Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Belajar liar

Luki selalu tidak pernah bisa berkata-kata jika melihat penampilan Denok yang selalu out of the box, hari ini gadis itu memakai pakaian kelewat santai dan... manis. Seperti apa kata Martha, tennis skirt yang dipakai oleh Denok kelihatan sangat cocok.

Tapi karena itu terlalu pendek, jelas Luki tidak bisa membiarkannya begitu saja. Luki melepas jas hitamnya dan menyampirkannya di atas paha Denok setelah memastikan Denok duduk di pesawat.

"Oh gini ya... rasanya naik jet pribadi." celetuk Abby, gadis ceriwis yang tengah mengeluarkan ponselnya sendiri. "Rasanya itu ada di lux-nya, interiornya juga beda, di kasih welcome drink." cerocosnya.

Adjie tertawa mendengarnya, Luki curiga Adjie tengah melakukan pendekatan karena sepupu laki-lakinya itu mendadak getol tanya ini itu pada Abby.

"Sebenarnya sama aja kayak pesawat komersial, cuman kita bisa punya jadwal terbang kapan pun ketika kita butuh," timpal Adjie.

Abby menjentikkan jarinya. "Nah itu Mas Adjie! Kehebatan lainnya adalah jam terbang bisa kapan pun, tinggal call pilot pribadi lagi free apa nggak. Ck, keren banget."

"Abby, kita semua punya lisensi penerbangan kok." ujar Martha memberitahu. "Cuman emang pada dasarnya aja kita semua malas,"

"Ya ampun..." ujar Abby sambil geleng-geleng kepala. "Orang kaya memang beda,"

Denok menggelengkan kepalanya mendengarkan celotehan jujur Abby, sementara itu di sisinya Luki tengah duduk sambil membaca file yang ada di dalam ponselnya. Melihat itu, Denok mendekat dan berkata. "Aku mau tanya," katanya dengan suara pelan agar tidak mengganggu obrolan yang lain.

Luki menoleh cepat sembari tersenyum. "Kenapa?"

Kedua matanya dengan kedua mata Luki bertemu, dan Denok sedikit mendongak. "Kita di Bali nggak lama, kan?"

"Kamu maunya berapa lama?" Luki betah sekali menatap bola mata Denok.

Denok mengangkat bahunya dengan acuh. "Nggak bisa lama-lama, aku ada interview kerja."

Kedua mata Luki membulat tak percaya dengan apa yang dia dengar sebelumnya. "Kerja?!"

Denok mundur sedikit dan menatap Luki dengan heran. "Kenapa? Aku pasti harus kerja, kan?"

"Kerja dimana? Jangan kerja yang aneh-aneh, aku bisa tempatkan kamu dimana pun, posisi yang enak dan nggak buat kamu stres, nanti aku tanya HRD—"

"Aku akan jadi guru BK—kalau kamu nggak tahu guru konseling di SMA." potong Denok dengan enteng dan tanpa beban ketika mengatakannya.

Luki mengerjapkan matanya perlahan sambil meneliti ekspresi wajah Denok yang santai, tidak ada senyuman, dan... ya, selalu cantik. Cantik memang nama tengah Denok yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. "Kamu..."

"Aku suka anak-anak, dan aku juga mau mengenali karakter setiap murid di sekolah. Guru BK juga punya peranan penting kok di sekolah, memastikan seluruh siswa agar bisa bersikap baik, berkomunikasi dengan siswa, menjadi pendengar yang baik, apa lagi mental anak sekolah zaman sekarang sama zaman dulu kan berbeda." terang Denok dengan jawaban rasional dan penuh makna di dalamnya.

Semakin lama Luki semakin tahu kalau Denok itu tipe perempuan yang benar-benar bicara dengan isi, selama ini Denok tidak pernah mengajaknya basa basi untuk hal-hal remeh, jika hal yang menyangkut pembahasan penting Denok memang benar-benar akan berbicara banyak dan panjang lebar seperti sekarang.

"Sekolah mana?" tanya Luki lagi kepada Denok.

"Kamu tahu sekolah yayasan Hartanto?"

Luki mengangguk. "Ya,"

"Aku akan interview di sana, jadi tolong... liburannya jangan lama-lama, aku takut nganggur."

Luki tak bisa menahan tawanya dan hingga tawanya menyembur begitu saja. "Menganggur?"

Denok mengangguk. "Iya, aku nggak mau menganggur. Biar ada kegiatan gitu, lumayan juga buat isi waktu."

"Kamu tahu kalau gaji menjadi guru BK berapa? Sudah dipikirkan matang dan membandingkannya dengan kebutuhan hidup dan gaya hidup kamu?" tanya Luki dengan serius. Pasalnya, Denok ini lumayan bergaya juga.

"Kalau bicarakan gaya hidup dan kebutuhan hidup ya bakal jadi beda." balas Denok menyandarkan tubuhnya. "Aku cuman masih bingung dengan kehidupanku, apa yang bakal aku lakukan ke depannya sementara Papa masih belum sembuh."

"Buat apa kamu bingung? Ada aku di sini," ujar Luki menenangkan Denok.

Denok malah menggeleng dengan wajah datarnya. "Kamu ya kamu, aku ya aku. Beda lah, kehidupanku nggak ada sangkut pautnya sama kamu."

"Ada," balas Luki cepat.

"Apa?"

"Kamu kalau jadi istriku nanti jelas kehidupanmu bakal jadi tanggung jawab aku, De."

Denok menyipitkan matanya tidak suka mendengar kata-kata yang Luki ucapkan tadi, apa pria di sisinya ini menginginkan Denok untuk bergantung padanya? Oh tidak bisa, Denok akan frustrasi kalau begitu.

"Jangan mikir terlalu jauh," balas Denok dan menjauhkan duduknya.

Luki tahu gadis itu sudah tidak mau lagi membahas soal hubungan mereka, setengah pikirannya ingin menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan setengahnya lagi ingin Luki katakan bahwa gadis itu perlu percaya padanya.

Keinginannya selalu bertolak belakang dengan apa yang dia lakukan sekarang, karena entah kenapa pria dewasa seperti dirinya pun tahu diri dan tahu tempat mana yang akan menolak dan mana yang jelas tidak akan menolaknya.

Sepertinya, Denok akan berada di tempat mana dia akan selalu menolak apa yang Luki ingin berikan pada gadis itu.

Sabar... batin Luki, jika tidak bisa menarik Denok agar jatuh ke pelukannya, dia akan berusaha membuat gadis itu bisa merasakan jatuh cinta. Mungkin usaha Luki masih kurang.

***

Villa di Uluwatu Bali milik keluarga Amidjaja itu layaknya hidden gem yang baru saja ditemukan. Infinity pool yang langsung menghadap ke arah laut? Jangan ditanya, kamar? Terdapat delapan kamar yang begitu luas dan masing-masing kamar punya view tersendiri.

Uniknya, beberapa pintu villa terlihat sangat besar dan Abby menyebutnya sebagai pintu Surga. Barangkali sikap sahabatnya ini harus dikendalikan, akhirnya Denok membuka suaranya.

"Aku dan Abby akan pilih kamar di bawah aja," cetus Denok pada semuanya.

Adjie, Martha, dan Luki saling berpandangan satu sama lain dan sialnya Abby menjauh. "Nggak mau! Gue nggak mau satu kamar sama lo! Bosan!"

Lihat betapa kurang ajarnya Abigail itu. "By!"

"Gue mau kamar sendiri, De... setiap hari kita tidur bareng ya! Bosan tahu nggak!"

Denok menajamkan matanya berusaha mengajak Abby agar mengerti apa yang dia rasakan saat ini.

"Ya sudah, Denok dengan saya kok."

Denok memutar kepalanya sembilan puluh derajat kepada suara tadi, dasar! Mulut kurang ajar! Siapa lagi kalau bukan Luki Amidjaja di manusia aneh. "Kamar di villa ini banyak, kan. Kenapa aku harus satu kamar sama kamu?" tanya Denok tak suka.

Luki menggenggam tangannya dan tersenyum penuh kesabaran. "Aku maunya satu kamar sama kamu, biar nggak ribet kalau mau ngobrol."

"Ngobrol soal apa lagi?"

"Banyak hal yang belum kita bahas, D." kali ini Luki menarik tangannya dan mengajaknya berjalan meninggalkan semua orang yang tengah menatapnya dengan prihatin. "Kalian semua bisa pilih kamar masing-masing."

Adjie dan Martha hanya bisa tersenyum penuh arti, sementara Abby tersenyum penuh kemenangan.

Denok menarik tangannya secara tidak suka dan memandang Luki yang jauh lebih tinggi darinya dengan berani. "Kenapa kamu menentukan aku harus tidur dimana dan sama siapa?"

"Kenapa?" Luki mengangkat dagunya dengan santai. "Kan wajar,"

"Wajar?" dahi Denok berkerut menandakan tidak setuju atas ucapan Luki. "Jangan konyol, kita itu belum menikah, bukan apa-apa pula. Nggak baik kalau perempuan satu kamar dengan laki-laki, apa lagi kita berdua orang dewasa—oke, pasti kamu bakal bilang kalau pemikiranku kolot, tapi aku bakal melakukan itu semua demi kebaikan kita berdua. Nggak harus merusak satu sama lain lah, aku juga mau menjaga—"

"Oke, stop!" Luki membungkam mulut Denok dengan jari-jarinya. "Heran juga, kamu cerewet untuk suatu hal yang kecil. Oke, kamu tidur di ranjang aku di sofa bed itu!" tunjuk Luki pada sofa bed berwarna hijau toska yang ada di sisi jendela kamar yang terbuka lebar.

Denok memutarkan bola matanya dengan malas lantas kedua bahunya turun lesu. "Nanti kamu masuk angin,"

"Peduli?" pancing Luki sembari mengangkat alisnya.

Denok berdecak tak suka. "Di kamar lain—"

"Adjie dan Martha mengawasi kita, kamu harus ingat." ujar Luki memotong kata-kata Denok dan mendudukkan dirinya di atas ranjang. "Kita harus kelihatan baik-baik saja, aku tahu kamu masih sebal sama aku—"

"Kata siapa?!" tuduh Denok langsung.

Luki hanya bisa menyembunyikan fakta dimana dia tahu bahwa Denok mengikutinya dengan Kezia dari ibu gadis itu sendiri. "Cewek kalau sebal memang kelihatan, sini deh..." Luki menepuk sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. "Duduk disebelahku."

Denok pun menurut, sejak turun dari pesawat Denok merasa lapar tapi dia tidak berani mengatakannya kepada Luki.

Luki meraih tangan Denok dan menggenggamnya dengan hangat, lantas Luki mencium punggung tangan Denok sembari menatap kedua mata gadis itu yang tengah menelisik wajahnya dengan cara yang lekat, tatapan Luki tidak bisa lepas dari kedua mata runcing Denok. Satu tangannya lari mengelus sisi wajah Denok dengan punggung jarinya.

"Aku mau tanya sama kamu,"

"Soal apa?" balas Denok.

"Apa kamu nyaman denganku?"

Apa Luki akan membicarakan soal kenyaman? "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"

"It's just... hubungan ini dijalankan oleh kita berdua. Dan aku mau kamu menikmatinya juga, especially—kita berdua sepakat untuk terus menjaga hubungan kita. Aku mau kamu jujur sama aku dan jangan ambil keputusan gegabah dengan cara memutuskan hubungan seperti kemarin."

Denok menghela napasnya dengan lelah. "Kalau manusia punya keraguan ya wajar dong?"

"Jadi secara nggak langsung kamu mengakui kalau kamu ragu sama aku?" tanya Luki balik.

Denok mengangguk, kedua matanya pun tak lepas memandang kedua mata hitam Luki. "Iya, kepercayaanku sama kamu belum sepenuhnya lima puluh persen lho, kayaknya baru tiga puluh lima persen."

Luki menatap Denok dengan kesal lantas berkata. "Worst banget penilaian kamu,"

"Wajar dong? Kalau perlu kamu ingat, aku bukan teman kamu dan kamu bukan teman aku. Lagian nggak mungkin juga kalau di kenyataan kita berteman sebelum menjadi tunangan, itu kenapa kita berdua cuman orang lain."

"Oke, stop bahas nilai hubungan kita. Aku mau kamu tahu kualitas sebelum kasih nilai hubungan kita, De."

Denok tampak berpikir lalu menggeleng. "Kualitas mana? Komunikasi? Lancar aja tuh,"

Ya Tuhan...

"Kualitas kita berdua, makanya aku tanya kamu nyaman apa nggak sama aku?" balas Luki dengan gemas.

Denok mengangkat bahunya dengan acuh. "Nggak tahu ya, kan baru mau satu kamar malam ini. Lihat aja nanti, aku nyaman sama kamu apa nggak."

Balasan Denok serupa tantangan bagi Luki, dan bagi Denok balasannya hanya kalimat biasa yang tidak bermaksud apa-apa, tapi sepertinya Luki tidak akan menyerah untuk membuat gadis itu tunduk kepadanya.

***

Kitchen bar yang ada di paviliun belakang sudah ramai ketika dua pengurus villa membawakan seluruh pesanan Martha untuk makan malam kali ini.

Luki masih tertidur ketika Denok keluar dari kamar, pria itu benar-benar merealisasikan kata-katanya dengan tidur di sofa bed. Terserah, pikir Denok memangnya dia bakal peduli kalau kaki Luki akan menggantung? Punya badan tinggi dan panjang seperti itu masih sok sokan mau jadi pahlawan dan berusaha menunjukkan kalau dia bukan pria brengsek.

Susah memang kalau mau berbaik sangka pada orang.

"Luki mana?" tanya Adjie sembari membuka kaleng beernya.

"Tidur," Denok mengeratkan long outernya. Dia lantas tersenyum ketika melihat Abby begitu menikmati pemandangan malam Uluwatu. "Suka banget dia sama pantai," gumamnya.

Adjie tertawa sembari mengangguk. "Dari tadi tuh anak nggak selesai ambil foto,"

"Dia memang anak pantai,"

"Kalau kamu anak apa?" tanya Adjie.

"Aku lebih suka gunung sih, daripada pantai. Nggak suka tempat panas, Mas."

Lantas Adjie mengajak Denon untuk ber-high five. "Sama banget, tapi diantara Martha dan Luki, mereka berdua suka banget sama pantai, apa lagi Martha kalau udah ke Maldives sama habisin musim panas di Nice, betah banget dia."

"Kalau Mas Laksmana sukanya apa? Kok dia nggak ikut sih, Mas?"

"Oh, Laksmana jangan ditanya, dia sukanya laboratorium, ruang operasi dan ruang rawat pasien, senang banget kalau harus visit pasien!" celetuk Martha yang baru saja datang membawa setumpuk daging grill yang sudah matang.

Denok jadi merasa tidak enak melihatnya. "Mbak kok nggak kasih tahu aku kalau manggang daging? Kan aku bisa bantu,"

"Cuman sedikit ini, nanti bakal ada Chef yang datang buat masak steak, aku sudah pesan wagyu A5 dari US lho buat kita makan nanti! Sekarang, cemil-cemil aja dulu,"

Denok semakin merasa bersalah. "Aku kayak nggak modal apa-apa ke sini, cuman bawa badan nggak tahu malu banget kesannya."

Adjie menepuk pundak Denok dan berkata. "Santai aja lah, lagian kamu itu calon kakak ipar kita."

Martha tertawa dan mengangguk. "Jangan ada sungkan diantara kita—itu kuncinya, dari dulu keluarga kami sudah mengajarkan untuk membantu satu sama lain, Denok. Nggak heran kalau nanti, aku bakal menyusahkan Mas Luki, atau Mas Luki yang menyusahkan aku. Atau mungkin bisa Adjie yang menyusahkan kita semua, bisa juga Adjie yang membantu kita semua. Cuman Masku saja, satu—Laskmana yang jarang menyusahkan, tapi sekalinya menyusahkan bisa bawa-bawa menteri luar negeri sampai Presiden."

Denok terkekeh pelan mendengarnya, itu mungkin beberapa hal enaknya ketika memiliki saudara, keluarga besar. Tapi sejak dulu Denok memang sendirian dan tidak punya siapa-siapa, alhasil sejak kecil sampai sekarang Denok terlalu menyimpan rasa sedih dan kesulitannya sendirian.

"Karena kalian bicara begitu, aku jadi pengen menyulitkan Mas Luki." kata Denok pada Martha dan Adjie.

Adjie dan Martha langsung saling bertatapan satu sama lain dengan penuh arti, seringai jahil terpancar di wajah Adjie dan langsung memberi isyarat agar Martha menjalankan aksinya.

"Kamu mau menyusahkan Mas Luki?" tawar Martha, layaknya Denok adalah tawaran yang manis dan murah bisa dia dapatkan.

Denok mengangguk dan senyuman lebar. "Mau, tapi nanti aja kali ya?"

"Sekarang aja," timpal Adjie.

"Oh ya? Dengan cara apa?"

"You can drink?" tanya Martha.

Kening Denok berkerut. "Drink as if..."

"Drunk, I have some Tequila, Vodka, whiskey. Kamu biasa yang mana?"

Denok menggaruk daun telinganya dengan bingung. "Aku nggak pernah coba yang bold sih, biasanya Abby teman aku minum, itu pun cuman soju atau nggak wine?" jawabnya dengan ragu.

Martha tersenyum patah karena merasa berdosa. Tapi Adjie malah tertawa. "Kita nggak punya soju di sini, dan wine pun kayaknya harus ambil ke gudang bawah tanah,"

"It's okay—" Denok menggelengkan kepalanya. "Jangan, Mas Adjie, aku nggak berniat drunk malam ini."

"But you have, okay let me tell you, tonight you can get some wild untuk menyusahkan Mas Luki." kata Martha menjelaskannya seperti guru yang menerangkan pelajaran pada muridnya.

"Being a wild?!"

"Ya," Martha mengangguk cepat.

Sementara itu Denok berpikir keras. "Should I?"

"Ayo, mau Tequila?" kali ini Martha mengambilnya, dan pada saat itu juga, rencana berubah—Denok mengambil two shot Tequila yang diberikan Martha kepadanya.

Semuanya menjadi aneh, dan ada perasaan lega yang membuat Denok merasa sedikit tenang karena minuman yang baru saja diminum olehnya. Namun, tak lama kemudian, Denok berpikir... sebelum angka satu ada angka nol yang berdiri di belakang angka satu, itu artinya angka satu bukan angka pertama, melainkan angka nol lah yang menjadi angka pertama.

"LO BERDUA RACUNI DENOK DENGAN MINUMAN APA?!" teriak Luki menggelegar ketika dia bangun tidur dan disambut dengan racauan hukum matematika serta penentuan nilai alkalosis metabolik serta asidosis metabolik yang Denok jabarkan padanya.

***

a/n:

Denok cosplay jadi anak Kimia, soon.

Duh... maaf kalau jadwal apdet nggak nentu meskipun weekend kerjaan tetap jalan tsay.

Perjalanan Denok sama Luki kayaknya masih panjang wkwk, masih ada satu persatu yang harus dikupas sampai tuntas.

p.s: kalo nggak lupa nanti malem double update.

4, Desember 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro