38. Persiapan hidup bersama
Rajasa Amidjaja tumbang lagi.
Pria tua itu masuk ke rumah sakit setelah mendengarkan kabar jika Laksmana dan Ansara tidak jadi dijodohkan. Terang saja, sikap Laksmana ternyata lebih kurang ajar daripada cucu pertamanya Luki Amidjaja karena tidak pernah bisa menghargai Ansara.
Lelah pikiran dan asupan makanan yang tidak dikontrol akhirnya Rajasa tumbang.
Usia pernikahan Adjie dan Ariel bahkan belum lebih dari tiga bulan, pasangan suami istri itu mungkin terlihat baik-baik saja dari luar tapi pikiran Rajasa juga ikut gonjang-ganjing. Ada satu cucu yang tidak pernah merepotkan urusan cintanya, Martha—tapi gadis itu bahkan diterpa rumor konyol.
Seorang pengusaha turunan Singapura-Indonesia menyukai Martha dan mengira Martha adalah bintang porno. Ketika mendengarnya Rajasa hanya bisa tertawa, tapi cucu perempuannya lantas ngamuk-ngamuk dan tidak terima kalau dia baru saja direndahkan oleh pria yang tertarik kepadanya tapi menghinanya secara langsung.
Pusing sudah kepala Rajasa.
Martha bahkan mengamuk dan bilang, ini semua karena privasi keluarga Amidjaja yang ketat hingg nama Martha Amidjaja tidak begitu dikenali. Tentu saja, keluarga Amidjaja dikenal sebagai pionir utamanya adalah Rajasa Amidjaja, lalu Luki Amidjaja cucu pertama laki-lakinya dan sisanya hanya mengikuti.
Identitas Laksmana tidak terlalu terekspos karena dia seorang dokter, sementara Adjie memang mencari tempat untuk dirinya sendiri hingga bisa naik ke kancah dunia industri hiburan.
Rajasa melihat cucunya—sang dokter, Laksmana Amidjaja yang tengah melihat hasil dek darah pagi tadi. Ada kerut pada keningnya dan membuat Rajasa ikut penasaran.
"Kenapa?"
"Kolesterol tinggi, asam urat tinggi, Opa ngeluh kaki kebas dan keras sulit digerakkan. Lama-lama aku kasih kursi roda ya!" ancam Laksmana kepadanya.
Lihatlah, betapa tidak punya hati cucunya yang satu ini. "Kamu itu dokter tugasnya menyembuhkan malah mau buat pasien kamu sendiri parah?" balas Rajasa dengan sebal.
"Suruh siapa Opa nggak bisa jaga gaya hidup Opa!"
Lho, kok malah menyalahkan? "Suruh siapa juga kamu bikin pusing Opa?! Tekanan darah Opa naik juga karena kamu! Astaga..." Rajasa mengembangkan dadanya dengan segenap emosi. "Kasihan Ansara, memang sudah betul dia tidak usah menikah dengan kamu!"
Laksmana hanya mengangkat bahunya. "Baguslah, aku juga tidak tertarik menikah dengan perempuan yang tidak bisa menjaga sikap dan tata kramanya."
"Macam sudah betul aja lo!" sahut Luki yang baru masuk ke dalam ruang rawat Rajasa.
Ini lagi satu...
Rajasa memejamkan matanya kalau sampai ada perang kata-kata di ruang rawat nya, Rajasa tidak akan tinggal diam untuk mengusir kedua cucunya ini.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Laksmana dengan bingung melihat keberadaan Luki di siang hari.
"Menurut lo? Oh ya, gue baru dapat kabar katanya Ansara kecelakaan."
Laksmana mematung ketika mendengarnya, dan Rajasa bisa melihat perubahan pada ekspresi wajah Laksmana yang mengeras. "Kamu tahu darimana?" tanya Rajasa kepada Luki.
Luki mengangkat jempolnya menunjuk luar ruangan. "Tante Virgi yang kasih tahu, lumayan juga katanya parah, butuh donor darah mana rhesus darahnya tergolong langka, A rhesus negatif. Bantu cari sono!" ujar Luki kepada Laksmana.
Tanpa ba bi bu, si dokter kejam itu akhirnya pergi meninggalkan ruang rawat Opanya tanpa pamit, Luki hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan senyuman miring. "Panik dia," cetusnya.
"Jangan terlalu percaya sama Laksmana, bisa saja dia panik karena rasa kemanusiaan, bukan karena perasaannya." sahut Rajasa.
Luki mengangguk setuju mendengarkan perkataan Opanya. "Benar juga, oh ya... aku butuh Gana,"
"Untuk apa?"
"Untuk pergi denganku ke Bandung, Opa selama ini selalu membawa Gana jika membahas persoalan PT Media Global, posisi Denok sekarang sudah terancam, anaknya masih sulit untuk aku ajak nikah jadi mau tidak mau aku harus membawa Gana dan memindahkan kekuasaan Sisca Moestopo pada Denok, diwakilkan oleh aku."
Rajasa memijat pangkal hidungnya. "Kamu belum menikah dengan dia, Luki."
"Aku sudah mendaftarkan pernikahan aku dengan Denok di kantor sipil, Opa."
Kedua mata Rajasa membulat tak percaya. "Kamu berniat menikahi Denok secara sirih? Jangan! Lebih baik kamu jelaskan soal PT Media Global pada Denok agar gadis itu paham. Jangan buat masalah yang bisa membuat keretakan dalam hubungan kamu dengannya Luki."
Luki berpikir sebentar karena perkataan Opanya ada benarnya juga. Bagaimana jika Denok ngamuk atas keputusannya ini? "Kalau aku tidak menikahinya, aku seperti mengantarkan Denok pada kematian."
"Jelaskan." putus final Rajasa. "Jangan ada yang ditutupi, Denok sudah mengetahui kalau Sisca Moestopo adalah ibunya, tidak perlu takut apa-apa lagi. Kamu... tolonglah..." keluh Rajasa dengan wajah prihatin. "Bicara antar hati ke hati dengan Denok, manjakan dia kalau perlu agar dia mau menikah dengan kamu."
Luki mendengus, memang Opanya kira dia tidak berusaha? "Aku berusaha Opa! Aku sedang mengusahakannya, aku tidak sangka kalau Denok ternyata keras kepala."
Rajasa mengangguk setuju. "Sering terjadi pada perempuan cantik, ego mereka besar, dan keras kepala. Sudahlah, jangan terus mengeluh pada Opa, kepala Opa sakit lama-lama."
"Kalau aku menghamili Denok apa Opa akan marah?" tanya Luki dengan senyuman yang begitu enteng.
Rajasa membuang napasnya dengan keras berharap Luki mengerti rasa frustrasi nya. "Jangan jadi bajingan! Kamu mau menjerat dia dengan nafsu? Jangan gila Luki..."
"Aku akan menghamilinya ketika dia menjadi istriku!" balas Luki dengan kekehan pelan. "Sudahlah, Opa sedang tidak bisa diajak bercanda. Aku akan pulang, menemui Denok dan membuat gadis itu mengerti. Opa doakan aku agar aku bisa menikahi dia dengan cepat!"
"Akan Opa doakan, sana pergi." usir Rajasa dengan muak.
***
Denok dijemput oleh Luki dan dibawa pergi ke Kota Bandung tanpa persiapan apa pun, kata Luki dia bisa beli baju nanti dan bahkan bisa menyuruh orang untuk membelinya, awalnya Denok kesal kenapa dia harus mau diculik oleh pria yang selalu bersikap seenaknya ini.
Tapi ternyata Luki membawanya ke cottage dengan pemandangan yang tidak membuat Denok rugi sebenarnya, dan lagi... Denok baru tahu kenapa Bandung cuacanya bisa seadem ini?
Selama ini, dia jika main dengan Abby, pergi ke Singapura, Thailand, Jepang dan paling jauh ke Amman Yordania, dan tak lupa Swiss. Kalau soal liburan Denok memang selalu pergi bersama Abby.
"Besok pagi kita ada meeting, aku mau kamu ikut ada suatu hal yang perlu kamu ketahui." ujar Luki pada Denok sambil mengelus puncak kepala gadis itu.
Denok mengernyitkan keningnya heran. "Mau apa?"
"Ini tentang keluarga Mamamu, Sayang."
"Oh..." tahu siapa yang Luki maksud Denok mengangguk dengan senyuman. "Okay, aku.. boleh mandi, nggak? Kapan bajunya bakal diantar?"
"Di cottage ini ada kimono, atau nggak bathrobe. Pakai itu dulu ya,"
Denok langsung mendengus di tempat. "Nanti masuk angin! Kamu nggak bisa rasain kalau cuacanya dingin? Lihat di lereng sana! Kabutnya mulai turun, mana dingin pula! Ajak aku ke dataran tinggi tanpa persiapan, di culik gitu aja!"
"Kan ada aku!" Luki mencium pipi kanan Denok dengan gemas. "Kalau dingin kamu peluk aku saja."
"Modus!"
"Biarin, semoga saja aku hoki." balasnya pada Denok.
Denok langsung menggelengkan kepalanya heran dengan isi otak Luki yang ternyata cukup mesum. "Kamar di cottage ini ada dua ya! Awas aja kamu masuk ke kamarku! Aku pilih kamar ini!" ujarnya sambil membuka pintu kamar pertama.
Luki mengangguk, daripada Denok mengamuk seperti apa yang pernah ia lakukan di Bali, meksipun tetap pada prinsipnya bahwa dia akan mencoba semoga saja mendapatkan hoki.
Setelah membiarkan Denok membersihkan diri, begitu juga dengan Luki, para penjaga cottage mengantarkan makan malam untuk keduanya serta pakaian untuk Denok dan Luki.
Sagar membelinya di mall bawah sebelum naik ke atas, karena Luki pergi bersama supirnya sementara Sagar dan Gana pergi berdua.
Luki menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil ketika melihat Denok baru saja keluar dari kamar memakai sleep dress dengan model Baby doll berwarna pink latte yang manis, untung saja dress itu panjang mencapai betis Denok, tapi Luki penasaran siapa yang memilih sleep dress ini sampai merubah seorang Denok menjadi gadis polos seperti ini?
Luki harus protes pada Sagar dan Gana!
"Kenapa nggak makan?" tanya Denok melihat makan malam yang ada di meja depan perapian itu masih utuh.
Luki, tanpa melepaskan tatapannya dari Denok menjawab. "Aku nunggu kamu,"
Denok menggeleng tak percaya. "Jangan bilang mau disuap, aku juga lapar, makan sendiri."
Galaknya! Batin Luki memuji bagaimana tidak pedulinya Denok duduk di atas permadani Turki berwarna hitam itu dan dengan santainya mulai berdoa sendirian.
"Tunggu dong!" ujar Luki ikut bergabung duduk di sisi gadis itu. "Ada meja makan, kita makan di sana—"
"Aku mau di sini,"
Yo wessss....
Luki menurut, lalu dia menyatukan kedua tangannya dan meminta Denok mulai memimpin doa. Setelah selesai, Luki mencium pelipis Denok dan tersenyum lembut. "Selamat makan, Sayang..."
Denok hanya memberikan tatapan datarnya dan mengangguk. "Ya," jawabnya irit.
Melihat bagaimana begitu pemilihnya Denok, apa lagi sambil menyingkirkan beberapa dedaunan dan sayuran membuat Luki mengulum senyumnya, Denok makan dengan cepat entah karena lapar atau memang gadis itu kelihatan tidak berselera dengan menu makanannya.
"Kamu belum mengantuk, kan?" tanya Luki memastikan.
"Belum," jawab Denok sambil membereskan piring-piring kotor itu. "Kenapa?"
"Aku punya games buat kita berdua."
Denok meminum jus jeruknya dengan anggukan. "Selagi gamesnya waras aku ladeni, kalau nggak aku tinggal tidur."
"Ini serius," Luki mengeluarkan ponselnya dan membuka salah satu aplikasi 50 Questions To Ask Your Partner. "Harus jujur, dan aku pun bakal menjawabnya dengan jujur."
Denok tersenyum tipis lalu ikut berpindah ke atas sofa bed bersama Luki, pemandangan langit malam Bandung yang jauh dari kata polusi membuat Denok senang melihatnya.
"I have this," Luki menunjukkan koin keberuntungannya, sepuluh dolar Singapura pada tahun 1965-1975 pemberian Omanya dulu. "Aku atas kamu bawah, kalau muncul pertama diantara keduanya, artinya dia pemenang, okay?"
Denok mengangguk kembali sembari menutupi kedua kakinya dengan sleep dress sialan yang membuat Luki gemas setengah mati. "Okay."
Luki melemparnya dan menangkapnya dengan telapak tangannya, lalu ketika kepalan tangannya dibuka, Luki menjadi pemenangnya. "I win," kata Luki dengan senyuman menggodanya.
Luki menyentuh tanda spin pada aplikasi itu dan mulai berputar. Keluar pertanyaan pertama dan Luki tersenyum puas ketika membacakannya. "What do I mean to you?" tanya Luki.
Denok menyandarkan kepalanya sudah merasa pening duluan mendengar pertanyaan itu. Belum apa-apa dia sudah KO. "Mean apa nih..."
"Masa kamu nggak ngerti?" keluh Luki merapikan rambut Denok yang masih setengah basah itu. "C'mon Babe..."
Kedua alis Denok langsung menukik tajam. "Kamu cuman tunangan gagal aku yang mengusik hidup aku, lalu mencium aku, lalu mengajak nikah tiba-tiba, lalu marah-marah karena nggak dikasih kabar lalu seenaknya—"
"D," Luki membuang napasnya dan menatap Denok dengan miris. "Apa harus jawabannya sejujur itu?"
"Ya bagaimana lagi?" Denok menjauhkan tangan Luki yang ada di pipinya. "Jangan pegang-pegang ah! Kamu suka kelepasan!"
"Baru dipegang dikit doang,"
"Ya nanti keterusan! Udah, aku lanjut."
Luki lagi-lagi harus mengalah. Denok mulai menyentuh spinnya dan ketika pertanyaan itu keluar, Denok membacanya dengan suara lantang. "If you could describe our relationship in a word—what would it be?"
Luki tersenyum dan mendekatkan wajahnya mencium siku Denok yang tersampir di bahu sofa bed. "Perfect."
"Just that's it?" Denok mengangkat sebelah alisnya menatap Luki penuh penghakiman. "Kedengarannya gombal banget."
"Tapi memang itu kejujurannya, Sayang..." Luki ingin Denok mengerti apa yang dia katakan adalah apa yang ingin dia tunjukkan pada gadis itu. "Aku belum pernah dibuat pusing sama perempuan sebelumnya, dan kamu adalah pertama untuk aku yang buat aku kelimpungan menebak apa yang ada di dalam kepala kamu. Kamu tahu aku sudah nggak muda lagi, bagiku gadis seperti kamu ini hanya merepotkan, itu yang aku pikirkan sejak awal tentang kamu, tapi ternyata kamu lebih dari apa yang aku kira,"
"Lebih jeleknya ya?" sahut Denok tidak percaya diri.
Luki langsung menggeleng. "Lebih cantiknya, lebih baiknya, your character development berpengaruh baik buat aku. Untuk hal kecil, aku jadi selalu berdoa, bahkan ketika akan makan. Itu semua karena aku belajar dari kamu, percaya nggak?"
Jujur Denok agak... tersentuh? Ternyata, apa yang dilakukannya itu berpengaruh untuk Luki?
Denok memgangguk. "Ya sudah, giliran kamu."
Luki menyentuh spinnya kembali. "How do you feel when we're not together? Jawab jujur ya, Sayang."
Denok berdeham dan duduk lebih tegak dari sebelumnya. "Kamu betulan mau jawaban jujur?"
"Ya," balas Luki dengan mantap.
"Meskipun bakal jadi compliments from me?"
"Aku nggak akan keberatan."
Denok menarik napasnya dan mengangguk mantap. "Oke, first of all—aku bakal bahas dari pertama kali aku bertunangan dengan kamu," Denok memiringkan wajahnya dan berusaha mengendalikan dirinya. "Aku kira kita berdua nggak bakal jalan sejauh ini, I thought you never care about me, tapi salah. Entah kenapa kayaknya ada aja jalan Tuhan buat bikin kita ketemu terus menerus. Padahal saat itu aku tahu kalau hati kamu masih berat banget buat tinggalin Kezia atas keinginan Opa, maybe?" Denok mengangkat bahunya. "Aku sudah merasa makin percaya dan ya.. mencoba untuk buka hati seperti apa yang Abby sarankan—terutama ketika kamu menghormati keinginan aku untuk saling menjaga batasan diri untuk nggak saling atau menyentuh salah satu diantara kita kalau lagi nggak sadar,"
Luki mendengarkannya tanpa menyela ucapan Denok, karena tanpa disadari, Luki tahu Denok tengah mencurahkan isi hatinya. "... aku suka sama lelaki yang mau menghormati permintaan perempuannya, aku selalu suka sama lelaki yang bisa menghargai perasaan, ataupun sikap. Dan ya, malam dimana kita dinner setelah pulang dari Bali, I think I'm falling in love with you,"
Luki menegakkan tubuhnya dan menatap Denok dengan penuh perhatian, tapi Denok langsung mengangkat kedua tangannya di hadapan wajah Luki. "Tahan!" pintanya. "Belum selesai!"
Luki hanya bisa menahan diri lagi. "Okay," putusnya mengiyakan permintaan Denok.
Lalu Denok berdeham lagi dengan kedua pipi yang memerah karena malu, Denok menunduk. "... tapi kamu bawa Kezia ke depan Opa dan bilang..." Denok tidak bisa melanjutkan kata-katanya lantas menggeleng dan menarik napasnya. "Dan karena itu juga kita sempat punya waktu untuk nggak saling sama-sama, dan aku merasa... kecewa."
"Maaf," Luki dengan spontan langsung mengatakannya.
Tapi Denok menggeleng. "Aku kecewa karena aku berpikiran buruk kalau kamu tersinggung karena sikapku yang meminta untuk menjaga batasan, sementara kamu adalah pria dewasa yang sudah biasa—intinya seperti itu, dan ya, aku nggak bisa memuaskan kamu atau aku—" kata-kata Denok jadi melantur dan Luki langsung menarik tangan kanan Denok hingga tubuh Denok terdorong ke arahnya. "Aku... aku pikir kamu marah karena aku nggak bisa kasih kamu ciuman, and another level of skinship as a couple, aku pikir begitu... karena untuk pertama kalinya kita berdua bertemu setelah sekian lama pun kamu mencium leherku tanpa bertanya lebih dulu apakah aku mengizinkan kamu atau nggak dan hari itu aku melanggar prinsipku sendiri—"
Luki benar-benar merasa menjadi pria paling bajingan yang ada di dunia setelah melihat betapa gugup dan takutnya Denok ketika berusaha menjelaskan apa yang dia rasakan selama ini karenanya, tapi keberengsekan dan naluriahnya sebagai laki-laki tidak pernah bisa dia tahan hingga Luki selalu ingin menyentuh Denok secara lebih dan bahkan lebih dari apa yang dia bayangkan.
Belum satu jam sejak tadi saja dia sudah berfantasi liar karena melihat penampilan manis Denok, padahal yang gadis ini inginkan hanya ingin dihormati sebagai perempuan sesungguhnya.
Demi Tuhan Luki akan menceburkan diri ke kolam penuh buaya jika dia sampai berani-beraninya menyentuh Denok dengan kurang ajar malam ini.
"I'm sorry Baby, I'm sorry," ditambah rasa penyesalan dimana ketika dia membawa Kezia ke hadapan Denok dan membuang gadis yang ada di pelukannya dengan cara yang paling kurang ajar. "Astaga, maafkan aku..."
Kedua tangan Luki saat ini bahkan bergetar tak sanggup merengkuh tubuh Denok lebih erat untuk memeluk tubuhnya, she's like a fragile, batinnya mengusap lengan Denok. "Aku nggak pernah berpikiran seperti itu setelah kamu minta menjaga batasan diantara kita berdua, demi Tuhan... tapi saat itu hatiku memang... aku cuman bajingan buat kamu, D... I'm sorry."
Tidak ada jawaban dari Denok, tapi kedua lengan Denok kini melingkari pinggangnya dan merilekskan dirinya di pelukan Luki. "How can I explain what I feel right now? Aku malu.. aku malu karena berani jatuh cinta pada gadis semanis dan sebaik ini hingga membuat aku merasa menjadi bajingan untuk kamu, tapi aku nggak bisa menahan diri ketika kamu nyatanya—adalah apa yang aku inginkan selama ini."
Denok mengangkat wajahnya dan menyentuh rahang Luki dengan jari-jarinya yang kecil. "Kamu meninggalkan aku tanpa alasan yang jelas selain perasaan kamu yang mencintai Kezia, aku nggak punya hak apa-apa untuk berpikiran layak saat itu, meksipun kita berdua punya ikatan pertunangan."
"Aku tahu..." Luki memejamkan matanya mencium puncak kepala Denok dengan begitu dalam. Entah apa yang dia rasakan saat ini tapi persetan lah! Dia betulan jatuh cinta pada gadis yang ada di dalam pelukannya ini! "I'm in love with you, I love you, maaf karena aku pernah menyentuh kamu secara paksa, mencium kamu sembarangan, dan membuat kamu jadi rendah diri karena apa yang telah aku lakukan pada kamu. Maaf untuk itu..."
"Nggak apa-apa," Denok menjauhkan tubuhnya dan tersenyum lebar kepada Luki. "Sekarang aku ngerti dan aku bisa rasakan hal baru,"
"Hal baru?" tanya Luki bingung.
"Ya, rasa baru, oh... begini ya rasanya dicintai oleh orang lain."
Luki tersenyum penuh haru dan mengelus pelipis Denok. "Akhirnya kamu ngerti, Sayang.."
"Mm, aku ngerti sekarang."
"Jadi?"
"Apa?" tanya Denok bingung.
Luki mengeluarkan kotak beludru biru dari dalam saku celananya, saat ini tidak ada lagi yang bisa Luki pikirkan selain menjadikan Denok sebagai miliknya. "Marry me?" tanyanya sambil membuka kotak beludru biru itu.
Denok menatap cincin yang ada di hadapannya dan dengan kebingungan dia menatap Luki bergantian lalu menatap cincin Harry Winston itu lagi. "Menikah?"
"Iya... aku mau kamu jadi istri aku, kamu bisa lanjut marah-marah sama aku, jutek, dan nggak pernah mau nurut meskipun jadi istri aku. Ada aturan spesial yang akan aku wajar kan untuk kamu nantinya setelah kamu jadi istri aku."
"Apa kamu sedang melobi aku?" tanya Denok dengan kedua matanya yang memicing.
"Kamu maunya bagaimana?"
Bagaimana? Denok sendiri tidak tahu. Tapi... Luki dan cincin itu tampak menggiurkan. "Pasangkan," perintah Denok memberi jari manis kanannya.
Dengan menurut tanpa bantahan, Luki memasangkan cincin di jari manis Denok, setelahnya gadis itu tersenyum puas dan mengangkat wajahnya. "Gereja mana yang akan jadi tempat pemberkatan kita?" tanyanya dengan angkuh.
Jantung Luki rasanya sudah terbang ke Afrika sana dan dia langsung memeluk Denok untuk waktu yang lama. Gadis ini... akan menjadi miliknya!
***
a/n:
Ada yang lumer tapi bukan coklat.
Ada yang panas tapi bukan api.
Ada yang manis tapi bukan gula.
Ada yang tajam tapi bukan pisau.
Jangan tanya harganya berapa. Pusing kepala.
p.s: kayaknya OTW wedding. Siapa aja nih yang mau di undang?
22, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro