Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Khawatir dan sesi penutup

Luki lari menuju IGD karena kabarnya sampai saat ini Denok masih belum mendapatkan room, padahal Laksmana sudah menempatkan nama Denok di waiting list paling atas agar mendapatkan kamar naratama.

Seluruh kamar naratama sedang diborong oleh para pejabat yang berpura-pura sakit demi menghindari pertanyaan publik dan wartawan. Kenapa juga Denok harus dibawa ke rumah sakit crowded dan chaos seperti ini, sih?

Saat Luki datang, perawat dan beberapa dokter jaga tengah membalut luka Denok.

"Hei?" Luki mengusap puncak kepala Denok dan entah kenapa dia menyematkan ciuman di garis rambut Denok dengan khawatir. "Mana aja yang sakit?" tanyanya.

Denok menatap kedatangan Luki dengan tatapan kosong namun berusaha mengendalikan rasa terkejutnya. "Bukannya kamu lagi weekly report?"

Luki menggigit lidahnya dan berdecak cepat. "Itu semua nggak penting. Mana aja yang sakit?"

Laksmana baru saja datang membawa tiang resiko jatuh untuk Denok. "Udah di X-ray, nggak ada patah tulang serius, pahanya kena bebatuan runcing dan udah dijahit." jelasnya.

"Berapa jahitan?"

"Sebelas,"

Luki menghela napasnya dengan gusar. "Terus?"

"Luka di punggung tangan sampai siku, makanya dibalut sebanyak ini."

"Terus kenapa lo kasih dia tiang resiko jatuh?"

"Denok pusing berputar katanya, udah masuk diagnosa baru dia punya vertigo. Dokter jaga udah kasih rekomendasi rujukan besok ke poli THT."

Luki menoleh pada Denok yang pucat, dia baru menyadarinya sekarang. "Masih pusing?"

"Nggak, udah di kasih teh sama suster." jawab Denok lemas.

Luki beralih pada Laksmana lagi. "Kapan dia masuk kamar?"

"Jam dua belas malam nanti paling,"

"LO GILA?!" teriak Luki hingga membuat seluruh orang yang berada di IGD itu melihatnya.

Laksmana menyipitkan matanya tak suka, orang kampung darimana sih? "Lo nggak bisa seenaknya minta orang masukin Denok ke ruang VVIP ya, kecuali ya kelas dua sama kelas tiga banyak bed yang kosong."

"Pindah rumah sakit aja!" putus Luki tak sabaran.

Denok meraih tangan Luki dan menggenggamnya. "Jangan teriak-teriak, bisa?"

Luki membungkukkan tubuhnya dan mengangguk. "Sori, kamu udah makan belum? Mau pesan makan apa?"

"Nanti aja makannya kalau udah masuk ruangan, lagian masih kenyang."

"Kok bisa sih kamu dijambret? Bukannya kamu balik sama Ben?!" tanya Luki penasaran.

Denok menarik napasnya frustrasi, dan membalas tatapan Luki dengan begitu lelah. "Nggak tahu, namanya juga musibah."

"Teman kamu Abby mana?"

"Lagi ambil pakaianku ke rumah."

"Ck," Luki berdecak mengamati luka-luka tanya ada. "Gara-gara jambret tubuh kamu jadi banyak luka begini, mana sebentar lagi sidang! Kenapa sih? Apa yang dijambretnya memang?"

"Dia minta ponselku, ya nggak bisa ku kasih! Banyak file penting di sana." kata Denok mulai bercerita. "Terus dia minta jam, aku kasih. Dompet juga nggak ada duit cash, soalnya aku cashless—terus dia minta kalungku, ku kasih. Terakhir dia minta cincin,"

"Cincin kamu?" tanya Luki dengan gamang.

Dan ketika Denok mengangkat tangannya memperlihatkan jari manis yang terhiaskan cincin pertunangan mereka, membuat dada Luki memanas dan merasa.. bersalah.

Apa Denok mempertahankan cincin pertunangan mereka hingga celaka seperti ini?

"Dia minta cincin tunangan kita, ya nggak ku kasih lah!" ujarnya dengan ekspresi wajah marah.

Sementara itu Laksmana yang ada di sisi Luki memuji keberanian gadis itu. "Kamu melakukan hal yang benar, cuman lagi apes saja kayaknya sampai harus jatuh kesandung batu tajam, ke gores dalam lagi."

"Iya," Denok mengulas senyumannya.

Sementara itu Luki merasa tak nyaman melihat senyuman yang terpatri di bibir Denok hingga membuat pria itu berdeham ringan. Setelah ini, dia akan meminta Sagar untuk membawakan cincin pertunangannya.

"Kayaknya kamu perlu bodyguard," cetus Luki pada Denok.

"Buat apa?" tanya Denok dengan polosnya.

"Ya buat menjaga kamu, D. Aku nggak akan ada tiap waktu untuk kamu."

"Aku nggak minta waktu kamu kok."

"Bukan begitu..." sial, belum apa-apa dia sudah ditolak. "Buat jaga-jaga aja, aware."

"Aku nggak punya musuh, dan tukang jambret tadi sudah diamankan kali."

"Memang kamu bakal tahu bahaya yang bakal datang sama kamu kayak hari ini? Kan nggak, D."

Laskmana pamit undur diri dari percakapan absurd itu, sementara Denok menggeleng keras. "Nggak usah, makanya kamu harus memberikan doa yang baik-baik untuk aku."

"Selalu kok," balas Luki dengan jumawa, memang kapan pernah dia mendoakan hal buruk untuk Denok?

"Iya deh," Denok tidak mau mendebat Luki hingga membuat Luki menunduk untuk kesekian kalinya mencium puncak kepala Denok.

Denok meraih wajah Luki dengan tangannya yang tak memakai selang infus. "Kamu kok..." Denok merasai aroma tubuh Luki yang ada di dekatnya. "Wanginya manis banget, sih? Pakai parfum apa?"

Luki sontak membulatkan matanya, gila ya... Indra penciuman perempuan memang sangat tajam.

Dia menghabiskan jam-jam senang bersama Kezia tadi dan membuat Luki lupa kalau wangi tubuh Kezia menempel di kulitnya. Dan Luki baru sadar, sekujur tubuhnya sudah wangi Kezia, bukan lagi feromon pria yang biasa dia pakai.

"Perasaan kamu doang?" Balas Luki sambil menjauhkan tubuhnya.

Denok menggelengkan kepalanya dan memandangi wajah Luki. "Kamu..."

"... ya?" Luki menunggu kata-kata Denok selanjutnya.

Tapi gadis itu malah tersenyum dan memejamkan matanya dengan tenang. "Aku mau tidur ya, kalau kamu mau pulang, pulang aja besok kan kamu harus ke kantor."

Luki mendadak kaku dan bingung, apa dia baru saja diusir oleh Denok?

***

Sisca Moestopo merasa terhormat bisa bertemu secara langsung dengan Rajasa Amidjaja, pria berkuasa yang rendah hati dan tidak pernah menyombongkan dirinya secara cuma-cuma.

Tapi, mendengar kabar yang membuat jantungnya mendadak cepat, Sisca rasa dia harusnya tidak berada di Bandung bersama Rajasa Amidjaja hanya untuk membicarakan PT Media Global Tbk dengan Rajasa Amidjaja.

"Saya tahu Denok adalah putri Anda sejak lama." ujar Rajasa Amidjaja kepadanya.

Bagi pria berkuasa seperti Radjasa bukan hal yang sulit untuk mencari informasi tentangnya, apa lagi tentang Denok yang notabenenya tunangan dari cucunya sendiri.

"Tadinya saya sengaja mau bawa dia ke sini, tapi Denok di rawat di RSPI baru tadi malam masuk ke RS karena di jambret," Rajasa tersenyum penuh sedih dan sendu. "Maaf saya baru beritahu Anda sekarang, harusnya saya beritahu sebelum Anda berangkat ke Bandung."

Kedua tangan Sisca bergetar, dia melirik kedua asistennya Bagas dan Alfa yang jelas-jelas kecolongan dengan kabar Denok.

"Saya akan ke Jakarta sekarang," putus Alfa memecah keheningan dan kepanikan atasannya.

"Saya juga ingin menemui anak saya, Alfa. Kamu sabar dulu, kontrak saya tetap akan dipegang hari ini dan belum bisa dilimpahkan pada siapa pun." putus Sisca.

Rajasa mengangguk setuju. "Ya, lagi pula Anda dan Denok belum benar-benar saling berbicara tentang kenyataan hubungan kalian berdua, bukan?"

Sisca mengangguk nanar. "Saya belum punya keberanian sebanyak itu, Pak."

"Percepat," saran Rajasa pada Sisca. "Tidak baik menunda hal baik, saya juga ingin Denok mengetahui bahwa selama ini, dia tidak sendirian."

Kedua mata Sisca dan kebungkamannya membuat Rajasa mengerti—bahwa wanita cantik itu tengah syok karena rasa tahu Rajasa yang hampir mengetahui segala tentangnya.

"Anak saya.."

Rajasa tersenyum penuh dermawan. "Apa perlu saya bantu Anda? Saya belum lega karena lima puluh tujuh persen saham Anda di PT Global Media Tbk masih transparan karena Anda sendiri yang tidak menginginkan PT Global Media Tbk bergerak."

"Saya ingin memindahkan kantor pusat ke Jakarta, Pak."

"Tidak bisa, akan kurang efisien." balas Rajasa cepat. "Saya memang sudah lama pensiun dan tidak bekerja mengurus perusahaan semacam ini, tapi insting saya soal Bandung terlalu kuat, dan saya yakin Bandung dan PT Global Media Tbk akan berhasil."

"Kenapa Anda bisa seyakin itu, Pak?"

"Karena cucu saya pun memulai Traghana Industry dari hal terkecil. Traghana dibesarkan di Bogor, dan saya tidak memberikan kuasa pada cucu saya untuk memindahkan usahanya ke Jakarta."

"Apa ini semua karena..."

"Ya, saya ingin cucu saya menguasai Djatiwibowo."

Sisca patut mengapresiasi keberanian Rajasa Amidjaja mengatakan hal sensitif mengenai Djatiwibowo kepada dirinya.

"Dulu, Djatiwibowo berkembang di Yogyakarta, tanah kelahirannya." ujar Rajasa melanjutkan kata-katanya. "Anda penasaran kan, kenapa saya bisa tahu?"

Sisca mengangguk dan terpukau secara bersamaan. "Ibu dari Erlangga Djatiwibowo, Gusti Kirana adalah kekasih yang paling saya kasihi."

Apa?!

Sisca tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Pak Rajasa? Mantan kekasih Kirana Djatiwibowo?"

"Ya," balas Rajasa dengan raut wajah bangga. "Tapi dulu Amidjaja bukan lah apa-apa bagi Djatiwibowo. Keluarga Djatiwibowo sudah terkenal kekayaannya sejak zaman kolonial Belanda, mereka menyebutnya sebagai Tuan Tanah."

Sisca tersenyum mengerti dan mengangguk paham, ada satu potret dimana keluarga Djatiwibowo sejak dulu memang sudah terlihat kaya dibandingkan orang-orang pribumi lainnya.

Rajasa membayangkan banyaknya kisah dulu yang pernah dia lewati dengan keluarga Djatiwibowo. "Ada yang bilang? Bahwa keluarga Djatiwibowo mendapatkan hak waris dari kerajaan Mataram. Kisah klasik yang merambah menuju masa kejayaan Indonesia. Terlalu jauh bukan ceritanya?"

Sisca mendadak bingung, Rajasa ini tengah serius atau memang sedang bercanda dengannya? "Kalau membicarakan soal silsilah keluarganya Anda tidak akan percaya."

"Terlalu ribet," timpal Sisca dengan tawanya. "Cerita Anda cukup menghibur saya yang tengah dilanda panik karena kabar putri saya yang tengah dirawat."

"Itu memang tujuan saya." kata Rajasa memperjelas apa maksud dari yang dia katakan tadi. "Pokoknya, tahan Bandung untuk PT Global Media Tbk, siapa tahu Bandung akan menjadi tempat istirahat untuk putrimu sendiri."

Sisca mendadak setuju dengan apa yang Rajasa katakan karena alasannya juga cukup masuk akal.

Jadi, kapan dia akan mengumpulkan niat untuk memberitahu Denok bahwa dia adalah ibu kandungnya?

***

"Memang kampret!"

Aroma difuser yang menenangkan tidak mampu menenangkan gejolak emosi yang tengah Abby rasakan pagi ini. Apa lagi kalau bukan cuman karena berita doang? Kenapa sih, televisi yang disediakan di rumah sakit insentik dengan berita gosip pagi yang sedang Denok tonton.

Pasalnya, dia baru saja lapor pada panitia sidang bahwa Denok tidak bisa sidang skripsi karena kecelakaan yang terjadi padanya. Tapi karena Denok sendiri lupa bahwa ini adalah zaman milenial dan serba modern—panitia sidang mengatakan bahwa Denok bisa mengadakan sidang skripsi secara daring atau online.

"Nafkah memang di kasih banyak, tapi suaminya selingkuh sama cewek lain. Ah anjing... makan hati itu namanya!" umpat Abby pada televisi.

Abby kembali melanjutkan cemilan paginya dengan biskuit timtam kesukaannya. "Tuh kan, De! Kampret banget, laki-laki zaman sekarang tuh memang kurang bersyukur ya anjing. Di kasih istri cantik, anak yang lucu-lucu, tapi tetap aja main sama cewek sana sini, giliran ketahuan sama wartawan baru buat statement murahan!"

Denok tertawa geli menanggapinya. "Apa sih, By? Kehidupan orang lo urusin, artisnya aja kelihatan enjoy sama beban hidupnya."

"Ya tapi tetap kan, De. Selingkuh tuh jadi contoh yang nggak baik, apa lagi mereka itu punya anak. Artis sampai kapan pun jejak media sosialnya nggak akan hilang. Bukannya kita berdua belajar ya psikologi anak—bayangkan, ketika besar nanti dia akan tahu bahkan mencari tahu sendiri apa yang terjadi sama orang tuanya?"

"Iya tapi dengan kita mengerti soal psikologi pun nggak akan bisa dengan mudahnya mengubah sifat, sikap, dan karakter seseorang. Apa lagi, apa yang dilakukan oleh orang lain, memang urusan kita apa, By? Yang tahu baik atau buruknya kan bukan kita, mereka yang menjalani kok."

"Iya juga sih," Abby mengangguk cepat. "Ibarat kata, setiap manusia memang punya pertarungannya sendiri."

Denok mengangguk setuju kali ini. "Itu dia, semua manusia punya pertarungannya sendiri. Termasuk nih, si gue."

"Memang lo kenapa lagi?" timpal Abby dengan malas. "Bukannya lo udah menjadi couple goals ya sama Mas Luki?"

Denok tertawa nanar, couple goals? Jauh dari kata goals, dan mungkin... tidak akan maju mencetak goal yang sebenarnya. "Semalam gue tahu dia kemana, By,"

"Maksud lo?" Tanya Abby tak mengerti.

"Gue di jambret di daerah Sudirman. Dan gue tahu kalau Mas Luki, semalam lagi berduaan sama pacarnya. Salah gue sih, bandel."

"Kenapa? Lo ikutin dia?" tanya Abby tak sangka bahwa Denok akan nekad melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan sebagai pasangan mainan Luki.

Denok mengangguk. "Gue penasaran, gue ketemu dia waktu gue sama Ben. Tapi gue minta diturunkan aja di jalan ke Ben, sisanya gue buntuti Mas Luki."

"Terus, terus?!"

"Mas Luki tuh diterima baik sama keluarga pacarnya, jadi mereka lagi ada acara gitu dan gue lihat gimana bahagianya keluarga pacarnya menyambut Mas Luki. Sayang aja, keluarga Mas Lukinya nggak suka sama ceweknya."

"Duh ujung-ujungnya gara-gara restu juga, jadi lo udah pas menjadi menantu keluarga Amidjaja makanya lo direstuin!"

Denok menghela napasnya dengan gusar. "Tapi ya, By, kalau dipikir-pikir gue nggak akan bisa jadi pasangan yang seimbang buat si Mas Luki tahu."

"Kenapa? Masa belum apa-apa lo udah rendah diri sih?!"

"Bukan rendah diri! Tapi memang gue belum menemukan kecocokan aja sama Mas Luki. Terus, gue pikir—cara penyampaian cinta kita berdua aja beda. Gue sadar betul, kalau gue terlalu pasif bahkan nggak memberikan minat yang baik untuk Mas Luki. Coba kalau pacarnya, pasti Mas Luki dapat keuntungan emosional yang dia inginkan, bukan?"

Abby memangku wajahnya dan memandang Denok dengan penuh takjub. Ada apa gerangan nih dengan sahabatnya? Di jambret kok malah dapat ilham?

"Jadi mau lo itu bagaimana?" tanya Abby ingin memperjelas maksud dan tujuan Denok.

Denok menarik napasnya dan menyandarkan kepalanya kembali di atas bantal. "Gue ingin akhiri semuanya, takutnya—malah makin buruk ke depannya, dan kayaknya gue juga nggak bakalan bisa cinta Mas Luki."

"Nggak bakalan apa takut?" sahut Abby terang-terangan.

Denok menatap langit-langit kamar ruang rawatnya dan terkekeh sinis, takut? Sepertinya.. iya. "Iya, gue takut, By."

"..."

"Mas Luki kelihatan sempurna, dan dia pria idaman semua wanita yang ingin dicintai. Sementara gue, sepertinya gue nggak akan bisa memberikan porsi yang sama untuknya, dan bahkan—gue nggak bisa melihat masa depan sama dia." kata Denok dengan serius. "Dan sepertinya, pacarnya yang bisa lebih mengerti Mas Luki dibandingkan gue."

"..."

"Gue orangnya nggak mudah dicintai dan disukai, lo tahu sendiri—bahkan lo sendiri bilang kalau gue itu menyebalkan."

Abby tertawa mendengarnya. "Lo cuman takut sama ekspektasi lo aja. Itu sebabnya, sampai sekarang pun Ben belum tahu soal perasaan lo."

"... kayaknya iya,"

"Di dalam otak lo itu terlalu banyak; bagaimana kalau, tapi, dan nggak mungkin. Makanya, lo nggak akan pernah realisasikan cinta lo."

Denok memalingkan wajahnya pada Abby dan berkata. "Apa sudah seharusnya gue nyatakan perasaan gue sama Ben?"

"Kok Ben?!" protes Abby.

"Terus siapa, By?"

"Ya Mas Luki lah!"

"Gue belum sepenuhnya suka sama dia." jelas Denok dengan jujur.

Abby tercengang di tempatnya. "Hah, gue kira perasaan lo sama Ben udah kelar, malah mau dilanjut?"

"Iya, gue masih penasarannya sama Ben, bukan Mas Luki."

Abby membungkam bibirnya sendiri dan menatap sahabatnya dengan wajah penuh pengertian, lagi pula dia tidak bisa menghakimi perasaan sahabatnya yang satu ini. Masih untung juga Denok bisa menyukai seseorang, daripada tidak sama sekali.

Sejak dulu, Denok tidak mengenal cinta karena orang tuanya sendiri pun tidak ada yang mengajarkan apa itu cinta kepadanya. Jadi, efeknya seperti ini. Semuanya transparan, gamang dan membingungkan, kalau menurut Abby—Denok telat untuk mengerti kata cinta, atau mungkin—belum benar-benar ada seseorang yang mengajarkan arti cinta sesungguhnya pada Denok.

Tadinya Abby mau mempercayai Luki Amidjaja. Tapi sepertinya prediksinya salah.

Ya, apa pun itu yang terbaik untuk Denok saja lah!

***

a/n:

Budrek! Ya sakit kepala!

Baru pulang kerja, soriiii kalau bakal updatenya lebih malam dari biasanya.

Selingkuhnya terang-terangan dan nggak pakai aba-aba akhirnya, Denok jadi spy:)

p.s: capek bangettttt, tapi demi cuan aku akan berjuang.

29 November 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro