Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Keputusan

Sisca Moestopo didampingi oleh dua asistennya Bagas dan Alfa ketika datang menjenguk Denok yang baru saja mandi dan duduk di atas ranjangnya. Pakaian rumah sakit yang dikenakan oleh Denok membuat Sisca ingin menggantinya dengan pakaian yang lebih layak. Dia tidak sanggup melihat putrinya sendiri sakit.

Edgar Djatiwibowo ada di ruangan keponakannya ketika dia datang dan hal itu berhasil mengusir kekhawatiran Sisca yang berpikir jika tidak akan ada orang yang memperhatikan putrinya.

"Tuh, De, ada tamu datang yang jenguk kamu."

Edgar mengatakannya kepada Denok dan membuat gadis itu terkejut menyadari kedatangan Sisca siang ini.

"Lho? Tante Sisca?"

Sisca senang melihat ekspresi putrinya yang terlihat ceria dan tidak murung, Edgar memberikan tatapan penuh arti pada Sisca. "Om balik ke kantor lagi, ya? Nanti sebentar lagi Abby datang dan katanya tunangan kamu juga akan datang."

Denok mengangguk. "Iya, Om. Makasih ya sudah temani aku."

"Oke, nanti Om bawa laptop kamu untuk sidang besok."

"Iya, sama jas almamater ya, Om. Aku minta tolong sama Om soalnya takut Abby lupa."

"Oke."

Edgar pamit pergi pada Sisca dan Sisca pun mendekati ranjang Denok dengan khawatir. "Masih ada yang sakit? Gimana bisa kamu dijambret?" tanyanya.

Denok tersenyum dan merasa tak asing melihat dua pria yang berjaga di belakang tubuh Sisca. "Musibah aja, Te. Kayaknya aku lagi apes kemarin, oh ya—Tante tahu dari siapa aku masuk RS?"

"Tante tahu dari satpam rumah kamu, katanya Non mereka masuk RS." jawab Sisca, dia buru-buru meraih tangan Denok dan menggenggamnya.

"Oalah... makasih ya, Te udah repot-repot jenguk aku,"

"Kamu sama sekali nggak merepotkan," lalu Sisca meminta satu paper bag dari Alfa. "Tante bawa puding, kamu suka puding, nggak? Tante suapi mau?"

Dengan gerakan cepat namun apik, Sisca membuat Denok serba salah di tempatnya. Wanita itu benar-benar memperhatikannya, Denok selalu tampak asing dengan segala bentuk perhatian karena... ya, karena dia tidak pernah merasa mendapatkan hal yang lebih baik daripada sikap-sikap orang yang ada di sekitarnya lebih cenderung tidak peduli.

"Duh.." Denok membulatkan matanya syok dengan perhatian Sisca yang terlalu baik kepadanya. "Te, maaf jangan repot-repot nggak usah—nanti aku bisa sendiri—"

Sisca mengibaskan tangannya dan membuka satu cup puding di tangannya. "Tante pengen banget direpotkan sama kamu,"

Denok menerima suapan pertama dari Sisca dengan rikuh, dia tak bisa menahan senyuman ketika suapan pertama masuk ke dalam mulutnya dan merasakan hatinya yang menghangat.

"Jambret nya udah ketemu, kan?"

Denok mengangguk. "Sudah, Te. Sudah diamankan sama polisi,"

"Bagaimana sih ceritanya? Kamu ditarik sama dia?" tanya Sisca yang masih penasaran.

Akhirnya, Denok menceritakan segalanya dari awal hingga akhir, hal itu menuai respon berbeda dari wajah Sisca Moestopo yang cantik dan tangan kanannya tidak berhenti menyuapi dirinya.

"Iya, Te. Dia mau ambil cincin tunangan yang aku pakai, tapi aku nggak bisa dong lepasin cincin tunanganku, bisa jadi masalah—eh malah saya yang kena masalah." jelas Denok dengan cengirannya.

Sisca tertegun, memandangi cincin berlian yang putrinya pakai. Dan betapa hancur hatinya ketika mengetahui Denok mempertahankan cincin tunangannya hingga terluka seperti ini, itu artinya Denok benar-benar sudah jatuh hati pada Luki Amidjaja.

"Kamu sayang banget sama tunangan kamu, ya?" pancing Sisca.

Denok terkekeh pelan dan menyembunyikan raut malunya. Sementara Alfa dan Bagas beralih menghadap ke arah lain karena tak mau mendistraksi suasana hangat antara ibu dan anak itu.

"Kalau ditanya sayang, ya aku sayang, Te." Denok menatap Sisca dengan lembut. "Tapi kan, semuanya tergantung bagaimana aku dan tunanganku menjalin hubungan, sejauh ini dia sangat baik sama aku, jadi kalau cincin ini lepas aku bakal merasa bersalah banget."

Ya Tuhan..

Sisca ingin memuji Denok secara terang-terangan, betapa tulusnya perasaan putrinya untuk Luki Amidjaja, sementara lelaki itu tidak memiliki perasaan apa pun untuk putrinya yang malang ini.

Andaikan Sisca bisa, dia akan menjauhkan Denok dari Luki. Bahkan jika Luki berani menyakiti putrinya, Sisca tidak akan sekalipun berani mengumpankan Denok pada lelaki seperti Luki.

Luki Amidjaja terlalu dewasa untuk anaknya yang baru saja berusia dua puluhan, dan taktik permainan cinta yang dimainkan Luki kepada Denok sebenarnya tidak seimbang.

"Perempuan memang selalu menganggap suatu hal cinta menjadi suatu yang sakral." Sisca mengambil satu helai tisu dan mengusapnya di sekitar bibir Denok, gadis itu tersenyum geli dan malu karena diperlakukan baik olehnya. "Apa tunangan kamu pakai cincinnya juga?"

Denok menggeleng dengan senyuman tipis. "Dia bahkan nggak pakai cincin tunangan sampai hari ini, biarlah... aku nggak akan mempermasalahkan dia mau pakai cincin tunangan kita berdua atau nggak."

Sisca menghela napas dengan gusar, memang brengsek Luki Amidjaja itu. Harus Sisca apakan cucu Rajasa Amidjaja itu? Berani sekali mempermainkan perasaan putrinya?

"Tante berdoa supaya kamu cepat sembuh, oh ya... tadi Tante dengar kamu akan sidang? Kapan sidang?"

"Besok, Te. Sidangnya online karena aku masih belum boleh jalan jauh atau gerak, takutnya jahitan yang ada di pahaku ke buka lagi."

Sisca meringis ngilu melihat luka yang dibalut oleh perban itu. Untung saja lukanya berada di paha bagian dalam. "Dapat berapa jahitan?"

"Sebelas, Te."

"Ya ampun... kalau kamu mau kulit kamu mulus lagi, Tante bisa bantu kamu. Di Singapura ada dokter yang bisa operasi bekas luka,"

Denok menggeleng, sepertinya luka yang dia dapat tidak akan mengganggu. "Nggak usah, Te. Semoga aja lukanya nggak jadi keloid,"

"Tapi jahitan biasanya bakal jadi keloid, nanti kamu nggak pede lho kalau pakai celana pendek."

Kata-kata Sisca sekali lagi membuat Denok senang. "Makasih ya, Te.. tante sudah begitu perhatian sama aku."

Sisca menahan tangisnya dan menggenggam tangan Denok. "Sama-sama, Sayang. Apa pun itu, kalau soal kamu—Tante akan selalu usahakan agar bisa terus bantu kamu."

Sisca tak tahan untuk mengusap puncak kepala Denok. "Semoga, sidang besok diberi kelancaran dan kamu bisa menjawab semua pertanyaan penguji."

Sekali lagi, dia sudah didoakan. Denok mengangguk dan mengambil punggung tangan Sisca untuk dicium. "Terima kasih doanya, Te."

Untuk pertama kalinya, kali ini Sisca tak bisa menahan tangisannya dan menjatuhkan air mata penuh haru karena putrinya sendiri telah mencium tangannya dengan begitu hormat.

Mama selalu mendoakan kamu, Sayang...

***

Panik tidak? Ya jelas panik lah!

Tidak ada angin tidak ada badai Denok mengajaknya putus? Luki memutuskan untuk menyelesaikan meeting sampai akhir, untungnya meeting berjalan lancar dan tidak ada hambatan, meskipun dia harus datang dalam keadaan kesal, panik bercampur marah karena gadis yang dia tengah ajarkan cara memadu kasih dalam hubungan malah mengajaknya putus.

Apa ini karena ulah Benjamin Pawaka? Masalahnya, gadis seperti Denok ini sudah biasa bersikap labil dalam hubungan, itu kenapa Opanya harus tahu betapa sulitnya menjalani hubungan dengan gadis berusia muda seperti Denok.

Lalu, apa artinya mengakuisisi Djatiwibowo sementara putri Djatiwibowo sendiri tidak mau diakuisisi olehnya?

Ketika Luki datang ke kamar rawat Denok, gadis itu baru selesai mandi dan dibantu oleh satu suster. Denok masih memakai gaun tidur rumah sakit, rambutnya yang basah membuat Denok terlihat sangat polos, kedua pipinya memerah karena baru saja mandi dengan air panas.

Aroma sabun yang lembut membuat seisi ruangan itu beraroma kan Denok.

"Selamat sore, Sus." sapa Luki pada suster yang membantu mengganti cairan infus Denok.

"Selamat sore, Pak. Nah... sudah diganti ya, Mbak. Kalau ke air lagi, matikan infusnya baru turun dari ranjang biar nggak macet lagi infusan nya," ujar suster memberitahu kepada Denok.

Denok mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu setelahnya suster itu meninggalkan Luki dan Denok berdua.

Luki membuka jas hitamnya, membuka kedua kancing lengan kemejanya dan menggulungnya terburu-buru lalu duduk di sisi ranjang Denok.

"Hei, you okay? Seharian ini aku tinggalin karena aku harus kerja, I'm sorry." Luki tak bisa menahan diri untuk menunduk dan menjatuhkan ciuman di puncak kepala Denok.

Tapi respon gadis itu hanya diam dan tidak tersenyum sama sekali, sampai-sampai Luki berpikir bahwa kedatangannya ke sini tidak diharapkan sama sekali.

Kedua tangan Luki yang besar merangkum kedua sisi wajah Denok dan mengelusnya dengan kedua ibu jarinya. "Aku terlalu sibuk sampai nggak memperhatikan kamu. Udah makan malam?" tanya Luki tepat menatap kedua mata Denok.

Denok mengangguk. "Sudah, kamu sendiri gimana?"

"Belum, nanti aku order, atau nggak makan di kantin RS bawah."

Helaan napas Denok yang begitu berat membuat Luki terdiam, apa sebegitu sulitnya dan sebegitu tidak sukanya Denok melihat dirinya? Apa jangan-jangan bagi gadis itu Luki hanya sebuah pemandangan yang tidak enak untuk dipandang?

"Kenapa kamu minta putus?" tanya Luki menjauhkan kedua tangannya dari wajah Denok.

Denok masih terdiam, dan Luki inisiatif untuk menggenggam tangan gadis itu. "Kita baru aja mulai, kan? Kamu tahu, kalau kita baru bisa menjalani semuanya dengan cara ini—aku sebagai pacar kamu."

"Aku mau kita selesai bukan karena alasan sepele kok, aku pikir ini bakal jadi jalan yang baik buat kita berdua." jawab Denok.

"D, itu pikiran kamu, dan menurut kamu baik untuk kamu belum tentu baik untuk aku." sangkal Luki dengan nada tidak suka. "Kenapa kamu nggak mau mencobanya dengan aku?"

Denok mengerutkan alisnya dan menatap Luki dengan emosi yang kian terlihat. "Apa kamu masih bisa hidup dengan aku nantinya? Hidup dengan orang yang bahkan nggak kamu cintai? Jangan konyol,"

"D, dengar—"

"Nggak, kamu yang dengar aku." Denok mulai menuntut dengan keras, tatapan matanya begitu tajam dan membuat Luki heran; ada apa dengan gadis ini? "Kalau kamu dengan aku terus begini, nanti bakal ada orang lain yang tersakiti nantinya. Aku nggak mau kamu mengorbankan perasaan kamu atau perasaan orang lain dalam keegoisan hubungan kita."

"Egois?" tanya Luki balik dengan tatapan wajah tidak terima.

"Ya, kamu egois," ujar Denok dengan lantang. "Kamu berhubungan dengan aku dan terus memberi harapan pada orang yang kamu kasihi."

Orang yang kamu kasihi, Luki tidak bodoh, dia tahu siapa yang Denok maksud di dalam perbincangan saat ini.

Denok menarik napasnya dan menyugarkan rambut basahnya. "Aku nggak mau kamu sakiti orang yang kamu cintai, kalau kamu cinta—setidaknya tolong lindungi dan hargai dia."

Apa Luki baru saja mendengar suara pendukung? Selama ini Luki berharap kalimat yang Denok ucapkan akan keluar dari mulut Mamanya atau tidak sang Opa.

"Aku nggak mau kamu jadi lelaki pengecut, kamu lebih dewasa dariku dan kamu lebih paham apa yang kamu dan orang yang kamu kasihi—jalani—hubungan seperti apa yang akan kamu beri kepada dia." Denok kali ini tersenyum, begitu tulus ringan dan tidak ada beban, dan pada saat itu juga Luki bersumpah dia ingin mencium Denok kembali.

Denok tak mau hubungan ini terus menerus berjalan tanpa arah, sementara di sisi lain perempuan yang Luki sayangi akan tersakiti. Dengan begitu, artinya Denok pun ikut menyakiti orang yang Luki sayangi.

Soal Rajasa, Denok pikir dia bisa melobi pria tua itu. Akan lebih mudah kalau Denok yang menyerah dalam hubungan ini.

"Apa ini yang kamu inginkan?" tanya Luki sekali lagi.

Denok mengangguk. "Ya, aku nggak mau jadi penghalang hubungan kamu dengan perempuan kamu,"

"D, aku—"

Denok meraih kedua tangan Luki dan menangkupnya, karena gerakan itu juga Luki berhenti bicara dan terkejut dengan kedua tangan Denok yang dingin. "Tolong, perjuangkan dia. Aku yakin, kalau kamu bersama dia, kamu pasti bisa lebih bahagia."

Konyol, Luki tidak menyangka bahwa rencana yang sudah dia atur akan berjalan seperti ini. "Intinya kamu nggak mau berjuang denganku?"

"Nggak," jawab Denok dengan tegas. "Aku pikir, kamu punya tugas untuk memperjuangkan perempuan yang kamu sayangi dibandingkan aku. Aku cuman orang yang baru kamu kenali, dibandingkan dia yang sudah mengenal kamu sejak lama lho."

Luki menggeleng. "Meskipun taruhannya keluarga kamu sendiri?"

"Sudah aku bilang, keluargaku nggak ada urusannya denganku. Mau kamu apakan nama keluargaku, terserah. Aku punya kehidupanku sendiri, dan aku adalah perempuan—bukan tugasku untuk meneruskan nama keluarga Djatiwibowo, ada Om Edgar dan Papaku yang masih hidup."

Enteng sekali pemikiran bocah ini, Luki kira dia bisa mengikat gadis itu, tapi nyatanya tidak. Dan seperti pemikirannya, Denok memang tidak menyukainya.

"Apa yang akan kamu katakan pada Opaku nanti?" tantang Luki.

Denok tersenyum lagi, dan hal itu seakan memberikan tanda kemenangan entah kekalahan pada Luki. "Aku akan bilang bahwa aku memang nggak menyukai kamu, dan perasaan kita berdua nggak bisa dipaksakan."

Luki mundur dan berdiri menatap Denok dengan angkuh, she's out of my league, batin Luki. "Baik, kalau itu yang kamu mau."

Kedua mata Denok seketika berbinar cerah dan gadis itu tersenyum senang. "Apa kamu setuju?"

"Ya," jawab Luki singkat, namun tak lama kemudian dia berpikir apa Denok melakukan ini semua untuk Benjamin Pawaka? "Apa kamu melakukan ini semua untuk cowok yang kamu sukai?!" tuduhnya langsung.

Kedua mata Denok memicing tak suka. "Nggak lah, lagian aku sudah nggak punya harapan untuk bersama Ben."

"Kenapa lagi kali ini?"

"Kami berdua beda keyakinan!" tekan Denok, sebenarnya Denok tidak mau mengakui hal satu ini, tapi bagaimana lagi? Kenyataannya memang sepahit itu.

"Ah..." Luki tersenyum senang mendengarnya. "Berat sekali, jadi... meskipun kita berdua putus kamu nggak akan bersama siapa pun?"

Denok mengangguk. "Iya, belum ada yang bisa buat aku jatuh cinta soalnya."

Luki mengutuk dalam hati, ternyata dia memang tidak bisa membuat Denok jatuh cinta kepadanya. "Kamu yakin akan putus denganku?" tanya Luki sekali lagi berusaha meyakinkan keputusan gadis itu.

Denok menangguk mantap. "Ya, terima kasih ya, sudah jadi bagian hidupku—sudah mau membantu dan mencoba menjadi pacarku."

Luki ingin tertawa tapi tak bisa, dia kesal tapi tak bisa melampiaskannya juga. "Sama-sama."

Lalu tiba-tiba, Denok mengulurkan tangan kanannya mengajak Luki berjabat tangan. "Semoga sehat selalu,"

Apa ini perpisahan? Sebuah perpisahan?

Luki memandangi tangan Denok dengan cukup lama dan membuat dia terdiam karena apa yang baru saja Denok ucapkan adalah kata selamat tinggal.

Luki membalas jabatan tangan Denok dan mengangguk singkat. "Kamu pun."

Kamu pun? Sial lo Luki! Nggak ada jawaban lain? Apa lo nggak akan menahan si cantik ini?

Dan malam itu, secara resmi Denok menjadi mantan Luki Amidjaja dan akhirnya untuk sejarah kehidupannya dia memiliki mantan kekasih.

***

a/n:

Love languangenya Denok itu; silent is gold. Dia kayaknya juga udah mulai ngefeel sama Luki, cuman memang nasibnya aja apes mulu harus pacaran sama laki-laki bangkotan yang gila dan nggak tahu arah:).

p.s: btw aku selingkuh dulu dari Jaehyun boleh kali ya? Younghoon The Boyz ganteng banget:) mana si doi kelahiran 97 juga lagi.

30, November 2022.

Salam sayang,
Ayangnya.... Ayangnya siapa ini?:')

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro