13. Episode pacaran
Denok diminta siap-siap oleh Luki, katanya Luki ingin mengajak Denok main golf di Senayan Golf Club, tak hanya berdua karena Luki juga bilang akan ada Adjie, Martha dan Laksmana.
Kedatangan Denok jelas menimbulkan keheranan buat Adjie, Martha dan Laksmana. Pasalnya, kapan pernah seorang Luki Amidjaja menggandeng tangan pacarnya sampai seerat itu?
Luki Amidjaja menggandeng tangan Denok Kanara Djatiwibowo dengan erat seakan takut gadis itu akan pergi dari sisinya. Laksmana tidak ambil pusing dan berusaha acuh, tapi manusia seperti Adjie dan Martha mana bisa acuh dengan hal yang tidak biasa seperti ini?
Apa hubungan Denok dan Luki menjadi lebih baik? Maksudnya, berkembang? Setahu Adjie saja manusia seperti sepupunya akan lebih memilih menentang keputusan Opa dan lanjut dengan kekasihnya Kezia.
Wah, Luki... gumam Adjie dalam hatinya.
"Mau ikut main apa duduk?" tanya Luki kepada Denok.
Denok berpikir sesaat sebelum menjawab. "Duduk aja,"
"Ya udah, tunggu aku di sana ya."
Adjie membulatkan matanya, sementara Martha menganga sempurna seperti orang bodoh. Sial, apa tadi? Tunggu aku di sana ya, buset betul kelakuan sepupunya yang sudah tua ini.
"Hai, Denok." sapa Laksmana pada Denok.
Denok membalas jabatan tangan Laksmana. "Hai, Mas."
Martha menatap Denok seakan Denok adalah artefak langka yang baru saja ditemui oleh ilmuwan, dengan begitu juga Denok merasa bahwa dia menjadi bahan perhatian.
"Mbak," sapa Denok kepada Martha.
Martha meringis kaku dan menatap Luki dengan penuh tanda tanya, ibarat kata, kalau besok matahari terbit dari barat—kayaknya Martha tidak akan heran. Soalnya dia sudah diberi spoiler lebih dulu.
"Ada apa nih?" sahut Adjie yang mulutnya sudah menahan kegatalan lima menit yang lalu. "Kamu sudah mau sama Mamas Luki?" tanya Adjie kepada Denok.
Luki mendengus. "Maksud lo apa tanya begitu sama tunangan gue?"
Adjie membalikkan kepalanya menatap Luki dengan terkejut. Ini adalah sesuatu hal yang ajaib! "Hah?!"
"Hah—heh—hoh!" sambar Luki mengambil tongkat golf. "Ngapa lo mangap begitu?"
"Lo sudah mengakui Denok sebagai tunangan lo?!"
TUOLOL! Teriak Laksmana dalam hatinya lantas menonjok bahu sepupunya itu. "Djie, nggak usah bikin keributan."
"Gue nggak akan buat keributan—anjing lah—gue syok!" katanya dengan respon berlebihan.
Martha masih tersenyum kaku kepada Denok dan menyentuh bahu gadis itu dengan penuh hati-hati. "Mas Luki menjanjikan apa sama kamu? Kenapa kamu dan dia—"
"Martha," tegur Luki pada sepupu perempuannya itu. "Gue sama Denok berbaikan ya wajar toh, kami berdua kan pasangan."
"Wah...." Gumam Adjie yang masih terpukau.
Sementara Martha ingin memberitahukan kabar baik ini pada Opa. Kayaknya bentar lagi pesta pernikahan bakal terjadi, pikirnya.
Denok menghela napas pasrah. "Maaf ya, kedatangan saya malah buat acara golf kalian terganggu. Saya cuman diajak sama Mas Luki kok,"
"Nggak cantik, kamu nggak ganggu sama sekali." timpal Adjie dengan cepat lantas dia memberikan tongkat golf nya pada Caddie. "Kalau ada masalah nanti cerita sama aku, ya? Luki kadang-kadang kalau sudah menyebalkan sikapnya nggak bisa ditolong lagi, kadang marahnya juga nggak pakai otak."
Mendengar bagaimana manisnya Adjie berbicara pada Denok, Luki sudah melayangkan tendangan pada pantat sepupunya itu. "Jangan gombalin tunangan gue!"
"Shit!" umpat Adjie, heran Luki Amidjaja kok bisa rewel banget? "Gue nggak gombalin TUNANGAN lo!" tekannya sengaja menyindir kelakuan dramatis Luki. "Gue cuman mau melindungi calon kakak ipar gue yang manis ini..."
"Djie," geram Luki.
Martha menatap wajah datar Denok yang kelihatannya—tidak ada rona bahagia. Apa memang ekspresi gadis itu terlalu lurus dan kaku, ya? Yakin Luki mau bertahan dengan Denok? Setahu Martha saja Luki suka wanita yang humoris, dan itu semua ada pada temannya Kezia.
Kayaknya nih bocah memang kurang hiburan, kata Martha dalam hati.
Permainan golf itu jelas tetap dilanjutkan, hanya saja... Adjie, Martha dan Laksmana melihat pribadi Luki Amidjaja yang baru dan tidak biasa karena ada tunangannya yang sudah diakui bersamanya. Padahal, kalau dilihat-lihat juga ekspresi wajah Denok itu sudah menjelaskan; I DON'T GIVE A FUCK, dan bisa-bisanya Luki Amidjaja cari perhatian dengan gadis lempeng seperti Denok?
"Beneran nggak akan ikut main?" tanya Luki sekali lagi dengan senyuman manis.
Sepanjang permainan, ketiganya menatap sepupu tertua mereka dengan penuh takjub, sekaligus kaget, aneh dan rasanya campur aduk.
Denok menggeleng dengan senyuman tipis. "Nggak, lanjut aja sana." titahnya.
Dan bagaikan kerbau yang sudah di cocok hidungnya, Luki Amidjaja menurut!
Adjie geleng-geleng kepala dan menyudahi permainan, dia lebih tertarik menggali informasi dari Denok, calon kakak ipar yang menurut Adjie agak kasihan nasibnya. Kenapa cewek secantik Denok Kanara Djatiwibowo harus bertunangan dengan pria tua seperti sepupunya yang gila itu.
"Hai," kata Adjie yang baru saja datang membawa dua minuman kaleng, sengaja ia membeli dua karena ia akan memberikannya pada Denok. "Mau?" tawar Adjie.
Denok mengangguk dan menerima minuman soda itu. "Terima kasih, Mas."
"Sama-sama Cantik."
Adjie belum pernah memuji perempuan dengan terang-terangan seperti ini, tapi Denok memang secantik itu sampai Adjie berpikir bahwa harusnya Denok masuk ke dalam industri perfilman atau tidak modeling.
Wajahnya bisa dijual, dengan daya tarik Ice Princess pasti akan banyak digemari. Secara, aura yang awur-awuran macam Denok ini sangat diperlukan, Indonesia masih mengenal sistem susuk untuk memikat perhatian orang, tapi sepertinya Denok sudah tidak memerlukan susuk.
"Mas," kata Denok memanggilnya.
"Ya? Kenapa?" mendadak bawaannya Adjie tuh ingin memperlakukan Denok dengan lembut.
"Jangan panggil saya cantik lagi, saya kan punya nama—Denok. Kalau saya dipanggil begitu sama Mas Adjie rasanya saya malu." ujar Denok mengutarakan ketidaksukaannya.
Adjie tersedak oleh minuman yang berusaha dia telan. "Oh, sori... nggak maksud bikin kamu malu, tapi aku memang memuji kamu dengan tulus kok."
"Iya..." Denok meringis gemas, duh rasanya Adjie ingin mengusap puncak kepalanya layaknya kucing. "Tapi jangan keseringan, maksudnya kalau di depan orang banyak Mas Adjie nanti panggil saya begitu gimana? Kan bisa mengundang tanda tanya besar, apa lagi Mas Adjie ini selebriti, saya nggak mau Mas Adjie kena masalah karena saya."
Manisnya, bahkan semua kata yang keluar dari mulut Denok begitu tertata, kalem dan anggun. Nggak salah pilih nih, Opa, pikir Adjie, andaikan Opa menawarkan Denok padanya lebih dulu. Sayang banget sih, gadis manis dan lembut seperti Denok harus mendapatkan monyet bekantan kayak Luki Amidjaja.
"Okay deh, aku terima alasan kritis kamu. Oh ya, gimana penyusunan skripsinya? Terakhir kita ketemu waktu kamu bawa temanmu itu, lancar kan skripsinya?" tanya Adjie mengalihkan topik.
Denok memperhatikan Luki yang tengah menyimpan bola di atas tee. "Lancar Mas, puji Tuhan. Sudah dapat acc untuk sidang."
Kedua mata Adjie membulat tak percaya. "Oh ya? Cepet amat, kapan nih jadwal sidangnya?"
"Kenapa? Mas Adjie mau datang?"
"Iya, boleh nggak? Sekalian deh sidangnya teman kamu si Abby juga kapan?"
Denok terkekeh. "Saya sih minggu depan, kalau Abby belum tahu, Mas."
"Oke, nanti aku datang sama Luki."
Denok tersenyum dan mengangguk, driving yang Denok dengar ini katanya hobi Laksmana. Tapi yang katanya hobi driving malah sudah pergi melipir ke rumah sakit setelah mendapat kabar bahwa pasiennya memerlukan cito segera.
Kini, yang tersisa hanya Martha dan Luki yang masih fokus. Luki mengganti driver Callaway-nya yang baru sembari mendekati Denok. Tangan kanannya yang memakai sarung tangan dibuka lalu mengusap puncak kepala Denok dengan amat sangat lembut.
"Lapar nggak? Mau makan apa buat malam ini? Hokben mau?"
Adjie sih sudah tidak bisa menghitung berapa kali dia terkena serangan tercengang karena sikap manis dan perhatian Luki pada Denok.
"Kamu maunya makan apa?"
"Aku ikut kamu aja." balas Luki dengan senyuman yang menawan.
Denok mengangguk. "Makan di rumah aja, terus beli seafood saus padang."
"Wih!" sambar Adjie. "Enak tuh kayaknya!"
Luki mendengus pura-pura tidak mendengar. "Maaf, ini makan malam gue dan Denok."
"Ya siapa juga yang mau ganggu?" timpal Adjie dengan sebal. "Gue mau beli sendiri!"
"Ya sana,"
Adjie geleng-geleng tak percaya. "Tuh lihat, Denok. Belum apa-apa, dia cuman mau berdua dan nggak mau diganggu." katanya berusaha mengompori Denok.
"Gue ini butuh waktu quality time sama Denok, soalnya besok gue harus ke Singapura, Man."
"Ya, ya, ya..." balas Adjie dengan ledekan.
Denok hanya menanggapinya dengan dengusan kecil serta senyuman tipis, sebelum benar lanjut ke posisinya, Luki mencium puncak kepalanya dan kembali lanjut main.
Dan entah kenapa, Denok tidak merasakan apa pun. Apa dia benar tidak menyukai Luki? Denok jadi membayangkan bagaimana rasanya jika Ben yang mencium puncak kepalanya tadi?
***
Luki selalu menemukan hal yang baru jika itu bersama Denok. Baru kali ini, dia heboh karena untuk pertama kalinya dalam hidup—Luki memasak nasi. Ya, meskipun di rice cooker, tapi jujur Luki sebangga itu!
Dari mencuci beras, sampai menakar air Luki lakukan sendiri dengan instruksi Denok. Gadis itu mengatakan bahwa Luki tetap harus bisa masak nasi sendiri, dan tidak mungkin mengandalkan orang lain seumur hidupnya.
Seafood saus padang, cah kangkung, dan beberapa frozen food kesukaan Denok sudah di tata di piring. Nasi panas baru dituangkan ke atas piring dan pada saat itu juga Luki ber-wah kepada diri sendiri.
"Ternyata nasi lebih cepat kalau dimasak pakai air panas ya," gumamnya pada Denok.
Denok mengangguk. "Memang, karena rice cooker bisa kerja jadi cepat. Itu solusi kalau lapar banget sih. Selebihnya ya jangan terlalu sering, nanti rice cooker-nya cepat rusak."
"Gampang, nanti aku belikan lagi." jawab Luki dengan entengnya.
Luki sudah memegang sendoknya, dia menunggu Denok yang baru saja duduk di hadapannya, gadis itu. "Pimpin doa," kata Luki pada Denok.
Dan satu hal lainnya adalah, dia mengikuti kebiasaan baik gadis itu.
Denok mengangguk, dia memberikan tangan kanannya pada Luki dan Luki langsung menggenggam tangannya dengan erat namun pasti. Keduanya saling memejamkan mata, dan ketika Denok memulai doanya Luki hanya bisa tersenyum.
"Tuhan yang Mahamurah, kami bersyukur atas makanan yang Kau berikan. Berkatilah makanan kami, berkatilah mereka yang menyediakannya, dan berkatilah orang yang berkumpul untuk menikmatinya. Aameen."
Lalu keduanya membuat tanda salib bersamaan, Luki membuka matanya dan melihat Denok yang fokus pada makanan tanpa mau menghiraukan dirinya. "Selamat makan," kata gadis itu tanpa memandangnya.
Luki terkekeh pelan. "Selamat makan,"
Luki belum pernah merasakan perasaan asing yang hangat seperti ini, dengan Kezia dia tidak memedulikan doa atau bahkan bagaimana sakral nya sebuah doa yang bisa membawa kenikmatan pada sebuah makanan.
Dan Luki tidak pernah memerhatikan itu semua, sampai dimana Denok menunjukkan itu semua padanya. Denok terlalu sederhana, tidak banyak una-inu, semua yang dilakukan gadis itu tertata rapi, seakan semuanya sudah diatur. Dari wajah, otak, hingga attitude, dan Luki akui sejauh ini dia mengenal Denok secara singkat—gadis itu tidak pernah berlaku tidak sopan padanya.
Pantas saja hidup gadis itu lurus seperti tidak ada hambatan, tidak masalah jika umur dua puluh lebih belum memiliki pacar, tidak masalah jika dia hanya memiliki satu teman, tidak masalah jika dia tidak jadi bertunangan dengannya.
Untuk yang terakhir... Luki berpikir bahwa sepertinya yang berada di posisi tertekan bukan hanya dirinya saja, tapi Denok juga.
Buktinya, gadis itu menyukai temannya yang bernama Benjamin Pawaka.
"Kamu kenal Ben sudah lama?" tanya Luki tiba-tiba kepada Denok.
Denok mengangguk. "Masuk kuliah, hari pertama ospek kampus aku sudah kenal dengan dia,"
"Apa dia baik?"
"Baik."
"Baik tapi ceweknya banyak?"
Kening Denok berkerut mendengarnya. "Kok kamu tahu?"
"Kelihatan," Luki tersenyum miring. Yah, apa sih yang disukai anak muda kalau bukan kebebasan? Zaman Luki usia dua puluh juga dia rasa bisa mendapatkan cewek yang dia inginkan dengan modal pendekatan. "Aku waktu seusia kamu pun menyukai banyak cewek, D."
Denok menghentikan kunyahannya dan memandang Luki penuh tanda tanya. "Kenapa?" tanya Luki.
"Kenapa kamu selalu panggil aku begitu?" tanyanya lagi.
"Biar enak, terus biar kamu bisa bedakan—kalau D hanya aku yang memanggil kamu seperti itu."
"Apa itu berpengaruh?" tanya Denok dengan lempengnya.
"Berpengaruh dong, itu kan, panggilan sayang dariku."
"Apa ini cara kamu menggombal?"
Luki tak bisa menahan tawanya, mungkin jika Luki bisa tahu pun jantung Denok tengah menggila di dalam dadanya. Dan cara Denok bertanya kepadanya itu seperti interogasi yang tidak akan selesai dalam satu pertemuan. "Anggap saja begitu, kayaknya kalau aku romantis sama kamu juga nggak akan begitu ngaruh. Masalahnya, kamu ngerti nggak kalau aku lagi gombalin kamu?"
Denok menarik bibirnya dan mengangkat bahunya acuh. "Kadang-kadang, aku kan belum biasa dengan love language kamu, kalau dengan Ben aku sudah kenal perangai dia."
Ben lagi...
"Kenapa nggak kamu nyatakan aja perasaan kamu sama dia? Biar tuntas rasa sukanya." ujar Luki memberikan saran.
Denok tertawa, kenapa juga Denok harus menuntaskan perasaannya? "Kenapa rasa sukanya harus dituntaskan? Nggak usah lah, aku menikmatinya kok. Biarkan saja dulu dia bebas dengan perempuan yang dia mau."
"Kamu..." Luki tercengang dengan apa yang dia dengar. "Kamu mentolerir dia sebesar itu? Hebat sekali."
"Kenapa? Kamu juga mau dapat toleransi yang sama dariku? Lagipula aku tahu kamu cinta sama pacarmu."
Balasan Denok selayaknya tinju yang menghantam kepalanya. "Denok aku sudah selesai dengan Kezia."
"Selesai? Kenapa?"
"Karena aku nggak akan bisa mengubah keputusan Opa." balas Luki.
Denok tersenyum miring lagi dan menatap Luki dengan geli. "Omongan kamu kayak bukan lelaki usia tiga puluhan. Mau kamu nekat pun memperjuangkan pacarmu nggak masalah, selagi kamu punya keberanian dan tanggung jawab."
Luki baru saja terkena umpan.
"Apa aku terlihat nggak punya keberanian dan tanggung jawab? Di sini aku melakukan tanggung jawabku sebagai tunangan kamu, D, kalau kamu lupa."
"Itu dia, hubungan kita hanya sebatas transaksi dan tanggung jawab saja." timpal Denok. "Maknanya apa? Nggak ada, tapi karena kamu mencoba untuk berhubungan denganku, aku nggak bisa bayangkan gimana perasaan pacarmu kalau tahu aku dan kamu malah merajut hubungan. Kesal yang ada."
Luki menghela napasnya pasrah. "Ini namanya, aku memilih kamu, D."
"Masih terdengar asing di telingaku,"
"Yah, ya sudah." ujar Luki mendorong piting kosongnya. "Jangan dipaksakan, nanti lambat laun juga kamu mengerti."
"Sekarang juga mengerti, kok."
Wajahnya begitu polos ketika melakukan pembelaan diri bahwa dia mengerti. "Ngerti apa?" tantang Luki.
Denok menyangga wajahnya dengan manis dan tersenyum tipis. "Kamu dan aku nggak saling cinta, kalau sampai nanti tetap nggak ada perasaan satu sama lain di antara kita. Jangan coba untuk maju ke dalam hubungan pernikahan, aku nggak mau. Kalau ada saatnya—dan ternyata jodoh kamu adalah pacarmu, aku akan melepaskan kamu."
Luki mengangguk mantap. "Dengan begitu, aku juga akan melepaskan kamu."
Baru saja Denok akan menjauhkan wajahnya, Luki segera menangkap pergelangan tangannya dan menahan Denok di tempatnya. "Tapi untuk saat ini, kamu milik aku, paham?"
Luki menatap kedua mata Denok yang bersih dan iris matanya membulat seketika. "Paham." jawab Denok kepadanya. Dan Luki, bisa merasa lega akhirnya.
***
a/n:
Memusingkan tujuh belas! Sumpah so player banget si Luki.
"Omongan kamu kayak bukan lelaki usia tiga puluhan." — Denok.
Menang agak lain nih Luki Amidjaja. Ente kadang-kadang ente, maunya Denok fall in love for vice versa sama dia kali ya.
Denok right now.
27 November 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
p.s: udah ya double updatenya wkwkwk, terima kasih yang sudah nyimak curhatanku di part sebelumnya wkwkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro