, Denok mengurungkan niatnya untuk menyambut Papanya, dia pikir lain kali saja.

Baru saja Denok memutarkan tubuhnya dan akan kembali ke rumahnya, tiba-tiba Papanya memanggil namanya.

"Denok!"

Suara Papanya tidak terdengar marah, bahkan terdengar ramah dan ceria. Mendengar itu, Denok kembali memutar tubuhnya. "Papa?"

Papanya mengangguk dan melambaikan tangannya kepada Denok. "Sini! Lihat Papa bawa apa!"

Papanya mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya, tumben sekali padahal Papanya jarang memberikan hadiah secara langsung. Barang-barang yang Denok miliki di kamarnya itu memang pemberian Papanya, tapi Papanya itu misterius, selalu memberikan barang tanpa Denok ketahui.

Denok melangkah kecil mendekati Papanya dan melihat satu boneka dengan rambut piringnya yang berwarna emas dan kaus pink yang Papanya berikan kepadanya.

"Lihat ini, Papa bawa boneka ini biar bisa jadi teman Denok." kata Papanya sambil tersenyum.

Denok bersumpah ini pertama kalinya bagi Denok melihat Papanya tersenyum. "Buat aku?" tanya Denok lagi.

Papanya mengangguk. "Iya, simpan ini."

Denok menerimanya dan memeluk boneka itu. Rambutnya sangat halus dan lembut, wajahnya cantik, dan Denok penasaran kenapa dia tidak memiliki mata secantik boneka ini?

"Terima kasih Papa." ucap Denok sambil memandangi kedua mata hitam Papanya yang hari ini banyak tersenyum.

"Sama-sama, anaknya Papa..." Papanya mengusap puncak kepala Denok dan ini juga pertama kalinya bagi Denok merasakan sentuhan Papanya secara langsung. "Sekarang, Denok sudah ada teman yang akan menjaga Denok. Jadi, kalau Papa kerja dan nggak pulang, jangan tunggu Papa lagi ya, Sayang?"

"Papa nggak akan pulang?" tanya Denok kebingungan.

"Nggak, Papa akan sibuk nantinya."

"Sibuk itu apa Papa?"

"Sibuk itu, ketika kita nggak punya waktu untuk melakukan hal lain, tapi... tenang saja, sekarang kamu sudah ada teman."

Denok memandangi boneka cantik yang dia peluk. "Apa dia punya nama Papa?"

"Kamu mau memberikan dia nama?" tanya Papanya balik.

Denok mengangguk. "Papa saja yang kasih nama,"

"Oke..." Papanya menepuk puncak kepala Denok dengan lembut. "Nama boneka ini, Sisca."

"Sisca?" ujar Denok dengan kedua mata berbinar.

Papanya mengangguk cepat dan tersenyum senang ketika mengucapkan nama itu. "Ya, Sisca. Cantik kan, namanya?"

Denok terpukau dan mengangguk setuju, lalu dia mengulang nama itu dan mengusapnya secara perlahan. "Sisca,"

"Nanti kita ketemu lagi ya, Putrinya Papa." Papanya mencium kening dan pipi kanan Denok yang merah.

Denok mengangguk. "Papa pergi kerja lagi?"

"Iya, nanti kalau sudah waktunya kita berdua akan bertemu lagi."

Denok mengangguk lagi, dia setuju karena apa yang Bi Siti bilang kalau Denok harus jadi anak yang baik. "Oke, nanti kita ketemu lagi ya Papa!"

Setelah perpisahan itu, dan hadiah yang Papanya berikan, Denok melihat kepergian Papanya dan melambaikan tangannya. Biasanya, Denok akan berlari dari kamar dan melihat dari jendela ketika Papanya pergi kerja, tapi kali ini berbeda.

Dan hadiah dari Papanya, Sisca yang akan menemaninya kali ini Denok peluk dengan begitu erat, dan tidak akan Denok lepaskan.

Untuk pertama kalinya, Denok tahu kalau ternyata Papanya juga sangat menyayanginya.

***

Setelah mengurus pemakaman Erlangga Djatiwibowo, Luki kembali ke rumah sakit dan melihat sang Mama, Ruth menarik lengannya dengan raut wajah khawatir menuju ke ruang rawat Denok.

Tadi, Sisca Moestopo meminta Luki untuk membuka rapat penting siang ini kepada seluruh board members bahwa PT Media Global Tbk, sudah dipastikan menjadi bagian anak perusahaan Amidjaja Group.

Meskipun begitu, Luki tetap tidak tenang kalau tidak menjenguk Denok pagi ini. Tapi, tatapan semua orang kepadanya membuat Luki penasaran.

"Kenapa, Ma?" tanya Luki kepada Ruth.

Ruth mengusap matanya yang basah. "Denok sadar,"

Luki tak bisa menahan rasa harunya lagi, dia lantas masuk melewati keluarganya yang melihat keadaan Denok siang ini, jujur Luki frustrasi karena tiga hari kemarin adalah hari yang panjang baginya menunggu Denok untuk terbangun.

Ditambah lagi, duka yang tengah ada dan bahkan menunggu untuk Denok ketahui, Luki tak sampai hati untuk memberitahu gadisnya kalau sang Papa telah tiada.

Mendekati ranjang itu, Denok membuka kelopak matanya dan menyambut kedatangan Luki. Gadis itu masih lemah, tapi Luki bisa merasa tenang setelah melihat cahaya yang ada pada kedua mata Denok. Luka tembak itu membuat Denok kehilangan banyak darah, entah kapan Luki akan siap memberitahu Denok bahwa sang Papa telah tiada.

"You okay?" bisik Luki di sisi kepala kanan Denok, sambil mengusap kening gadis itu dan menciumnya. "Ada yang sakit? Tell me,"

Denok menggeleng, dan tersenyum tipis. "Dia masih lemas," ujar Laksmana memberitahu Luki. "Dalam beberapa hari ke depan pasti akan membaik."

"Perbannya sudah diganti?"

"Sudah,"

Luki mengangguk sekilas dan merasa tenang. "Gue harus ke kantor siang ini, titip Denok." kata Luki kepada Laksmana.

Adjie tersenyum mendengarnya, sementara Laksmana mengangguk menerima permintaan dari sepupunya itu. Meskipun dia masih tetap memiliki rasa pada Denok, Laksmana tahu bahwa Denok dan Luki sudah saling berbalas perasaan satu sama lain, dan Laksmana sadar bahwa dia tidak akan mengganggu hubungan sepupu tertuanya itu.

"Tha," kata Luki kepada Martha. "Ikut gue ke kantor."

Martha mengangguk. Sementara Luki dan Martha pergi, Adjie dan Ariel bersama Ruth menemani Denok. Adjie hanya merasa... kasihan, bagaimana jika nantinya Denok bangun, dan gadis itu tahu bahwa dia sudah kehilangan Papa. Akan sehancur apa hati Denok?

"Gue nggak bakalan tega buat kasih tahu dia soal Papanya." gumam Adjie dengan wajah sendu.

Laksmana mengangguk setuju. Dia pun tahu, apa yang akan diberitahukan nanti bisa membuat keadaan psikis Denok memburuk. Belum lagi, hubungannya dengan Banuwati Gayatri, yang selama ini Denok anggap sebagai ibunya saja bahkan mencelakainya.

Terlepas dari apa yang sudah Denok alami, Laksmana tahu bahwa belum genap usia Denok dua puluh tiga tapi dia sudah banyak mengalami hal yang begitu menyakitkan.

"Kita tunggu dia sampai siap untuk dengar semuanya, kasih tahu secara pelan-pelan."

Ariel mengusap pelipis Denok dan menyalurkan kasih sayang bak seorang kakak pada adiknya sendiri. "Gue juga merasakan Djie, gimana rasanya kehilangan seorang Ayah. Itu sangat berat, nggak sekali dua kali gue nangis, dan satu hal yang buat gue percaya Papi sudah nggak ada ketika—gue berusaha memanggil Papi tapi Papi nggak pernah nyaut panggilan gue."

Adjie tahu bahwa Ariel sudah lama kehilangan seorang ayah, mungkin dengan adanya keberadaan Ariel bisa membantu Denok. "Tolong bantu dia, Riel. Seenggaknya, buat dia tahu dan menerima keadaan, meskipun sulit."

Ariel mengangguk kepada suaminya itu. "Ya, gue akan coba."

***

Edgar Djatiwibowo, menghela napas sekalian kali setelah mendengarkan keputusan Luki Amidjaja yang mengambil alih Djatiwibowo Group. Kematian kakaknya sudah membuat gempar, apa lagi keterangan yang Sisca Moestopo lakukan.

Semuanya memang terjadi secara cepat dan mendadak, keponakannya bahkan terluka dan belum pulih sepenuhnya. Kekhawatiran Edgar saat ini bukan kekhawatiran belaka saja, dia ingin memastikan Denok mendapatkan kehidupan yang layak.

Pria yang sedang Edgar lihat kini adalah, seorang pemimpin, penerus keturunan Amidjaja yang katanya digadang-gadangkan akan membuat nama Amidjaja kian melambung tinggi, hal itu dibuktikan sejak Luki Amidjaja yang mengambil alih kepemimpinan.

Bahkan, ayahnya saja Gianjar Amidjaja tidak sehebat Luki Amidjaja. Edgar tahu dia akan mendapatkan kebencian setelah ini dari keponakannya jika dia tahu, Edgar tidak berhasil dan tidak menjaga Papanya dengan baik.

Buktinya, Erlangga Djatiwibowo telah tiada, dan apa yang keponakannya harapkan sejauh ini kalau bukan kesembuhan Papanya sendiri?

"PT Media Global Tbk sudah dibalik nama menjadi Denok Kanara Djatiwibowo," ujar Luki mendekat ke arah Edgar dan duduk di samping Edgar. "Saya sudah rencanakan jika Denok akan menjadi komisaris utama Media Global."

Stasiun televisi Media Global menjadi stasiun swasta yang disiarkan secara nasional. Dan saluran Media Global akan aktif minggu depan, itu artinya memang semuanya akan berjalan sangat cepat seperti apa yang Edgar pikirkan sejak tadi.

"Luki, kamu tahu kalau Denok bahkan belum mengetahui kalau Papanya sudah tiada, kenapa kamu memutuskannya begitu cepat?" protes Edgar dengan nada bicara yang sendu.

Luki mengangguk, dan Luki juga tahu apa yang jadi kekhawatirannya sejak tadi. "Saya tidak akan meninggalkannya, sebisa mungkin saya akan membuatnya mengerti."

"Kehilangan bukan hal yang sepele, Luki."

"Saya tahu, Om. Jika saya bisa, saya akan menikahinya dan membuat Denok menjadi istri saya secepatnya. Tapi saya sadar, saya tidak bisa berlaku seenaknya kepada Denok disaat genting seperti ini."

Edgar menarik napasnya dengan begitu dalam. "Jangan bicarakan apa pun kepada Denok, biarkan itu menjadi tugas Sisca saja."

Luki terdiam, namun Edgar kembali menambahi. "... ini semua urusan keluarga, bukan Om tidak mengizinkan kamu untuk berbicara, tapi untuk saat ini memang hanya ada Sisca dan Denok, sebagai dua orang yang berpengaruh dalam kehidupan Erlangga, kakak saya."

"Dan Denok akan sedih," gumam Luki dengan mata yang lelah.

Edgar mengangguk. "Sedih pasti akan menjadi konsekuensi, Denok anak psikologi dia pasti mengerti apa makna dari kehilangan orang yang dia kasihi. Kamu hanya perlu berada di sampingnya dan menguatkan Denok."

"Saya tahu,"

"Baguslah."

"Akan jadi lebih lama dari yang saya pikirkan." Luki mengurut pelipisnya, rencananya yang sudah dia susun dengan matang akhirnya bubar. "Saya tidak akan mungkin menikahi dia tahun ini."

Edgar sebenarnya tidak setuju, bahkan jika bisa Denok menikah cepat, tapi Edgar tahu, semuanya tidak akan bisa sesuai dengan apa yang ia harapkan. "Setidaknya, Denok masih muda. Dia juga perlu mendewasakan diri, atas semua hal yang terjadi sama dia. Keponakan saya itu, kehidupannya sudah berubah drastis, bayangkan tekanan mental mana lagi yang harus dia hadapi?"

"Saya tidak akan membuatnya sedih, Om." kata Luki kepada Edgar dengan sungguh-sungguh.

Edgar menepuk bahu Luki dan mengangguk setuju. "Pegang ucapanmu, seumur hidupmu. Karena saya tidak bisa melihat ke depan bagaimana dan apa yang akan terjadi jika Denok tidak bersama dengan kamu, Luki. Semua keputusan ada di tangan kamu. Mencintainya, akan jadi urusan kamu, menjaganya akan menjadi prioritas kamu, jadi... selagi semua itu belum terlalu jauh dan Denok membutuhkan recovery yang panjang, saya sarankan kamu juga matangkan hati dan pikiran kamu untuk Denok."

Luki melihat tatapan tegas dan penyayangnya Edgar Djatiwibowo kepada sang keponakan. "Karena saya, tidak akan menerima hal buruk di masa depan nanti jika kamu menikahi Denok. Jika sampai ada perceraian, saya akan memastikan hidup kamu tidak tenang. Jangan khianati dia, jangan sakiti dia, dan jangan marahi dia." kata Edgar dengan lantang memberikan syarat kepada Luki. "Jika dia salah sekalipun, dan dia membuatmu marah, kembalikan dia kepada saya—dan saya akan memastikan kamu bisa bebas dari Denok."

Tidak, Luki yakin dia tidak akan melakukan hal-hal yang Edgar katakan tadi kepadanya.

Maka dari itu, Luki mengangguk tanpa keraguan dan menantang Edgar dengan percaya diri bahwa dia bisa menjadi apa yang Edgar harapkan untuk ke depannya. "Denok akan aman selama dia ada di sisi saya. Saya yang akan menjamin semua itu kepada Om."

***

a/n:

Gimana hari Natal kalian yang merayakan? Semoga, kita semua mendapatkan kemuliaan di hari yang baik ini.

By the way, minggu depan kayaknya cerita Denok bakalan selesai hahahahaha. Nggak kerasa, dari bulan November cerita Denok berjalan.

Pokoknya tetap pantau yaaa! Kasih vote dan komen juga, give away bakal aku kasih setelah cerita Denok dan Luki tamat.

lagi gak pake meme Twitter dulu yak.

25, Desember 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro