17. Sinting
Koentoeadjie baru saja memasuki kediaman Opanya setelah menyelesaikan syuting di studio bersama empat sekawan. Ada Praditya Raghuvendra, Arkana Linggardjati, Raden Radya Indoko. Konten kali ini disediakan langsung oleh rumah produksi keluarga Praditya, yang dinaungi oleh Tatiana Chandrasari, konten podcast bertemakan delapan belas plus ke atas itu sudah menarik perhatian sejak dua minggu yang lalu. Sebab para pengisi podcast itu adalah pria tampan dan playboy yang track recordnya sudah tidak bisa terkalahkan.
Kalau dalam kata kasarnya, ibarat semua artis cewek sudah pernah keempatnya rasakan. Terkecuali Praditya Raghuvendra, karena meskipun Adjie jadi temannya, Praditya cukup selektif soal perempuan dan perempuan pilihannya pasti the next level—dan bukan sembarang cewek. Katanya, Praditya fetish dengan cewek pintar, kalau saja Adjie sedang kurang ajar dia pasti akan menyinggung fetish lelaki itu dan meledek Praditya, semua orang telah mengakuinya karena Praditya sendiri tidak pernah menyangkalnya.
Alhasil, artis cewek yang benar-benar kagum dan naksir kepada Praditya Raghuvendra dengan sadar diri otomatis akan mundur. Ini bukan cuman sekadar gosip, Adjie sudah mengenal Praditya setidaknya lima tahun ke belakang dan sudah beberapa kali main project bersama.
Mungkin hal itu juga yang Opanya akan katakan padanya, sebab dalam waktu terakhir—Adjie terlalu berani bersikap dalam sebuah konten. Entah sedang ada di hadapan kamera, ataupun off, dan sepertinya apa yang Adjie pikirkan akan dikatakan oleh Opanya. Biasanya, feeling Adjie tidak pernah salah.
Begitu dia duduk di ruang bioskop keluarga, dimana wajah kosong—tatapan kosong lebih tepatnya milik sepupu tertuanya Luki Amidjaja mengganggu benak Adjie.
Ada masalah apa lagi nih si tua, batinnya.
"Mas, nggak golf?" tanya Adjie pada Luki.
Adjie bersikap sopan karena di sisi Luki ada Rajasa Amidjaja yang tengah menikmati film Toy Story 2, shit! Siapa yang pilih film ini?
Luki menggeleng malas. "Lo nggak lihat tadi pagi hujan? Malas banget, rumput bakal becek!"
"Ya driving kek? Tenis gitu? Kusut amat tuh muka," celetuknya.
Rajasa tertawa ketika Andy tengah ketakutan di film yang ditontonnya, ini alamat akan mengundang bencana kalau kelakuan Opanya sudah absurd begini, padahal baru jam sebelas siang.
"Ini kenapa harus nonton Toy Story sih?!" komentarnya.
"Diam!" balas Rajasa dengan sensi. "Kamu nggak bisa lihat Opa santai apa? Opa ini baru selesai memikirkan sikap kalian berdua yang urakan! Pusing!"
"Lho," Adjie membulatkan kedua matanya dramatis. "Aku buat salah apa, ya? Maaf—" kata-katanya harus terhenti karena Adjie baru saja mendapatkan pesan masuk dari Denok yang mengucapkan terima kasih atas kirimannya. "Wih.... Si cantik senang banget nih kayaknya!"
"Cantik yang mana lagi?!" timpal Opanya.
Adjie mendengus sebal, giliran mendengar kata cantik saja telinga Opanya tajam. "Cantiknya Mas Luki lah, siapa lagi? Memang aku punya cewek?!"
Luki yang ada di sebelahnya mendadak mendekati Adjie dan bertanya begitu penasaran. "Denok? Dia chat lo? Apa katanya?"
"Kepo lo!" sembur Adjie dengan jahil. "Hari ini kan Denok sidang, tapi katanya jadi online soalnya dia masih nggak bisa banyak gerak takut jahitannya ke buka lagi. Jadi, dia sidang di rumah sakit, kasihan banget... jadi gue kirim aja buket bunga sama buket cokelat."
"Dih?" tatapan Luki mengisyaratkan kegelian.
Sementara Opanya menyikut lengan Luki. "Jangan bilang kamu tidak tahu Denok sidang? Pantas saja kamu diputusin."
"APA?!" sahut Adjie cepat. "Mas Luki diputusin Denok? Kalian berdua putus? Kapan?!"
Luki mengurut pelipisnya sementara Opanya malah tertawa tanpa hati. "Semalam, Denok bilang mau mengakhiri pertunangannya dengan Masmu," kata Rajasa.
Adjie menutup mulutnya, pantas saja ekspresi wajah Luki lecek banget kayak keset kamar mandi, belum lagi betapa sinting nya Luki sampai memikirkan seorang Denok yang cantik itu memintanya putus tunangan. Nasib... nasib, sudah tua, tunangannya minta putus.
"Lo nggak bisa ambil hati dia kali," sambar Adjie dengan santai mengambil satu kue manisan yang disediakan untuk cemilan nonton Opanya. "Anaknya kelihatan clueless, meskipun lo bersikap manis sama dia juga dia nggak kelihatan salting, gue lihat waktu lo ajak dia golf sama kita."
Luki menoleh menghadap pada Adjie dan bertanya. "Apa gue kurang gencar buat bikin dia baper?"
"Ya jangan baper doang yang lo kerjain! Kalian berdua itu harus saling jatuh hati biar perasaan kalian saling membalas. Kalau lo cuman buat dia jatuh hati, ya cewek mana pun nggak mau lah kalau jatuh sendirian."
Rajasa diam-diam tersenyum mendengarkan ocehan cucu bungsunya itu. "Opa sudah bilang padamu bukan? Lepaskan Kezia, jangan ada dua wanita dalam hidupmu, buktinya baru sebentar saja Denok melepaskan kamu, malah kamu yang kelihatannya tidak terima?"
Adjie mengulum senyumnya, sial Opanya benar. Luki dan gengsinya adalah sesuatu hal yang harus bisa dihilangkan.
Luki merasakan Adjie tengah meledeknya kini. "Gue ngerasa aneh aja, Djie. Kenapa Denok nggak mau melanjutkan pertunangan ini,"
"Ah alasan." kilah Adjie sengaja memanas-manasi. "Lo mah aneh aja kali, karena baru kali ini ada cewek yang nggak suka sama lo dengan jujur, kan?"
"Dia itu suka sama sahabatnya, Benjamin Pawaka yang lo laporin waktu itu sama gue!" ujar Luki membela dirinya sendiri agar tidak terlihat ngenes.
Bocah macam Denok saja meminta putus kepadanya terang-terangan dan malah minta Luki untuk memperjuangkan Kezia. Tapi Opanya memang tidak akan mengubah keputusan dan tetap mengatakan bahwa Kezia bukan pilihan yang baik.
"Jadi gue harus apa?" tanya Luki mendadak seperti orang yang tak tahu arah.
"Berjuang dong, Mas!" kata Adjie dengan kesal. "Belum apa-apa lo udah mundur, nekad begitu! Bocah kayak Denok tuh harus sering diperhatikan, disayangi, bukan diselingkuhi! Ya jelas aja dia bakal ragu kalau kelakuan lo dibelakang dia mungkin masih suka sana sini,"
Rajasa mengibaskan tangannya berlagak tidak peduli. "Sudahlah, mau kamu ngomong sampai berbusa dengan orang ini!" Rajasa menunjuk Luki. "Tidak akan mempan, Opa tidak akan bisa memaksa kalau Denok sendiri memang sudah tidak mau dengan Luki."
Luki mendengus sebal, kenapa juga keinginan putus Denok berpengaruh besar kepadanya seperti ini? "Apa gue harus ke rumah sakit sekarang? Membawa bunga untuk dia dan berlaku bahwa kami berdua tidak ada masalah?"
"Iya lah!" balas Adjie. "Bawa bunga, kasih kado kek! Lo itu harus jadi pasangan yang suportif! Selama ini komunikasi lo sama dia bagaimana? Diubah lagi, harus lebih intens."
Luki menghela napasnya. "Ya sudah gue akan coba,"
"Masuk kamu dengar saran dari Koentoeadjie?" sahut Rajasa tanpa memalingkan wajahnya.
Luki menggeleng tak percaya. "Coba dulu, Opa kan yang ingin aku menikahi dia? Opa juga yang minta aku untuk melindungi dia?"
Rajasa mengangguk lalu menepuk kedua pahanya. "Tapi kalau Denok mampu melindungi dirinya sendiri dan tidak butuh kamu, ya jangan memaksakan diri."
"Aku mau coba berjuang, Opa."
"Terserah."
Setelah mendapatkan pencerahan dari Adjie dan Opanya, Luki langsung melesat pergi menuju RS sembari membawa bunga dan hadiah seperti apa yang Adjie sarankan.
Sementara itu, Adjie tertahan di ruang bioskop dengan film ketiga yang Opanya pilih—Finding Nemo.
"Sekarang, giliran kamu, Koentoeadjie. Apa kamu akan melakukan pengakuan dosa pada Opa?"
***
Ketika Luki datang ke kamar rawat Denok, sudah begitu banyak balon, bunga dan makanan—sebagai ucapan selamat telah menyelesaikan sekolah psikolognya namun tetap hanya ada Abby saja di dalamnya, hanya ada satu orang tambahan yang Luki bisa tebak bahwa lelaki itu adalah Benjamin Pawaka.
Denok berdiri di sisi jendela kamar tawarnya dan tengah menyatukan kedua tangannya di depan dada sembari memejamkan matanya. Gadis itu tengah berdoa.
"Sayang," ujar Luki membuat Denok membuka matanya secara tiba-tiba.
Abby dan Ben sontak menoleh dengan wajah terkejut melihat keberadaan Luki, sementara Denok masih diam dan mencerna keadaan yang aneh menurutnya. Bukannya pria itu sudah diputuskan olehnya? Kenapa harus datang ke sini lagi?
Penampilan Denok bukan lagi memakai pakaian rumah sakit, melainkan blouse hitam dan jas almamater serta long skirt yang membuatnya kelihatan dewasa.
"Eh, ada Mas Luki... tuh, foto dulu sama Mas Luki," kata Abby yang mengambil alih buket bunga yang ada di tangan Luki. "Mas ini hadiah buat Denok, kan?" tanyanya.
Luki terkekeh dan mengangguk. "Iya, tolong simpan ya..."
Luki melangkah dan mendekatkan diri pada Denok hingga membuat Denok menengadah, sekarang Luki baru sadar bahwa Denok tidak cukup tinggi untuk bersejajar dengannya, wajah gadis itu masih sedingin biasanya, tapi kali ini bedanya Luki memberanikan diri.
"Sayang, selamat atas gelarnya ya.." Luki mencium kening Denok di hadapan Abby dan Ben.
Denok hendak menghindar tapi Luki menahan pinggang gadis itu. "Ke—kenapa datang?" bisik Denok.
Luki mengulum senyumnya. "Tunanganku sidang masa aku nggak datang? Hadiahnya ada di sana, nanti aku bantu pakai,"
"Memang apa hadiahnya?"
"Kalung," jawab Luki.
Denok menghela napasnya. "Padahal nggak usah repot-repot,"
Luki menggeleng dan mencium garis rambut Denok. "Aku nggak merasa repot, katanya sore ini kamu sudah bisa pulang?"
"Iya, aku minta pulang sama dokternya,"
"Oke... nanti aku antar,"
"Kamu..." Denok menatap nanar Luki dan kata-kata yang sudah ada di ujung lidah harus tertahan, kita kan sudah putus...
"Kenapa, Sayang?" balas Luki tak kalah manisnya.
Sementara itu Abby dan Ben hanya bisa mendengarkan percakapan manis itu, Ben berdeham dan duduk di sofa dengan tatapan dingin. "Malam ini mau makan-makan?" tanya Ben.
Denok baru saja mengangguk ketika Luki menyelanya. "Mau makan dimana? Biar Gana yang reservasi,"
"Aku..." Ben mengernyitkan keningnya mendengar gaya bicara Denok pada Luki. "... aku sama Abby bisa reservasi buat bertiga,"
"Aku ikut dong, Sayang... nanti kamu pulangnya sama siapa?"
Denok melarikan pandangan pada Abby dan memberi isyarat agar Abby mengajak Ben pergi dari kamar inapnya.
Setelah memastikan Ben dan Abby pergi, Denok menjauhi Luki dan duduk di atas ranjang. "Ada apa ini sebenarnya?"
"Aku nggak mau putus." jawab Luki to the point.
"Kenapa?"
"Ya aku maunya kamu,"
"Kamu itu... aneh," gumam Denok menatap Luki dengan sangsi. "Aku kan sudah bilang, perjuangkan orang yang kamu kasihi—"
"Kalau ternyata kamu adalah orang yang aku kasihi kamu mau apa?" jawab Luki balik.
Denok dibuat bungkam oleh jawaban Luki, sementara itu pria yang Denok anggap baik-baik saja ketika putus darinya malah memintanya kembali? Sementara Denok saja bingung dengan apa yang dia rasakan kepada Luki.
"Aku mau kamu, nggak ada yang lain—sudah ku bilang kalau aku akan mencoba buat hubungan kita berhasil."
"Janji kamu diawal nggak begitu!" sangkal Denok. "Kamu hanya bilang akan mengajari aku berpacaran!"
"Tapi aku suka berpacaran dengan kamu!" tekan Luki, astaga Luki belum pernah merasa segila ini hanya karena bocah ingusan. "Sulit ya buat kamu mengerti? Kamu itu cuman memikirkan perasaan kamu sendiri?"
Tuduhan yang Luki layangkan malah membuat Denok semakin kesal saja. "Di awal kita bertunangan saja kamu memang bilang bahwa kamu akan membimbingku! Dasar hubungan yang kamu buat untuk aku cuman dasar bimbingan! Aku nggak butuh untuk dibimbing seperti itu!"
Kedua mata Denok terlihat tajam meskipun Luki tahu betapa lucunya kedua mata tajam dan runcing seperti kucing itu jika sudah menatapnya, gadis seperti Denok memang harus diberitahu nikmatnya jatuh cinta agar mengerti.
Luki melipat kedua tangannya di depan dada dan berkata dengan sabar. "Aku tanya, apa arti aku untuk kamu sekarang?"
"Pria milik orang lain, punya perasaan dengan kekasihnya, dan sebenarnya tertekan karena perjodohan."
Sial, yang dikatakan Denok benar semua lagi. Denok membuang napasnya dengan kasar. "Aku nggak akan tanya balik."
"Kalau kamu nggak tanya balik, biar aku yang kasih tahu kamu." tekan Luki mendekati Denok hingga gadis itu mundur.
Selangkah demi selangkah, Denok tetap mundur dan terus mundur hingga tubuhnya berbaring di atas ranjang sementara Luki terus mendekat padanya. "Aku penasaran dengan kamu, dan aku menyukai kamu. Itu artinya, aku punya perasaan khusus untuk kamu. Sampai sini, apa kamu ngerti?"
Denok mengangkat kedua tangannya dan menjaga tubuh Luki agar tidak terus menerus menahannya hingga berbaring pasrah dibawah pria itu.
Denok mengerjapkan matanya secara lambat dan mengangguk kecil. "Ngerti,"
"Kalau gitu aku nggak mau kita putus, dan kamu tetap jadi tunanganku, ngomong-ngomong aku sudah pakai cincin tunangan kita." Luki menunjukkan jari manisnya yang sudah terhiaskan oleh cincin mas putih, sementara itu Luki mengamati jari-jari Denok yang sudah bersih. "DIMANA CINCIN KAMU?!" tanyanya dengan heboh.
Denok mendorong dada Luki dan terduduk. "Aku lepas," jawabnya dengan enteng.
"Kenapa kamu lepas?"
"Aku kira kita memang akan putus! Tahunya malah begini!" jawab Denok dengan kesal.
Luki menipiskan bibirnya dan mengelus puncak kepala Denok. "Ya ampun, tunanganku yang satu ini memang mengharapkan perpisahan dari aku, ya? Tenang... aku nggak akan melepaskan kamu,"
"Kenapa?"
"Warasnya, aku akan jawab demi reputasi keluarga kita. Tapi sekarang kayaknya aku memang sudah nggak waras karena kamu, jadi jawaban aku adalah karena aku mau kamu, aku sudah menyukai kamu." jawab Luki seperti jawabannya tadi.
Denok mengamati garis wajah Luki dan berharap bisa melihat kebohongan tapi sayangnya dia tidak menemukan kebohongan sama sekali. Tatapan mata pria itu begitu tulus dan jujur, ucapannya bahkan tidak terburu-buru dan nada bicara Luki pun sudah berubah. Tanpa Luki sadari, Denok memperhatikannya.
***
a/n:
Maap kemarin malem nggak update, tumbang dan lelahhhhhhh:')
2, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro