Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36. Logika dan perasaan

Denok pusing bukan main setelah Abby datang ke rumahnya dengan wajah sembab sambil berkata; gue nggak mau nikah! Gue mau jadi TKW aja di Malaysia! Mendadak, Denok panik dong, masa iya sekelas Abby harus pergi menjadi TKW karena tidak mau menikah? Gila aja.

Beberapa bulan sejak lulus, Abby memang bilang kepada orangtuanya bahwa dia tidak mau bekerja, dengan alasan capek; mau nikah aja. Eh, ternyata perkataan itu malah dituruti oleh orang tuanya.

Jadi, sejauh ini nasib dia dan nasib Abby itu sama nggak ada bedanya. Sama-sama dijodohkan, bedanya si Abby ini memang menolaknya agak kurang ajar. Katanya, pria yang dijodohkan dengan Abby itu cukup strict, disiplin, tegas dan dingin. Coba ayo tebak...

Ya, si Abby akan dijodohkan dengan Abdi Negara!

Kenalan keluarga Abby ini keluarga polisi, alias seluruh anak-anaknya itu polisi bahkan calon mertua Abby juga inspektur jenderal bintang dua. Ngeri kali lah... itu kenapa Abby agak tertekan selama berbulan-bulan ini karena dia menjaga sikap dan menjaga langkah kakinya secara drastis.

Keamanan keluarganya maupun keluarga Abby diperketat, itu adalah hal yang membuat Abby frustrasi bukan main.

"Dia ninggalin gue di Cafe setelah dapat telepon dari komandannya dan bilang kalau dia harus kejar target!" Abby mengusap air matanya yang terus turun. "Gue malu ditinggal pergi gitu aja pas lagi nge date! Bajingan memang Argo Tjandranegara!" makinya.

"Jadi... lo nggak mau nikah, apa marah karena ditinggal kencan?" tanya Denok tak mengerti kenapa Abby uring-uringan.

"Nggak tahu ah! Dia orangnya nggak peduli gitu sama cewek, jangan-jangan dia impoten kali, De..."

"Yeh..." Denok menggeleng dengan kedua mata yang membulat. "Lo goda-goda dia ya?"

"Iya lah! Dia cakep! Tapi kayaknya dia nggak suka sama gue, tapi ya gimana ya... gue juga sebenarnya mau nggak mau sama dia tuh."

"Pusing kepala gue, By."

Abby mengambil micelar water dan menghapus makeupnya. "Lo sendiri gimana? Katanya Mas Luki ketemu lagi sama lo?"

"Iya,"

"Terus?"

Denok membuang napasnya. "Dia..."

Abby tertawa lalu merengek kembali. "Anjing lo sama gue nggak ada bedanya!"

"Gue masih pusing, By. Oh ya, gue belum cerita soal yang satu ini,"

"Kenapa? Masalah apa?"

"Sebenarnya..."

Abby melepas bulu mata palsunya dan menunggu kata-kata Denok. "... sebenarnya, Tante Sisca Moestopo itu..."

"Kenapa? Lo mau bilang kalau dia itu ibu lo? Dan wajah lo sama dia kayak kembaran?"

Abby sudah biasa mendengarkan kata-kata tak masuk akal Denok yang mengagumi kecantikan artis senior itu, tapi tetap saja Abby hanya bisa menanggapi Denok dengan dengusan.

"Dia betulan Ibu kandung gue, By."

Abby masih melanjutkan menghapus alisnya dan dia mengambil pinset demi mencabut satu bulu alis yang berada di luar jalur. "Ya..."

"Ih!" Denok menggeplak bahu Abby. "Serius, By. Dia Ibu kandung gue, selama ini gue baru tahu kalau ternyata Tante Sisca pernah menikah siri sama Bokap gue, dulu... tapi, Papa sudah menikah lebih dulu sama Mama gue—Banuwati, itu Mama gue yang selama ini sudah pergi meninggalkan gue sendirian."

Abby menghentikan kegiatannya sementara salah satu alisnya masih belum terbersihkan. "Lo... lo mabok?"

"Gue serius." kata Denok berusaha membuat Abby percaya. "Mas Luki yang kasih tahu gue, kemarin gue, Tante Sisca dan suaminya, Om Desmond ketemu dan ya... kita berdua akhirnya, nggak gue akhirnya tahu kalau selama ini tetangga yang care banget sama gue ternyata ibu kandung gue."

Abby menjatuhkan kapasnya dan berjalan mendekati Denok, naik ke atas ranjang dan memeluk Denok begitu erat. "Cerita hidup lo! Luar biasa! Gue bakal buat dongeng cerita anak tentang lo okay?!"

Kampret, Denok menjambak rambut Abby dengan kesal. "Nyangka nggak sih, By?" tanyanya dengan tatapan sendu.

Abby tersenyum sendu dan menepuk pipi Denok dengan gemas. "Nggak sangka masih nggak bisa percaya, tapi lo ngomong serius begitu, terus gue juga merasa senang karena akhirnya kebenaran terungkap, tapi sekarang jadi masuk akal sih, De."

"Masuk akal apanya?" tanya Denok dengan kening yang berkerut.

"Ya... kenapa Tante Sisca suka nongkrong depan rumah, sapa kita berdua tiap pagi kalau mau pergi ke kampus, terus buatin sandwich buat lo ingat nggak? Terus, Tante Sisca juga suka kirim makanan buat kita berdua meskipun kita berpikir kalau dia gabut."

Denok mengangguk dengan tatapan mengawang, ternyata selama ini... benar juga pikirnya, Sisca Moestopo selalu ada di sisinya, bahkan tak jarang bertemu dengan Sisca Moestopo secara tidak sengaja, dan wanita itu selalu mengetahui info tentangnya bahkan saat sakit sekali pun.

"Tadi malam dia chat kalau besok pagi Ta-Mama Sisca bilang mau ajak gue jalan."

"Cieeee...." Abby mengulum senyumnya. "Udah fix Mama nih?"

Denok mengangguk dengan senyuman senang. "Iya... gue juga punya dua adik laki-laki!" katanya dengan bangga.

Abby menganga tak percaya. "Adik tiri dong?"

"Iya, anaknya Om Desmond."

"Yah.. akhirnya lo punya keluarga juga, De. Meskipun lo dicuekin sama Papa dan Mama lo dulu, dan diacuhkan ternyata sekarang lo banyak yang sayang juga."

"Gue nggak nyangka, setelah kenal Mas Luki hidup gue banyak yang berubah, By."

Abby tersenyum penuh arti. "Termasuk hati lo yang udah berubah juga kan, sekarang?"

Berubah? Denok menggeleng dengan tidak yakin, berubah atau tidaknya tapi jujur Denok agak takut dengan ajakan nikah Luki. Denok, belum siap dan tidak mau menikah dengan Luki, pria itu kelihatannya tidak benar-benar serius mencintainya.

***

Sisca Moestopo tersenyum penuh bahagia ketika melihat Denok berjalan menghampirinya dengan senyuman cantik yang terpatri di wajah putrinya. Kedua putranya, Andres dan Nathan yang berdiri di sisinya ikut terpaku melihat kembaran sang Mama yang wajahnya terlihat seperti Sisca Moestopo saat muda, bedanya wajah kakak tirinya lebih feminin dan lembut.

Siapa sangka bahwa di usia Andres yang menginjak tujuh belas tahun dia akan memiliki kakak perempuan secantik ini? Takdir memang suka bercanda, Andres tidak berhenti memuji kecantikan kakak tirinya yang sedang berjalan ke arah mereka bertiga. Sementara Nathan, memuji secara terang-terangan dan berbisik pada sang Mama.

"Ma... cantik banget, kayak Mama." puji Nathan di telinga Sisca.

Sisca terkekeh pelan dan menepuk bahu putra bungsunya yang berusia empat belas tahun itu.

"Hai!" sapa Denok dengan canggung.

Andres dan Nathan mengangkat tangan kanan mereka dan melambaikannya kepada Denok. "Hai juga..."

Itu adalah sapaan termanis yang pernah Sisca dengar, dia lantas memeluk Denok dan mencium kening putrinya. "How was your day, Sayang?" tanya Sisca sambil menggenggam kedua tangan Denok.

"Like I usually do, dan..." Denok menatap Andres dan Nathan bergantian. "Senang bisa ketemu kalian secara langsung."

Mendengar ucapan manis sang kakak perempuannya membuat Andres dan Nathan tersenyum tanpa mereka sadari. "Senang bisa bertemu dengan Kakak juga. Oh ya, kami... merasa canggung untuk pertama kali karena seminggu sebelumnya Mama sudah kasih tahu tapi kita nggak percaya, dan sekarang lebih dari percaya karena Kakak punya wajah yang sama dengan Mama." ujar Andres.

Denok terkekeh pelan. "Jadi, sudah terakui banget ya?"

Nathan mengangguk cepat. "Certified, di rumah ada foto Mama waktu remaja, wajah kalian betulan mirip."

Sisca menghela napasnya dengan lega. "Anak Mama yang mirip sama Mama cuman kakak kalian aja," katanya sambil merangkul lengan Denok. "Kalian berdua kan mirip Papa!"

Andres dan Nathan langsung mendengus di tempat. "Ya sudah, kita jalan sekarang?" tanya Andres.

Denok memgangguk setuju, ketiganya pergi menuju restoran keluarga di daerah Ampera Jakarta Selatan, sengaja Sisca sudah memesan private room untuk ketiga anaknya agar bisa bebas leluasa berbicara tanpa harus mendapatkan sorotan penasaran orang lain. Apa lagi, Andres ini lumayan terkenal dan followers Instagramnya lumayan banyak.

Mungkin, faktor terkenal sebagai anaknya dan gaya hidup Andres yang sempat di sorot oleh media, Andres jadi banyak disukai oleh remaja perempuan khususnya karena ketampanannya dan pernah trending di Twitter dan TikTok setelah menjadi Kapten Basket di sekolah melawan sekolah lain.

"Umur kakak berapa sih, sekarang?" tanya Nathan pada Denok.

Sepertinya anak bungsunya itu tidak akan berhenti mencecar Denok dengan segudang pertanyaan.

"Dua puluh dua, jalan dua puluh tiga."

"Waw," decak kagum Nathan lalu menoleh pada Sisca. "Mama sudah jadi artis dari usia lima belas tahun, berarti Mama waktu dulu hamil Kak Denok di usia berapa tahun, Ma?"

"Tumben banget lo tanya detail." sindir Andres dengan tawanya.

"Ya pengen tahu aja sih, Bang!"

Sisca tersenyum lembut sambil merangkul Denok dari sisi kiri dan menumpukan dagunya di bahu kiri Denok. "Dulu, Mama mengandung kakak kalian di usia dua puluh satu, masih muda."

"Oalah... Papanya Kak Denok berarti masih muda juga ya? Eh, teknisnya kan mantan suami Mama." lihat, betapa tengilnya Nathan yang berbicara seperti itu tanpa rasa dosa.

Andres tak bisa menahan untuk tidak menggeplak belakang kepala adiknya yang bawel itu. "Ah! Apa sih?!" protes Nathan.

"Mulut lo!" kata Andres sambil menunjuk bibir Nathan dengan sumpit.

Denok dan Sisca malah tertawa melihat kelakuan Andres dan Nathan.

"Oh ya, Kak Denok lahir tanggal berapa? Bulan berapa?" tanyanya lagi.

"5 Desember," jawab Sisca.

Padahal Denok baru saja ingin menjawab, dia lantas tersenyum senang mendengarnya, bahkan Banuwati Gayatri yang tinggal satu atap dengannya seumur hidup saja selalu lupa akan ulang tahunnya.

"Widih... kalau aku tanggal 8 Mei, Kak. Ingat-ingat, ya!" pinta Nathan.

Denok mengangguk senang. "Oke bakal aku catat, kalau tanggal ulang tahun Andres berapa?" tanyanya kepada Andres.

Andres agak sedikit kaku dan tersenyum malu lalu mengusap belakang lehernya. "13 Agustus, Kak."

"Oke..." Denok langsung menandai tanggal tersebut di kalender ponselnya.

"Mama nggak ditanya juga, Sayang?" ujar Sisca pada Denok.

"17 Juli, kan?" jawab Denok.

Sisca mengernyitkan dahinya merasa terkejut karena Denok tahu tanggal lahirnya. "Kamu tahu?"

Denok mengangguk. "Tahu,"

"Lihat google atau Wikipedia?"

"Pernah lihat berita," jawab Denok dengan ulasan senyuman. "Mama pernah merayakan ulang tahun Mama berbarengan dengan anniversarry pernikahan Mama sama Om Desmond, kan?"

Sisca mengangguk malu mendengarnya. "Iya,"

"Dan hari itu, beberapa tahun yang lalu—aku ingat Papa selalu berdoa di tanggal 17 Juli setelah lihat berita perayaan ulang tahun Mama, ketika aku tanya Papa mendoakan siapa, Papa jawab dia mendoakan orang jauh, begitu katanya."

Tahu siapa yang Denok bahas, Sisca menjauhkan tubuhnya dan dadanya terasa nyeri, lagi-lagi dia diserang rindu kepada Erlangga. Pria itu ternyata masih mengingat ulang tahunnya.

Denok merasakan aura canggung tiba-tiba. "Aku... setelah tahu kalau Mama adalah Ibuku, semuanya jadi jelas di mataku, kenapa Papa selalu membeli bunga di bulan Juli, dan kenapa Papa selalu melingkari kalender di meja kerja ruang Papa, karena aku selalu masuk diam-diam dan tidur di ruang kerja Papa kalau rindu sama Papa, dan aku lihat tanggal di bulan Juli tepatnya tanggal 17 yang selalu Papa lingkari dengan spidol merah."

"..."

Andres dan Nathan menatapnya tanpa berkedip, sementara Sisca terlihat sedikit murung. "Sori..." gumam Denok merasa bersalah. "Harusnya aku nggak bahas soal itu ya?"

"No," geleng Andres merasa bahwa Kakaknya tidak salah. "Aku suka dengarnya, Kak. Kami juga tahu kalau Mama punya cinta lain selain Papa, kata Papa itu bukan tamak, tapi pada dasarnya hati manusia bisa diisi oleh banyak orang yang disayangi. Kan, kalau punya rasa sayang itu nggak bisa dibatasi, Kak. Dan Mama sayang sama cinta pertamanya itu wajar, sama seperti Papa yang sayang sama cinta pertamanya juga."

Betapa indahnya toleransi keluarga Mamanya ini, Denok benar-benar iri dan merasa bahwa dirinya terkadang kurang dewasa dalam menanggapi sesuatu yang bersangkutan dengan hati.

Contohnya, ketika perasaannya kepada Ben, dan perasaannya kini kepada Luki.

Dalam perjalanan hidupnya, Denok seringkali menemukan bahwa perasaan inginnya A tapi logika maunya B, Denok selalu mementingkan bahwa dia harus mencintai dirinya sendiri di masa kini dan masa depan. Mungkin, mencintai dirinya di masa kini tidak terlalu membuatnya pusing, dia bisa memberikan self reward untuk dirinya sendiri. Tapi untuk di masa depan?

Bahkan jika ada orang yang menjual cintanya dengan murah untuk di masa depan, seperti yang Luki tawarkan—pernikahan, apa itu menjamin bisa membuat dirinya bahagia di masa depan?

Sepertinya Denok harus memberi toleransi pada dirinya sendiri lebih banyak.

"Mama senang bisa dengar ini semua dari anak-anak Mama yang dewasa ini. Terima kasih ya." kata Sisca kepada anak-anaknya.

Denok memberikan senyuman lembut kepada Sisca yang dibalas dengan senyuman lebar, dan kali ini Denok tahu, cinta Papanya terhadap Sisca Moestopo adalah bentuk dari rasa toleransi yang begitu besar hingga mengizinkan Mamanya untuk menikah dan memiliki keluarga kecil serta diberikan kebahagiaan yang melimpah.

Sementara Papanya sendiri? Ditinggalkan karena sakit oleh istrinya sendiri yang selalu Erlangga perjuangkan. Denok jadi penasaran, dimana keberadaan Banuwati Gayatri sebenarnya.

***

Gianjar memeluk Ruth, istrinya dari belakang yang tengah menata buku ilmu-ilmu kesehatan milik mendiang Ibunya yang tersimpan rapi di perpustakaan rumah utama. Tadi siang, Papanya mengeluh sakit kepala dan minta dibantu untuk mencari obat yang lumayan sulit untuk ditebus karena harus memakai resep dokter.

Laksmana sedang tidak ada di Jakarta, keponakannya itu tengah menghadiri seminar kesehatan di rumah sakit Kota Bandung, akhirnya Gianjar dan Ruth sengaja datang ke rumah Papanya dan berniat untuk menginap saja.

"Mas," keluh Ruth saat Gianjar menyandarkan wajahnya dibahu kanannya. "Berat..."

Gianjar malah terkekeh pelan. "Ngapain sih kamu beresin perpus jam segini? Lagian buku-buku Mamaku dulu memang sudah lapuk begitu."

"Aku cari buku resep makanan, mau buat lupis. Papa minta dari tadi, katanya tiap minggu biasanya Denok kirim buat dia, tapi sekarang nggak, mau minta malu," kekehnya geli. "Denok masih sibuk sama urusan sekolahnya kali, apa lagi aku dengar kabarnya Sisca Moestopo sudah kasih tahu siapa dia ke Denok. Pasti anak dan Ibu itu banyak meluangkan waktu sekarang."

Gianjar mengecup bahu Ruth dan mengangguk setuju. "Aku juga sudah dengar itu dari Luki. Besar juga nyali dia kasih tahu Denok tanpa strategi, memang cari kesempatan biar bisa balik lagi."

Ruth memicingkan matanya dan menatap suaminya dengan geli. "Memangnya kamu nggak? Kamu juga memanfaatkan situasi kali, biar dekat sama aku?"

Gianjar menggaruk tengkuknya yang tak gatal, keduanya ini memang sudah tua, Ruth sudah bilang kalau dia sudah menopause dan Gianjar malah bilang. "Aku cinta lebih banyak sama usia kamu saat menopause, kan kita berdua bakal sama-sama sampai tua."

"Mau putar waktu lagi juga nggak bisa," katanya kini dengan pasrah. "Untungnya kamu nggak pernah pergi kemana-mana."

Ruth mengulum senyumannya. "Aku bertahan karena Luki, dia anakku satu-satunya. Ingat nggak? Waktu Luki lahir, kamu bilang kalau Luki akan jadi anak pertama dan terakhir untuk kita berdua karena kamu nggak tertarik menghamili aku lagi?"

Gianjar syok setengah mati ketika berusaha mengingatnya. "Aku bilang begitu?"

Ruth mengangguk dengan enteng. "Iya, kamu bilang begitu, saat itu aku langsung berpikir—kayaknya kehamilan aku dan kelahirannya Luki cuman bawa ketidaksenangan untuk kamu, nggak ada bahagianya sama sekali. Kayaknya kalau aku nggak hamil Luki, kamu bakal lebih senang."

Gianjar dengan panik langsung meraih kedua tangan Ruth hingga majalah dengan resep makanan itu jatuh begitu saja dari genggaman tangan Ruth. "Mas—"

"Aku nggak pernah berpikir seperti itu, demi Tuhan.." kedua tangan Gianjar gemetar dan menatap Ruth dengan panik. "... andaikan aku bisa putar waktu lagi aku akan buat keluarga kecil kita semakin besar, aku memang brengsek sama kamu, tapi nggak pernah sekali pun aku merasa nggak bahagia karena kelahiran putraku sendiri."

Ruth berusaha menenangkan Gianjar, jujur Ruth tidak sangka kalau kata-katanya akan berefek fatal pada Gianjar. "Sshhtt, sudah... sudah..." Ruth menepuk bahu Gianjar dan mengusapnya pelan.

"Aku minta maaf," Gianjar mencium punggung tangan Ruth.

Pantas saja selama ini Luki amat sangat membencinya, apa lagi jika Gianjar terang-terangan bersikap tidak peduli. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Penyampaian cinta Gianjar kepada Ruth memang tidak pernah terlihat, atau bahkan tidak bisa disadari.

"... maaf," gumam Gianjar lagi.

Mau sampai kapan Gianjar akan meminta maaf kepadanya? "Kalau Luki bersama Denok—maksudku, kalau Tuhan merestui mereka berdua, aku harap kamu bisa menerima Denok sebagai menantu kamu, soal sikap Luki yang..." Ruth menghela napasnya dengan kesal. "Biarkan dia, lambat laun, Luki akan bersikap biasa lagi kepada kamu, Mas."

Gianjar menatap kedua mata Ruth dan mengangguk, untuk sesaat Gianjar ingin memastikan semuanya baik-baik saja, tapi kediamannya sejak dulu sudah membuat Ruth ikut berpikir yang tidak-tidak tentangnya.

"Seperti Papa yang mempertemukan aku dan kamu, dan Papa yang mempertemukan Luki dan Denok, aku berharap Luki bersikap lebih baik daripada ketika aku bersikap kepada kamu."

Ruth mengusap rahang suaminya. "Aku yakin Luki nggak akan seperti kamu, tenang saja."

Gianjar terkekeh pelan. "Aku ini memang bodoh,"

Ruth malah mengangguk menyetujui apa yang suaminya katakan. "Iya, kamu memang bodoh, Mas."

Dan keduanya tertawa di dalam perpustakaan yang bergema, dan ketika Rajasa lewat dan mendengarkan percakapan antara suami istri itu, meskipun Rajasa tahu telat bagi Gianjar untuk bersikap seperti itu, setidaknya telat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Dan semoga saja, apa yang Luki lakukan akan lebih baik daripada yang sebelumnya. Karena Rajasa tidak akan bisa meninggalkan dunia dengan tenang jika anggota keluarganya belum mendapatkan cinta yang utuh dan sejati.

***

a/n:

Kita peluk Opa Rajasa!

Memang ya, soal perjodohan tuh kedengarannya memang non make sense sih, di zaman sekarang yang mana—bisa ketemu sama jodoh dimana pun tanpa harus dibantu dan diatur oleh orang tua.

Jujurly, orangtua aku pun dulunya dijodohkan. Tapi, karena mereka memang tidak sebaik jalan cerita yang lain dan memilih untuk berpisah, bukan berarti semuanya salah dari perjodohan ya.

Soal perjodohan itu kan hak pribadi, sebenarnya kita tetap punya suara untuk menolak. Asalkan; menolak dengan baik-baik dan dengan alasan yang tepat.

Dalam kasus keluarga Amidjaja ini, terutama si Opa—yang merasakan manfaat besar dari sebuah perjodohan adalah—beliau sangat cinta dengan istrinya dan istrinya yang mencintai dirinya, beliau memang berhasil. Nah, itu kenapa Opa tuh kayak buat pengalaman dia dijadikan patokan untuk anak sampai cucunya.

Kasusnya Gianjar ini memang berhasil; tapi ketika hubungan itu berjalan—ada yang nggak bergerak secara beriringan. Entah itu isi kepala Ruth, atau isi kepala Gianjar yang nggak pernah dikeluarkan akhirnya hubungan rumah tangganya ya begitu sampai tua.

Kadang-kadang, manusia tuh punya beberapa fase yang harus dilewati dalam hidupnya, dan si Gianjar ini; punya fase jatuh cinta kedua kali—kalau kata bahasa Sundanya Beger dua kali. Biasanya memang lelaki yang merasakan hal itu di usia empat puluhan ke atas. Nah, kasusnya Gianjar ini dapat rasa kasmaran di usia empat puluhan ke atas sama istrinya sendiri.

Jadi memang mau disebut norak juga memang begitu bentukannya geng, si Luki belum ngerti aja kenapa Bapaknya tergila-gila sama Emaknya sendiri.

Nih, isi hati Ruth ketika suaminya caper di usia yang sudah menuju tua wkwkwk. Berarti, sekitar usia empat puluhan, Ruthnya masih usia tiga puluhan, Lukinya masih remaja menuju dewasa akhir lah ya.

p.s: Aku baru bisa update skrg, sorry... kerjaan numpuk wkwk.

20, Desember 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro