Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42. Tangisan seorang pria

Edgar Djatiwibowo tidak bisa menahan dirinya setelah mendengarkan apa yang sudah terjadi kepada keponakannya. Kedatangan Banuwati Gayatri benar-benar tidak bisa ditebak, wanita gila itu sudah tidak tahu malu meninggalkan kakaknya begitu saja, sekarang datang membawa celaka pada keponakannya?

Sisca Moestopo sudah menangis dan jatuh luruh di atas lantai ketika mendengar Denok terkena tembakan, sementara Luki Amidjaja terlihat kacau. Untungnya, Laksmana Amidjaja sepupu Luki, dapat menangani dan membantu keselamatan Denok dengan cepat.

Meskipun belum diketahui bagaimana hasilnya karena kini Denok tengah berada di dalam ruang operasi.

Desmond Winarta tidak henti-hentinya memberikan kata-kata semangat pada istrinya sendiri yang tidak berdaya menangisi putrinya, Rajasa Amidjaja sudah mengamuk besar dan meminta kepada Gana beserta tim untuk mengurus Banuwati Gayatri secepatnya agar dijebloskan ke dalam penjara.

Sementara itu, Luki melihat kedua tangannya yang dihiasi oleh lumuran darah Denok, tadi... bagaimana pun Luki berusaha keras menekan luka tembak Denok, darah gadis itu tetap tidak berhenti dari luka yang ada di bagian perutnya.

Luki belum pernah merasa setakut ini, dia ingat bahwa dia bahkan belum pernah benar-bener memberikan hal terbaik kepada Denok. Selama ini, hubungan yang dia jalani dengan Denok jauh di kata sempurna, dan gadis itu harusnya mendapatkan yang lebih baik dari apa yang bisa Luki berikan.

Luki juga tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Denok pergi... tidak, Luki menggelengkan kepalanya cepat dan menarik napasnya dengan kuat demi mengusir kata-kata gila yang sempat ada di otaknya tadi.

Denok tidak akan kemana-mana, Luki sudah berjanji akan menikahi gadis itu.

Adjie merasa menyesal melihat bagaimana kusutnya wajah sang sepupu yang tengah menyesali keadaan, bahkan jauh dari kata itu semua, Adjie pun itu menyesal karena dia telat menolong Denok. Andaikan dia membawa Denok dengan cepat keluar dari ruangan.

Laksmana keluar dari ruang operasi bersama perawat senior yang berjalan di sisinya dengan tergesa-gesa, di dalam ruang operasi sana masih ada dokter spesialis bedah yang bertanggung jawab atas operasi Denok.

"Laksmana, gimana keadaan di dalam?" tanya Adjie menyadari kedatangan Laksmana.

Luki, Edgar, Sisca, Desmond serta Rajasa mendekati Laksmana dan ingin tahu bagaimana keadaan yang tengah terjadi saat ini.

Semuanya, tengah berharap hal baik datang kepada mereka. Barangkali, keajaiban Tuhan tengah berada bersama mereka saat ini.

"Peluru berhasil dikeluarkan,"

Kalimat yang Laksmana ucapkan berhasil membuat semua orang menghela napasnya dengan lega. "Pendarahan tadi cukup banyak, dan peluru bersarang cukup dalam hingga menebus jaringan yang ada pada usus. Karena terjadi robekan pada ususnya, kami bersama Tim di dalam berusaha untuk memotong robekan yang besar itu dan menjahitnya ulang menjadikan satu bagian kembali."

Sisca menangis lagi, dia menggeleng tidak kuat menahan apa yang baru saja dia dengar. "Tante... tenang ya, kalian semua harus berdoa dan tetap tenang." pinta Laksmana kini sebagai keluarga. "Kalau aku terdengar sedikit memaksa, maka aku akan mengatakan; ya, aku memaksa kalian untuk tenang dan kuat di saat kondisi seperti ini. Karena dengan begitu lah, doa kalian bisa menyelamatkan Denok."

"How her body?" tanya Luki dengan gugup kepada Laskmana. "It is okay?"

Laksmana mengangguk. "Tubuh Denok bereaksi cukup baik terhadap peluru itu, tubuh tentu saja akan berusaha semaksimal mungkin untuk menutup luka, sistem kontraksi yang dirasakan karena rasa sakit yang Denok alami tadi dapat mengkompensasi segalanya." lalu Laksmana beralih kepada Edgar dan Sisca. "Ada yang tahu golongan darah Denok? Kita harus daftarkan pada bank darah untuk mendapatkan transfusi. Berapa yang kita butuhkan Sus?" tanya Laksmana kepada perawat yang ada di sisinya.

"Tiga labu, saya akan lari ke bank darah sekarang setelah tahu golongan darahnya."

Sisca mengangguk dan menghapus air matanya. "AB Rhesus positif," jawab Sisca dan Edgar bersamaan.

Perawat itu mengangguk kepada Laksmana dan pamit kepada semuanya dan segera berlari menuju bank darah.

Luki meraih bahu Laksmana dan sekali lagi bertanya. "Is she okay? Kenapa? Apa dia kehilangan banyak darah?"

"Ya," balas Laksmana dengan jujur sambil menatap kedua mata sepupunya yang begitu ketakutan. "Kita semua sedang berusaha agar menjaga Denok agar jauh dari syok, solusi lain kita akan berikan cairan tambahan dari luar—"

"DOKTER LAKSMANA! PASIEN MENGALAMI PENURUNAN KESADARAN!" teriak salah satu perawat OK yang kini tengah berdiri di lawang pintu operasi.

Laksmana mendesis kesal dan berlari meninggalkan seluruh keluarganya yang tengah mendengarkan penjelasannya tadi. Karena Laksmana baru saja keluar dari zona steril maka dia kembali melakukan sterilisasi ulang dan masuk ke dalam ruang OK.

Luki menjambak rambutnya dengan keras, apa yang dia takuti dan Laksmana takuti tadi malah kejadian. Sementara itu Rajasa hanya bisa menguatkan Luki dengan keberadaannya kali ini.

"Luki, it's okay everything is will be fine..." ujar Rajasa meremas bahu Luki.

Pada saat itu juga, Luki menyatukan kedua tangannya memejamkan matanya dengan begitu kuat dan memanggil nama Tuhan dalam batinnya dengan teriakan yang tidak akan bisa didengarkan oleh manusia, tapi teriakan Luki pasti bisa didengarkan oleh Tuhan.

Dan pada saat itu juga Adjie sadar, bahwasanya tidak ada kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan Tuhan disaat seperti ini.

***

"Kita harus bergerak cepat," gumam Rajasa kepada ketiga cucunya.

Luki diam dan tidak bersuara sejak tadi, sementara Adjie pun tidak pernah meninggalkan Luki sebab dia khawatir sepupunya bisa menggila kapan saja, Laksmana adalah pion utama yang bisa mengetahui kondisi terkini Denok.

"Disaat seperti ini aku heran karena kenapa Opa malah memikirkan hal yang tidak perlu?" tanya Laksmana sedikit kesal kepada Opanya.

Rajasa tahu bahwa dia akan mendapatkan kecaman, tapi pemindahan seluruh kekuasaan PT Media Global Tbk belum selesai semuanya, bahkan Djatiwibowo saja yang sudah rampung kini mulai dipertanyakan oleh publik kemana hilangnya sang pemimpin.

Erlangga Djatiwibowo masih terbaring sakit, pria itu bahkan belum tahu kalau putrinya sendiri tengah berjuang untuk nyawanya sendiri.

"Keberadaan Denok sudah diketahui oleh semua orang, Laksmana." balas Rajasa kali ini memberitahu apa yang ia khawatirkan. "Sisca Moestopo memiliki konflik dengan keluarganya sendiri, itu sebabnya dia ingin mempercepat pemindahan kekuasaan agar berpusat di Jakarta."

"Apa hubungannya?" kening Laksmana berkerut tidak mengerti dengan apa yang Opanya katakan lagi.

Rajasa menghela napasnya dengan cukup berat. "Apa lagi kalau bukan konflik antar saudara? Keberadaan Denok sudah diketahui, itu artinya adik dari Sisca Moestopo bisa saja berseliweran di rumah sakit ini, Laksmana. Kita harus perketat penjagaan untuk Denok."

Luki menyisir rambutnya dengan frustrasi dan memejamkan matanya lelah. "Aku tidak akan kemana-mana Opa." katanya kepada Rajasa. "Malam ini aku akan tidur di kamar Denok," lalu Luki beralih menatap Laksmana. "Kiranya, kapan Denok bisa sadar, Laks?"

"Recovery setiap pasien berbeda, ada yang cepat dan ada yang lambat." jawabnya sebagai dokter yang menganalisis dan berpengalaman. "Tubuh Denok butuh istirahat, keadaannya membaik, tanda-tanda vital selalu dipantau setiap jam, Denok nggak dianjurkan masuk ke ruang ICU karena Tante Sisca yang minta agar Denok dapat ruangan sendiri, semoga saja dengan begitu Denok bisa pulih dengan cepat."

"Sudah lebih dari dua puluh empat jam," gumam Luki lagi, demi Tuhan kepala Luki sakit seharian ini, Mamanya datang dan membawakan makanan serta pakaian ganti untuk Luki tapi Luki sama sekali tidak bisa menikmatinya.

Adjie menepuk bahu Luki dan menyemangati Luki. "Sana lo masuk kamar Denok, nanti jaganya gantian, biar lo bisa tidur."

Luki mengangguk. "Thanks,"

Akhirnya, Luki memutuskan untuk masuk ke dalam ruang perawatan Denok, berbagai alat yang menempel di setiap tubuh gadis itu membuat Luki sulit untuk bernapas dengan bebas, meskipun Denok tidak membutuhkan alat bantuan napas yang berat seperti ventilator, tapi tetap saja... oksigen yang membantu pernapasan itu tetap membuat Luki berpikir bahwa Denok memang sedang tidak baik-baik saja.

Setelah mencuci tangannya, Luki membawa satu wadah berisikan air hangat dan sapu tangan yang dia bawa menuju sisi ranjang.

Telapak tangan Denok begitu kering, kasar dan dingin, Luki tidak suka melihatnya. Itu kenapa dia membasahi telapak tangan Denok, membersihkan sela-sela jarinya yang ternyata masih tersisa akan darah milik Denok sendiri.

Luki hampir saja menangis kembali ketika tahu bahwa darah-darah itu adalah bukti bahwa Denok memang berjuang untuk dirinya sendiri.

"Sudah bersih," kata Luki berbicara sendiri berharap Denok bisa mendengarnya. "Aku kasih handcream ya, biar tangan kamu lembab. Oh ya, hampir saja aku lupa, tadi aku sudah telepon Abby dan Ben temanmu, besok pagi mereka akan ke sini."

Setelah memastikan tangan Denok lembab dan wangi karena handcream yang dia berikan, Luki mencium punggung tangan Denok yang tidak terpasang infus. "Cepat bangun ya, tidurnya jangan lama-lama, nanti aku kangen..."

Jari-jari Luki naik ke wajah dan mengelus kedua alis lebat Denok bergantian. "Aku baru sadar kalau alis kamu setebal ini, lihatnya kayak ulat bulu, tapi nggak heran—sejak pertama kali bertemu aja kamu memang sudah secantik itu."

Luki tersenyum dan menunduk kala mengingat pertemuannya dengan Denok, satu jam acara pertunangan itu belum dimulai.

Denok mengamuk sendiri kepada gaun yang dia pakai karena terlalu panjang, bahkan Luki melihat Denok yang tengah menggerutu kepada layar ponselnya sendiri.

Tapi Denok yang pertama kali dia lihat itu adalah Denok yang sempurna hingga membuat Luki tak yakin apa dia benar-benar akan bertunangan dengan gadis cantik itu apa tidak.

"Kata Abby, kamu punya kebiasaan sebelum tidur. Aku baru tahu," Luki mengambil satu sisir panjang yang Mamanya baru saja beli tadi. "Kamu suka sisir rambut kamu sebelum tidur, ya udah... sekarang biar aku yang sisir rambut kamu deh," Luki terkekeh sendiri karena menyadari kalau rambut Denok memang cepat panjang. "... udah panjang lagi rambutmu, tapi kenapa makin kelihatan cantik sih? Nggak salah kamu dikasih rambut lurus, panjang hitam sama Tuhan begini."

Karena kegiatan yang baru saja dia lakukan juga, Luki tidak bisa menahan diri untuk mencium puncak kepala Denok dan mengucapkan beberapa kalimat doa di sana. "Kalau kamu besok bangun, aku bakal kasih hadiah." Luki mengatakan itu semua dengan ringan seolah Denok adalah anak kecil yang akan tergiur dengan apa yang dia katakan kepada tunangannya itu.

Tanpa Luki sadari, dia sudah menjadi pria lemah karena menyayangi Denok. Luki tahu dia tidak bisa putar balik ke arah mana pun kali ini.

***

Erlangga Djatiwibowo meninggal dunia.

Seperti kedukaan yang tidak sudah-sudah, Sisca Moestopo merasa dirinya benar-benar mati berdiri ketika mendengarkan bahwa pria yang dia cintai itu sudah tiada.

Edgar Djatiwibowo melakukan penerbangan pribadi dengan jet yang Luki pinjamkan untuk mengantarkan pria itu, sementara Luki tidak bisa kemana-mana karena dia enggan meninggalkan Denok barang sejenak pun.

Rajasa mengurut pelipisnya dan tidak bisa menahan perasaan sedih dalam dirinya karena nasib yang Denok sedang terima saat ini. Gadis itu bahkan tidak pernah membuat siapa pun kecewa tapi Tuhan benar-benar memberikan ujian kepadanya dengan cara yang luar biasa.

Bagaimana mereka menjelaskannya kepada Denok nanti jika gadis itu terbangun? Bagaimana sedihnya gadis itu ketika tahu sang Papa pun malah pergi meninggalkannya?

Akhirnya Sisca tahu bahwa kehilangan sejati yang dia rasakan bukan lagi ketika Erlangga meminta berpisah dengannya, tapi ketika Erlangga benar-benar meninggalkannya tanpa pamit.

Pria itu sepertinya marah kepadanya, atau mungkin kecewa? Ya, sepertinya Erlangga kecewa padanya karena Sisca tidak bisa menjaga putrinya. Ya, Sisca yakin Erlangga marah kepadanya hingga meninggalkannya seperti ini.

Dokter yang merawat Erlangga mengatakan bahwa ada pembuluh darah di otak Erlangga yang pecah tanpa diketahui, dan lagi... Erlangga mengalami henti jantung selama beberapa saat yang membuat pria itu mengalami penurunan kondisi tubuh.

"Dia benci aku, Pa..." gumam Sisca dengan suara bergetar. "Denok celaka, dan dia pergi meninggalkan dunia ini tanpa pamit—bahkan, Denok pun belum tahu kalau—semua ini—astaga..."

Desmond memeluk Sisca dan mengucapkan banyak kalimat positif agar istrinya berhenti menyalahkan dirinya sendiri. "Ini bukan salah kamu, Ma.. sama sekali bukan,"

"Erlangga... benci aku, dia... marah sama aku,"

"No," geleng Desmond dengan tegas. "Erlangga pulang lebih dulu karena Tuhan sudah menunggunya, dia tidak marah kepada kamu, Ma, kamu salah menilai Erlangga seperti itu. Dia cinta kamu, Ma."

Sisca menangis di pelukan Desmond, putrinya belum terbangun dan pria yang dia cintai sudah pergi dari dunia ini. "Aku sudah beri janji sama dia, kalau dia sembuh aku bakal kasih dia kesempatan, Pa."

Desmond tersenyum dengan bijak. "Kamu sudah melakukan hal yang benar, kamu sudah memberikan motivasi agar Erlangga terus berjuang."

"Tapi bagaimana nanti Denok..."

"She's my daughter too," Desmond meraih wajah istrinya dan menghapus air mata Sisca. "Tidak mungkin aku mengabaikan dia, Ma. Kebahagiaan Denok juga sudah menjadi urusanku."

Sisca tidak bisa berpikir untuk saat ini, yang dia inginkan adalah Denok cepat sadar dan Sisca akan meminta maaf secepatnya kepada putrinya, atas kematian Erlangga dan semua nasib buruk yang pernah putrinya rasakan.

Semua ini karena salahnya.

Jika saja, dulu... Sisca berani memperjuangkan haknya, dan meninggalkan dunia entertainment yang sudah membesarkannya, mungkin sampai saat ini dia bisa masih akan menjadi istri Erlangga tidak peduli bahwa dia menjadi istri simpanan sekalipun, asalkan Sisca bisa bersama Denok dan memberikan kebahagiaan kepada gadis itu.

Tapi penyesalan adalah penyesalan. Di sampingnya saat ini, ada pria yang selalu Sisca hormati sebagai suaminya yang tidak pernah meminta agar Sisca membuang perasaannya untuk Erlangga, pria yang menerima semua kekurangannya, dan pria ini juga yang telah memberikannya dua putra yang begitu menyayangi dirinya.

Tapi... siapa yang akan bertanggung jawab atas kehilangan yang putrinya rasakan nanti? Siapa...

***

a/n:

Selamat hari raya Natal bagi yang merayakan! Maaf nih, updatenya kemaleman, jalan macet banget...

p.s: RIP PAPA ERLANGGA DJATIWIBOWO.

24, Desember 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro