41. Tanpa perlu naik ke puncak
Sisca Moestopo Istri Dari Desmond Winarta Ketua DPR Memiliki Anak Di Luar Pernikahan.
- Indonesia News TV
Skandal Miliki Anak Sebelum Menikah Dengan Desmond Winarta, Erlangga Djatiwibowo Adalah Mantan Kekasih Sisca Moestopo.
- ABC News
Desmond Winarta Terkena Imbas Pertanyaan Wartawan Yang Hadir Di Gedung DPR Hari Ini.
- Liputan Terkini
Anak Di Luar Nikah Sisca Moestopo dan Erlangga Djatiwibowo Adalah Tunangan Dari Salah Satu Cucu Rajasa Amidjaja.
- Gossip Girl
Sekuat Apa Hubungan Djatiwibowo Dan Amidjaja Group, Intip Anak Di Luar Nikah Sisca Moestopo Yang Menjadi Tunangan Konglomerat Indonesia.
- Kabarkabari
Denok tidak bisa berangkat bekerja di sekolah Yayasan Hartanto setelah membaca berita pagi ini. Dia diberitahu oleh Abby untuk mengunci pagar rumahnya, dan jangan keluar dari rumah.
Luki langsung datang bersama Koentoeadjie dan istrinya, Ariel Tjahjawulan yang menemaninya pagi ini. Sisca Moestopo, Mamanya meneleponnya tadi pagi dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Jujur, ini pertama kalinya bagi Denok. Apa setelah ini dia tidak akan bisa sebebas dulu? Bagaimana dengan citra keluarga Amidjaja yang ikut terkena imbasnya kabar ini? Siapa yang telah membocorkan kabar ini ke publik?
"Sudah sarapan, De?" tanya Ariel kepada Denok.
Wanita bule itu terlihat sangat cantik seperti Barbie hidup ketika menyapa Denok dan duduk di sisinya. Ya, kalau dihitung-hitung pantas saja sekelas Koentoeadjie menikahinya. "Belum, Mbak. Mbak sudah sarapan? Aku minta buatkan makanan sama Bi Siti deh, kalian mau apa—"
"Oh untunglah..." desah Adjie sambil mengusap dadanya kelihatan lega. "Dari tadi kamu nggak bicara dan diam saja, aku takutnya kamu kenapa-napa, De."
Ariel yang ada di sisinya ikut membenarkan. "Jangan dipikirkan, hal seperti ini sudah biasa. Opa lagi berusaha tutup portal berita dan kasih keputusan bakal ada konferensi pers dari pihak Mamamu,"
Denok menarik napasnya dan mengangguk. "Saham perusahaan kalian aman, kan?" tanya Denok khawatir.
Adjie malah tertawa mendengarnya. "Kalau soal saham, nggak akan terganggu. Jangan pikirkan apa pun, ada Luki dan Martha yang bisa handle."
"Jadi..." Denok mengerjap perlahan. "Saham perusahaan kalian beneran turun?"
"Nggak, De..." Ariel menepuk bahu Denok. "Kalau pun turun keluarga Amidjaja masih bisa membayar kerugian."
"Tapi tetap saja..."
Entah kenapa baru kali ini Denok menyadari bahwa keberadaannya bisa merugikan orang lain. "Aku bersedia tanggung jawab, apa pun. Kalau memang benar keluarga kalian mengalami kerugian karena nama baik kalian yang tercemar, tapi aku sungguh... aku nggak kira bakal begini jadinya—"
"D!" panggil Luki yang baru saja menyelesaikan panggilan pentingnya. "Ikut aku," perintah pria itu kepadanya.
Denok bangkit dari ruang tengah dan meninggalkan Adjie serta Ariel di sana, sementara itu Denok masuk ke dalam ruang baca dimana Luki sudah berdiri di sana menunggunya.
Denok menutup pintu perlahan dan mengangkat alisnya dengan bingung ketika Luki menariknya untuk duduk di sisinya. "Kenapa?" tanya Denok kebingungan.
Luki tersenyum melihat wajah kekasihnya yang begitu khawatir, Luki merapikan anak-anak rambut Denok dan mencium sudut bibir gadis itu. "Mamamu yang lain sudah ditemukan oleh Alfa dan Bagas."
Denok menganga dan membulatkan kedua matanya terkejut. "Mama? Mama Banu?"
Luki mengangguk. "Ya, malam ini dia ingin bertemu dengan kamu,"
"Apa... ini semua karena..."
"Iya," balas Luki cepat. "Tapi jangan khawatir, kita semua sudah bereskan soal itu, Mamamu yang asli sudah bilang kalau dia akan mengatakan segalanya tanpa menutup-nutupi fakta, kamu bukan anak di luar nikah, Sayang."
"Aku pikir... keberadaanku malah bikin semua orang pusing." Denok menunduk malu, entah kenapa kepercayaan dirinya lenyap tak bersisa di depan Luki yang masih dengan sabar membelanya.
"Kamu memang buat pusing, terutama buat pusing aku." balas Luki dengan jahil.
Denok mengangkat wajahnya dan mengira perkataan Luki tadi adalah sebuah kebenaran. "Maaf, kalau aku buat pusing kamu."
Dan untuk pertama kalinya, Denok menangis. "... maaf," gumamnya secara perlahan.
Luki diserang panik tiba-tiba melihat Denok yang tiba-tiba menangis. "D, why did you crying—oh shit... nggak, aku tadi bercanda," Luki meraih Denok ke dalam pelukannya. "Nggak, Sayangku yang satu ini nggak pernah memusingkan siapa pun, ingat semua manusia punya pertarungannya masing-masing..."
Denok membenamkan wajahnya di dada Luki hingga membuat kemeja hitam pria itu ikut basah karena air matanya. "Aku takut... kasihan sama Mama, Om Desmond juga, gimana ini... kalau sampai Papa tahu kondisi Papa bisa memburuk,"
"Aku sudah siapkan pengacara untuk kamu, D. Bagaimana pun kamu sudah dalam perlindungan hukum saat ini, dan soal Mamamu, istri sah Papamu, dia sedang menunggu kamu saat ini. Bisa kita kendalikan sedikit emosi kamu, Sayang? Aku butuh Denok yang kuat dan berbaja mental yang nggak pernah memberikan senyuman pada siapa pun, aku butuh dia sekarang." kata Luki sambil mengusap air mata yang terus jatuh di pipi Denok.
Denok menarik napasnya cukup dalam lalu mengangguk. "Oke,"
"Oke? Sudah siap ya?"
***
"Hai, kenalkan saya Samira Chou,"
Pengacara wanita bernama Samira Chou itu menyapa Denok yang baru saja datang di ruang pertemuan kantor pusat Amidjaja Group. Di sisi lain, ada beberapa penasihat hukum Luki dan beserta jajaran pengacara pribadi Luki.
Mungkin, Luki sengaja mencarikan pengacara perempuan untuknya agar membuat Denok nyaman.
Pemikirannya yang di atas tadi ternyata salah.
"Mantan Luki," sahut Adjie dengan kedua tangan di depan dada, menyambung perkenalan yang baru saja Samira lakukan.
Samira malah terkekeh pelan dan tersenyum anggun. "Ah bisa saja, Djie. Kisah lama," katanya seperti kesenangan.
Denok mengangguk sekilas, tapi dia juga ikut penasaran berapa lama hubungan Luki dan wanita cantik serta pintar seperti Samira ini? "Luki sengaja pilih saya buat jadi pengacara tunangannya, kata dia, Denok butuh orang yang bisa suport sekaligus memenangkan kasus nantinya. Luki milih dengan tepat sih,"
Oh! Kepercayaan wanita itu memang luar biasa. "Ya apa pun itu, semoga saja kita berdua bisa kooperatif menangani masalah yang sedang saya alami." jawab Denok dengan formal.
Adjie terkekeh pelan di sisinya, setelah melakukan perkenalan Samira sibuk dengan Luki yang berada di seberang meja, mereka berdua berbicara dengan begitu dekat, bahkan kelihatannya sangat asik.
Tahu-tahu, Adjie berbisik lagi di sisinya. "Samira Chou ini mantan Luki sebelum sama Kezia,"
Mendapatkan informasi baru, jelas saja Denok merasa tertarik. "Berapa lama mereka berhubungan?"
"Dua tahun? Cukup lama sih, De. Soalnya Luki memang sempat putus juga dengan Samira ini, bahasa kasarnya; Luki itu cuman pelampiasan Samira,"
"Kok bisa?"
"Ceritanya panjang, tapi Luki memang suka lebih dulu sama Samira,"
"Oh..."
Lalu Adjie mendekatinya lagi. "Dulu, Opa dan Oma sebelum meninggal, sudah mengenal Samira lebih dulu karena dia cewek yang cukup supel, dia anak orang kaya, kedua orang tuanya mati dibunuh. Tahu kasus keluarga Chou nggak?"
Ternyata... kasihan juga, pikir Denok. Sepertinya dia harus berpikir positif sebelum menilai yang tidak-tidak. Tapi tetap saja, gestur Luki yang tengah berbincang dengan Samira seperti menunjukkan bahwa pria itu tengah bertemu dengan kekasih lamanya.
"Tapi Opa nggak setuju soalnya Samira Chou ini Chinese."
Denok malah mengerutkan keningnya. "Memang Opa punya kriteria buat menantu gitu, ya? Mbak Ariel yang blasteran saja nggak jadi masalah, kan?"
Adjie terkekeh pelan. "Eh, masalah itu beda lagi. Ariel memang peletnya kuat, De."
Pelet apa pula...
"Jadi Mas Luki itu memang selalu serius sama mantan-mantannya ya sampai diajak kenalan ke Opa dan Oma?"
Itu adalah hal yang sejak tadi Denok pikirkan. "Ya, namanya laki... waktu dengan Samira kan Luki juga sudah berada di rentang usia dua puluh akhir, De. Jadi memang pada saat itu pasti sudah ada niat untuk melakukan jenjang pernikahan."
"Ah..." sekarang Denok gigit jari melihat Luki yang tengah tertawa asik.
Denok sadar kok, kalau dia ini terlalu serius dan tidak ada lucu-lucunya sampai baru kali ini Denok sadar kalau Luki tidak pernah tertawa sekeras itu karenanya.
Ah, Denok memang buruk dalam komunikasi.
"Sayang," kata Luki menyadarkan Denok dari lamunannya. "You okay?" tanyanya dengan khawatir.
Denok mengulas senyuman palsu dan melirik ke arah Samira yang tengah menatapnya juga. "Ya,"
"Aku lanjut ngobrol sama pengacara kamu dulu, ya." ujar Luki meminta izin.
Hah, kenapa tidak dari sejak awal minta izinnya? Batin Denok.
Selang waktu yang begitu lama, hingga akhirnya Denok merasa bosan. Satu orang yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Banuwati Gayatri datang dan masuk ke dalam ruangan dengan percaya diri. Dijaga oleh empat bodyguard yang ada di belakang tubuhnya, wanita yang pernah Denok anggap sebagai ibu kandungnya itu menatap Denok dengan cara yang tidak biasa dan... kelihatan benci kepadanya.
Selama hidupnya, Denok selalu bertanya-tanya kenapa Banuwati Gayatri tidak pernah memandikannya bahkan membantunya memakai pakaian, jangankan untuk hal itu, makan satu meja bersama pun rasanya tidak pernah.
Sialan, mendadak Denok sedih jika mengingat hal yang sudah lewat, seakan ditampar oleh kenyataan bahwa wanita itu benar-benar tidak pernah menginginkan kehadirannya.
"Silakan, Anda bisa bicara kepada Denok tentang apa yang ingin Anda utarakan dan apa yang ingin Denok ketahui tentang Anda." kata Samira membuka perbincangan serius itu.
Kata Luki, sengaja Luki tidak meminta Samira untuk memprosesnya di pengadilan, jika masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan, itu adalah jalan terbaik jadi tidak perlu ada hal yang bisa membuat Denok berat untuk menghadapinya.
"Berikan surat cerai antara saya dan Erlangga Djatiwibowo, lalu harta gono gini yang akan menjadi milik saya, serta rumah yang menjadi tempat tinggal saya dan mantan suami saya itu, saya menginginkannya." ujar Banuwati tanpa melepaskan tatapan matanya dari Denok.
"Rumah itu milik Denok, Bu Banuwati." jawab Samira dengan lantang. "Anda dipastikan akan mendapatkan bagian yang Anda miliki, tanpa harus meminta rumah keluarga Djatiwibowo."
"Saya tetap menginginkannya." Banuwati yang keras kepala melawan apa yang Samira katakan kepadanya.
Denok berpikir keras, rumah itu adalah rumah peninggalan keluarga sang Papa, sejak kecil Denok besar di rumah itu sendirian dan jelas rumah itu adalah saksi bisu dimana Denok tumbuh dan berusaha tidak pernah merengek kepada Banuwati yang dia anggap sebagai ibunya.
Luki yang duduk di sisinya menatap Denok dengan teduh sambil berkata. "Bagaimana? Apa kamu mau memberikan rumah itu kepada dia?"
Denok spontan menggeleng. "Mama tidak pernah menyayangi aku sebagaimana aku berharap disayangi oleh Mama. Kenapa Mama pergi dan tiba-tiba menagih semua ini kepada aku?"
"Jangan pernah kamu panggil saya Mama!" teriak Banuwati yang hendak menerjang Denok, untung saja dua bodyguard di belakang Banuwati cepat menghadangnya. "Saya benci tiap dengar kamu panggil saya seperti itu! Kamu bukan anak saya! Kamu hanya sial yang datang di dalam kehidupan saya! Kamu dengar itu!" teriaknya lagi dengan kedua mata yang tajam.
Tubuh Denok bergetar ketakutan ketika melihat kemarahan yang ada pada wajah Banuwati. Hal seperti ini pernah Denok lihat belasan tahun lamanya ketika Denok yang sedang demam dan minta untuk tidur bersama dengan Banuwati, tapi wanita itu malah mengusirnya dari kamar dan meneriaki Denok dengan kata-kata yang tidak pantas yang dikeluarkan untuk anak kecil.
"Aku hanya akan memberikan hak Mama, tapi tidak dengan rumah itu." ujar Denok memutuskannya dengan cepat.
Banuwati bergerak lagi dan berteriak. "Dasar anak tidak tahu diri! Sudah bagus kamu hidup sampai sekarang karena saya bisa membunuh kamu sejak dulu!"
Denok memegangi pelipisnya yang berkeringat dingin dan menarik napasnya dengan dalam lagi. "Aku tahu Mama ingin membunuhku, tapi kenapa tidak Mama lakukan sejak dulu?"
"Itu karena saya mencintai Papamu yang tolol dan sekarat itu! Cinta membuat saya bodoh! Harusnya saya membunuh kamu agar kamu tidak mengganggu kehidupan saya!"
Samira bangkit berdiri dengan tegas. "Tenang Bu Banuwati! Anda sejak tadi sudah terlalu banyak berteriak pada klien saya."
Banuwati mencemooh apa yang Samira katakan, tapi selang detik berikutnya, Banuwati mengeluarkan revolver dari saku long coat yang dia pakai dan menodongnya langsung kepada Denok.
Luki langsung berjaga di hadapan tubuh Denok, sementara empat bodyguard itu juga ikut mengepung Banuwati yang sedang mengancam Nona mereka.
Luki menatap Adjie dan memberikan isyarat agar Adjie membawa pergi Denok.
Adjie mengangguk, dia meraih kedua lengan Denok yang bergetar ketakutan dan paras gadis itu yang pucat. "C'mon, kita pergi dari sini—biar Luki yang selesaikan semuanya."
Denok menggeleng, langkah kakinya tertatih karena entah kenapa Denok tidak merasakan apa pun saat ini.
"Oh, jadi pria yang baru saja melindungi kamu ini adalah tunangan kamu?" tanya Banuwati kepada Denok dengan seringai sadis.
Denok menatap Luki dan Banuwati bergantian. "Apa mau kamu sebenarnya?!" teriak Denok kehilangan kesabaran dan malah mendekati Banuwati.
Adjie buru-buru meraih lengan Denok mencegah emosi gadis itu yang berhasil menguasai dan melangkah ke depan.
"Biar kamu tahu rasa apa rasanya kehilangan orang yang kamu cintai!" ancam Banuwati.
Denok menggeleng keras, Luki berjalan mendekati tubuh Denok sementara revolver Banuwati sudah mengeluarkan suara.
Empat bodyguard itu berhasil menahan lengan Banuwati, tapi tetap saja revolver itu masih mengarah ke arah Luki. "Mas... kamu yang pergi," minta Denok kepada Luki.
Luki mendekap erat tubuhnya dan mengangguk cepat. "Kita pergi, biarkan dia di sini." kata Luki menenangkan Denok, lalu Luki berteriak kepada keempat bodyguard itu yang telah berhasil mengurung tubuh Banuwati.
Tapi tetap saja, ketika Luki hendak menjauhkan tubuh Denok dan revolver itu berhasil menarik pelatuknya, ada kecepatan cahaya yang bisa Denok tangkap dan hendak menyerang Luki.
Denok mendorong tubuh Luki ke arah kiri dan membuat pria itu tersungkur sementara Denok baru saja merasakan rasa panas menjalar di area perut kanannya.
Rasanya begitu nyeri, darah merembes begitu cepat membasahi permukaan pakaian yang Denok pakai hingga turun menuju pahanya.
Semua orang berteriak memanggil namanya, sementara Denok bisa melihat keempat bodyguard itu menginjak tubuh Banuwati yang tengkurap di atas lantai marmer.
Denok melihat Luki sekilas dan pria itu pun sama meneriakkan namanya. Saking kuatnya rasa sakit itu, bersamaan dengan darah yang terus mengalir Denok rasa... ini saatnya untuk dia luruh dan jatuh sebelum benar-benar Luki menahan kepalanya agar tidak terkena kursi, dan Adjie yang menahan pinggang Denok yang bisa menghantam lantai.
"D," suara kalut Luki masih bisa Denok dengarkan samar-samar. "Apa yang kamu lakukan tadi?" tanyanya menuntut dengan lirih.
Luki ikut menahan aliran darah di perutnya agar tidak terus keluar, sementara itu Denok menarik napas terakhir yang bisa dia rasakan dan matanya terpejam begitu saja.
Sangat berat, dan mengantuk.
Denok janji, dia hanya akan tidur sebentar.
***
a/n:
END!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Canda end! Wkwkwk.
p.s: kalo mas Lukinya kayak di atas gimana? Wkwkwk serem.
24, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro