24. Kecewa
SAH!
Denok Kanara Djatiwibowo, S.Psi. Akhirnya... Denok bersyukur dengan segala pencapaiannya hingga hari ini. Melewati begitu banyak tantangan, penyerahan, ketidaksukaan, kemarahan, dan kebencian pada beberapa mata kuliah yang pernah membuat Denok ingin menyerah.
Semuanya sudah terbayar hari ini dan Denok bangga akan dirinya sendiri. Tahu bagaimana rasanya? Hanya sedikit tidak... sangka.
Meskipun Denok tidak pernah mengeluh, bohong kalau dia tidak pernah mau menyerah, pasti ada masa di mana Denok ingin menyerah dan membuang semua yang telah dia dapatkan karena keputusasaan.
Ditinggal Mamanya pergi, Papanya yang jatuh sakit, sementara dirinya sendirian menghadapi semua masalah yang ada karena keluarga, bertunangan dengan Luki, semua terasa terjadi pada satu waktu yang cepat.
"Selamat untuk kita semua!" teriak Abby sambil merangkul Denok dan Ben pun datang menyusul memeluk keduanya dari belakang.
Denok terkekeh pelan ketika Abby menyusut air matanya. "Makasih karena udah sering menampung gue di rumah lo, gue janji gue akan sering numpang ke depannya."
"Cih, nggak sekalian aja lo pindah ke rumah gue?" sindir Denok.
"Iya nanti pindah kalau udah frustrasi diam di rumah."
"Nggak mau pindah ke rumah gue aja?" tawar Ben pada Abby. "Tapi jadi menantu Mama gue,"
"Ogah, makasih—" lalu tak lama kemudian, Helen Pawaka bersama Yusril Pawaka datang mendekati ke arah anak-anak. "Hai, Om... Tante..." sapa Abby yang langsung jinak saat itu juga.
Helen Pawaka tersenyum senang, memeluk Denok dan Abby bergantian sambil mengucapkan selamat. "Selamat-selamat, kalian hebat... nggak berhenti di tengah jalan, dan terus semangat sampai akhir."
"Iya dong, Tan.. terpaksa karena keadaan." jawab Denok dengan senyumannya.
Yusril malah tertawa. "Kamu ini ada-ada saja, Om dengar kamu sudah kerja di sekolah swasta? Gajinya memang besar di sana?"
Denok menghela napasnya. "Ya kalau untuk diri sendiri cukup-cukupi aja. Kalau nggak cukup juga, pakai uang dari Papa sama Om Edgar."
Helen tertawa menepuk pundak Denok. "Kalau Abby gimana?"
"Abby nggak mau kerja, Tan." keluhnya dengan jujur.
"Lho? Kenapa?"
"Mau nikah aja pusing."
"Nanti kalau sudah nikah juga tambah pusing!" sahut Helen dengan tawanya yang renyah. "Anak-anak muda zaman sekarang mikirnya nikah enak kali ya,"
"Sudah, jangan buat anak-anak ini goyah!" ujar Yusril mengingatkan istrinya sendiri. "Kalau Abby nikah, jangan lupa undang Om sama Tante."
"Siap." jawab Abby dengan lesu sembari hormat.
Denok melarikan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan balairung tapi dia tidak menemukan satu orang pun yang dia kenal. Jangankan, Luki, Rajasa saja tidak ada. Apa mereka semua tidak datang, ya?
"Cari siapa?" bisik Abby di sisinya.
"Opa, sama Luki."
"Belum datang?"
"Belum, mungkin macet kali."
Ben mengangguk setuju sambil mengambil kamera di dalam sakunya. "Pasti macet, dari jalan sampai gerbang utama kampus aja macet, De."
"Mm, ya..." kenapa juga dia sangat mengharapkan kedatangan Luki, sih?
Jika saja Luki ada di sini dan benar-benar menemaninya setidaknya Denok tidak akan terlalu kesepian.
Wait, apa dia baru saja menggantungkan dirinya pada Luki?
Apa karena itu juga Denok ingin dilihat oleh Luki? Akhir-akhir ini, Luki seperti bermain tarik ulur dengannya, entah untuk alasan apa tapi sepertinya pria itu bosan kepadanya. Ada rasa senang, karena kemungkinan hubungan ini akan lepas sendirinya, tapi ada rasa sedihnya juga karena Denok benar-benar merasa bahwa dia sudah pas dengan sikap Luki yang bisa menghargainya setelah keinginannya untuk tidak saling menyentuh secara berlebihan ketika Denok tidak sadar.
Apa pria itu menjauh karena peringatan yang Denok berikan? Mungkin, ada benarnya juga. Itu kenapa dia jadi merasa tak enak atau mungkin menjauh? Yang bener saja? Masa pria seperti Luki malah terkena mental karena peringatan seperti itu?
Biasanya, pria memang jadi tidak tertarik ketika perempuan memang secara gamblang nya tidak memberikan kenyamanan secara seksual? Ugh, Denok juga tidak mau merendahkan dirinya sendiri dengan cara seperti itu.
"Denok!"
Denok mendengar namanya baru saja dipanggil oleh seseorang, dari arah pintu masuk sudah ada Adjie, Martha dan Rajasa yang datang, dan... tidak ada Luki.
Kemeja batik itu hanya dipakai oleh Rajasa saja, kemana perginya pria itu? Apa Luki ada urusan? Atau memang dia sedang sibuk? Tapi kenapa Luki tidak mengabarinya?
"Selamat!" Martha memeluknya dengan begitu erat sambil memberikan buket bunga.
Begitu pun dengan Adjie yang memberikan buket bunga lebih besar pada Denok. "Cieee... sarjana psikologi officially!"
"Thank you, Mas Adjie... Mbak Martha... Opa..."
Rajasa mengusap puncak kepala Denok. "Mau makan-makan? Dimana?" tawarnya pada Rajasa.
"Enaknya di mana?" tanya Denok lagi.
"Kita reservasi dulu deh," Martha berinisiatif untuk memilih tempatnya. "Oh ya, mau ganti pakaian, kan? Pulang dulu aja kali, ya?"
"Mbak, Mas Luki ke mana?" tanya Denok dengan raut wajah hati-hati.
Martha memandang Adjie dan Rajasa bergantian lalu menatap Denok kembali. "Luki, dia sakit."
"Sakit? Kok tumben..." Denok tidak menyangka manusia itu bisa sakit juga.
"Ya katanya sakit, dia nggak mau kita jenguki, ada di apartemen orangnya."
"Ka-kalau gitu... makan-makannya kita tunda dulu bagaimana? Aku mau ke apartemen Mas Luki."
Terdengar nada kecemasan pada gaya bicara Denok yang bisa ditangkap oleh Adjie, Martha dan Rajasa. Rajasa lantas senang dan mengangguk setuju. "Boleh, kita makan-makan setelah Luki sembuh saja. Okay?"
***
Denok memang belum diberi apartemen akses oleh Luki, tapi security apartemen telah mengenalnya lebih baik karena Luki pernah memperkenalkannya dengan baik dan memberitahu bahwa Denok adalah tunangannya. Itu sebabnya, Denok meminta tolong pada security setelah panggilannya tidak dijawab berkali-kali oleh Luki.
Unit Luki berada di lantai paling atas, memang apartemen itu tidak bisa disebut apartemen, lebih tepatnya penthouse mewah yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang dipenuhi oleh gedung-gedung tinggi.
Denok bahkan tidak tahu berapa pin apartemen Luki, akhirnya dengan kesal dia menekan bel berkali-kali, kebaya wisudanya belum Denok ganti tapi dia sudah membawa pakaian ganti di ranselnya.
Ketika pintu unit itu terbuka, Denok baru saja akan tersenyum jika itu Luki yang menyambutnya, tapi... perkiraannya salah, yang baru saja menyambutnya adalah—Kezia.
Perempuan yang lebih dewasa darinya itu, adalah kekasih Luki yang sebenarnya. Dan Kezia lebih Luki butuhkan daripada dirinya. Benar, kenapa dia harus mencemaskan Luki separah ini, sih? Sudah bagus ada Kezia yang menjaganya dan merawatnya.
"Siapa Key?" suara Luki terdengar dari arah dalam dan membuat Denok ingin memutarkan kembali tubuhnya.
Kezia hanya memandangnya secara diam, tanpa mengatakan kata-kata ataupun mempersilakan dirinya masuk.
"Saya, akan pergi—"
"Tunggu," cegah Kezia menahan lengan Denok.
Denok menoleh kembali dan tersenyum rikuh. "Nggak apa-apa, Mbak. Maaf saya mengganggu, saya akan kembali pergi tolong beritahu—"
Lalu setelahnya Luki membuka pintu unitnya lebih lebar dan menatapnya dengan terkejut. "D?"
Denok makin terdiam, bagaimana juga dia harus berekspresi? Senang kah? Tenang kah? Ya, dia harus tenang karena ada Kezia yang merawat pria itu. "Aku dengar kamu sakit, tapi kamu sudah ada yang menemani, so..." Denok mengangkat jarinya ke belakang tubuhnya. "Aku akan pulang,"
"Jangan," cegah Luki.
Denok tertahan dua kali oleh dua orang sialan itu. "Kenapa?"
"Masuk," pinta Luki menarik tangan Denok.
Denok akhirnya masuk ke dalam unit Luki dan melewati Kezia yang terdiam, gara-gara samping kebayanya, Denok harus berjalan kecil dan cepat agar mengimbangi tarikan tangan Luki.
Setelahnya pria itu membiarkan Denok duduk di salah satu sofa, Denok hanya bisa menghela napasnya dengan pasrah ketika Kezia pun ikut masuk dan duduk di seberangnya.
"Kamu langsung dari kampus ke sini?" tanya Luki.
Wajahnya memang pucat dan tidak sesegar biasanya. "Iya," jawab Denok irit.
"Sama siapa?"
"Bawa mobil."
"Maaf aku nggak bisa—"
"Aku tahu," putus Denok cepat tak mau mendengar suara Luki yang jelek itu! "Aku paham, oh ya... Mbak dan Mas Luki kembali bersama? Baguslah... saya kira Mas Luki melepaskan Mbak begitu saja."
"D,"
"Kami nggak—"
Keduanya berbicara bersamaan dan membuat Denok tersenyum. "Nggak apa-apa, semuanya jadi jelas buat saya ke depannya."
"D, dengar jangan berasumsi apa pun, aku dan Kezia memang sedang bersama tadi karena kami berdua masih punya urusan." ujar Luki berusaha menjelaskan kepadanya.
Luki terlihat cukup kuat untuk mempunyai urusan bersama Kezia di tempatnya sendiri. "Iya," balas Denok tanpa bantahan.
Memang sejak kapan Denok membantah Luki? Selain tidak bisa memberikan ciuman dan seks yang pria itu butuhkan. Oh, dan mungkin saja Kezia bisa memberikan kedua itu.
Astaga, otak gue sudah gila, batin Denok.
Denok lantas bangkit kembali dan membawa ranselnya. "Aku pulang, nanti kalau urusan kamu dan Mbak Kezia sudah selesai, beritahu aku."
"D,"
"Maaf banget, aku ada janji... sori, nggak apa-apa, lanjut saja." Denok memberitahu lebih dulu kalau dia sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan Luki dan Kezia yang entah sudah berapa lama.
Meskipun Luki tidak mengejarnya, dan Denok terus berjalan cepat demi agar bisa segera pergi dari gedung apartemen ini, entah kenapa rasanya dada Denok sesak. Kenapa rasanya sesakit ini? Apa dia baru saja merasa dibohongi oleh Luki? Atau apa?
Kenapa semuanya jadi seperti ini?
***
Denok turun dari taksi dengan begitu lesu, dia membayar langsung tanpa memedulikan berapa kembalian yang harus dia terima. Di depannya, gerbang rumahnya yang tinggi membuat Denok menghela napasnya dengan lelah.
Ya, sama seperti ekspektasinya yang terlalu tinggi hari ini! Sialan!
Dalam bayangannya, dia akan memiliki foto bersama dengan Luki! Dalam bayangannya juga Luki akan menjadi pendamping wisudanya! Dan dalam bayangannya juga, Luki akan menghabiskan hari dengannya hari ini!
Astaga, dia sudah jadi manusia yang tamak sekarang.
"Denok?"
Suara wanita di m belakangnya membuat Denok menghentikan langkahnya dan tangannya yang hendak menggapai pagar. Di sana, ada Sisca Moestopo tetangganya yang berdiri di samping mobil dengan raut wajah penasaran serta bahagia.
"Sudah selesai acara wisudanya? Selamat ya!" wanita itu menghampirinya dan memeluk Denok dengan hangat.
Pelukannya membuat Denok merasa aman, dan nyaman. Padahal, Denok pikir Sisca Moestopo bukan siapa-siapa, wangi tubuhnya saja membuat Denok merasa baru saja mendapatkan energi baru. It feels like therapeutic.
"Terima kasih, Tante." ujarnya dengan senyuman yang sendu.
"Kok lesu?" kedua tangan Sisca memegang kedua bahu Denok. "Semangat dong, kan sudah jadi sarjana hari ini!"
"Aku..." Denok menahan air matanya yang akan turun di depan Sisca Moestopo.
Tolong jangan malu-maluin! Denok berkata pada hatinya sendiri. "Aku... masuk dulu ke dalam ya, Tan."
Mendengar suara Denok yang bergetar, tidak membuat Sisca dengan mudah melepaskan gadis itu. "Kenapa, Nak?"
"Aku nggak apa-apa," katanya lagi berbohong.
Sisca tahu ada yang salah dengan putrinya sendiri, apakah Denok merasa kesepian? Tapi tadi laporan Alfa dan Bagas bilang bahwa Rajasa, dan dua sepupu Luki datang ke acara wisuda Denok.
"Kenapa, Nak? Ada masalah?"
"Nggak apa-apa, Tante.." rasanya tidak mungkin juga Denok jujur pada Sisca. "Aku masuk ke dalam dulu ya, Te."
Sisca mencegah lengan Denok dan tersenyum khawatir. "Di rumah Tante saja gimana? Tante buatkan minum, mau ya?"
Mendapatkan tawaran itu, Denok rasa dia sebaiknya bersama dengan Sisca dulu daripada sendirian yang membuat otaknya berpikir ke sana kemari.
Akhirnya Denok setuju dengan tawaran Sisca dan masuk ke dalam rumah wanita itu.
Rumah tetangganya itu sangat sepi, bahkan isi rumahnya tergolong sedikit, hanya ada lukisan besar yang menggantung di setiap tembok, beberapa kamar yang tertutup rapat dan hawa dingin di dalamnya membuat Denok agak merinding.
Kenapa juga Sisca harus punya rumah sesepi ini? Dimana anak-anak dan suaminya?
"Mau teh? Apa jus melon? Atau milkshake? Tante punya banyak minuman di kulkas." tawar Sisca dengan senangnya.
"Aku mau air putih aja, Te." Jawab Denok dengan lesu.
Padahal, penampilan putrinya ini sangat cantik, kebaya berwarna abu-abu itu terlihat cocok dipakai oleh putrinya yang memiliki skintone putih, bahkan kulit Denok terlampau putih untuk ukuran gadis Indonesia. Tapi wajahnya malah dihiasi mendung, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa gadisnya mendung seperti ini?
"Okay," Sisca memberikan segelas air yang langsung diteguk saat itu juga.
Setelahnya kedua bahu Denok yang tegang pun melemas dan kedua matanya menatap Sisca seakan baru sadar bahwa dia tengah diperhatikan sejak tadi.
"Makasih ya, Te.."
"Sama-sama, Nak. Oh ya, Tante punya hadiah untuk kamu! Bentar ya, Tante ambil dulu ke kamar!"
Sisca meninggalkan Denok sendirian di ruang tamu dan ketika datang kembali, Sisca membawa satu paper bag dengan merk ternama.
Sisca membuka kotak beludru berwarna abu-abu itu dan membukanya. "It's—"
Kata-kata Denok menggantung ketika melihat apa yang baru saja Sisca berikan padanya. Itu adalah gelang Van Cleef & Arpels Vintage Alhambra Bracelet 5 motif berwarna hijau kepadanya. "Tante cuman bisa kasih ini untuk hadiah wisuda kamu, maaf ya... harusnya Tante kasih yang luar biasa karena kamu telah berhasil menyelesaikan sarjana kamu." ujar Sisca dengan bangga.
"Tante ini... Tante kenapa harus repot-repot," kata Denok dengan tidak enak.
Sisca langsung memasangkan di pergelangan tangan kiri Denok. "Nggak sama sekali, Tante senang melihat kamu memakainya. Lihat? Cantik, kan? Warnanya cocok untuk kamu."
Denok menunduk dan menyentuh gelang itu dengan hati-hati. "Terima kasih, Te... this is the best gift I've ever had, Thank you.."
"Anytime, sayang... jangan sedih lagi, ya? Tante ada di sini,"
Denok terkekeh pelan dan malu. "Tante tahu darimana aku sedih?"
"Tahu dong, Tante bisa lihat dari ekspresi wajah kamu yang nggak cerita seperti biasanya. Kenapa? Ada sesuatu hal yang terjadi?"
"Nggak, Te.. cuman ya biasa, manusia kalau sudah tamak ingin ini-itu tanpa menyadari bahwa nggak semuanya bisa didapatkan."
"Apa yang nggak kamu bisa dapatkan, Nak?" tanya Sisca kebingungan.
Denok tersenyum tipis dan menggeleng. "Aku kayaknya sudah sayang sama orang itu, Te."
Jantung Sisca baru saja diremas oleh benda yang bahkan tidak bisa Sisca lihat, sekarang... dia mengerti, putrinya tengah patah hati.
"Aku sayang sama dia, tapi... aku nggak akan bisa menjadi apa yang dia inginkan, karena bukan aku yang dia inginkan."
Apa ini semua... Luki Amidjaja? Brengsek sekali cucu Rajasa Amidjaja itu.
"Apa sebaiknya aku berhenti saja, Te?" tanya Denok kepadanya.
Berhenti?
Apa maksudnya berhenti? Melepas pertunangannya? Jika itu benar bisa membuat Denok bahagia maka Sisca akan menyetujuinya. "Kamu bisa berhenti sesuai kemauan kamu dan kemampuan kamu. Biasanya, manusia tidak akan berhenti kalau masih merasa mampu. Kalau kamu sudah tidak mampu, kamu boleh berhenti dan melepaskannya, Sayang."
"Ya... sepertinya aku akan melepaskannya, Te."
***
a/n:
Kasian nggak sih Denok tuh? Tapi w pernah ada di posisi Denok:) jadi agak kesal juga ya, jujurly kenapa cowok selalu butuh sesuatu yang menjurus ke arah seks? Kayak otak mereka tuh isinya seks semua wkwk, tapi kan ini asumsi Denok ya teman-teman.
Dulu, aku pernah didekati sama cowok yang freak, tapi di sisi lain dia memang keren, komunikasi nya asik abissss! Kayak pembahasan tuh sama dia nggak akan selesai-selesai karena orangnya kemang komunikatif, kalau buat aku pribadi komunikasi memang nomor satu. Eh tahunya, kan melenceng yah..
Kok jadi curhat? Wkwk.
p.s: tenang ini si Denok belum kebongkar semua sifatnya sama Luki.
8, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro