Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Lelucon

Mount Elizabeth Hospital, Singapore.

Edgar Djatiwibowo tidak pernah bisa mencintai wanita. Bagi Edgar, wanita hanyalah sampah, dan bagi Edgar juga cinta hanyalah sebuah kamuflase. Di dalam hidupnya, Edgar sudah menemukan banyak kebodohan dalam cinta, entah untuk dirinya sendiri atau bahkan kakaknya yang kini tengah terbaring di atas ranjang pesakitan dan terbujur kaku.

Edgar benci kata cinta, tapi Edgar bukan pengkhianat. Dia pernah menelan kata-kata cinta dan hidupnya berakhir di ambang kematian. Dan hal sama, dilakukan oleh kakaknya. Sial, kenapa manusia pandai berbohong dan berkhianat? Apakah dari sekian juta manusia yang ada di muka bumi ini, semua manusia selalu melakukan kamuflase gila-gilaan?

Jangan bicarakan dirinya, karena Edgar benci. Sekarang, mari bicarakan soal kakaknya, Erlangga Djatiwibowo yang akan mati dimakan usia ranjang pesakitan. Meskipun ada perubahan yang signifikan, Edgar rasa Erlangga masih membutuhkan waktu panjang untuk bisa sembuh.

Wanita, bernama Banuwati Gayatri, istri sah Erlangga yang katanya mengumbar kata cinta dan setia saat suaminya sehat itu pergi kabur entah kemana. Untungnya, Tuhan begitu adil hingga membuat Banuwati tidak diberikan keturunan sama sekali. Dan kakaknya yang bodoh karena cinta ini, mencintai satu wanita dalam hidupnya, Sisca Moestopo. Wanita yang tidak pernah diakui keberadaannya.

Dan kini, Edgar memberikan kelonggaran menerima tamu asing, Sisca Moestopo baru saja masuk melepas scarf Gucci dan kacamata hitam besarnya masuk ke dalam ruang naratama Erlangga Djatiwibowo.

"Hai, Mas Edgar." sapa Sisca pada Edgar.

Edgar mengangguk. "Sehat, Sis?"

"Puji Tuhan," balas Sisca.

Pandangan mata Sisca beralih pada Erlangga Djatiwibowo. Di mata Sisca, Erlangga adalah pria tampan, baik, yang selalu menghormati keberadaan dirinya. Sisca belum pernah merasa dicintai sebesar apa pun oleh seseorang, terkecuali, Erlangga Djatiwibowo.

Tapi Erlangga Djatiwibowo juga adalah pria yang menorehkan banyak luka padanya hanya karena menjaga tahta dan martabat. Cintanya bagi Erlangga Djatiwibowo tidak pernah bernilai.

Kedua mata Erlangga menoleh pada Sisca, dan pada saat itu juga Sisca menahan air matanya yang akan jatuh. Sampai saat ini, Sisca bahkan masih mencintai pria yang telah membuangnya.

"Kamu lebih segar daripada sebelumnya, kamu pasti akan sembuh sebentar lagi," bisik Sisca di sisi ranjang Erlangga.

Erlangga menangis, meskipun tubuhnya tidak bisa digerakkan karena stroke, tapi perasaan pria itu tidak mati. Sisca mengambil sehelai tissue dan menghapus air mata Erlangga.

"Aku rindu kamu, Erlangga." katanya lagi, Edgar telah meninggalkan ruangan dan memberikan waktu untuk Sisca dan Erlangga. "Semua akan dilakukan oleh Edgar untuk kamu, percaya lah, adikmu tidak akan meninggalkan kamu."

"..."

Sisca duduk di sisi ranjang dan mengeluarkan satu lembar foto Denok, putrinya dengan Erlangga. Tentu saja, foto itu diambil oleh seorang paparazi karena Sisca masih ingat ancaman Erlangga dulu.

Dia tidak boleh menyentuh, bahkan menemui putrinya sendiri setelah memilih menikah secara resmi dengan Desmond Winarta. Foto itu menunjukkan Denok yang tengah berada Plaza Indonesia kemarin siang, Denok tengah berada di salah satu store Louis Vuitton dan memilih sandal. Meskipun hidupnya jauh dan tidak dikenali olehnya, Sisca tahu Erlangga Djatiwibowo tidak akan membiarkan putri sematawayangnya hidup kesusahan.

"Lihat dia," kata Sisca menunjukkan foto Denok. "Dia sudah besar, maaf—aku baru mengakuinya sekarang, aku selalu membuntuti dia sejak kecil."

Erlangga menangis kembali, dan Sisca tidak pernah lelah untuk menghapus air mata pria itu. "Dia sudah besar, dia bahkan tunangan dari pria kaya si Luki Amidjaja," Sisca tertawa serak. "Aku datang ke acara pertunangannya kemarin sebagai tamu. Padahal, aku adalah ibunya."

"..."

"Kamu jahat, Erlangga. Andaikan, kamu tidak melarang aku sejak dulu, sudah aku pastikan dia tidak akan hidup sendirian saat ini."

Kenapa juga dia tidak bisa melawan ancaman Erlangga Djatiwibowo. Saat ini, pria yang dia cintai tidak berdaya di atas ranjang, dan keberaniannya hilang entah kemana. Dia ingin mendekati Denok, putrinya dan mengatakan dengan lantang bahwa dia adalah ibunya.

"Kamu harus sembuh, Erlangga. Kamu harus bertanggung jawab atas segalanya." tekan Sisca dengan lembut mengusap kening Erlangga.

Erlangga memejamkan matanya menikmati sentuhan dari wanita yang ia cintai. Sisca Moestopo memang tidak sering menjenguknya, tapi wanita itu selalu melegakan kerinduan yang menggelegak di dalam dadanya.

"Kalau kamu mau sembuh dan berjuang dari penyakit kamu ini, patuh dan kooperatif dalam terapi yang diberikan dokter. Aku, akan memberikan kesempatan kedua. Aku janji."

***

Jakarta.

"Lo mau kemana?" tanya Abby, sahabatnya yang baru saja bangun pagi ini setelah membuat kekacauan semalam.

Sejak Nyonya Rumah, Banuwati Gayatri pergi, rumah dikuasai oleh Denok. Dan sahabatnya yang selalu menjadi gembel dadakan ini, alias Abigail Trimedya yang pulang dalam keadaan mabuk dan diantar oleh dua bodyguard kelab itu terlihat lebih manusiawi daripada semalam. Meskipun eyeliner luntur menghiasi matanya, Denok lebih lega melihat Abby yang seperti ini.

"Makan siang,"

"Dimana?"

"Amidjaja Petroleum Corp.,"

Abby menyemburkan air dingin yang berusaha dia telan. Sementara itu, Denok mengamati wajahnya sendiri di pantulan sendok yang tengah dipegangnya.

Dia sudah mematut dirinya begitu cantik, penampilannya dirubah, dan jika pria itu masih menganggap Denok sebagai anak kecil, Denok tidak bisa berkata apa-apa.

"Nggak ke kampus dong?"

Denok geleng-geleng kepala. "Titip absen,"

"Buset dah... kapan lo bisa lulus kalau begitu?!"

"Setahun lagi gue janji," kata Denok.

"Cih... buang-buang duit aja lo sekolah! Gelar lo nggak akan berguna kalau sudah jadi Nyonya. Ujung-ujungnya di rumah melayani suami, duit ngalir tiap hari, apa susahnya?!"

Denok mengangkat bahunya acuh. "Seenggaknya biar nggak kelihatan bego. Dan lagi, gue bisa dipakai sama dia setiap malam nantinya. Itu pun, kalau dia mau tidur sama gue."

"Bangsat," umpat Abby. "Luki Amidjaja, laki beneran, bukan laki jadi-jadian. Lo yang jangan jadi siluman!"

Denok membuang napasnya dengan keras. "Bagi dia gue cuman bocah tanggung, By."

"Lo cewek, usia 20. Menuju usia legal 21 plus, kasih tahu dia."

"Sudah,"

"Terus?"

"Tetap aja.. masa dia bilang, dia bakal bimbing gue."

"Bimbing apaan? Bimbing teknik di kasur? Banyak macam gaya,"

"Ih! Kasur mulu lo omongin!"

"Ya habis, kasihan banget. Perawan bentukan kayak lo dilempar ke Luki Amidjaja."

"Gue juga kagak mau, tapi keadaan memaksa gue begini. Kata Om Edgar, keluarga gue bisa miskin betulan."

Abby mengangguk paham dengan keadaan keluarga Djatiwibowo yang acak-acakan ini. "Buset dah, untung gue nggak berasal dari keluarga kaya. Problematik banget hidup lo, benar ya... Tuhan itu adil,"

"Bacot ah!" maki Denok kesal, Abby ini selalu bersyukur di depannya malah membuat Denok semakin kesal. "Gue cabut!"

"Bentar─" cegah Abby.

Moschino printed dress itu terlihat manis di tubuh ramping Denok, tapi ada satu hal yang kurang bagi Abby. "Ganti lipstik lo,"

"Apa?" tanya Denok dengan mengernyit.

"Lipstik lo ganti,"

"Memang kenapa..." tanya Denok heran sembari meraba bibirnya sendiri.

Abby pergi ke kamar dan mengambil satu lipstik YSL berwarna merah yang kini dipoleskan pada bibir Denok yang tebal. Denok punya bentuk bibir yang bagus, garis bibirnya begitu sharp dan keriting, bagi sebagian laki-laki, bibir Denok terlihat menggoda. Itu kenapa, Abby memberikan lipstik merah tua yang kelihatan lebih bold di bibir Denok.

"Perfect!"

Denok mengambil cermin di tangan Abby. "Lo mau buat gue jadi cewek penggoda di mata Luki Amidjaja?!"

"Shhhtt," Abby menutup bibir Denok dengan jarinya. "Luki Amidjaja is a fine man, dia pria matang—dan lipstik nude yang lo pakai tadi tidak akan bisa menggoda,"

"Gue nggak akan menggoda—"

"Tampil berani apa salahnya, sih?!"

Oke... Denok lelah.

Maka dari itu, dia memutuskan untuk berangkat dengan bibir merah menyala. Melihatnya, membuat Denok merasa seperti Taylor Swift. Tapi Taylor Swift jelas lebih cantik daripada dirinya.

Kalau setelah ini dia di hina, Denok akan mengusir Abby dari rumahnya.

***

Luki Amidjaja mematung bersamaan asisten pribadinya Sagar yang menatap kedatangan remaja tanggung—bagi Luki—tunangannya bernama Denok itu yang kini tengah berdiri dengan canggung di tengah ruang kerjanya.

Ini memang jam makan siang, Luki sama sekali tidak mengundang gadis itu, dan bagaimana bisa gadis itu bisa ada di ruangannya dengan penampilan yang...

"Sagar," kata Luki pada Sagar.

"Iya, Pak?"

"Pesankan makan siang, saya akan makan siang bersama Denok,"

Sagar mengangguk. "Baik Pak,"

Luki mendekat dan duduk di salah satu sofa, Denok menggaruk tengkuknya dan duduk di dekat Luki dengan canggung. Luki tidak mau membuka suara pertama karena dia merasa...

Merasa tidak berkewajiban untuk membuka percakapan? Sialan, tapi dia penasaran.

"Siapa yang suruh kamu ke sini?" tanya Luki yang tengah menuangkan white wine dingin untuk dirinya dan Denok.

"Opa Rajasa,"

Alis Luki terangkat, ketika mendengar bagaimana Denok memanggil Rajasa dengan sebutan; OPA.

"Lain kali, jangan datang dengan pakaian seperti itu. Celana panjang lebih baik, dan..." kedua mata Luki menunjuk bibir Denok yang merah. Sialan, darimana gadis itu tahu Luki suka wanita dengan lipstik merah?! "Jangan memakai pewarna bibir semerah itu, ini siang hari."

Bagi Denok, Luki memang mengajak ribut. "Banyak sekali peraturan, saya dari tadi lihat karyawan perempuan kamu dengan potongan rok yang pendek, belum lagi belahan rok yang—" Denok kehilangan kata-katanya. "Jangan mengomentari bagaimana seorang perempuan berpakaian, Luki Amidjaja."

Luki tersenyum miring dan menyesap white wine dengan perlahan. "Kamu itu terlalu totalitas. Kita berdua, belum tentu menikah, lagipula hanya tunangan saja kok,"

Denok tahu, dia hanya bertunangan dan siapa juga yang mengharapkan pernikahan? "Saya pikir juga begitu, kita berdua nggak mungkin berhasil, kan?"

Luki mengangguk, mengiyakan ucapan gadis dua puluh tahun itu yang tengah mengernyit setelah menelan white wine, dalam sekali lihat saja Luki tahu gadis itu tidak menyukai wine.

Jakarta begitu panas dan terik, Luki tidak bisa membayangkan bagaimana kulit putih Denok yang terkena sinar matahari karena dress yang dipakainya itu membuat Luki bisa melihat setengah paha dan kaki jenjangnya, lengan yang kecil dan ramping, tidak berotot sama sekali, tipikal gadis manja yang tidak pernah menyentuh ruang gym.

"Saya mau tanya," kata Denok kesal dengan kecanggungan ini.

"Silakan,"

"Saya boleh bersikap santai sama kamu? Saya muak dengan keheningan ini!" rengek Denok dengan wajahnya yang merengut. "Kalau ada laporan yang nggak baik sampai di Opa kamu, saya yakin, Opa kamu akan mewawancarai kamu atau saya."

Luki paham apa maksud gadis itu. "Selagi kamu tidak kurang ajar,"

"Saya nggak akan kurang ajar," Denok menggoyangkan kedua tangannya di depan dada. "Selagi kamu juga nggak kurang ajar sama saya," sindirnya.

Sialan, Luki menusuk salah satu pipinya dengan lidah, Denok ternyata pintar membalikkan kata-katanya. "Kamu masih kuliah, benar?"

"Ya," jawab Denok dengan ketus.

"Lalu kenapa kamu tidak berada di kampus?"

"Apa penting?" Denok mengerutkan keningnya. "Saya ini sedang merayu kamu!"

Luki tak bisa menahan tawanya. "Merayu? Tapi dari tadi kamu tidak melakukan apa-apa."

"Lalu saya harus melakukan apa?!"

"Merayu? Katanya mau merayu?"

Denok menggigit bibirnya kesal. "Maksud saya, merayu dalam artian, kita terbuka satu sama lain."

"Di sini?" tanya Luki dengan kedua tangan membulat sengaja menggoda emosi Denok. "Saya tidak pernah melakukannya di kantor, tapi usul kamu bagus juga."

"Kenapa sangat terdengar salah..." gumam Denok dengan raut wajah berpikir keras. Luki tidak bisa menahan tawanya kali ini.

Tapi pintu ruangannya baru saja terbuka dan Laksmana, sepupunya baru saja datang bersama wanita yang tengah tersenyum manis kepadanya. Astaga, Luki merindukan wanita itu.

"Babe," sapa wanita itu memeluk Luki dan mencium bibirnya.

Denok yang melihatnya shock setengah mati. Penampilan wanita yang baru saja memeluk tunangannya itu begitu sopan—dibandingkan dirinya yang... Argh dasar stylist sialan! Maki Denok.

Celana bahan slim fit putih, blouse panjang yang mencerminkan; wanita karir yang pintar. Sialan, Denok malu bukan main.

Laksmana, sepupu Luki memandangnya dengan aneh juga. Denok akhirnya meminum white wine yang dituangkan Luki tadi hingga tandas, dan tanpa dia sadari, Denok mengusap bibirnya yang basah dengan punggung tangan hingga lipstik itu mengotori wajahnya layaknya bibirnya baru saja diobrak-abrik.

Karena itu juga, berhasil memancing kepedulian Laksmana terhadap tunangan sepupunya. "Lipstik kamu—"

"Oh!" Denok menutup bibirnya dengan panik, sementara itu wanita yang memeluk Luki dan Denok yakinkan sebagai kekasih real Luki dan Luki-nya sendiri memandang Denok dengan konyol.

"Sori, saya butuh toilet... di-dimana toiletnya?" tanya Denok.

Laksmana dan Luki menunjukkan arah toilet ruangan. Dan saat itu juga Denok lari sembari menyembunyikan wajahnya. Setelah ini, ingatkan Denok untuk memaki Abby, ah sialan! Dia harusnya berpenampilan apa adanya saja, dan melihat bagaimana kekasih Luki, Denok sama sekali bukan apa-apa.

Betapa memalukannya dirinya.

***

a/n:

Denok hanya bisa berkata;

17 November 2022.

at Bandung (Baper yang tak bisa di bendung)
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro