4. Ajaib gilanya
Koentoadjie:
Tunangan lo manis amat.
Kalau gak mau, boleh
buat gue aja nggak?
Luki sudah menerima pesan Adjie dua hari yang lalu. Dimana foto Adjie yang tengah merangkul bahu Denok dan pose mereka yang begitu dekat membuat Luki heran. Pasalnya, wajah Denok lebih manusiawi dibandingkan saat bertemu dengannya.
Tidak ada lipstik merah, yang ada hanya bibir berwarna plum muda alami, tidak ada polesan make up, yang ada hanya wajah polos yang berseri, merah alami di pipinya menunjukkan bahwa gadis itu baru saja terkena sinar matahari yang panas. Tidak ada tatanan rambut yang rapi, atau hasil catokan, yang ada hanya rambut hitam yang terikat dengan rapi.
Sial, sepertinya Denok memang berencana membuat dirinya ilfeel pada gadis itu. Ya, persetan, memangnya Luki peduli?
"Adjie gila," celetuk Martha yang baru saja duduk di sisinya.
Weekly report baru saja selesai, dan perkiraan minggu depan Luki dan Martha akan pergi ke Shanghai.
"Kenapa?" tanya Luki.
"Dia mau ajak jalan tunangan lo, katanya lumayan, cantik."
Luki hanya bisa terkekeh masam. "Tipe Adjie banget kali tuh anak,"
"Lo betulan nggak suka?"
"Nggak," jawab Luki acuh. "Dia cuman Djatiwibowo, bukan apa-apa bagi gue."
"Kezia juga bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa."
Luki melirik Martha dengan tidak suka. "Mulut lo, tuh... Lo yang mengenalkan gue sama Kezia tapi lo juga yang kurang ajar."
"Habis..." Martha cemberut. "Opa minta gue untuk buat lo berpikir ulang—maksudnya berubah pikiran biar suka sama Denok,"
"Nggak akan mungkin." jawab Luki percaya diri.
Martha menggelengkan kepalanya. "Jangan sesumbar begitu... namanya cinta tuh bisa hilang kapan saja. Sumbernya hati, mana hati bisa berubah kapan saja."
"Jangan bicarakan itu Martha, gue nggak mood sama sekali."
"Mas Luki," Martha menghela napasnya pasrah. "Lo mending lepas Kezia pelan-pelan. Gue tahu, Kezia teman gue, tapi lo sepupu gue, keluarga gue. Gue nggak mau lo, ataupun Kezia malah hancur di tengah jalan. Sebaiknya, daripada masalah berkembang semakin besar, karena gue tahu—Opa nggak akan pernah bisa berhenti—sama sekali. Dan bagi Opa, Denok sangat cukup untuk lo, Mas."
"Martha..." Luki kesal jika pembahasan sudah menyeret ke arah yang dia tidak sukai. "Gue ini laki-laki, gue bisa menikah tanpa restu siapa pun."
"Memang lo sanggup hidup jauh dari keluarga?" tanya Martha dengan tenang. "Kalau gue, bagaimana pun gue akan tetap memilih keluarga. Bagi gue, keluarga tempat untuk pulang, Mas. Nggak semua orang bisa menerima kita setulus keluarga."
"Arti keluarga di mata gue sudah hilang, Martha. Lo tahu sendiri."
Kekecewaan Luki sudah benar-benar di batas akhir. Papanya mempermainkan Mamanya, Luki melihat bagaimana Papanya berselingkuh dengan kedua matanya sendiri, saling mencumbu dan mengatakan cinta satu sama lain. Apa setelah itu semua Luki percaya akan cinta?
Itu semua karena perjodohan yang tidak masuk akal. Menyatukan dua manusia yang tidak memiliki ikatan hati sama sekali dalam suatu pernikahan. Lalu, ketika semuanya telah selesai dan hancur, Papanya kembali pada Mamanya, mengucapkan kata cinta yang terdengar konyol di telinga Luki. Apa cinta semain-main itu?
Bagaimana bisa Papanya mempermainkan hati Mamanya? Cinta tapi menduakan, dan Luki tidak pernah bisa mengerti apa pun alasan Papanya.
"Lo dan Kezia, terlihat nggak punya masa depan, Mas."
Luki mengiyakan dalam hati, benar apa yang Martha katakan, tapi Luki tengah mengusahakan segalanya. "Gue sedang mengusahakan,"
"Gue nggak bisa bantu lo ke depannya, Mas."
Luki tersenyum mengangguk paham. "Kalau begitu jangan. Gue juga nggak mau menempatkan lo di tengah-tengah masalah gue, terima kasih sudah peduli."
Martha tersenyum patah, dia tidak tahu akan sehebat ini ancaman yang Opanya berikan. Dan Martha tahu, masa depan Luki Amidjaja, tidak akan bisa berubah terkecuali Opa, dan Tuhan yang mengizinkannya.
Kenapa cinta begitu rumit? Dan kenapa harus ada pernikahan?
***
Gara-gara Abby yang kena pecahan kaca di kakinya, Denok membawa Abby ke rumah sakit untuk diobati lukanya, dan yang terpenting mendapatkan suntikan tetanus agar tidak terjadi infeksi.
"Pelan-pelan," ujar Denok merangkul Abby.
Parkiran mobil terasa jauh sekarang, entah bagaimana Abby terasa berat. "Lo berat juga ternyata yah..."
"Sialan," maki Abby. "Gue mau diet setelah lo bicara begitu!"
Denok tak bisa menahan tawanya. "Halah.. cerita doang tuh diet, gue hapal betul gimana mau lo kalau sudah ada kalimat—banyak mau—lo nggak akan memedulikan kata diet lagi, By,"
Abby mendesis kesal, lalu setelahnya memastikan Abby bersandar pada sisi mobil, dia membukakan pintu mobil untuk Abby, namun kedua matanya melihat bayangan yang tak biasa di pantulan jendela mobilnya.
Seorang pria tengah mengangkat benda tajam, dan sudah dipastikan itu adalah pisau. Denok bisa melihat jelas mata pisau yang siap menyerang pria yang menjadi targetnya.
"By, lo tunggu sini," kata Denok dengan hati-hati.
Lantas, Denok berlari dari arah belakang mobil dan buru-buru menendang pria dengan pakaian hitam yang akan menyerang targetnya, pria di hadapannya tidak tahu apa-apa, penutup wajah dan kepala itu membuat Denok yakin bahwa dia memang sengaja ingin mencelakai pria yang ada di depannya.
Tendangannya berhasil menjatuhkan si penjahat, pria itu terguling di atas aspal yang basah karena hujan baru saja turun tadi, dan Denok mengecek kondisi pria yang ada di depannya kini ikut terkejut melihat apa yang baru saja ia saksikan.
"Pak, nggak apa-apa?" tanya Denok khawatir.
Namun raut wajah Denok seketika berubah ketika melihat siapa yang baru saja dia sentuh tangannya. Laksmana Amidjaja—sepupu Luki Amidjaja tunangannya yang tengah menahan napas dan menatap Denok dengan heran sekaligus terkejut.
"Denok?"
"Oh... Mas Laksmana? Are you okay? Tadi dia—baru saja." Denok menunjuk lelaki bertopeng hitam itu dan buru-buru menginjak kakinya agar tidak bisa kabur.
Laki-laki itu meringis dan menjerit kuat, Laksmana mengambil alih dan menyandera kedua lengan laki-laki itu dengan tenaga kuatnya. Pisau besar dan tajam itu diamankan oleh Denok dan pada saat itu juga Abby berteriak kepada satpam yang berjaga di lobi rumah sakit agar mendekat ke area mereka.
Satpam berhasil meringkus laki-laki misterius itu dan Denok segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Laki-laki itu pria yang memang tidak dikenal.
"Mas kenal dia?" tanya Denok pada Laksmana.
Laksmana menggeleng. "Tidak, kamu nggak apa-apa?" Kali ini Laksmana bertanya dengan raut wajah khawatir mungkin, karena merasa berhutang budi setelah Denok menyelamatkannya. "Terima kasih, kalau tidak ada kamu saya nggak tahu bagaimana akhirnya..."
"Sama-sama, Mas, mungkin kita bisa bawa dia ke polsek terdekat?"
"TERUS GUE GIMANA?!" Protes Abby yang tidak mau ditinggalkan padahal, Denok jelas tidak akan meninggalkan dirinya.
"Temanmu kenapa? Sakit?" Tanya Laksmana.
Denok mengangguk. "Kakinya baru saja menginjak pecahan kaca, dia baru dapat suntik tetanus."
Abby menyengir malu. "Salam kenal, Mas. Saya Abigail teman Denok,"
Laksmana mengangguk paham dan tersenyum tipis. "Kalau begitu, kalian berdua ke apartemen saya dulu bagaimana? Saya akan memanggil polisi untuk keterangan selanjutnya, lelaki itu jelas tidak akan lepas dari saya." Laksmana begitu tegas ketika menyampaikan pendapatnya.
Denok mengangguk setuju. "Boleh deh, Mas... tapi mobil saya?"
"Nanti sopir Luki yang akan mengurus mobil kamu."
Jika sudah seperti itu, memang Denok bisa apa? Apa harus hari ini dia bertemu dengan Luki kembali? Malas sekali.
***
Apartemen lantai tiga belas itu bukan lagi apartemen biasa melainkan kondominium mewah yang membuat Abby menganga secara sempurna. Apa lagi, salah satu asisten rumah tangga, wanita tua berpakaian adat Jawa menyambut Denok dan Abby dengan begitu ramah.
"Kopi Den?" tanya wanita Jawa itu.
"Ya, Mbok, sekalian buatkan minuman untuk dua tamu saya,"
Denok yang masih merangkul Abby membantu gadis itu agar duduk di salah satu sofa, sementara itu Laksmana tengah menelepon seseorang dengan wajah yang begitu serius.
"Saya urus lelaki tadi dulu tidak apa-apa? Santai saja, tidak usah sungkan," ujar Laksmana pada Denok.
Denok tersenyum dan mengangguk sopan. "Silakan, Mas, kalau ada apa-apa bilang sama saya saja. Barangkali saya bisa bantu."
"Kamu sudah lebih dari membantu saya, bahkan kamu menolong saya Denok,"
Apa yang Laksmana katakan memang benar dan Denok berusaha menghargai permintaan pria itu yang akan mengambil alih bagaimana cara dia membersihkan lelaki yang telah meneror dirinya tadi.
Denok tidak bodoh, sebelumnya, Laksmana pasti sudah diincar oleh lelaki itu. Bagian paling penasarannya adalah, kenapa Laksmana diincar begitu keras hingga niat dibunuh di ruang terbuka? Penjahat tadi pasti sudah kehilangan akal karena harus sampai menghabisi Laksmana di tempat umum. Ya minimal, kalau memang seniat itu membunuh Laksmana harusnya pria dewasa seperti Laksmana ini diculik dulu begitu? Atau mungkin di siksa? Seperti di film-film thriller yang dia tonton.
Ah otaknya ini sudah ngawur.
"De," panggil Abby.
"Mm?"
"Cakep ya,"
Denok menyipitkan matanya. "Dari kemarin, Mas Adjie aja lo kata cakep, bagi mata lo semuanya cakep, By."
Abby terkekeh pelan, lalu wanita yang baru saja berjalan mendekati dia dan Abby adalah wanita tua yang tak Denok kenali jelasnya memberikan dua teh hangat kepadanya.
"Non..." wanita tua itu memandang Denok dengan lekat. "Non ini kan, tunangannya Den Luki?"
Denok mengangguk malu. "Iya, Bu,"
"Kok Den Luki nggak ke sini ya, kan Non tunangannya ada di sini,"
Lalu Denok bisa menjawab apa? Mengatakan bahwa dia dan Luki bahkan tidak saling peduli? Bahkan, jalannya dua minggu pertunangan ini, Denok tidak punya kontak Luki. Dan pria itu tidak pernah sekali pun menghubunginya.
"Iya Bi, kebetulan saya cuman bantu Mas Laksmana."
"MAS LAKSMANAAAA!"
Suara menggelegar itu membuat Abby dan Denok menoleh secara bersamaan. Martha Amidjaja baru saja datang membawa kegaduhan bersama pria yang Denok kenali siapa perangainya. Luki Amidjaja berjalan di belakang tubuh Martha sembari mengernyitkan keningnya heran, belum lagi dua polisi yang tengah berjalan bersamaan membuat Denok salah fokus.
Masalahnya, polisinya guanteng pol!
"Denok?" suara Luki membelah otak Denok hingga kembali fokus pada pria itu.
"Hai, Mas." sapa Denok dengan kaku. Dia enggan berbaik-baik pada Luki.
Tapi ketika ucapan Opa kepadanya tempo lalu, mendadak membuat Denok bersiap merencanakan taktik yang bisa dia lakukan untuk seorang Luki Amidjaja. Hmm.... Apakah ini momen yang pas?
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Luki kepadanya berterus terang.
"Dia yang menyelamatkan gue," baru saja Denok akan angkat suara, Laksmana telah mendahuluinya.
Semakin heran saja Luki menatapnya dengan wajah tak suka, ya apa boleh buat urusannya di sini kan hanya bersama Laksmana, bukan Luki.
Martha, adik Laksmana Amidjaja langsung memeluk kakaknya dengan panik. "Udah dua kali lo mau celaka dalam satu minggu ini, Mas,"
Laksmana mengangguk menenangkan adiknya yang tentu saja panik setelah mendengarkan kabar bahwa dirinya di serang untuk kedua kalinya secara terang-terangan.
Polisi akhirnya memutuskan untuk menjebloskan teror lelaki tadi ke dalam sel, masih memerlukan proses yang panjang karena polisi pikir akan banyak buntut di luar sana yang bisa menggantikan pekerjaan lelaki bertopeng itu.
Di sini, Denok menjadi saksi mata, itu kenapa polisi langsung menginterogasinya dan Denok dimintai keterangan lebih lanjut sebagai saksi kunci.
"Terima kasih," kata Martha kepada Denok setelah dua polisi tadi pergi.
Denok mengangguk kaku, karena setahu Denok perempuan yang ada di hadapannya ini tidak pernah sekalipun memedulikan keberadaannya bahkan di saat dia dan Luki bertunangan pun.
"Anytime, saya melakukannya atas dasar kemanusiaan." Jawab Denok.
Kedua mata Denok saling bertemu dengan kedua mata Luki, dan pada saat itu juga pria itu membuang wajah. Dasar gila, pikir Denok. Untung saja penampilannya hari ini tidak memalukan seperti penampilan terakhir kali dia bertemu dengan Luki.
"Kalau begitu saya pulang saja," putus Denok. "Lagipula, kasihan teman saya harus istirahat,"
"Sudah makan malam?" Tanya Laksmana kepadanya. "Pasti belum, kan? Biar saya yang menjamu kamu malam ini."
Denok menggeleng panik, dia sudah tidak sanggup satu ruangan bersama Luki Amidjaja. "Nggak usah, Mas... terima kasih, lain kali saja,"
"Saya mau berterima kasih sama kamu, Denok." aneh rasanya ketika orang asing memanggil namanya. "Boleh saya menjamu kamu dan teman kamu?" tanya Laksmana dengan permohonan di kedua matanya.
Di sisinya, Abby menyikut tubuhnya dan mengangguk cepat. "Boleh, Mas... sangat boleh, kebetulan I'm little bit hungry,"
Oh! Betapa memalukannya!
***
Ingin rasanya Denok mengatakan pada Luki Amidjaja bahwa dia pun enggan satu ruangan dengan pria sok cool itu! Sejak tadi, Luki Amidjaja selalu membuang napas dengan keras jika tatapan matanya bertemu dengan kedua matanya. Sialan, apa kedua mata Denok begitu mengganggu pria itu? Kalau tidak mau melihatnya, cukup jangan menatapnya terus menerus, kan?
Makan malam yang diberikan oleh Laskmana Amidjaja lebih dari cukup, makanannya enak dan mengenyangkan. Denok mengambil salah satu lobster dan memakannya dengan tenang, bersamaan dengan nasi panas. Kalau Abby, jangan ditanya lagi, semua makanan di lahap oleh dia.
Mungkin, karena mereka merasa berhutang budi, Laksmana dan adiknya malah bersikap hangat kepadanya. Berbeda dengan Luki Amidjaja yang memang kayaknya sesak melihat Denok satu meja dengannnya.
"Jadi, kalian ini... dulu homeschooling?" tanya Martha kepada Abby.
Abby mengangguk. "Iya, Mbak, dulu saya punya tubuh yang lemah, saya sering sakit dan sesak, Ibu saya orangnya parno, nggak bisa lihat saya sakit pasti beliau yang pusing."
Martha terkekeh pelan. "Orang tua memang seperti itu, lalu kalau Denok? Kenapa mengambil homeschooling?"
Alasannya? Denok juga tidak tahu. "Dari kecil saya sudah homeschooling itu kenapa saya nggak punya teman, cuman Abby saja yang jadi teman saya,"
Laksmana dan Luki saling berpandangan satu sama lain, jelas saja bagi mereka keberadaan Denok sebagai Djatiwibowo saja dipertanyakan. Apa lagi, jika Denok sampai diketahui oleh publik sebagai anak dari Sisca Moestopo.
"Mas Luki," kata Abby dengan lantang dan berani.
"Ya?"
Luki penasaran kenapa teman tunangannya itu memanggil nama dirinya di saat hening seperti ini. "Saya tahu, Mas Luki nggak suka sama teman saya yang ini," tunjuk Abby dengan santai pada Denok. "Denok memang bukan manusia yang mudah di sukai, lebih dari itu, membenci dia lebih mudah daripada menyukai Denok,"
Laksmana dan Martha tak kuasa menahan tawa, sementara Denok hanya bisa memutarkan bola matanya dengan malas. "Jadi, menurut kamu lebih baik saya membenci teman kamu?" tanya Luki balik.
Abby mengangguk. "Benci Denok saja, Mas. Daripada nantinya Mas pusing sendiri, terkecuali, Mas memang punya rencana untuk mencintai teman saya."
Denok menyikut tubuh Abby. "By, nggak usah aneh-aneh!"
"Gue nggak aneh-aneh, De! Lo kan belum punya mantan sama sekali, sekalinya dapat mantan malah jadi tunangan, tahtanya nanti lumayan tuh—mantan tunangan, lumayan lah ya... daripada mantan pacar nggak ada harganya sama sekali,"
Mulut Abby memang luar biasa kurang ajarnya, dan Denok tidak yakin apa dia akan menjadi musuh bagi Luki, atau mungkin... teman? Gila, pasti kiamat akan segera datang kalau Luki ingin berteman dengannya.
***
a/n:
Apakah setelah ini pandangan para saudara Luki akan berubah kepada Denok? Lets see...
p.s: Ayang gue lagi di Milan. Jadi kayak kurang semangat gitu.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
19 November 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro