Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32. Antara sepupu dan cinta

Laksmana hanya bisa tersenyum mendengarkan kalimat demi kalimat yang ditujukan kepadanya dalam bentuk sindiran yang dilakukan oleh Ansara Aghni Werdrayana, calon istrinya yang selalu kedua orangtuanya banggakan ini telah mengatakan bahwa; darah lebih kental daripada air yang mengartikan bahwa ikatan keluarga akan selalu lebih kuat daripada ikatan lainnya.

Ansara tahu bahwa Laksmana tidak tertarik kepadanya, bahkan Ansara bilang kalau dia juga sama tidak tertariknya, hanya karena Virginia yang membantu biaya kuliahnya, Ansara tidak merasa enak untuk menolak permintaan sang Tante.

Tapi Laksmana lebih kesal karena perkataan gadis sok tahu yang selalu merasa benar ini. Masalahnya, Laksmana pun tidak punya keberanian untuk menemui Denok setelah menyatakan keberaniannya untuk meminang gadis itu di depan sepupu tertuanya sendiri.

Kata Martha adiknya, Denok tidak marah sama sekali, bahkan merasa lega setelah mendengar Laksmana dijodohkan dengan Ansara. Ya, Laksmana sadar kalau secara tidak langsung Denok merasa tertekan dengan pilihan yang harus dihadapi olehnya saat itu. Sementara dia, harus memutuskan perasaannya pada Denok langsung ketika Luki membawa dengan yakin Kezia ke hadapan Opanya. Memang sepupu tertuanya itu paling gila tidak ada duanya.

"Mas, Laks... nanti dimarahi Tuhan baru tahu rasa, manusia itu nggak boleh bermusuhan lebih tiga hari lho, apa lagi kalau sesama saudara." kata Ansara lagi di sisinya dengan anteng sembari membuka satu snack.

Laksmana masih fokus menyetir dan tidak memedulikan ocehan Ansara. "Kamu bicara begitu kayak berusaha bujuk anak kecil. Kamu pikir aku anak kecil?" balas Laksmana dengan kekehan pelan.

Ansara menggeleng dengan tawa yang kecut. "Susah banget dibilangin, aku jadi penasaran secantik apa Denok-Denok itu."

"Pokoknya lebih cantik dia daripada kamu, anaknya anggun dan tidak suka macam-macam, anak psikologi dan pintar." balas Laksmana memuji Denok sesuai dengan apa yang ada di pikirannya.

Ansara mengangguk-angguk saja. "Kalau ketemu, aku bakal sapa dia—hai mbak Denok, aku calon istri Mas Laksmana—boleh nggak?"

"Usia dia sama kayak kamu, jangan sampai kamu panggil dia Denok mbak, dia bukan Mbak kamu." protes Laksmana.

"Oh ya? Berarti... dia juga 22 tahun sekarang? Menjelang 23? Kok dia sudah lulus sih?"

"Dia lulus cepat, kamu kelamaan," sindirnya kepada Ansara. "Mau sampai kapan skripsi kamu ditahan? Tidak mau melanjutkan? Orang tuh inginnya cepat lulus tapi sepertinya kamu mau jadi mahasiswa abadi."

"Ah... pasti background pendidikan dia lebih keren daripada aku." Ansara tertawa gugup, setengah menyindir sih. "Jujur deh, aku beneran penasaran sama Denok itu... kapan kita bisa ketemu dia?"

"Di pernikahan Adjie pasti dia bakal datang."

"Wah..." Ansara memasukkan keripik singkong penuh ke dalam mulutnya, lalu sembari mengunyah dia melanjutkan kata-katanya. "Kalau begitu aku nggak boleh kalah cantik sama dia. Oh ya, apa tubuhnya lebih tinggi daripada aku?"

Laksmana mengerutkan keningnya, dia bahkan tidak pernah memerhatikan tinggi tubuh Denok, mungkin hanya sampai sebahunya? "Berapa tinggi badan kamu?" jawab Laksmana sambil berbelok menuju jalan tol.

"Seratus enam puluh tiga," jawab Ansara.

"Mm, sepertinya tidak jauh berbeda."

"Wah... Tante Virgi bilang kalau Denok ini anak orang penting di industri hiburan Indonesia, tapi Tante juga nggak kasih tahu aku lebih jelas."

"Jangan mau tahu, itu rahasia internal."

Ansara malah tertawa lagi mendengarnya. "Apa Mas Laks masih suka? Meskipun sudah lama nggak bertemu? Rindu dia nggak?"

"Rindu sih tidak," Laksmana mengalihkan mobilnya ke jalur kiri agar tidak terlalu cepat. "Aku hanya penasaran, perasaanku belum tuntas, dan aku memang sepertinya—mengagumi? Tahap tertarik memang sudah ada, aku belum berani untuk cinta dengan dia sepenuhnya, Luki bisa membunuhku kalau begitu."

"Itu tahu!" sahut Ansara dengan semangat. "Makanya jangan dipaksakan, tahu nggak sih nggak semua perasaan di dunia ini harus direalisasikan, kalau ceritanya bakal bermasalah kayak gini makanya Mas Laks jangan memaksakan diri."

"Perasaanku ya hakku, kenapa kamu ngatur?" balas Laksmana dengan sewot.

Ansara berdecih, memang bagi orang jatuh cinta tahi juga macam cokelat kelihatannya. "Kasian Tante Virgi kepikiran soal kamu, Mas."

"Aku tidak bisa mengendalikan perasaanku, kalau aku menyukainya lebih awal dan Opa menawarkan Denok kepadaku, aku tidak akan menyia-nyiakannya."

Ansara menepuk dahinya mendengar curhat pria sad boy yang tidak pantas disebut boy lagi. "Menyedihkan banget..."

"Makanya kamu harus membantuku, biar Denok tidak canggung ketika bertemu denganku nanti. Seperti apa kata kamu tadi, tidak semua perasaan bisa direalisasikan."

Ansara terkejut, waw... jadi kata-katanya tadi mempengaruhi pria ini? Hebat sekali dia ini. "Siap! Aku bakal bantu Mas Laks!"

"Senang?" tanya Laksmana menolehkan wajahnya dengan senyuman miring nya.

"Senang, seenggaknya ada kata-kataku yang nyangkut di otak Mas Laks." Ansara memiringkan wajahnya dan terkekeh pelan. "Oh ya, aku mau tahu MBTI Mas Laks apa?"

"Ya ampun," Laksmana mengulum senyumnya. "Aku sudah lama mengeceknya, pasti sekarang sudah berubah juga."

"Terus dulu hasilnya apa?"

"ISTP?"

Ansara mengangguk setuju. "Kalau aku ENFP, selamat kayaknya kita cocok."

Laksmana menoleh dengan tatapan agak berbeda dari sebelumnya, sementara gadis itu hanya menggerakkan tubuhnya sembari mendengarkan lagu Charlie Puth yang terdengar dari radio mobil Laksmana.

Pekerjaan satu ini, yang harus Laksmana tuntaskan.

***

Denok merasa kepanasan bukan main setelah melakukan razia keliling di tiap kelas, karena hari ini cuaca panas dan dia terpaksa harus memakai turtle neck dan blazer hitam yang membuatnya merasa kepanasan! Ah... Luki Sialan Amidjaja itu menciumnya seperti vacum cleaner yang membuat tanda di lehernya keunguan dan tanda ciumannya itu bukan hanya sekedar bulatan kecil, tapi bercak ungu yang begitu besar hampir menghabisi seperempat kulit lehernya yang mulus!

Denok tak paham bagaimana gaya Luki saat mencium lehernya habis-habisan hingga menghabiskan lapak di lehernya, meskipun sudah ditutupi oleh concealer sekali pun, Denok merasa takut jika concealer itu luntur bagaimana, sementara hari ini dia sudah berkeringat dan rambut yang tidak Denok ikat—intinya dia sudah tersiksa sendiri.

Selama jam sekolah, Denok tidak bertemu dengan Refal, suatu keberuntungan yang harus Denok syukuri sebab dia belum benar-benar siap menjelaskan drama memalukan kemarin sore.

Sepulang kerja, Denok menemukan dua bodyguard kemarin yang sudah patuh akan perintah Luki, dengan wajah tak suka Denok mendekati mobilnya dan bertanya kepada mereka.

"Kalian suruhan Luki Amidjaja?" tanya Denok.

Keduanya menggeleng. "Bukan Nona," jawabnya dengan suara yang bass dan besar. "Kami adalah anak buah Ibu Sisca Moestopo."

Sisca Moestopo? Denok tidak paham kenapa Sisca Moestopo mengirim dua bodyguard untuknya. "Ada urusan apa?"

"Akan dijelaskan nanti oleh Pak Luki Amidjaja, untuk saat ini kami ditugaskan untuk menjemput Ibu ke kantor Amidjaja Petroleum Corp."

Ketemu lagi... belum apa-apa Denok sudah malas duluan.

"Bu Denok!"

Denok melihat Refal dan guru Bahasa Jepang, yang sering dikenal Sensei Rita itu jalan bersamaan menuju dirinya. "Pak Refal, Sensei Rita.." sapa Denok seadanya.

"Ada urusan dengan mereka lagi?" tanya Refal dengan tatapan sinisnya pada dua bodyguard yang telah menyeretnya kemarin.

Dua bodyguard itu jelas tidak menjawab pertanyaan Refal dan hanya menatap dengan tatapan lurus dan serius. Maka dari itu, Denok yang mengambil alih. "Iya, saya harus pergi ke kantor,"

Sensei Rita menganggukkan kepalanya dengan canggung dan tersenyum kaku melihat dua bodyguard yang ada di belakang Denok.

"Nona," panggil salah satu bodyguard itu.

Denok menoleh sekilas. "Ya?"

"Kunci mobil Nona, biar kami yang membawa mobil Nona."

Mau tidak mau, Denok harus menyerahkan kunci mobilnya. Lalu dia hendak berpamitan pada Refal dan Rita. "Pak, Sensei, saya pamit duluan ya."

Refal mengangguk. "Hati-hati, kalau ada apa-apa, kabari saya."

"Oke.." jawab Denok dengan senyuman.

Setelah Denok pergi, Rita bertanya kepada Refal dengan penuh penasaran. "Bu Denok kayaknya orang kaya yang gabut makanya kerja serabutan jadi guru BK di Yayasan Hartanto ini."

Refal terkekeh pelan dan mengangguk kecil. "Ya, sepertinya begitu."

"Pak Refal suka dengan Bu Denok?" tanya Rita lagi.

Refal suka? Apa dia menyukai Denok? Jelas. Sejak Denok masuk dan menggantikan Bu Asmita, guru BK lama, Refal sudah memperhatikannya dan tertarik, tapi sepertinya dunia Refal dan dunia gadis itu sangat berbeda jauh.

Refal tak bodoh, tunangan Denok adalah Luki Amidjaja, cucu dari pengusaha kilang minyak terkenal di Indonesia, bahkan Amidjaja Group bergerak di bidang pertambangan, Amidjaja Group terkenal akan anak perusahaannya yaitu Traghana Industry yang bergerak dengan nama Luki Amidjaja si pria muda berbakat dalam dunia bisnis yang pernah masuk jajaran 25 Forbes.

Bahkan, jumlah karyawan yang berada di Amidjaja Group berkisar puluhan ribu. Itu artinya, Denok memang datang dari kalangan old money, sejak semalam Refal sudah mencari tahu tentang gadis itu, karena nama Djatiwibowo tidak begitu sulit untuk dicari.

Keluar profil Erlangga Djatiwibowo, dan Edgar Djatiwibowo kakak adik yang meneruskan usaha keluarga, dan jajaran Djatiwibowo adalah kalangan konglomerat sejak dulu yang bergerak di bidang infrastruktur, media, dan telekomunikasi yang kini di akuisisi oleh Amidjaja Group.

Bukannya ingin berpikir negatif, tapi Refal sudah berpikir negatif bahwa Denok adalah salah satu pion penting Djatiwibowo hingga dijodohkan dengan salah satu cucu Amidjaja.

"Saya nggak mungkin bisa menyukai Bu Denok," jawab Refal memuaskan rasa penasaran Rita.

"Kenapa, Pak? Biasanya kalau lihat cewek cantik semangat."

"Yang ini... nggak bisa buat didapatkan dengan mudah, saya mundur aja." jawab Refal memancing tawa Rita.

Ya, intinya seperti itu.

***

Denok ingat, terakhir kali dia datang ke kantor Luki Amidjaja adalah ketika pertemuan kedua untuk mengajak makan siang pria itu. Selama satu tahun lebih, sebenarnya banyak momen yang Denok ingat, tapi entah kenapa momen yang satu ini agak cukup memalukan.

Luki tersenyum senang seperti orang bodoh ketika melihat kedatangan Denok bersama dua bodyguard Sisca Moestopo. Hari ini, Luki rencananya akan mengatakan hal yang sebenarnya. Sisca Moestopo tidak sanggup menanggung respon anaknya lebih dulu hingga meminta tolong kepada Luki untuk memberitahukan kenyataannya.

Sementara itu, Luki juga merasa posisinya yang belum aman ini bisa gonjang-ganjing kalau dia dijadikan korban oleh Sisca Moestopo, haduh... kenapa Ibu dan anak ini sama-sama membuat Luki pusing.

"Hai, Sayang." sapa Luki berjalan mendekati Denok dan mencium kening gadis itu yang langsung mendapatkan dorongan di dadanya dengan wajah tak suka. "How's your day?"

Denok hanya memberikan tatapan dinginnya dan melengos sebal sambil duduk di sofa. "Tolong kecilin lagi ACnya, panas banget."

Luki meraih remot AC dan memperkecil suhu ruangan, Luki terkekeh melihat Denok yang tengah mengikat rambutnya dengan asal sementara turtle neck yang dipakai gadis itu memang terlihat menyesakkan.

"Panas ya sayangnya aku?" goda Luki mendekati Denok dan memberikan beberapa helai tisu.

Denok mengambilnya dengan kasar dan mendengus lagi. "Kamu sedot leherku kayak vacum cleaner bekasnya ungu banget! Gila kamu!" maki Denok kepada Luki.

Luki duduk di sisi Denok dan mengusap pelipis gadis itu yang berkeringat. "Sori... I can't handle it, jangan cantik-cantik buat orang lain dong, Sayang."

"Please," Denok menjauhkan tubuhnya dari Luki. "Bisa nggak jangan panggil aku begitu? Kesal dengarnya!"

"Jangan dibuat kesal dong, oh ya—aku perlu bicara dengan kamu ini serius. Kemarin aku mau bicara kamu malah usir aku."

"Jelas harus di usir! Nggak punya adab kamu!"

Melihat kekesalan yang terpancar di wajah Denok Luki hanya bisa tersenyum senang. "Ini serius, aku butuh keseriusan kamu. Jangan marah-marah dulu."

"Ya apa?"

"Sudah makan belum? Soalnya aku nggak mau kamu syok dan pingsan."

Masih saja bisa bercanda, pikir Denok. "Kalau belum, kita pesan makan dulu dan—"

"Nggak apa-apa, mau bicara apa dulu?" todong Denok tidak sabar.

Luki menarik tangan Denok dan menggenggamnya dengan erat, memberikan kehangatan dan meyakinkan bahwa gadis itu akan baik-baik saja. Apa yang Opanya katakan dan bagaimana Opanya meyakinkan Luki untuk menjaganya, dulu Luki merasa selalu terpaksa, dan kini malah dia sendiri yang ingin menarik Denok agar bersandar kepadanya.

"Dengar, aku tahu kalau hal ini bakal buat kamu syok, apa kamu tahu kemana Mamamu? Maksudku, Bhanuwati Gayatri, istri Papamu?"

Denok mendadak diam dan wajahnya berubah pucat pasi. Sial, Luki sudah tahu hal ini akan terjadi. "Kalau kamu nggak sanggup bicarakan Mamamu, nggak apa-apa, nanti saja."

Luki menepuk bahu Denok namun Denok sudah terlanjur penasaran. "Kenapa dengan Mamaku? Apa kamu tahu dimana Mamaku?"

Bahkan Denok menganggapnya sebagai Mamanya. "Dia ada di suatu tempat, aku pikir kamu nggak usah mencarinya lagi."

"Kenapa? Apa Mamaku—"

Luki mengeratkan genggaman tangannya pada telapak tangan Denok dan mengisi ruas-ruas jari gadis itu. "D, bagaimana aku menjelaskannya." Luki mengusap wajahnya dengan resah. "... Banuwati Gayatri, your Papa's wife is not your Mom—actually she's not your biological Mom."

Kedua mata Denok membuat dan kedua pupilnya ikut membesar, gadis itu tidak berkedip sama sekali dan tampaknya Denok sedang berusaha mencerna apa yang Luki katakan.

Tentu saja ini akan menyakitkan, karena faktanya Denok mengetahui Banuwati Gayatri adalah ibu kandungnya selama ini. "Benar, D... Banuwati, wanita yang kamu anggap Mama itu bukan Mamamu, kamu..."

"Kamu kalau bercanda jangan begitu!" protes Denok setengah berteriak.

Luki menghela napasnya. "Aku nggak sedang bercanda, D."

"Aku nggak suka cara kamu yang seperti ini," ujar Denok dengan suara lirihnya. "Kenapa..."

"Hei," Luki meraih wajah Denok dan menangkupnya. "Kamu putri kandung dari Papamu dan Sisca Moestopo, aku nggak sanggup untuk membiarkan kamu nggak tahu terus menerus, untuk itu aku memberitahu kamu sekarang. Ya, ibu kandung kamu adalah Sisca Moestopo,"

Denok melepaskan kedua tangan Luki yang ada di kedua pipinya, menjauh dan memberi jarak kepada Luki, sementara itu Luki berusaha mendekati dan membuat gadis itu sadar akan kenyataan yang tengah dia hadapi.

"Selama ini, kenapa Tante Sisca selalu ada di sekitar kamu, karena beliau adalah ibu kandung kamu." Luki masih terus berusaha membuat Denok nyaman dan mengerti dengan apa yang dia katakan pada gadis itu. "Dulu, apa yang terjadi lebih sulit untuk dijelaskan, Papamu dan Ibu kandung kamu yang sebenarnya, nggak bisa bersatu karena keadaan, dan mereka berdua mempunyai kamu."

Tatapan mata teduh milik Luki berhasil menghipnotis Denok untuk sesuatu hal yang tidak dia mengerti. Kenapa dia selalu merasakan hal yang luar biasa ketika dengan Luki? Kenapa?

Ibu jari tangan Luki mengusap dagu Denok dan naik ke atas menuju pipinya. "Banuwati Gayatri, bukan ibu kamu, D. Sisca Moestopo adalah ibu kamu yang sebenarnya, she's always waiting you for a long time. Dia selalu mengawasi kamu dari jarak jauh, menjadi pihak yang bangga dan senang di balik layar tanpa menunjukkannya sama kamu."

Denok menangis, ini pertama kalinya Denok menangis di depan Luki dan membuat pria itu menggeleng cepat menghapus air matanya. "Banyak pertanyaan yang kamu mau ajukan sekarang, kan? Aku mengerti."

"Kenapa baru sekarang?" lirih Denok sangat pelan.

"Kenapa baru sekarang?" Luki bertanya balik dengan senyuman tenang. "Karena Tante Sisca menunggu waktu yang tepat, bagaimana pun dia merasa bersalah karena nggak pernah ada untuk kamu, sejak kamu bayi sekali pun."

"Aku nggak pernah tahu—bahkan Om Edgar sendiri—"

"Karena ini semua tugas Papa kamu untuk menjelaskan." potong Luki berusaha membuat Denok paham. "Andaikan Papamu sehat, pasti Papamu yang akan menjelaskan, di sini aku menjadi pihak perantara yang bisa memberitahu kamu dan menyatukan kamu dengan Tante Sisca."

"Jadi..." Denok menarik napas dan menjauhkan tangan Luki yang ada di wajahnya. "Kamu tahu hal ini sejak lama?"

Sebenarnya Luki tahu bahwa pertanyaan ini akhirnya akan keluar, dan dengan berat hati—meskipun dia sendiri takut setelah ini Denok akan marah kepadanya, tapi dengan cara ini Luki bisa mendapatkan Denok dan mendapatkan kepercayaan dari Sisca Moestopo.

"Aku tahu," jawab Luki dengan jujur. "Semua keluargaku tahu, dan kita semua merasa nggak berhak untuk memberitahu kamu, tapi kali ini... Tante Sisca bilang dia takut,"

"Takut?"

"Dia takut sama kamu, Sayang..." Luki meraih Denok ke dalam pelukannya dan gadis itu membuang napasnya cukup panjang. "Tante Sisca takut kamu menolak dirinya sebagai ibu kamu, tapi aku yakin Denokku nggak akan seperti itu, kan?"

Denok tersenyum seperti orang bodoh, sial baru kemarin bertemu lagi dengan Luki dan hatinya sudah acak-acakan seperti ini. "Aku ingin bertemu dengan Tante Sisca,"

"Soon, Sayang..."

***

a/n:

Kampret banget ah Luki pintar mengambil keadaan. Ini dia yang buat dia mudah kembali dengan akses yang begitu luar biasa, pantas ya dia jadi pemimpin Amidjaja otaknya memang cerdas bukan main.

Dia udah punya senjata ini dari dulu, padahal Laksmana aja bisa kok kalo mau modus dan ambil perhatian Denok dengan cara ini, sayangnya sama Laksmana belum kepikiran aja.

Sebenarnya, untuk memanfaatkan Denok ini mudah sekali gesss ya, tapi Luki kan belum tahu bentuk dalam seorang Denok yang asli. Nanti kalo dia tau, dia juga yang ngeri wkwk.

Denok be like: aku aslinya ada banyak kak.

p.s: ngeri nggak sieeee, skrg yang jantungan bukan Denok lagi, tapi Luki wkwkwk. Update pagi nih biar semangat kalian!

16, Desember 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro