27. Kisah yang terhenti
"... Dia yang pertama, membuatku cinta!"
"... Dia juga yang pertama membuatku kecewa.."
Denok menutup kedua telinganya dengan airpod dan lebih memilih menyalakan lagi di playlist Spotify-nya, lagu The Smiths yang berjudul There Is a Light That Never Goes Out. Sahabatnya yang kelakuannya macam setan itu membawa satu slice cake Red Velvet dari J.Co dengan satu lilin di atasnya.
"Akhirnya... Denok gue patah hati, dan dia punya mantan!" seru Abby sambil duduk di sisi Denok yang tengah mengerjakan tugasnya mengecek nilai murid yang akan dijuruskan sesuai jurusan yang mereka inginkan ke universitas nanti, apakah menyanggupi atau tidak.
Beberapa hari terakhir ini, Denok seringkali didatangi oleh beberapa murid kelas dua belas yang ingin konsul mengenai universitas pilihan sesuai nilai rapornya.
"Tiup dulu Shay, lilinnya." pinta Abby pada Denok.
Denok memutarkan bola matanya malas. "Lo ini sinting betulan ya, By."
"Betul, Shay... kalau sinting memang jangan setengah-setengah, ayok tiup dulu lilinnya... jangan galau, Mamak gue kan punya kenalan lembaga biro jodoh, lo cari tipe semau lo di sana nanti."
Denok meniup lilinnya dengan sebal dan mengangkat kedua kakinya ke atas sofa. "Nggak usah udah najis gue sama lelaki!"
"Dih, baru patah hati sekali aja lebainya minta ampun, Kakak satu nih..."
"By, berisik ya lo!"
"Kagak bisa, ini waktunya gue untuk bacot-ria pada lo, sayangnya gue nggak bisa bacotin Mas Luki—badannya serem Shay, kek Buto Ijo—btw lo pernah peluk Mas Luki kagak?"
Denok menghentikan kegiatannya dan mengingat ulang pertanyaan Abby kepadanya. Memeluk? Apa dia pernah memeluk Luki? Setahu Denok, Luki yang selalu memeluknya lebih dulu, itu pun bisa dihitung jari lah. "Kagak,"
"Yah menyesal... badannya kan peluk-able unch, apa lagi bahunya yang lebar dan punggungnya yang aduhai."
"By, jangan jadi jamet di sini." tegur Denok dengan sikap Abby yang mendadak receh ini.
Abby tertawa dengan sumbang sambil humming lagu Mahalini itu, kasihan sekali Mahalini harus punya fans seperti Abby. "Sakitnya gimana, De? Coba jelaskan."
"Jelaskan matamu," umpat Denok kesal.
Abby memakan cake red velvet itu dan mengernyitkan keduanya ala cewek yang kesenangan dapat merasakan makanan enak. "Manis banget kayak gue nih kue!"
Denok memiringkan wajahnya dan menjewer telinga Abby. "Are you drunk?" tanyanya.
"Belum lah anjing... gue curi arak Bali punya Bokap gue, kita minum yuk?" ajak Abby dengan laknatnya.
"Besok Senin, By... gue ngajar."
"Yah, gimana dong? Tapi mau mabuk?" goda Abby lagi.
Denok mengangguk dengan bibirnya yang manyun. "Mau, tapi nggak bisa."
"Ya udah, gue aja yang mabuk kalau gitu." dengan entengnya tanpa dosa, Abby membawa sloki kecil dan arak Bali yang dia bawa dari rumahnya.
Abby menuangkannya dengan gerakan amat menggoda membuat Denok menyipitkan matanya kesal, jika dia ikutan mabuk dan besok pagi masih hangover bisa kacau reputasinya sebagai guru BK.
Abby mengangkat sloki kecil itu ke atas sembari berteriak. "Cheers for the breakheart girl, Denok Kanara Djatiwibowo! Semoga, dia semakin dikuatkan, diberikan ketabahan, dan senantiasa move on dari Luki Amidjaja."
Denok hanya bisa menyangga wajahnya dengan menyedihkan lalu dia juga ikut menimpalinya. "Cheers!"
Dan Abby meneguknya dalam sekali tegukan, lantas tertawa dengan girang. "Definisi putus cinta menurut KBBI adalah; sudah tidak mempunyai hubungan cinta lagi!" katanya kepada Denok sembari mengacungkan telunjuknya layaknya tengah berdakwah. "Lo juga harus tahu kalau sindroma patah hati dalam psikologi cinta itu bisa membuat lo terkena stres karena lonjakan hormon yang drastis, gue nggak mau ya... siklus hormon lo berubah drastis karena putus cinta."
Denok menyunggingkan senyumannya. "Ya siapa juga yang patah hati?"
"Tanpa lo bicara gue tahu lo patah hati."
"Sok tahu!"
"Gue kutuk lo jadi timun emas!"
"Yang harusnya lo kutuk itu si Luki Amidjaja."
Abby mengangguk cepat dan membenarkan permintaan Denok. "Gue akan kutuk dia jadi kacang kedelai!"
"Kok kedelai sih?" kata Denok dengan heran.
Abby menyingkirkan rambutnya yang sudah panjang. "Soalnya kalau Luki jadi kacang kedelai minimal dia bisa difermentasi lah, terus kalau udah begitu dia jadi tempe."
"Apa urusannya anjing," maki Denok dengan kesal.
"Ah nggak tahu lah! Btw, nyalon yuk!" ajak Abby kali ini.
Denok mengangkat sebelah alisnya merasa tertarik dengan tawaran Abby kali ini. "Potong rambut?"
"Boleh, rambut lo kan udah panjang, anggap aja itu adalah cara lo untuk buang sial."
"Mitos banget!"
"Yeh, percaya apa kagak?"
"Gue ngikut aja lah!"
"Ya udah hayu atuh kemon dan lets go!"
Abby membawa kardigannya sementara Denok mengambil jaket denimnya, lalu Denok bercermin sebentar dan mengamati penampilan dirinya kali ini.
Oke, sedikit perubahan memang diperlukan.
***
From this,
To this.
Abby tidak berhenti memuji perubahan yang begitu besarnya terhadap Denok setelah memotong rambutnya menjadi medium layered oval pada rambutnya, dari belakang Denok sudah seperti orang lain!
Biasanya, dia melihat rambut Denok yang sangat panjang dan menakutkan, apa lagi kalau Denok salah kostum pakai pakaian warna putih dan berjalan di malam hari. Sudah jelas Denok menjadi kembarannya si Kintilinik.
"Daebak!" puji Abby keras dan bertepuk tangan dengan puas.
Sementara Abby hanya memotong sedikit poninya yang telah panjang, dan memberi sedikit bentuk pada sisi rambutnya agar memberikan kesan yang berbeda untuk wajahnya.
"Cantik banget! The best! Ini baru Ibu guru!" puji Abby berlebihan.
Seluruh pegawai salon Johnny Andreas hanya bisa tersenyum melihat penampilan baru pelanggan salon yang baru datang lagi setelah sekian lama.
Terakhir, Denok pergi ke salon adalah bersama Mamanya, Banuwati Gayatri yang entah pergi kemana hilang tanpa kabar.
Denok belum pernah memiliki rambut sependek ini, dulu semua hal yang Denok sukai itu dimulai dari rambutnya, namun sekarang bahkan dia berani memendekkan rambutnya dengan alasan buang sial yang Abby katakan. Masuk akal tidak sih?
"Gue kelihatan kayak orang lain," gumam Denok sembari berkaca.
"Memang itu tujuannya!" sahut Abby yang membayar biaya salon kali ini.
Denok menggoyangkan kepalanya dan... gila, terasa ringan! Seakan semua pikiran berat itu pun ikut terbuang. Wah gila...
"Kepala gue jadi ringan gitu ya, By."
"Ciee..." goda Abby dengan senyumannya. "Mulai suka rambut pendek nih?"
Denok mengangguk. "Iya kayaknya,"
"Masih mau dilanjut lagi patah hatinya?"
"Nanti," jawab Denok malas dan wajahnya kembali cemberut. "Gue merasa..."
"Kenapa?" Abby menggandeng tangan sahabatnya itu dan memberikan dukungan emosional penuh di saat perasaan Denok yang tengah berantakan ini.
"Gue merasa menyesal,"
Abby dan Denok masuk ke dalam kedai es krim Sour Sally dan memesan large cup sengaja yang akan dihabiskan oleh keduanya. Black sakura with toping Mango, nata de coco, cookie dooh sauce, dan lychee favorit Denok.
"Menyesal?"
Keduanya sudah duduk berhadapan dan Denok hanya bisa menyuap satu sendok penuh dengan perasaan tak karuan, padahal Sour Sally tidak pernah salah di lidah Denok. Ya, gara-gara perasaan yang berantakan semua hal yang bersangkutan dengan makanan rasanya jadi tidak enak.
"Gue menaruh hati sama Luki, eh tahunya dia begitu. Padahal gue kira Luki nggak akan bajingan, dia menuruti permintaan gue, tapi dia juga yang menjauh. Apa semua ini gara-gara gue nggak kasih dia ciuman lagi, By?"
Sumpah Abby was-was dengan tingkah polos sahabatnya yang satu ini. "Jangan mikir begitu bego!"
"Tapi sejak gue bilang kalau gue nggak suka di cium tanpa izin gue, ataupun mungkin bisa menjurus having sex dia malah menjauh, terus dekat sama ceweknya lagi. Waktu wisuda, dia nggak datang karena sakit, bukannya ngasih tahu gue dia malah ngasih tahu ceweknya."
Abby mulai diam dan berusaha mendengarkan curhatan sahabat cantiknya yang sedang patah hati ini. "... kayaknya kalau gue nggak larang dia, nggak bakal terjadi kayak gini ya, By?"
"Kata lo... Mas Luki sendiri sudah punya cewek sejak dulu, dan lo cuman orang baru diantara mereka berdua."
"... iya," cicit Denok pelan.
"Ya sama, De. Cewek mana yang tahan lihat pacarnya sendiri tunangan sama cewek lain, habis gitu di dukung sama keluarga dan lo malah makin mepet sama Mas Luki?"
"..."
"Secara nggak langsung cewek itu memang mengajak bersaing sama lo, De. Sudahlah, lupain Luki, pusing gue dengarnya. Cari cowok aja mau nggak?"
"Memang boleh?" tanya Denok.
"Siapa bilang yang nggak boleh?"
"Ya takutnya... baru aja putus tunangan udah dapat cowok lain lagi katanya,"
"Lah apa urusannya. Mau lo punya cowok kek, atau suami ini kan hidup lo. Nggak usah dengarkan apa kata orang lain."
"Tapi By.. gue belum cerita sesuatu,"
"Cerita yang mana lagi?"
Tatapan Denok berubah gugup dan dia menyatukan kedua tangannya di depan dada. "Mas Laksmana bilang, dia suka sama gue."
Dan kali itu juga lychee yang tengah Abby telan malah terpaksa harus keluar kembali dan disaksikan oleh pembeli yang duduk di sebelah mereka.
Joroknya...
***
Luki sengaja menemui Laksmana tanpa mengabari sepupunya yang baru saja selesai mengoperasi pasiennya. Laksmana bahkan masih memakai scrubnya dan masih memiliki jadwal untuk visit pasien siang ini.
"Ada apa lo kemari?" tanya Laksmana dengan wajah tidak suka melihat kedatangan sepupu tertuanya.
Luki duduk dengan sombong sambil menyilang kakinya dan berdecih menatap Laksmana. "Gue harap lo nggak melakukan apa pun yang bisa membuat hubungan gue dan Denok makin buruk."
Sori? Laksmana berbalik dan menatap sepupunya dengan heran. "Bukannya sudah selesai? Bukan lagi buruk, lagian apa sih urusan lo sekarang? Sudah melepaskan Denok, kan? Mau Denok gue dekati juga gue nggak harus merasa bersalah karena lo,"
"Demi Tuhan..." Luki berdesis tak suka dan rahangnya mengetat. "Gue nggak mau buat keributan sama lo, gue nggak melepaskan Denok sama sekali."
"Sudahlah," Laksmana mengibaskan tangannya mendengarkan kata-kata Luki yang tak masuk akal. "Lo cuman takut kehilangan apa yang sudah pernah lo pegang, tapi nyatanya lo masih terjerat dengan tali yang mengikat lo, Luki."
"Urusan gue dan Denok masih belum selesai, Laksmana. Gadis itu masih perlu pengawasan dan penjelasan dari gue." Luki menatap Laksmana kali ini dengan tatapan yang lebih ramah dari sebelumnya. "Gue tahu gue salah, tapi untuk urusan Denok—gue minta lo nggak ikut campur, jangan temui dia,"
"Gue suka sama dia." balas Laksmana terang-terangan. "Mau bagaimana pun lo melarang gue, tapi kenyataannya memang gue punya perasaan sama dia."
Luki tidak bisa menerima apa yang baru saja Laksmana katakan kepadanya, bagi Laksmana semua hal yang bersangkutan dengan Denok akhir-akhir ini selalu menguasai perasaannya.
Entah karena kepribadian gadis itu yang santai, ataupun kecantikan gadis itu. Laksmana tidak tahu.
Namun Luki bisa memastikan jika Laksmana bisa bersama Denok, maka dia juga harus bisa bersama dengan gadis itu. Dan jika Laksmana tidak bersama Denok, maka dia tetap harus bisa bersama dengan gadis itu.
Katakan Luki gila, tapi melihat gadis yang pernah menjadi tunangannya itu menjadi milik Laksmana, itu akan menjadi mimpi buruk bagi Luki.
"Gue tahu Denok nggak sesuai dengan tipe lo," kata Luki merendahkan Laksmana. "Gue tahu tipe perempuan yang lo sukai, dan menurut gue Denok bukan pilihan yang pas untuk lo."
Alis Laksmana terangkat sebelah dan menatap Luki dengan sangsi. "Tahu apa sih, lo? Sudah gue bilang, urusan suka itu hak gue, bukan hak lo."
Luki bangkit berdiri dan mendekati Laksmana, baru kali ini sepanjang usia mereka menjadi saudara, Laksmana benar-benar menguji kewarasan dan kesabarannya. "Mau sampai kapan lo keras kepala begini, Laksmana? Gue sudah bilang, gue nggak melepaskan dia sama sekali, Denok tetap menjadi milik gue."
"Silakan," tantang Laksmana penuh percaya diri. "Itu pun kalau Denok memang masih mau menerima lo."
Kedua tangan Luki mengepal begitu saja dan siap menonjok Laksmana, namun tiba-tiba ruangan Laksmana baru saja diketuk oleh seseorang, dan siapa lagi kalau bukan Martha Amidjaja, adik kandung Laksmana dan sepupu Luki paling muda yang baru saja memergoki keduanya yang hendak saling baku hantam.
"Are you out of your mind?!" teriak nyaring Martha memisahkan Luki dan Laksmana.
Martha menatap Luki dan Laksmana bergantian lalu menarik napasnya dengan kuat, dia baru saja terkena sinar matahari yang begitu terik di luar sana, lalu datang dan melihat hal yang tidak pernah Martha bayangkan seumur hidupnya.
Luki dan Laksmana berselisih adalah hal yang berbeda dan hal lain yang harus dihindari.
"Menjauh Tha," pinta Laksmana pada adiknya. "Ini budaya laki-laki yang sedang berjalan."
Martha berdecih sempurna dan mendorong Laksmana maupun Luki agar duduk di salah satu sofa panjang. "Budaya dari mana? Budaya kekerasan yang kalian anggap wajar? Gila!"
Luki menatap Martha dengan kesal lalu bertanya. "Ngapain lo datang tiba-tiba, sih?"
"Oh!" Martha menghentakkan kepalanya dan tersenyum miring. "Masih bagus gue datang tepat waktu kalau nggak kalian sudah melukai satu sama lain. Please, stop it. Jangan karena Denok kalian berdua jadi begini!"
"Kakak lo yang merebut tunangan gue!" balas Luki.
Martha menggelengkan kepalanya. "Mas Laksmana tidak merebut siapa pun, Mas. Lo lupa? Lo yang sudah melepaskan Denok di hadapan kita semua?"
Laksmana tersenyum penuh kemenangan, sementara Luki terlihat menggeleng tidak setuju dengan apa yang Martha katakan. "Itu kesalahan."
"Memang," balas Martha cepat. "Denok sudah lepas dari keluarga kita, Mas. Akhiri semua ini, Opa bilang lo maupun Laksmana nggak akan bisa mendapatkan Denok, sudah tidak ada Denok dalam keluarga kita."
Luki dan Laksmana tertegun mendengar kata-kata Martha, lalu Martha melanjutkan kembali kata-katanya. "Karena keegoisan lo, dan ke tidakyakinan lo pada Denok, lo kehilangan dia sebab kelakuan lo sendiri, Mas." ujarnya kepada Luki. Lalu, Martha menatap Laksmana kali ini. "Cari aman, apa yang harusnya tidak kita sentuh, sebaiknya jangan. Kalau dengan ada Denok keluarga kita jadi hancur, gue sarankan lebih baik kalian berdua tahu diri dan mundur."
"..."
"Denok cuman gadis lugu yang tidak tahu apa-apa persoalan sengit perasaan kalian. Dia cuman korban Mas Luki, dan korban kebingungan Mas Laksmana. Kalian berdua sudah membuat gadis itu kebingungan dan sulit menerka perasaannya sendiri. Itu suatu hal yang bisa gue anggap kejahatan." Martha membela Denok secara tidak langsung. "Tidak ada perempuan yang mau diperebutkan dengan cara seperti ini, Mas. Mau lo atau pun Mas Laksmana, tidak lebih baik untuk dipersatukan dengan Denok."
Martha mengurut batang hidungnya dan berusaha tersenyum senang. "Mungkin gue akan terdengar kurang ajar hari ini; tapi sori... gue nggak akan membiarkan kalian ribut karena Denok, sudahi semuanya, okay?"
Luki berdecih di tempat, sementara Laksmana hanya diam saja mendengarkan kata-kata adiknya tadi yang berusaha dia pahami. Masalahnya, jika perasaan tidak sinkron dengan logika, tetap jalan tengahnya adalah mencoba selagi berusaha.
***
a/n:
Eaaaaak. Nggak ribut nggak afdol.
"Ke Bekasi beli bekicot.
Diam aja sih jangan bacot." — Laksmana to Luki.
"Beli tomat di Bali.
Bodo amat nggak peduli." — Luki to Laksmana.
"Teh botol teh kotak.
Udah tolol kagak ada otak." — Martha to Luki & Laksmana.
Luki to Denok.
p.s: perkara Denok, siapa sih yang nggak mau jadi Denok? Diperebutkan oleh juragan kilang minyak dan dokter spesialis bedah wkwkwkwk. memang marga Amidjaja ini kacau.
11, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro