Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Diantara kebimbangan

Luki mengirim satu buket bunga lily putih ke sekolah dimana Denok bekerja. Denok sudah diterima menjadi guru BK di sekolah swasta milik Yayasan Hartanto. Lily putih itu Denok simpan di ujung ruangannya, di bahkan tidak memiliki guci untuk menyimpan bunganya, Luki itu ada-ada saja.

Banyak hal yang Denok lewati saat ini, Papanya beberapa hari ini ada kemajuan dan sudah bisa berbicara meskipun belum terlalu jelas pada setiap pengucapannya, tapi Denok senang mendengarnya.

Abby dan Ben sudah sidang, dan akhirnya mereka bertiga akan bisa wisuda bersama bulan ini. Abby bahkan sudah memesan rancangan kebaya di salah satu desainer kebaya terkenal Indonesia, karena Abby menyarankan akhirnya Denok pun ikut membuat.

Seumur hidup sekali pikirnya, lagi pula Denok lupa kapan juga dia pernah pakai kebaya?

"Ibu!"

Dua anak remaja lelaki baru saja membuka pintu ruangannya ketika Denok baru saja melepas sneakers yang dia pakai dari rumah dan menggantinya dengan stiletto hitam yang Denok simpan di lemari ruangan.

"Ada apa?" tanya Denok dengan tenang melihat gelagat dua remaja lelaki itu, pasti ada keributan baru di dalam kelas sana.

"Mutiara, Bu!" adu remaja berambut ikal dengan kedua mata yang begitu tajam.

Kening Denok berkerut tidak mengerti ada apa dengan Mutiara? "Kenapa?"

"Mutiara mengiris pergelangan nadi nya, Bu! Tangannya berdarah!"

Sial, Denok langsung bangkit dari kursinya dan berlari menuju kelas 11 IPA 2, Denok memang belum mengenalinya begitu dekat. Tapi, dari informasi yang Denok dapatkan dari guru-guru, Mutiara ini memang salah satu murid yang agak superior dan terkadang untouchable. Jika waktunya datang, Mutiara akan sendirian dan tidak mau diganggu oleh teman-temannya.

Jiwa-jiwa sosialnya akhir-akhir ini berkurang karena dia suka sendirian, meja belajar di kelasnya sudah dipenuhi coretan tipex karena gadis itu merasa tidak suka dengan meja belajar yang bersih, sementara teman-teman perempuan lainnya tampak muak dengan sikap Mutiara yang terkadang berubah-ubah dan membahayakan.

Ketika Denok masuk ke dalam kelas, Denok mengambil scarf yang ada di saku blazernya dan membalut luka memanjang di seputar pergelangan tangan Mutiara.

Kedua mata gadis itu membengkak entah berapa lama dia sudah menangis, rambut lepek dan basah, keringat dingin bermunculan serta napas yang cepat seperti seseorang yang tengah menahan rasa takut.

Apa Mutiara terkena panic attack? Tanya Denok dalam hati.

"Kita ke dokter ya? Luka kamu dalam, Mutiara... biar Ibu bantu ya." Denok bahkan berbicara dengan nada yang sangat lembut, tapi bahu gadis itu masih bergetar parah.

Setelah mengikatkan scarf di pergelangan tangannya, Denok meraih bahu Mutiara dan memeluknya. Tubuhnya kecil dan ringkih, bergetar dan tetap tidak bisa tenang, napasnya begitu cepat dan berburuan.

"Sarah, minta air mineral." kata Denok pada Sarah, gadis berkacamata yang duduk di depan bangku Mutiara.

Sarah mengangguk dengan wajah syok sambil memberikan botol minumannya kepada Denok. Denok mengusap puncak kepala Mutiara dan mengusap bahu gadis itu. "Tenang, di sini ada Ibu, kamu aman... you can crying again if you want." bisik Denok.

Beberapa guru dan wali kelas pun menghampiri Denok yang tengah menenangkan Mutiara. Di sela tangis tanpa suaranya, Denok menarik napas begitu dalam seakan bisa merasakan kesakitan yang Mutiara rasakan.

Entah hal apa yang sudah terjadi pada Mutiara hingga membuat gadis remaja seperti dirinya menahan rasa takut sebesar ini. "It's okay..." Denok mengapresiasi suara tangis Mutiara yang kian terdengar.

Memeluknya cukup lama dan melihat pergelangan tangannya yang sudah tidak mengeluarkan darah, Denok tersenyum dan mengusap wajah basah Mutiara karena air mata. "Mau minum?" tawarnya.

Mutiara masih menggeleng. Denok mengangguk menghormati keinginan gadis itu yang masih berusaha mengendalikan dirinya sendiri. "Tidak apa-apa, menangisinya untuk hari ini boleh asalkan besok sudah tidak menangis lagi."

"Can I call your Mom?" pancing Denok.

Tapi Mutiara malah menggeleng lebih keras sambil berteriak. "Nggak! Jangan! Aku nggak mau Mamaku!"

"Ya sudah, kita ke UKS okay? Istirahat di sana ya?" ajak Denok.

Bagaimana pun juga pembelajaran akan di mulai, dan Denok tidak mau mengganggu murid yang lain jika harus membiarkan Mutiara ikut masuk pembelajaran pagi ini.

Pak Asta, guru Fisika membantu Denok menggendong Mutiara menuju UKS, sesampainya di UKS, Mutiara dibaringkan dan Denok menyelimuti tubuh gadis itu.

Ketika Denok hendak menarik tangannya, Mutiara menahan pergelangan tangannya sembari menatapnya dengan kedua mata yang lelah.

"Kenapa? Mau minum?" tanya Denok.

Mutiara menggeleng lemah. "Terima kasih Ibu," ucapnya dengan sangat pelan.

Denok terenyuh dan tersenyum pada Mutiara sembari duduk di sisi ranjang. "Terima kasih untuk apa, Mutiara?"

"Terima kasih untuk pelukan Ibu yang hangat." katanya dengan jujur tanpa dibuat-buat.

Denok seakan bisa melihat sebagian dari dirinya yang ada di dalam diri Mutiara, gadis itu terlihat kesepian dan kehilangan arah untuk hidup. "Ibu bisa memeluk kamu kapan pun, Mutiara. Asal kamu tidak melukai diri kamu sendiri, jangan lakukan hal tadi, jangan buat luka untuk diri kamu sendiri. Jangan lagi ya..."

"Aku benci diriku, Bu..."

"Jangan, kamu itu milik Tuhan," balas Denok dengan senyuman santai. "Apa pun itu yang ada di dunia, semua milik Tuhan dan kita sebagai manusia tidak berhak membenci apa yang Tuhan miliki."

Mendengar ucapan Denok, tatapan sayu Mutiara kelihatan berubah sedikit melunak dan tidak setakut tadi. "Jangan biasakan diri kamu untuk membenci diri sendiri, kamu itu terlalu berharga. Tuhan saja memberi napas dan kehidupan pada kamu, masa kamu tidak menyukainya?"

Lantas air mata itu keluar lagi dan Denok menghapusnya dengan ibu jarinya. "Ssshhttt, kalau kamu belum siap untuk cerita, Ibu akan tunggu kesiapan kamu ya,"

"Terima kasih Ibu," lirih Mutiara lagi.

Entah berapa kali terima kasih yang telah Mutiara ucapkan sejak tadi. Tapi satu hal yang perlu Denok tekankan, dia tidak bisa meninggalkan gadis ini sendirian dan melalui masa-masa sulitnya sendirian. Ada hal yang perlu Denok gali dari Mutiara, dan Denok akan memastikannya sendiri.

***

"Kayaknya sudah nggak ada kesempatan untuk kita ya, Ki?" bisik Kezia pada Luki yang membelakanginya.

Luki berpikir ulang ribuan kali bahwa dia tetap tidak bisa melepaskan Kezia sementara wanita itu tetap meminta kejelasan hubungan ini akan dibawa kemana.

"Setiap hari kamu tambah kelihatan nyaman sama dia, hubungan kamu berprogres, Opa kamu setuju dan bahagia. Sementara di sini? Aku?" tanya Kezia lagi.

Luki menarik napasnya menatap hamparan gedung pencakar langit yang ada di kota Jakarta. "Aku sudah melepaskan kamu sejak lama," katanya dengan pelan.

Selama ini, dia memang sudah melepaskan Kezia secara terang-terangan tapi tentu saja hatinya tidak akan pernah mau melepaskan. Tapi sepertinya Kezia pun tahu, bahwa Luki tetap menginginkan dirinya dan sama seperti Luki yang tetap menginginkan Kezia.

"Aku perempuan, Ki. Aku butuh kejelasan, Ibu dan Ayahku sudah bertanya kapan kita akan menikah."

Menikah?

Luki memutar tubuhnya dan menatap Kezia dengan penuh antisipasi. "Kamu lupa bahwa minggu lalu kamu menerima lamaran dari pria kenalan Ayah kamu?"

"Kemarin aku mencobanya!" jawab Kezia dengan frustrasi. "Tapi aku nggak bisa, Ki. Hatiku maunya kamu!"

"Aku sudah membuat kamu menunggu terlalu lama, Kezia." Luki mendekati Kezia dan menggenggam kedua bahu wanita itu. "Jangan tunggu aku lagi, aku bahkan belum bisa memutuskan segalanya."

"Karena kamu mulai menyukai dia?" tantang Kezia dengan senyuman sinis.

Luki mendengus dan menjauh dari Kezia. "Apa kamu bilang?"

"Kamu menyukai gadis itu, Ki! Kamu jatuh cinta dengan tunangan kamu sendiri, kan?!" tekan Kezia.

Bagaimana Luki harus menjelaskannya? Bahkan dia sendiri tidak merasa punya memiliki perasaan sebesar itu pada Denok. "Kamu tidak tahu apa-apa, dan jangan membawa gadis itu ke dalam pembicaraan kita, dia—"

"Aku akan menyeret dia ke dalam obrolan kita, Ki! Karena dia aku dan kamu jadi berpisah!"

"Kezia..." Luki mengurut batang hidungnya yang terasa berdenyut. "Tolong mengerti,"

"Aku kurang apa dalam mengerti kamu, Ki? Menunggu kamu? Sudah. Menjauh dari kamu? Sudah. Tapi bisa apa kalau yang aku inginkan adalah kamu!"

Benar, Luki pun menginginkan Kezia. Kenapa jadi sesulit ini?!

Luki bahkan belum memutuskan apa rencananya kepada sang Opa, jika Opanya tahu bahwa selama ini Luki sendiri tidak berniat menikahi Denok, kemungkinan Opanya akan drop jatuh sakit dan itu adalah hal yang paling Luki hindari.

"Lupakan aku, pulang dan turuti apa kata Ayahmu." ujar Luki final. Dia merasa jadi pria bodoh karena tidak bisa mempertahankan cintanya.

"Oh?" wajah Kezia terlihat sangat terpukul dan terluka sekarang. "Jadi pada akhirnya kamu akan mengikuti jejak yang Papamu lakukan? Menikah tanpa cinta begitu?"

Pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan hinaan bagi Luki, karena Luki telah berjanji untuk tidak mengikuti jalan hidup yang Papa dan Mamanya lewati sebab itu semua menyiksa.

Papanya yang menyiksa Mamanya, sementara Mamanya yang tersiksa akan perasaannya sendiri.

"Kamu nggak usah repot memikirkan hal itu, Kezia. Di sini, aku yang berhak menentukan. Dan aku minta kamu pergi, lupakan aku, dan... bahagia lah." katanya dengan enteng.

Enteng dari luar, dan begitu tajam di dalam perasaan Luki.

Kezia menghapus air matanya dan mengangguk. "Baik, kalau itu yang kamu inginkan. Aku berharap kamu bahagia dengan pilihan Opamu, Ki. Kamu adalah satu-satunya lelaki lemah yang pernah aku kenal, kamu bahkan nggak memperjuangkan aku sama sekali!"

Kezia pergi membawa serta kemarahannya dan membuat Luki kesal setengah mati. Dia belum memutuskan untuk melepaskan Denok hingga saat ini dan meskipun Djatiwibowo sudah ada di bawah pengaruhnya sekali pun, Luki masih merasa bahwa Denok bukan pilihan yang tepat untuk dia nikahi.

Persetan! Luki akan mengakhiri semuanya dan membebaskan belenggu sialan ini.

***

"Opa senang lihat kamu datang ke rumah, gimana? Betah kerja jadi guru BK? Kalau anak-anak di sekolah buat pusing dan kamu mumet, keluar saja dan masuk yayasan Opa." ujar Rajasa Amidjaja yang masih terus melobi calon cucunya yang satu ini.

Denok malah tertawa dan menggelengkan kepalanya sembari mengupas buah apel di sisinya. "Nggak bisa, Opa. Aku suka dengan pekerjaanku, oh ya—minggu depan aku wisuda, Opa mau datang nggak?"

"Kamu mengundang Opa?" tanya Rajasa dengan kedua mata yang berbinar.

Denok mengangguk dan memberikan potongan buah apel pada Rajasa. "Iya, dong... biar ramai! Oh ya, aku akan belikan kemeja batik untuk Opa dan Mas Luki, itu pun kalau Mas Luki mau datang, kalau nggak ya nggak apa-apa."

"Dia pasti datang," kata Rajasa meyakinkan Denok.

Martha ikut bergabung duduk di sisi Opanya dan mengambil potongan apel yang tadi dikupasi oleh Denok. "Noh, kamu cuman mau enaknya saja! Kalau Opa pinta kamu buat kupasi buah, nggak pernah mau!"

"Aku nggak bisa pegang pisau Opa," kilahnya dengan senyuman.

"Belajar! Bagaimana pun kamu harus bisa memasak nanti, kalau kamu tinggal sendirian bagaimana?" tanya Rajasa pada cucu perempuannya itu.

"Kan ada Bibi,"

"Bibi nggak akan selamanya ada,"

"Ya cari helper lain,"

"Kalau helper nggak ada kamu mau apa?"

"Aku sewa koki pribadi!" jawab Martha cepat dengan wajahnya yang kesal.

Rajasa dan Denok tertawa mendengarnya. "Masak itu ekspresi cinta, Martha." kata Rajasa mulai mendongeng. "Dulu, Oma kamu juga nggak bisa memasak. Bayangkan saja, Oma kamu itu anak dari seorang Tuan Tanah, keluarga Oma kamu adalah ningrat dan Ibunya orang Belanda asli. Oma kamu itu punya dayang! Kemana-mana selalu diikuti dan dilayani, itu kenapa saat menikah dengan Opa, Oma kamu nggak bisa melakukan apa pun."

Martha menyangga wajahnya dengan satu tangan sementara Denok kembali mengupas buah apel yang lebih banyak dimakan oleh Martha daripada Rajasa.

"Oma kamu mulai khawatir karena setelah menikah, Opa bukannya sehat ataupun mengalami kenaikan berat badan, yang ada Opa mengalami penurunan berat badan." Rajasa terkekeh pelan sambil mengingat masa-masa pernikahannya dulu. "Karena khawatir itu lah, Oma kamu mulai belajar memasak karena yah... setidaknya dia bilang kalau dia malu karena nggak bisa membuat Opa gendut."

"Memang zaman dulu dan zaman sekarang itu beda, Opa." cetus Martha dengan tawanya. "Lagipula zaman sekarang laki-laki banyak yang ingin menjaga postur tubuhnya, Opa. Kayak nggak tahu Mas Luki, Mas Laksmana sama Adjie aja!"

"Mereka bertiga kan bujang! Ya wajar lah kalau menjaga postur tubuh, kalau sudah menikah ya beda cerita!"

"Ya sudah iya-iya!" karena tidak tahan diberi wejangan Martha mengangguk cepat. "Nanti aku belajar masak sendiri,"

"Opa!"

Denok terkejut melihat keberadaan Luki yang baru saja datang, sementara Martha mengangkat alisnya memandang Luki dengan jahil karena tahu bahwa hari ini sang tunangan ada di rumah sang Opa jadi sepupu tertuanya itu juga datang.

"Wow... seorang Luki Amidjaja datang tanpa sebuah perintah dan paksaan?" sindir Martha sembari bertepuk tangan. "Hebat..." pujinya.

"Diam," cetus Luki dengan wajah bete.

Sementara itu Denok hanya bisa memberikan senyuman tipis dan terpaku pada kedua lengan Luki yang sudah terbebas dari tekanan jas dan lengan kemejanya yang sudah di gulung, menampilkan kesan lengan yang besar dan gagah.

"Feeling kamu itu terlalu kuat," kata Rajasa setengah meledek Luki. "Tahu radarnya ada dimana, datang ke lokasi yang tepat."

"Aku cuman..." sial, Luki tidak bisa membicarakan soal keputusan hubungannya dengan Denok jika gadis itu ada di tempat yang sama dengannya.

Apa lagi, Denok menatapnya dengan penuh penasaran. "Ada masalah?" tebak Denok kepadanya.

Apa wajahnya kelihatan sekusut itu? "Nggak," jawab Luki sambil duduk di sisi Denok.

Denok mengangguk perlahan sembari fokus kembali mengupas buah apel. "Tumben nggak pulang langsung ke rumah?"

"Aku mampir sengaja mau ketemu sama Opa, sekaligus undang Opa ke acara wisudaku nanti."

"Aku nggak di undang?" protes Luki pada Denok.

Denok sengaja memancing pria itu dan menyunggingkan senyumannya. "Memangnya kamu mau datang?"

"Ya jelas datang!" sahut Luki cepat.

Denok mengulum bibirnya dan tersenyum tipis. "Kalau gitu, jadi aku pesankan kemeja batik untuk Opa dan kamu."

"Batik?" kedua mata Luki membulat tak percaya.

"Iya, batik. Biar seragam gitu, aku kan pakai kebaya."

"Oh..."

Martha tertawa melihat ekspresi Luki yang sangat mengenaskan itu. "Wajar, De... Mas Luki kan wisuda di luar negeri, dia nggak merasakan kelar wisuda foto-foto pakai kemeja batik!"

"Ck,"

"Lucunya dia nggak menolak," gumam Denok sambil menggelengkan kepala.

"Kenapa? Kamu ingin aku menolak undangan kamu begitu? Kesannya seperti nggak mau aku datang ke acara wisudamu." gerutu Luki dengan kedua matanya yang menyipit.

"Aku nggak maksa lho, ya... tapi kan, kalau sudah dibelikan kemeja batik itu artinya harus hadir dong? Terkecuali, kalau kamu memang nggak akan hadir."

"Aku bakal hadir." jawab Luki lagi meyakinkan Denok. "Nggak percaya banget kamu ya sama aku?"

"Iya," jawab Denok dengan polosnya.

Luki tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Denok dengan gemas. "Kualat kamu! Wisudawati itu cukup diam saja, ikuti acara sampai selesai, mau ada yang datang atau nggak ya bebas gimana tamu!"

"Nggak bisa begitu dong! Papaku lagi sakit, dan aku nggak punya Mama." jawab Denok dengan spontan membuat Luki bungkam. "Kalau kamu nggak datang, aku sama siapa? Abby juga punya orang tua kali!"

Luki menyembunyikan senyumannya, sekarang dia sudah tersenyum seperti orang bodoh ketika menyadari bahwa Denok benar-benar mengharapkan kedatangannya.

"Terkecuali, kalau aku gabung sama keluarga Ben, mungkin aku nggak akan sendirian."

"Awas saja kalau berani," ancam Luki dengan mendesis.

Denok mengangkat bahunya acuh, tapi Luki malah menahan lengannya. "Nggak usah gabung sama Ben! Aku dan Opa akan datang ke acara wisuda kamu!"

"Ya... ya... ya."

"Dengar apa yang aku bilang tadi?"

"Dengar,"

"Apa?"

"Kamu datang ke acara wisudaku bersama Opa."

Luki menepuk puncak kepala Denok dengan lembut. "Bagus, ingat baik-baik dan tunggu aku saja nanti."

Rajasa menarik napasnya dengan lega ketika melihat bagaimana cucunya berinteraksi dengan Denok, sepertinya memang semuanya akan baik-baik saja. Ya, Rajasa percaya Denok bisa menjaga Luki.

Dan kenapa dia lebih risau jika Luki yang tidak bisa menjaga Denok? Karena terkadang... ucapan cucunya tidak bisa Rajasa pegang.

Rajasa hanya bisa berharap ada hasil akhir yang baik dari semua harapannya.

***

a/n:

Duh Denoknya belum kebongkar semua nih. Kalau Luki udah tau semuanya ya... nggak bakal jadi cerita Wattpad wkwkwk.

p.s: kenapa sih Bandung akhir-akhir ini hujan terus? Deras banget... pengen pulang kerja tuh di sambut cuaca yang cerah, udara yang enak gitu biar nggak bad mood, tiap pulang kerja kehujanan mulu masuk angin gue.

7, Desember 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro