Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Berlagak bodoh

Luki tidak bisa menahan tawanya setelah melihat kepergian Denok, tunangannya tadi siang di kantor. Kezia kekasihnya memandang Luki dengan heran, sementara Laksmana hanya bisa ikut terkekeh mendengar tawa Luki karena Laksmana tahu apa yang dipikirkan sepupunya itu.

Malam ini, Laksmana, Luki, Kezia dan Martha kumpul di apartemen Laksmana karena Laksmana mengatakan harus ada conference meeting yang harus dihadiri oleh Luki yang dilakukan secara virtual.

"Lo berdua kenapa, sih?" tanya Martha penasaran.

Kezia ikut mengangguk di sisi Luki dan meraih lengan Luki untuk dipeluk olehnya. "Babe kamu ketawa kenapa, sih?"

"Kamu... ingat Denok?"

"Tunangan kamu itu?" tanya Kezia dan raut wajah Luki langsung berubah.

Luki tidak suka ketika Kezia menyebut Denok sebagai tunangannya secara terang-terangan.

"Nggak usah protes!" cecar Martha melihat ekspresi Luki. "Kezia benar kok, Denok kan, tunangan Mas Luki."

Laksmana menggelengkan kepalanya. "Lo harus tahu gimana penampilan dia tadi, Martha."

"Kenapa? Bad? Dia cantik kok," bela Martha sedikit.

Laksmana mengangguk. "She's pretty, indeed. Tapi kesannya maksa banget, apa memang sengaja mau buat Luki nggak suka."

"Tanpa dia usaha pun, gue sudah nggak suka sama dia." balas Luki.

Kezia tersenyum pada Luki. "Kamu ini... dia pilihan Opa lho, Babe."

"Nggak sebaik kamu," jawab Luki.

"Karena kamu belum kenal dia,"

"Aku nggak mau mengenal dia."

"Tapi kamu tunangan dia dan aku bukan apa-apa."

Martha mengerling jahil dan berusaha mencairkan suasana yang menyedihkan ini. Bagi Rajasa, Kezia Gunawan bukan apa-apa dibandingkan remaja berusia dua puluh tahun bernama Denok Kanara Djatiwibowo.

"Apa aku harus mendekatkan diri dengan tunangan kamu?" tanya Kezia lagi.

Luki menggeleng. "Nggak usah, nggak penting juga."

"Gitu ya..."

Luki tahu, Kezia sudah kehilangan kepercayaan semenjak Ruth, Mamanya menolak Kezia dua tahun lalu. Tak berselang lama, Rajasa juga menolak Kezia. Luki tak paham kenapa keluarganya menolak Kezia sebagai pasangannya.

Tapi kini, Luki tengah memperjuangkannya. Setelah Djatiwibowo berhasil diakuisisi, Luki akan melepas pertunangannya dengan Denok dan menikahi Kezia. Karena bagi Luki, Kezia lebih dari cukup.

"Zi, lo punya saingan juga akhirnya." kata Martha mengompori. "Tapi tenang aja, dia bukan apa-apa sih kalau dibandingkan sama lo."

Ucapan itu nyata membuat Kezia tersenyum, dan Luki mendadak ingin berterima kasih kepada Martha. "Tapi dia cantik, dan kelihatannya... polos,"

"Banget!" sahut Laksmana setuju. "Lo ingat bagaimana dia merusak tatanan lipstik di bibirnya sendiri? Kayak anak kecil!"

Martha langsung melongo. "Ha? Gimana nih ceritanya?"

Luki tak bisa menyembunyikan tawanya lagi. "Terlihat sangat bodoh,"

Tapi dibalik itu semua, Luki melihat bagaimana bodohnya ekspresi wajah Denok yang malu. Pipi gadis itu memerah, lipstik merah itu hancur dan mencoreng pipinya yang mulus tadi. Luki membayangkan alangkah tepatnya jika bibirnya yang mengacak-acak tatanan warna merah itu.

Sial, dia baru berpikir apa tadi?

Luki langsung menatap wajah Kezia, kekasihnya dengan panik. Jantungnya berdebar kencang dan dia merasa panas seketika.

Sialan.

"Lo akan bertahan berapa lama, Luki? Bagaimana pun, Denok perempuan—dan gue nggak sarankan lo bermain-main dengan dia." kata Laksmana dengan tegas.

Luki mengangguk. "Gue tidak akan bermain-main dengannya. For fuck's sake lo lihat sendiri gimana bentukannya, gue nggak tertarik sama gadis bodoh itu."

"Kalau begitu, tegaskan pada Opa kalau lo nggak akan menikahi Denok, Mas." balas Martha kali ini. "Biar semuanya clear, dan menurut gue—Denok Djatiwibowo nggak akan bisa satu server dengan gue."

"Pelan-pelan," ujar Luki. "Emosi Opa masih belum stabil, dan gue tahu bagaimana excited-nya Opa sama Denok si remaja tanggung itu. Padahal, apa bagusnya dia, sih?! Bikin pusing aja!"

Martha tertawa, Kezia mengeratkan rangkulan lengannya dan tersenyum puas. Luki, tetap mencintainya dan dia adalah wanita yang Luki inginkan.

Hubungan yang telah terjalin selama empat tahun ini memiliki banyak arti. Dan bagi Kezia, apa yang direncanakan oleh manusia belum tentu terjadi. Semuanya kehendak Tuhan, bahkan keinginan Rajasa untuk menyatukan Denok dan Luki saja belum tentu berhasil.

Tapi tetap saja, ketakutan itu tetap ada. Dan Kezia, akan memastikan Luki tetap berada di sisinya.

Luki tahu kegusaran yang kekasihnya rasakan. Maka dari itu, dia mengecup puncak kepala Kezia dan memandang lekat pada sepasang mata besar itu. "I love you more than anything,"

Kezia mengangguk, mengecup bibir Luki dan mengusap rahang pria itu. "I love you too, aku hanya takut,"

"Aku nggak kemana-mana. Masih di sini, sama kamu."

"Kamu punya aku Luki,"

"Then you're mine too," Luki menggesekkan hidungnya di sekitar pipi Kezia.

Malam ini, biarkan Luki dan Kezia menikmati cinta satu sama lain tanpa embel-embel Opa ataupun Denok. Karena bagi Luki, Kezia adalah dunianya.

***

"Dia masih bersama wanita itu, Gana?"

Rajasa bertanya pada Gana yang melaporkan bahwa makan siang Denok dan Luki diganggu oleh Laksmana yang membawa Kezia ke kantor Luki.

Dua cucunya itu. Bagaimana bisa Luki dan Laksmana menyerangnya secara bersamaan? Perjodohan Luki memang memiliki banyak bumerang, dan Rajasa pikir alangkah baiknya dia harus mulai menarik Laksmana agar satu pikiran dengannya.

"Masih, Pak."

"Besok, temukan saya dengan Denok."

"Baik, Pak."

Rajasa menarik napasnya mengingat bagaimana kedua mata gadis itu begitu banyak menyorot ketakutan. Denok Djatiwibowo tidak hanya dilindungi oleh keluarganya, tapi dilindungi olehnya juga. Karena Rajasa yakin, cucunya tidak akan melakukan hal itu pada Denok.

"Gadis itu punya nilai lebih di mata saya," ujar Rajasa pada Gana.

Gana memandang atasannya yang sudah tua namun tetap peduli pada persatuan keluarganya yang buruk.

"Apa permintaan saya terlalu sulit, Gana?" tanya Rajasa kini.

Kedua mata pria itu memancarkan kesedihan karena tahu sang cucu tidak akan pernah melirik Denok. "Saya hanya ingin Luki bersatu dengan perempuan yang saya inginkan. Karena firasat saya, pada Kezia tidak pernah baik. Atau mungkin... saya yang salah?"

Oh, Gana tidak bisa menjawabnya. Ia memilih dia menemani Tuannya yang resah di malam hari. "Dulu, saya pun dijodohkan. Istri saya, adalah wanita terpelajar dan berasal dari keluarga ningrat. Saya pikir, menikah diatur oleh orang tua akan mengecewakan, tapi ternyata kata-kata dimana; pilihan orang tua tidak pernah salah itu menampar saya. Setelah menikah, dan mengenal kepribadian istri saya, saya malah jatuh cinta."

Rajasa tertawa sembari memandang langit Jakarta, istrinya yang dia rindukan telah berpulang lebih dulu setelah melawan kanker paru yang menyerangnya. Tapi Rajasa sudah berjanji, bahwa dia akan menjaga seluruh keluarganya.

"Saya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada wanita yang pernah saya ragukan. Istri saya itu... pemberani, dan tidak pernah membuat saya tenang karena otaknya yang terlalu pintar."

Rajasa melihat wajah Gana yang ikut tersenyum dan tengah memandang foto wajah istrinya yang terpajang besar di ruang kerjanya. "Nyonya Arimbi sangat cantik, wajahnya sama seperti Non Martha,"

Rajasa mengangguk setuju. "Ya, istri saya mirip Martha, tapi kelakuan Martha sangat jauh dengan kelakuan istri saya yang anggun."

Gana terkekeh pelan. "... Yah, saya hanya berusaha menyatukan feeling saya. Semoga saja, Denok Djatiwibowo memang tidak mengecewakan saya. Itu kenapa, saya ingin gadis itu menjadi pendamping cucu saya yang keras kepala, cerdas dan tidak punya hati itu."

"Den Luki masih takut komitmen, Pak." tambah Gana.

Rajasa tahu itu, gara-gara putranya yang sialan dan kini Gianjar menerima seluruh hukuman yang Luki berikan padanya. "Itu kenapa, saya ingin menikahkan Luki dan Denok. Luki... tidak peduli soal komitmen, dan dia masih saja kumpul kebo dengan kekasihnya itu."

Rajasa geram memikirkan wanita gatal bernama Kezia itu. "Berikan ancaman satu pada wanita itu, Gana."

Gana mengangguk sigap. "Siap, Pak."

Jika Rajasa telah memerintahkannya, maka tidak ada jalan keluar bagi manusia yang akan menerimanya.

***

"BANGSAT JANGAN KASIH GUE LIPSTIK MERAH LAGI POKOKNYA!" amuk Denok.

Denok telah memecah stylist yang dia percayakan, dan dia telah berusaha mengusir Abby yang tidak pernah mau pergi dari rumahnya.

Abby tengah tersenyum manis layaknya anak kucing, tapi bagi Denok, Abby tak lebihnya anak bagong. Mengesalkan!

"Terus hari ini lo mau kemana?"

"Ketemu Opa,"

"Sama Pak Rajasa?! Gue mau ikut boleh nggak?!"

"Mau ngapain sih..."

"Mau minta channel kerjaan,"

"Mimpi lo!"

"Ish! Gue ikut ah!"

Denok geleng-geleng kepala lihat kelakuan sahabatnya itu. Denok telah mengganti pakaiannya, kaus hitam polos dipadukan dengan jeans belel, serta zip-up hoodie dari Chrome Hearts jaket berukuran besar itu tak ubahnya menenggelamkan tubuh Denok yang kecil.

Penampilannya kali ini, tidak ada sopannya sama sekali, wajah tanpa polesan make up dan seadanya Denok, dibandingkan saat dia bertemu dengan Luki kemarin. Ah, biar saja... memang, Rajasa Amidjaja akan mengomentari penampilannya? Mungkin saja... di dalam hatinya.

Kediaman utama Amidjaja begitu besar dan megah, saking noraknya Abby dia terus mengambil foto setiap sudut aesthetic, komplek Pondok Indah memang bukan main. Denok saja sampai terkesima, berapa pekerja yang bekerja di kediaman sebesar ini? Lalu, siapa yang mengurus taman seluas ini?

Taman rumah itu begitu besar, bahkan saking besarnya arena golf saja kalah. Hebat sekali, berapa hektar luas kediaman Amidjaja ini?

"Gila ya, De... di atas langit, masih ada langit. Definisi kaya dari zaman penjajah kayaknya ini keluarga." gumam Abby yang masih terkesima.

Denok terkekeh pelan. "Maka dari itu, apa yang lo pikir bahwa gue kaya banget—nggak ada apa-apanya dibandingkan mereka, By."

"Ya.. gue setuju, andaikan saja Papa lo nggak jatuh sakit ya, De. Kebahagiaan lo nggak akan dipertaruhkan seperti ini,"

Dengannya ucapan Abby, mobil yang menjemput Denok berhenti di depan teras rumah besar dan megah itu. Pintu kayu dengan ukiran rumit itu memiliki tinggi lebih dari tiga meter, atap rumahnya saja begitu tinggi dan mengerikan di mata Denok yang takut akan ketinggian.

Ketika Denok keluar, dia disambut oleh bunga wijaya kusuma putih yang tengah mekar, sayang sekali... tidak ada yang memerhatikan bunga ini ketika mekar. Padahal, biasanya bagi pecinta bunga, mekarnya wijayakusuma menjadi hal yang paling dinantikan.

"Nona Denok?"

Salah satu wanita berjas hitam dengan kacamata hitam serta rambut yang dikepang satu rapi dan ketat itu menyapanya.

"Ya?"

"Tuan menunggu Anda di teras belakang,"

Denok dan Abby masuk ke dalam rumah dan melewati lorong panjang yang berhiaskan lukisan mahal yang tak ternilai harganya. Di setiap sudut ruangan, aroma cendana begitu kuat dan Denok hampir saja oleng kalau tidak buru-buru sadar bahwa dia akan menemui Tuan Besar.

Rumah dengan design tropical minimalism modern itu terlihat sangat maximal di pandangan Denok. Bagaimana bisa, manusia punya rumah seluas ini dan merasa tidak lelah? Bahkan, Denok khawatir dia atau Abby bisa kesasar.

"Tuan," ujar perempuan berjas itu memanggil Rajasa Amidjaja.

Rajasa Amidjaja tengah memberikan makan pada ikan arwana emas besar, hal itu memunculkan semangat Abby yang melihat ikan arwana beserta Koi yang warnanya begitu menggemaskan.

"Wah... arwana, De..." kata Abby.

Denok menyikut tubuh Abby. "Selamat siang, Opa." sapa Denok.

Denok mencium tangan Rajasa dengan hormat, begitu pun dengan Abby. "Maaf ya, saya ajak teman saya, Opa. Karena Abby tidak mau ditinggalkan,"

Abby mengangguk sopan dan rikuh. "Kenalkan Opa, saya Abigail teman home schooling Denok,"

"Kalian sudah berteman sejak lama?" tanya Rajasa dengan senyumannya.

Denok mengangguk, dia terpaku melihat ketampanan pria yang sudah beruban ini. "Iya, saya bosan berteman dengan Abby."

Abby cemberut sebal, sementara itu Rajasa terkekeh pelan. "Duduk, panas ya? Sebentar lagi akan dibawakan minuman dingin untuk kalian berdua."

"Boleh, Opa." kata Denok tanpa berbohong karena dia haus. "Kita tadinya mau bawa makanan, tapi sejujurnya saya bingung karena nggak tahu kesukaan Opa apa.."

"Ah, Opa nggak suka makanan neko-neko, Opa suka jajanan lama. Kamu tahu kue lupis?"

Denok menggeleng, apa pula kue lupis? Bagaimana bentukannya?

"Kue lupis itu ketan yang diberi pewarna, di atasnya diberi taburan kelapa parut dan sedikit gula dan tambahan gula merah cair. Duh, membayangkannya Opa jadi mau,"

Denok tersenyum kaku, apakah ini sebuah kode? Sial, Denok harus mencari resep kalau begini caranya.

"Opa! Denok bisa masak kok!" cetus si Abby yang kurang ajar itu.

"Oh ya?" Rajasa membulatkan matanya. "Minggu depan, Opa mau kamu buatkan lupis untuk Opa boleh?"

"Ha—mm, boleh Opa." jawab Denok rikuh.

Rajasa tertawa lagi. "Kamu ini... nah, besok-besok, kalau kamu berhadapan dengan Luki kamu juga cukup iya-iya saja. Mengerti?"

"Kenapa begitu Opa?"

"Kita buat Luki merasa menang, dan kamu harus mengalah dulu," kata Rajasa memberitahu Denok. "Dengan begitu, Luki bisa merasa bahwa dirinya memiliki power, cukup berlagak bodoh saja, tapi diakhir nanti—kamu bisa menyerang dia."

"Apa ini sebuah jurus?"

Rajasa mengangguk. "Benar, ini sebuah jurus. Setahu Opa, Luki tidak suka dilawan, dan maka dari itu—Opa mau kamu berlagak bodoh, dan nurut sama dia—setelahnya, kamu bisa menyerang dia kalau sudah jadi istrinya. Secara, istri punya hak yang besar di rumah dibandingkan suami."

Padahal, kemarin Luki dan Denok menyangka bahwa hubungan pertunangan ini tidak akan sampai ke tahap pernikahan. Tapi melihat Rajasa yang seoptimis ini malah membuat Denok dilanda rasa bersalah.

"Opa?!"

Seruan seseorang membuat Denok menoleh, di sana—ada si aktor terkenal yang namanya tengah naik daun, dia juga pembawa acara di salah satu program Today Talkshow.

"Shit," Abby baru saja mengumpat, mendapati idolanya sendiri ada di hadapannya.

Koentoeadjie Amidjaja ada di hadapannya pemirsa!"

"Lho, Opa sedang ada tamu toh?" sapa Adjie basa basi.

Denok berdiri sopan dan menyatukan tangannya menyapa Adjie, sementara Abby masih mematung di tempatnya.

"By," tegur Denok.

"Y-ya, De?"

"Sapa Mas Adjie, beliau ini sepupunya Mas Luki." ujar Denok memberitahu.

Sayangnya Abby malah tersenyum seperti orang bodoh. "Ya, gue tahu..." lalu kemudian Abby berjabat tangan dengan Adjie. "Halo Mas, saya Abigail temannya Denok,"

"Hai, Abigail." sapa Adjie balik.

Rajasa mengernyitkan keningnya heran. "Ngapain kamu pulang?"

"Memang nggak boleh pulang? Lagian... seru nih, ada Denok dan temannya."

"Yang harusnya bilang begitu Luki, bukan kamu."

"Ah, Luki sibuk di kantor. Denok, mau jalan-jalan nggak?"

Denok yang ditawari yang semangat malah si Abby. "Boleh Mas, jalan-jalan kemana tuh?"

"Dih, By!"

Rajasa tersenyum melihat tingkah anak muda itu. "Ya sudah sana Abigail pergi dengan Adjie, Denok di sini saja sama Opa."

"Lah, padahal aku mau manas-manasin Luki, Denok mau foto sama aku nggak? Nanti fotonya aku kirim ke Luki,"

Denok tertawa, untuk apa juga Adjie memanas-manasi Luki? Sepertinya tidak akan berpengaruh. "Nggak usah, Mas.. nggak enak nanti dilihat pacar Mas Luki,"

"Duh sopan banget nih, kamu kan tunangannya nggak usah takut!"

Dan benar saja, Adjie mengajak foto dirinya dan mengirimkannya kepada sepupunya Luki.

Koentoeadjie:

Tunangan lo manis amat.
Kalau gak mau, boleh buat
gue aja nggak?

Setelah mengirimkannya, Adjie bergabung dalam perbincangan ringan antara Rajasa, Denok dan Abby, dan lagi... misi rahasia mereka untuk menaklukan hati Luki demi Denok Kanara Djatiwibowo.

***

a/n:

Yuhuuuu!

Kayaknya cerita Denok dan Luki bakal update dari petang menjelang malam hari. Maaf kalau nanti waktunya nggak tentu.

Oh ya, sampai tiga bab, pada suka nggak sie sama cerita ini? Huhu....

p.s; sekedar informasi Jung Jaehyun back to black hair again. Meleyot sudah aku.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Tapi tetap tidak ada yang bisa mengalahkan (this look) sudah basah, gondrong, dan... sleveless, ototnya minta di cubit gemas🌚

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro