39. Sambil menyelam minum air
Sisca Moestopo tersenyum melihat kedatangan Denok dan Luki ke kantor pusat PT Media Global Tbk siang ini. Wajah anaknya kelihatan sumringah, bahagia, dan senyumannya lepas tanpa beban. Di sisinya Luki Amidjaja tidak melepaskan genggaman tangan pada putrinya dan membuat Sisca mengulum senyumnya.
Dasar anak muda. Ledeknya dalam hati.
"Gimana? Cottagenya enak? Betah nggak?" tanya Sisca dengan senyuman menggoda putrinya sendiri.
Denok membulatkan kedua matanya. "Kok Mama tahu?"
"Tahu dong... mana mungkin Mama nggak tahu kamu ada dimana kemarin," Sisca mengusap bahu Denok. "Maaf ya, Mama belum kasih tahu kamu soal ini, tapi Mama juga perlu pengertian dan persetujuan kamu. Kalau kamu nggak siap dan kamu nggak mau, nggak apa-apa, Mama nggak akan maksa."
Denok melirik Luki yang ada di sebelahnya dan pria itu tersenyum menenangkan Denok. "Nanti kita jelaskan secara perlahan biar kamu ngerti."
Alfa, Bagas, Gana dan Sagar sudah mempersiapkan ruangan yang sudah berisikan para jajaran komisaris. Semua adalah tim Sisca Moestopo, jadi jelas Denok tidak akan mengenalnya, dan begitu pun Luki yang kini tengah saling berkomunikasi dengan Gana dan Sagar mengenai rapat penting siang ini.
Semua orang yang ada di ruang meeting itu menatap Denok dengan tatapan terang-terangan dan penasaran, dia akhirnya menjadi trend setter para petinggi perusahaan televisi ini.
Apa lagi, Denok baru tahu kalau PT Media Global adalah perusahaan stasiun televisi berita daerah Jawa Barat, dan menaungi beberapa stasiun radio terkenal di Jawa Barat. Dan rencananya, Media Global akan maju ke ranah nasional dan perlu transisi besar agar menjadi TV swasta nasional.
"Selamat siang," Sisca Moestopo membuka suaranya dan membuat semua orang di ruang meeting itu menghentikan kegiatannya dan berfokus pada Sisca. "Terima kasih untuk kehadiran kalian siang ini, di hari weekend yang harusnya kalian habiskan di rumah ataupun pergi berlibur."
Sisca melambaikan tangannya kepada Denok dan meminta Denok untuk berdiri di sebelahnya. Setelah memastikan Denok berdiri di sisinya dan semua orang bisa melihatnya Sisca merangkulnya dengan senyuman penuh kebanggaan.
"Dia adalah putri kandung saya bersama Erlangga Djatiwibowo, Denok Djatiwibowo." ujar Sisca memperkenalkan Denok kepada semua jajaran.
Denok tersenyum tipis, melihat bagaimana raut wajah keheranan semua orang yang ada di ruangan apa lagi... ketika Mamanya menyebutkan nama Erlangga Djatiwibowo.
"Erlangga Djatiwibowo masih hidup?" tanya Kalhardi, kepala finansial perusahaan yang memandang Sisca dan Denok secara bergantian.
"Mantan suami saya masih hidup. Ini alasannya kenapa saya mengenalkan putri saya kepada kalian, setelah ini ke depannya, Denok akan menggantikan saya dalam pengembangan dan menjaga PT Media Global."
Seruan tidak percaya dan tidak setuju itu membuat Denok semakin tidak percaya diri, kenapa Mamanya mengatakan hal seperti ini secara mendadak? Kenapa tidak berkompromi kepadanya terlebih dahulu?
"Pasti kalian tidak setuju dengan apa yang saya katakan." Sisca tersenyum tipis sembari berusaha mengambil atensi fokus kembali. "PT Media Global sudah ada di bawah naungan Djatiwibowo Group, dan saat ini Djatiwibowo Group sudah dilindungi dan merger secara sah bersama Amidjaja Group." Sisca mengatakannya dengan lantang dan tenang setelah mengucapkan Amidjaja Group.
Semua orang lantas menatap Luki Amidjaja yang duduk di kursi dengan wajah yang tenang namun begitu mendominasi. "Saya tahu Media Global adalah siaran daerah yang tidak pernah lepas dari kawasan Jawa Barat, namun setelah ini... saya, dan para jajaran Amidjaja Group sepakat untuk membuat Media Global menjadi televisi siaran nasional."
"Putri saya," Sisca merangkul Denok dengan begitu hangat. "Akan meneruskan dan memegang Media Global mulai saat ini."
Denok menatap Luki kebingungan sementara Sisca tetap melanjutkan kata-katanya. "Ayah dan Kakek saya sudah menjadi tokoh kunci Media Global di Jawa Barat, saya sebagai anak hanya ingin mengembangkan apa yang sudah ada, dan salah satunya adalah menurunkannya kepada putri saya, dan tidak ada yang salah jika kami menginginkan akuisisi yang lebih besar,"
"Dan maka itu, calon menantu saya sudah pasti paham bagaimana cara kerja PT Media Global Tbk ini agar masuk ke dalam jajaran Bursa Efek Indonesia. Saya melakukan ini semua demi kita semua, dan demi Media Global."
Entah kenapa, Denok merasa bahwa apa yang sedang dia hadapi saat ini adalah perubahan yang jauh lebih besar dari apa yang dia kira. Djatiwibowo Group sudah diakuisisi oleh keluarga Amidjaja, Denok tahu itu, karena keterbatasan Papanya yang belum kunjung sembuh maka keberadaan Djatiwibowo Group di Indonesia memang menjadi rancu.
Tapi mendatangkan pihak dari keluarga Mamanya? Sisca Moestopo ini notabenenya mantan istri Papanya, dan Media Global turun bersanding dengan Djatiwibowo?
Tapi dari raut wajah Luki, pria itu terlihat biasa saja dan senang dengan pengumuman yang Mamanya buat tadi. Apa ini sebuah berita baik? Apa keputusan yang Mamanya lakukan adalah keputusan yang baik untuknya juga?
Tapi bagaimana bisa Denok tahu kalau dia sendiri tidak paham dengan cara kerja lingkungan Mamanya yang baru ini? Sementara itu, Denok masih harus mencari tahu keberadaan Mamanya, yang ternyata bukan Mamanya, Bhanuwati Gayatri yang telah menghilang lama.
Semua terlalu memusingkan, mungkin Denok harus minta kelonggaran pada Luki dan Mamanya agar keduanya bisa mengerti bahwa Denok, masih belum siap dengan dunia yang sedang mereka tunjukkan padanya.
***
Ruth dan Virginia mendatangi rumah mertuanya dan melihat keadaan mertuanya yang akhir-akhir ini terdengar tenang. Bukan berarti Ruth dan Virginia ingin keributan, tapi setelah masalah Luki dan Laksmana jujur keadaan keluarga agak merenggang.
Belum lagi, Luki ternyata melepaskan Kezia yang tadinya sudah dia yakini akan dia nikahi dan kini kembali mengejar Denok Djatiwibowo, sementara itu Virginia tahu kalau perasaan putranya pada Denok masih belum bisa dikatakan hilang sepenuhnya.
"Papa sepertinya tidak mengharapkan kedatangan kita," gumam Virginia di ambang pintu kamar mertuanya, Rajasa Amidjaja yang tengah tertidur.
Sementara itu Ruth mengangguk setuju, helaan napas Rajasa Amidjaja terlihat begitu teratur, artinya pria tua itu memang tengah tertidur dengan pulas, padahal semalam Rajasa baru saja mengeluh pada suaminya, Gianjar dan mengatakan kalau rumah sepi untuk beberapa pekan ke depan.
Tadinya, Ruth pikir dia akan tinggal di rumah mertuanya sementara sambil mengurus Rajasa Amidjaja.
"Ya sudah biarkan Papa istirahat saja, Vi." balas Ruth yang kemudian dibalas dengan anggukan.
Setelah menutup pintu kamar Rajasa, Ruth dan Virginia berjalan menuju paviliun belakang demi mengecek burung merpati peliharaan Rajasa. Sebenarnya, burung merpati itu milik anak kedua Virginia, Martha. Tapi karena Rajasa menyukainya dan Martha sibuk dengan kehidupannya sendiri akhirnya burung merpati dengan nama Carlin itu tinggal di rumah mertuanya.
"Mbak..." kata Virginia membuka percakapan dengan cukup gugup. "Aku mau minta maaf sama Mbak dan Mas Gianjar."
"Kenapa, Vi?" tanya Ruth kebingungan.
Sesampainya di paviliun belakang, burung merpati putih itu sama dengan sang pemilik rumah, tengah tertidur juga. "Aku, dan Mas Sienggih keterlaluan pada Luki, ya karena pada akhirnya... kita sebagai orang tua tetap akan membela anak kita masing-masing."
Ruth tersenyum dengan bijak lalu mengangguk. "Tidak apa-apa, Vi. Semuanya sudah terlewati, let it pass... toh Luki dan Laksmana sudah baik-baik saja."
"Aku dengar Luki kembali dekat dengan Denok?"
Ruth mengangguk dan tersenyum miris. "Iya, dasar anak itu."
"Aku berharap hubungan Luki dan Denok bisa berjalan dengan lancar tanpa hambatan kali ini." harapnya dengan senyuman tenang. "Aku nggak mungkin membiarkan Laksmana terus menerus tertarik pada pasangan sepupunya sendiri, Mbak. Meskipun perasaan apa lagi jatuh cinta memang sulit untuk dihilangkan."
"Bukannya kamu sudah menjodohkan Laksmana?" tanya Ruth dengan bingung.
"Sudah, tapi tidak berjalan dengan lancar. Laksmana terlalu cuek, dan dia sepertinya tidak peduli. Kasihan perempuannya, Mbak. Dia secara tidak langsung juga masih keponakanku,"
"Ya, aku dengar itu... siapa namanya? Ansara?"
"Ya, dia anak sepupuku, aku dan Ayahnya adalah sepupu, dan kakek kami adalah adik kakak."
"Bisa dimengerti," Ruth mengangguk, namun kemudian dia penasaran akan satu hal. "Jadi, Laksmana tidak akan menikah tahun ini?"
"Sepertinya tidak. Kalau Luki bagaimana, Mbak?"
"Tadi pagi," Ruth menatap hamparan taman belakang rumah mertuanya yang begitu luas. "Tadi pagi Luki baru saja minta izin untuk menikahi Denok, sepertinya tidak akan lama lagi."
"Aku harap semuanya akan terjadi sesuai dengan harapan kita, Mbak."
Ruth tahu kalau Virginia khawatir dengan keadaan putranya sendiri yang masih memiliki perasan kepada Denok. "Ya, semoga dengan berlalunya waktu pun, perasaan Laksmana segera pulih, Vi."
Virginia terkekeh pelan dan tersenyum masam. "Baru kali ini aku khawatir melihat putraku sendiri patah hati karena cinta."
"Tenang saja..." Ruth mengusap bahu Virginia. "Aku yakin Luki dan Laksmana tidak akan bersaing gila hanya karena perempuan, aku tahu Laksmana lebih dewasa dari pemikiran putraku."
"Luki itu..." Virginia tertawa dengan geli. "Dia benar-benar telat menyadari kalau pilihan Papa ternyata sangat baik untuknya."
"Dan membawa dampak baik juga," imbuh Ruth kepada Virginia. "Aku tahu, aku dan Mas Gianjar bukan orang yang religius, dan aku sendiri lupa bahkan terkadang berpikir kapan terakhir aku pernah berdoa kepada Tuhan."
"Lalu?" tanya Virginia yang penasaran.
Sementara itu pandangan mata Ruth begitu lembut dan menguarkan kasih sayang sebagai ibu yang terasa senang dengan perubahan sang putranya. "Akhir-akhir ini Luki selalu berdoa, untuk segala hal apa pun."
"..."
"Bahkan... Luki bisa memasak nasi sendiri." Ruth menepuk dahinya dan tersenyum geli. "Anak itu bilang, kalau dia diajarkan itu semua oleh Denok, bagaimana aku bisa tidak kagum karena itu semua?"
"Luki beruntung mendapatkan Denok, Mbak." Virginia ikut senang mendengarnya.
"Mm, semoga saja apa yang menjadi harapan akan terkabulkan."
***
"Aku mau ketemu Ben sore ini," kata Denok kepada Luki yang baru saja menghentikan mobilnya di pelataran rumah Denok setelah perjalanan dari Bandung.
Luki mengerutkan dahinya tidak suka dengan apa yang baru saja ia dengar. Apa Denok baru saja meminta izin kepadanya? "Ada apa lagi dia? Kamu sengaja kasih tahu aku karena aku harus ke kantor lagi, kan?"
Denok menipiskan bibirnya dengan kesal. "Aku cuman mau hangout, lagian udah lama juga nggak ketemu sama Ben. Dia kan, temanku." tekan Denok di setiap kalimatnya.
"Cuman berdua?"
Denok mengangguk. "Abby lagi dibawa pergi sama calon mertuanya, dan Ben kayaknya lagi punya masalah."
"Masalah dia bukan urusan kamu,"
Lihat, betapa menyebalkan ya ucapan Luki. "Memang bukan, tapi Ben memang selalu cerita sama aku."
"Oh," timpal Luki dengan kesal. "Jam berapa kamu akan pulang nanti?"
Denok melepas sabuk pengamannya dan menarik napasnya kesal. "Mau apa? Mau jemput?"
"Iya," jawab Luki tanpa basa basi. "Aku jemput kalau kamu sudah selesai, meeting juga nggak akan lama, dan aku mau kamu—"
Denok menggaruk pelipisnya dengan kesal dan menggerutu pelan. "Padahal baru kemarin dia bersikap manis sekarang sudah gila lagi."
"Apa? Kamu bicara sesuatu?" timpal Luki cepat.
Denok menggeleng. "Jangan jemput aku, nanti Ben pasti akan mengantarkan aku pulang."
"Dan kenapa kamu nggak mau aku jemput?" tanya balik Luki membuat Denok gemas.
"Biar nggak capek." kali ini Denok menjawabnya dengan wajah memelas. "Kamu baru balik dari Bandung dan harus meeting, aku kan cuman ketemu Ben doang, dengar dia curhat. Setelahnya? Ya sudah, aku pulang dan istirahat, tapi pekerjaan kamu kan banyak."
Luki menggigit bibirnya ketika mendengar bahwa Denok tengah mengomelinya. Ternyata, Denok memang ada bakatnya juga untuk mengomel, ya bagaimana pun juga Denok adalah seorang perempuan.
"Ya sudah, nanti malam aku telepon." putus Luki setuju, meskipun berat hati.
Denok menghela napasnya dengan lega. "Okay, jangan ganggu aku hari ini." pintanya lagi.
Luki buru-buru mencekal tangan gadis itu dan membuat Denok duduk kembali setelah membuka pintu mobil. "Kamu malah buat aku semakin curiga tahu nggak?"
"Aku nggak ganggu waktu kerja kamu, kita main fair deh sekarang," Denok melepaskan tangan Luki dan menepuk punggung tangan pria itu. "Aku baru percaya lagi sama kamu ya setelah semalam, kamu sudah lamar aku!" kata Denok mengangkat tangannya di hadapan wajah Luki dan memamerkan jari yang sudah terpasang oleh cincin itu. "Kamu sudah memasangkannya di jari aku!"
"Ow," Luki mengulum senyumannya. "Jadi kamu tahu kalau kamu milik siapa?"
Denok mengangkat bahunya dengan acuh. "Tahu,"
"Coba," Luki mendekatkan tubuhnya dan memiringkan wajahnya menggoda Denok. "Bilang, kamu milik siapa?"
"Yang pertama aku milik Tuhan." jawab Denok realistis. "Yang kedua, aku milik kedua orang tuaku, dan yang ketiga aku baru saja dijadikan sebagai calon istri—jadi kepemilikannya belum legal karena belum ada keterangan sah di dalamnya."
Mendengar kata-kata Denok, Luki mundur dengan tatapan tidak suka. "Awas aja kamu, malam ini aku akan datang ke sini."
"Dih? Aku besok kerja."
"Kenapa nggak suka aku datang malam ini?"
"Nggak, aku mau tidur nanti malam. Sudah aku bilang jangan ganggu aku hari ini."
Sudahlah, telak. Luki kalah. Dan Luki merasa lelah kalau harus mendebat Denok yang keras kepala kali ini. "Okay, aku nggak akan ganggu kamu."
Setelah mendengarkan kata-kata Luki yang mengisyaratkan bahwa pria itu menyerah, Denok turun dari mobil Luki dan melihat kepergian pria itu.
Sip! Satu-satunya cara yang harus dia lakukan adalah menceritakan segalanya kepada Ben agar Ben dapat membantunya.
***
a/n:
Bucinnya Luki masih belum kelihatan wkwk, di episode ke depan bakal keliatan gimana bucinnya seorang Luki Amidjaja.
p.s: skrg hari Jumat, sampai minggu ingetin mau double update biar cepet kelar wkwkwk.
23, Desember 2022.
Salam Sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro