23. Gunjingan
Hari ini, Ben, Abby dan Denok menghabiskan waktu bersama sebelum hari wisuda besok tiba. Ben bilang, dia membeli beberapa kilo daging yang dia ingin masak menjadi steak di rumah Denok.
Denok sama sekali tidak mau menyentuh daging, ataupun membantu Ben memasak. Jujur, Denok sudah kenyang karena makan garlic bread yang Abby buat tadi. Meskipun rasanya ngalor ngidul, Denok tetap memakannya.
Oh ya, kabar buruknya—Abby sudah jarang menginap karena katanya sudah waktunya bagi Abby diam di rumah dan belajar mempekerjakan semua hal yang ada di rumah agar terbiasa jika suatu saat Abby menikah.
Pemikiran orang tua Abby sudah pasrah—soalnya, Abby anaknya agak gesrek dan tidak tahu di untung. Dia mengeluh bahwa kuliah sudah membuat hidupnya sulit, dan Abby bilang lagi bahwa dia tidak mau kerja dan memilih menikah saja.
Dan kabar baiknya alasan itu di-iyakan oleh orang tua Abby dan Abby sendiri yang ketakutan karena rencananya Abby akan dikenalkan pada salah satu anggota yang sering menyapa kalangan wanita dengan gaya andalannya; halo dek.
Denok sempat meledek Abby habis-habiskan dan membuat sahabatnya itu merajuk dan mengatakan bahwa Denok disumpahi akan bucin akut pada Luki Amidjaja. Yang mana, langsung Denok tebas jauh-jauh sumpah yang Abby katakan itu.
Enak saja! Bisa-bisanya menyumpahi Denok dengan hal macam seperti itu, sudah Denok bilang, bukan? Denok tidak akan mengharapkan sesuatu hal yang mungkin tidak akan terjadi padanya.
Hidup itu dibagi dua, ada yang dibawah kendali kita dan ada yang di luar kendali kita. Dan bagi Denok, Luki Amidjaja berada di luar kendalinya.
"Maksud gue ya, Ben. Gue mau menikah ya dengan pilihan gue dong, bukan pilihan Ibu gue!" cetus Abby yang masih memperdebatkan pilihannya.
Ben mengangguk sembari menunggu daging wagyu yang sudah dia beri bumbu tadi untuk masuk ke dalam panggangan. "Iya, By. Tapi kan lo sendiri yang bilang begitu, konsekuensi lah! Pakai nggak mau kerja segala, lo cari di luar sana pun belum tentu mau ada yang seriusin lo."
"Kampret! Begini-begini gue cantik, ya!"
"Iya lo cantik, tapi kan soal seriusin itu tanggung jawab laki-laki." kata Ben mengulang kata-katanya tadi. "Itu juga alasan kenapa Ibu lo mengenalkan laki-laki yang sudah siap dan merasa percaya diri untuk menikahi lo, ya karena nggak ada cowok pilihan lo yang mau menikahi lo masalahnya!"
"Sialan lo, Ben! Lagian, gue nggak mau kerja tuh capek tahu... kuliah psikologi memang buat gue gila!"
"Gila lo, By." maki Ben dengan tawanya. "Kenapa nggak mau kerja, sih? Kayak si De gitu, jadi guru BK."
Kedua mata Abby membulat dengan begitu besarnya. "Gue nggak punya kesabaran kayak si Denok ini yah!" katanya sambil mendorong bahu Denok.
Sudah biasa diperlakukan seperti itu, Denok hanya bisa tersenyum. "Kalau lo belum siap menikah, ya tolak aja." sahut Denok dengan santainya sembari memakan brownies kering. "Susah amat hidup lo, jangan dibuat ribet deh!"
"Kayak yang iya aja si anjing ini!" dengan emosi Abby mencubit perut Denok. "Lo sendiri gimana dengan Mas Luki, ha?!"
Ben tertawa dengan keras dan lantang tanpa memikirkan ekspresi wajah Denok yang keberatan. "Kayaknya sih aman-aman aja sih, By. Nggak ada keluhan apa-apa lho, setelah baikan di RS tuh."
"Hem, ada untungnya juga lo di rampok."
"Ya Tuhan... gue punya teman begini amat ya Tuhan." keluh Denok seakan menjadi manusia paling menderita karena ada Abby dan Ben di sisinya.
"Lo kapan nikah sama Mas Luki?" tanya Abby tiba-tiba.
Denok menatap Abby dengan horor. Menikah? Dengan Luki? Ah... itu suatu hal yang agak berat—tidak, sangat berat.
Masalahnya, sepanjang dia menjalani hubungan dengan Luki yang terasa seperti flat—alias datar dan tidak ada spesialnya, pasti pria itu juga merasakan hal yang sama. Sampai kapan pun, Denok rasa hubungannya dengan Luki tidak akan berhasil.
Tidak ada rasa dimana Denok menyadari bahwa dia ingin menghabiskan banyak waktu bersama Luki, pasti Luki juga berpikiran sama seperti dirinya.
"Nggak tahu," jawab Denok malas.
Ben mengangkat alisnya sebelah dan duduk di sisi Denok. "Nggak tertarik nikah sama dia? Kenapa? Ketuaan ya?" ledeknya.
"Ya usia memang masuk ke dalam faktor sih, tapi gue nggak pernah mempermasalahkannya." jawab Denok pada Ben. "Yang gue permasalahkan adalah, hati gue. Memang, hati gue sudah sepenuhnya milik Luki? Nggak juga tuh, terus apa gue sangat-sangat menginginkan kehadirannya? Nggak juga tuh. Terus, apa gue pernah kangen sama dia? Apa lagi... mana pernah!"
Abby syok mendengarnya, sementara Ben tersenyum senang mendengarnya. "Gue kira sudah berprogres ternyata masih gitu-gitu aja ya?" timpal Abby.
"Memang lo mau gue berprogres seperti apa, By? Luki memang baik, tapi jelas diantara kita berdua kayaknya memang nggak ada bumbu-bumbu cinta."
"Ah!" Abby berkilah tak setuju. "Lo nya aja kali yang nggak sadar!"
"Gue sadar, By... gue bisa bedakan mana orang yang interest sama gue dan nggak!"
"Oh..." Ben bergumam di sisinya dan mengusap dagunya sembari memandang ke arah depan.
Denok mengernyitkan keningnya dengan bingung. "Kenapa lo?"
"Jadi... lo tahu dong kalau sebenarnya gue interest sama lo?" tanya Ben secara gamblang.
Kedua mata Denok membesar dan bergerak gugup, Ben tahu kalau Denok sudah terkena pancingannya sendiri. "Ya-ya... tahu,"
"Tapi lo diam aja? Nggak mau merespons?"
"Tuh kan!" Abby menambah panas keadaan di sekitar. "Berarti memang lo yang salah, De."
"Ya gue mah realistis anjing...." Denok menghela napasnya dengan frustrasi. "Gue sama Ben kan beda, gue nggak mau—"
"Ah basi!" potong Ben enggan mendengar lebih panjang sebab dia tahu bahwa Denok akan membahas soal keyakinan mereka berdua yang berbeda.
Denok mengangguk setuju. "Iya, basi banget."
Abby dengan kurang ajarnya malah tertawa lantas bernyanyi. "Tuhan... memang satu, kita yang tak sama..."
Yah bagaimana lagi? Anggap saja cinta yang tidak pernah kesampaian. Tapi kalau Luki? Apakah akan sampai pada tujuannya? Ah terserah lah!
***
Desmond Winarta memeluk istrinya, Sisca Moestopo yang tengah kebingungan dengan kondisi mantan suaminya, Erlangga Djatiwibowo. Padahal, Desmond sudah membebaskan Sisca agar bisa pergi ke Singapura demi ketenangan hatinya. Sejak dulu, Desmond tahu kalau hati Sisca tetap akan terbagi. Di dalam hati istrinya tidak hanya ada satu nama dirinya saja; melainkan nama lain yang sejak lama sudah mengisi hari-hari Sisca.
Desmond tidak mempermasalahkannya karena dia pun sama memiliki masa lalu, dan Desmond pun tahu bagaimana rasanya harus pergi dan menjadi orang paling jauh dari orang yang bahkan kita cintai. Dengan Sisca, semuanya menjadi liberal, transparan dan bebas. Desmond juga tidak pernah merasa terikat dalam pernikahannya dengan Sisca.
Apa lagi, Sisca masih terus menyembunyikan fakta dirinya sendiri pada putri kandungnya dengan Erlangga Djatiwibowo. Itu juga yang menambah ketakutan Sisca menjadi-jadi.
"Kamu bisa pergi ke Singapura besok, Ma." ujar Desmond mengusap bahu Sisca. "Lihat kondisi Erlangga, apa dia semakin baik atau tidak,"
"Tapi putriku besok wisuda, Pa..."
"Aku akan mengirimkan karangan bunga untuknya dan buket bunga besar untuknya, bagaimana? Atas nama kamu, Ma."
Sisca tersenyum senang mendengarnya. "Iya, aku sepertinya akan ke Singapura sore saja, agar paginya aku bisa datang ke kampus putriku,"
"Secara diam-diam lagi? Bersama Alfa dan Bagas?" tanya Desmond.
Sisca menyesap teh melatinya dan mengangguk. "Iya, aku akan melihatnya dari kejauhan."
"Mau sampai kapan begini?" tatapan Desmond begitu lembut dan membuat Sisca rapuh pada saat itu juga. "Kamu tetap harus memberitahukan siapa diri kamu sebenarnya pada dia, Ma."
Sisca mengangguk tapi dia menarik napas dengan panjang dan memikirkan apa respon Denok akan baik? Atau malah buruk? "Bagaimana kalau dia marah dan membenci aku?"
Desmond terkekeh pelan dan menggeleng. "Jika dilihat dari wajahnya yang lembut, dia hanya akan menangis dan mempertanyakan 'kenapa baru sekarang?' dan jelas kamu harus menyiapkan jawabannya, Ma."
"Aku takut setelah dia mengetahui semuanya, dia dijadikan bahan gunjingan."
"Itu sudah pasti, sudah kubilang resiko, Ma."
Sisca menggeleng, dia tidak mau sampai Denok yang digunjingkan. Itu semua salahnya, dan putrinya tidak bersalah sama sekali. "Aku memilih melahirkannya dulu, tapi orang-orang akan menilai Denok sebagai cela yang lahir sebagai anakku,"
Desmond meraih tubuh istrinya dan memeluknya dengan hangat. "Sisca Moestopo tidak seburuk itu, yang aku ingat dia wanita liberal dan pintar, pandai mengatasi segala situasi dan penyayang."
"Putriku tidak mengenal aku dengan baik, itu masalahnya."
"Maka kalian berdua harus benar-bener dekat mulai dari sekarang."
"Bagaimana caranya?"
"Apa perlu dengan bantuan dua putra kita?" tawar Desmond.
Dua putranya bersama Desmond? Nathan dan Andres? Apa mereka berdua bisa membantunya?
"Bagaimana pun juga, Nathan dan Andres adalah adik Denok, Ma. Denok harus tahu kedua adiknya, bukan?"
Ya, meskipun beda ayah, Nathan dan Andres adalah anaknya, itu artinya masih satu kandung namun beda ayah, dan tetap ada pertalian saudara. "Aku akan bicara pada Nathan dan Andres,"
Desmond mengangguk setuju. "Mereka sudah sangat menunggu momen ini sejak lama, Denok pasti senang memiliki dua adik yang tidak dia sangka-sangka."
"Terima kasih, Pa.. karena kamu menerima putriku,"
"Putrimu itu adalah putriku juga." jawab Desmond yang membuat hati Sisca dialiri kelegaan.
***
Ruth Helena masih belum terbiasa dengan sikap hangat suaminya, Gianjar Amidjaja. Malam ini, Gianjar baru saja memberikannya parfum Salvator Feragamo Signorina sebagai hadiah pernikahan dan kalung Chaumet Josephine Ronde d'Aigrettes white gold dengan pendant diamond yang Ruth terima dengan sungkan.
Selama ini, Ruth belum pernah mendapatkan hadiah apa pun selama menjadi istri Gianjar Amidjaja si pria dingin yang tidak pernah peduli padanya, bahkan di hari kelahiran Luki pun, Gianjar hanya peduli pada Luki tanpa mau memedulikan keadaannya atau berterima kasih kepadanya karena telah melahirkan penerusnya.
Sepertinya, apa yang orang-orang katakan bahwa Gianjar jatuh cinta padanya di usia tua patut dibenarkan, tapi bukan begini juga caranya karena Ruth tidak bisa berkata-kata lagi. Bahkan, dia amat menyayangkan sikap Gianjar yang kelewat manis padanya, kenapa tidak sejak dulu sih? Hormon-hormon cintanya entah sudah hilang kemana karena di makan usia. Atau mungkin, sudah tidak ada lagi sejak Gianjar tidak pernah memedulikan dirinya.
"Selamat ulang tahun pernikahan, Cinta."
Pernyataan Gianjar malah membuat Ruth terserang oleh batuk yang membuat tenggorokannya gatal. Jika sudah seperti ini sudah sepatutnya ingat akan usia.
"Kamu... kenapa sih, Mas?" tanya Ruth hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Gianjar.
Gianjar tersenyum kepadanya, dengan rambut hitam yang telah berubah menjadi uban, keriput pada wajah yang membuat Gianjar semakin terlihat berkharisma seperti Rajasa Amidjaja, dan tangannya yang kasar yang telah memberikan bukti bahwa pria itu sudah begitu banyak melewati banyak hal di kehidupannya bersama dirinya tanpa melibatkan dirinya.
"Aku cuman mau menikmati waktu sama kamu, Ruth." ucap Gianjar dengan penuh kejujuran. "Sejak dulu, aku tidak pernah memberikan waktu seperti ini pada kamu, sampai akhirnya aku menyakiti kamu."
"..."
"Sudah banyak waktu yang aku buang tanpa sadar, dan aku tidak bisa mengembalikan waktu yang telah lewat." Gianjar mengecup punggung tangan Ruth. "Aku hanya berharap, kita masih punya waktu panjang untuk menikmati waktu berdua kita, menunggu kedatangan menantu kita, atau cucu kita."
Diingatkan soal menantu, Ruth sudah lama tidak bertemu dengan Denok. "Makanya, sehat-sehat, ya, Mas... jaga pola makan, dan rajin olahraga supaya kita bisa jadi kakek dan nenek yang kuat untuk cucu kita nanti."
Gianjar terkekeh pelan dan mencium kening Ruth dengan lama. Terserah kalian akan menilainya seperti apa, tapi Gianjar rasa kutukan Luki sudah mulai bekerja.
Gianjar ingat bahwa Luki pernah mengutuknya bahwa dia akan jatuh sejatuh-jatuhnya pada Ruth, istrinya sendiri. "Aku akan mengutuk Luki agar dia jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada tunangannya, agar dia bisa memberikan kita cucu dengan cepat."
Ruth tergelak mendengarnya. "Jangan konyol, oh ya aku nggak beli apa-apa untuk kamu, Mas."
"It's okay," Gianjar menggeleng dengan senyuman. "Kamu sudah jadi hadiah paling penting buat aku."
"Gombalnya nggak sadar umur ya?" ejek balik Ruth.
Gianjar malah tertawa. "Aku nggak gombalin kamu, Ma. Lagian, siapa yang bisa aku gombali sekarang kalau bukan istriku sendiri?"
"Makanya, selama ini kamu kemana saja sampai baru sadar aku ini adalah istri kamu?" tanya Ruth dengan sengaja.
"Aku selalu sadar kalau aku punya istri, nggak mungkin aku nggak sadar. Aku setiap hari pulang ke kamu."
"Tapi hati kamu pernah jadi milik orang lain." timpal Ruth dengan tatapan sendu.
Melihat tatapan asing dan menyakitkan itu Gianjar buru-buru menggeleng dan memeluk istrinya. "Jangan, jangan sedih untuk hari ini..."
"Aku sempat berpikir kalau kamu nggak akan mencintai aku selamanya."
"Aku cinta sama kamu,"
"Oh ya?" Ruth melepaskan pelukannya dan memiringkan wajahnya menatap Gianjar dengan keraguan. "Tapi kamu mggak pernah memberikan cinta itu kepada aku."
"Dan itu adalah satu hal yang paling aku sesali sampai sekarang, kenapa aku nggak menunjukkannya secara terang-terangan sama kamu."
Ruth hanya bisa menggelengkan kepala dengan senyuman miris. "Yang sudah ya sudah saja,"
"Kamu kecewa ya?" tanya Gianjar dengan sedih.
Ruth menatap bola mata hitam suaminya dan mengangguk. "Kecewa, tapi aku senang... karena pada akhirnya kamu bisa melihat aku sekarang,"
"Aku selalu melihat kamu," Gianjar mengeratkan genggaman tangannya. "Aku selalu melihat kamu, kalau nggak melihat kamu gimana caranya kita bisa punya Luki?"
"Harusnya kamu memberikan aku banyak anak, Mas. Karena itu artinya, kamu memberikan banyak cinta kepada aku." balas Ruth.
Gianjar mengusap puncak kepala istrinya sembari terkekeh pelan. "Lihat kamu berjuang pembukaan dulu saja aku tersiksa, bagaimana bisa aku membiarkan kamu kesakitan karena mengandung anakku?"
Sepertinya Ruth memang salah mengartikan gaya cinta yang Gianjar berikan padanya. "Jangan ada yang harus kita tutupi lagi, Mas. Aneh, puluhan tahun aku bertahan sama kamu, baru kerasa hangatnya kamu itu ya sekarang."
Gianjar tersenyum kecut dan gugup. "Aku memang bodoh,"
Ruth menangkup satu tangannya mengusap rahang Gianjar dan terkekeh pelan. "Semoga Luki nggak sebodoh kamu, Mas. Aku suka gadis itu, aku suka Denok yang sangat terlihat tulus. Luki belum menyadarinya, dan semoga dia sadar bahwa nggak ada lagi perempuan yang bisa menyayangi dia dengan tulus selain aku dan Denok."
"Kamu yakin Denok menyayangi Luki?"
Ruth mengangguk. "Yakin, hanya saja Denok belum tahu cara untuk mengekspresikannya."
"Semoga saja, aku berharap mereka agar segera menikah. Katanya Adjie juga akan menikah dengan rekan kerjanya."
"Iya itu, Mas. Jatuh cinta bisa di mana saja, kapan saja dan pada siapa saja."
Mendengar perkataan itu, Gianjar terkekeh pelan, itu adalah pernyataan cinta puluhan tahun lalu yang Ruth pernah sampaikan padanya.
***
a/n:
Ada apa sih sama keluarga Amidjaja? Wkwkwk.
Btw hari ini aku bakal double update, nanti pulang kerja aku update lagi yaaaa semoga nggak lupa wkwk.
8, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro