Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Pembicaraan serius

Denok menjemput Luki pukul enam sesuai permintaan pria itu. Kedatangan pria itu di bandara berhasil membuat Denok emosi, sebab di sisi lain dia menunggu, Luki ternyata memberikan jadwal yang salah—alias sengaja.

Dia menghabiskan dua jam di bandara hanya untuk menunggu kedatangan Luki. Sial. Dia dikerjai oleh pria tua itu.

"Maaf, menunggu lama ya?" ujar Luki yang baru saja memasang seatbelt dengan wajah tanpa dosa.

Denok hanya bisa menghela napas. "Mau pulang kemana ini?"

"Apartemen saya,"

"Senopati?" tanya Denok lagi.

Luki mengangguk. "Iya, kamu sudah makan?"

"Belum, dan saya belum makan dari pagi. Saya baru saja bimbingan dengan dosen di kampus, setelah lihat jam, saya panik—takut telat jemput kamu. Dan ternyata kamu malah ngerjain saya. Tadi, saya mau beli makanan ringan buat ganjel perut nggak bisa, parkiran bandara mendadak penuh." omel Denok jujur tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Biar saja si Luki Amidjaja itu merasa bersalah.

Dan ternyata, serangan itu benar membuat Luki merasa bersalah. Sudah dua kali, entah kenapa dia selalu membuat anak kecil ini kelaparan. Padahal, Luki tidak pernah bermaksud untuk membuat Denok menunggunya sampai kelaparan seperti ini apa lagi setelah melihat kondisinya yang benar-benar kuyu.

Luki berdeham demi meredakan rasa canggung, di lihatnya sekeliling mobil kecil milik Denok, mini cooper berwarna hitam itu, dan draf skripsi yang bisa Luki lihat berada di jok belakang.

"Maaf," gumam Luki. "Ya sudah, cari restoran terdekat dan kita makan dulu."

Denok menggeleng. "Nggak doyan,"

"Terus kamu mau makan apa? Saya ikut mau kamu saja deh." Luki berusaha mengalah dan ingin menyenangkan anak kecil itu.

"Saya..." lalu suara perut keroncongan Denok bunyi begitu saja dan membuat Luki tercengang.

Tak habis dari situ saja, wajah Denok sudah merah padam karena menahan malu.

"Kamu..." Luki menggerakkan kepalanya kaku dan tersenyum tipis. "Selapar itu, ya? Berhenti ke pinggir, biar saya yang nyentir."

"Ng—nggak usah!" tolak Denok panik. "Saya masih kuat kok,"

"Maaf," Luki tanpa sadar melarikan tangan kanannya menuju puncak kepala Denok dan mengusapnya perlahan di sana. "Maaf, gara-gara saya kamu harus menahan lapar, saya sengaja mengerjai kamu, semua ini karena saya. Maaf."

Denok melepaskan tangan Luki yang ada di puncak kepalanya dan menggeleng lemah. "Jangan lebai,"

"Di apartemen saya nggak ada apa-apa, Denok. Ayok, kita cari makanan apa pun yang kamu mau."

Dan kedua mata Denok menangkap satu restoran siap saji, Hokben. Apalah itu, karena Denok merasa lapar sekarang.

Tanpa banyak berkata, Denok menyalakan sein kiri dan membelokkan mobil menuju halaman parkiran restoran siap saji itu.

"Hokben?" tanya Luki tak percaya.

Denok melepas seatbelt-nya. "Iya, kenapa? Ada yang salah?"

Bahkan Luki belum pernah memakannya seumur hidup. Yang Luki tahu, restoran siap saji ini adalah salah satu junk food yang disukai bocah, bahkan beberapa dekor balon di dalamnya membuat Luki bergidik ngeri.

"Saya belum pernah—"

"Tadi katanya terserah saya?" bantah Denok.

"Oke-oke!" Luki memilih mengalah dan ikut turun.

"Kamu mau pilih yang mana?" tanya Denok canggung.

Keduanya berdiri di hadapan kasir sambil melihat menu yang tersedia di plang atas. "Samakan saja." Luki bingung melihat makanan tidak jelas itu.

Akhirnya Denok mengangguk. "Bento spesial 3 dua, value set 2, minumnya air mineral aja ya, Mbak."

Luki mengeluarkan dompetnya dan memberikan kartunya pada Denok.

Denok menggeleng dan menolak kartu yang Luki berikan. "Nggak usah, dari saya saja—"

"Hitung-hitung saya bayar ongkos karena kamu sudah jemput saya." balas Luki cepat.

Sialan, apa katanya tadi? Bayar ongkos karena sudah jemput dirinya? Denok menahan kekesalannya dan ingin menjambak rambut Luki, namun naasnya pria itu malah mendekati telinganya dan berbisik.

"PIN-nya, enam belas dua puluh dua puluh."

Setelah mengatakannya pria itu langsung melipir mencari tempat duduk, pin atm yang payah, batin Denok.

Mudah sekali untuk diingat.

Denok agak kesal, tapi sepertinya manusia tua seperti Luki memang harus diajari makan junk food seperti ini, apa lagi... melihat proporsi tubuhnya saja Denok tahu bahwa Luki amat menjaga tubuhnya.

"Sejak kapan kamu doyan makanan beginian?" tanya Luki dengan sangsi melihat nasi putih yang masih mengepul di atas meja.

"Sejak dulu, enak banget tahu!"

"Seperti bocah saja, kamu dan anak kecil yang sedang merayakan ulang tahun di belakang nggak ada bedanya."

Denok mengangkat matanya dan membenarkan apa yang Luki lihat, ada beberapa anak yang tengah menikmati perosotan dan yang lainnya berteriak serta berlari dengan heboh.

Apa memakan Hokben menjadi penentuan bahwa umur kita masih kecil dan belum dewasa? Luki Amidjaja ini memang tidak bisa mengetahui rasa nasi pulen Hokben yang bikin candu, belum lagi saladnya. Ah sudahlah.

Denok membuat gerakan salib di dada dan berdoa hingga membuat seorang Luki Amidjaja tertegun. Dia melihat bagaimana Denok mensyukuri makanan yang ada di hadapannya dan menyelesaikan doa dengan kata Amin yang bisa Luki dengar.

Setelahnya, gadis itu makan dengan tenang tanpa menghiraukan pandangan Luki kepadanya.

Luki mengambil sendok dibandingkan harus makan dengan sumpit kayu yang—sudahlah, jangan ditanya lagi karena lama-lama dia bisa tercemar pergaulan bocah seperti Denok.

Ketika nasi hangat dan pulen itu masuk ke dalam mulutnya, Luki mengunyahnya perlahan dan merasai rasa asing yang baru dia temui.

Kok... enak?

Luki menatap Denok sekali lagi yang fokus dengan makanannya, bento yang di pesan oleh Denok adalah makanan sederhana dengan menu sedikit. Tapi entah kenapa Luki...

"Enak, kan?" tanya Denok tanpa mengangkat wajahnya.

Luki mengangguk tanpa berbohong, dia akui ini enak dan nasinya bisa membuat kecanduan. "Nasinya enak."

Denok hanya tersenyum tipis. Keduanya melanjutkan makan dengan tenang, tanpa Luki sadari, Denok juga ikut mengamatinya dalam diam sejak tadi.

Dan Denok menyukai bagaimana cara makan Luki yang rapi dan tidak terburu-buru.

***

Sebenarnya Denok tidak mau masuk ke dalam apartemen Luki, dia berniat menurunkan pria itu di depan lobi dan lanjut saja pulang, tapi bagaimana jika ternyata kata alasan; bersalah karena telah membuatnya kelaparan dan menunggu lama dijadikan pria itu untuk menahannya?

Denok sama sekali tidak suka suasana canggung seperti ini, meskipun di hadapannya terdapat televisi yang menyala karena dengan inisiatif Luki membuka akun Netflix—apa pria itu melakukannya agar Denok betah? Tentu saja tidak.

"Mau kopi? Aku akan buatkan." kata pria itu yang baru saja keluar dari kamar dan terlihat lebih segar.

Denok mengangguk saja. "Boleh,"

Luki pergi menuju dapur, sementara Denok mengangkat kakinya dan berusaha konsentrasi dengan film yang dia tonton. The Kissing Booth, Abby sudah menontonnya dan memberikan review bahwa cowok jangkung seperti Noah Flynn bisa memeluknya dengan hangat, bahkan Abby membayangkan bahwa dia akan digendong setiap hari.

Memang gila.

Setelah dilihat-lihat, tubuh si Luki Amidjaja dan Noah Flynn tidak ada bedanya. Itu kenapa jika Denok berdiri di sebelah Luki dia akan merasa seperti kurcaci.

Astaga. Kenapa Denok baru sadar sekarang? Dan kenapa juga pertumbuhan tulang laki-laki bisa luar biasa dibandingkan pertumbuhan tulang perempuan?

Denok hanya memiliki tinggi sekitar seratus enam puluh lima, dan Luki Amidjaja? Denok tidak tahu.

Luki datang membawakan dua couple mug berisikan kopi yang sudah dibuatnya tadi. Kedua mata Denok menyipit, cih bisa-bisanya dia diberi minum dengan gelas couple menjijikkan seperti ini? Pasti ini gelas milik Luki dan pacarnya.

"Buat kamu caramel latte saja, saya kopi hitam." Luki memberikannya dengan senyuman.

Sial, sejak kapan Denok suka caramel? Ah! "Terima kasih," rasanya Denok tidak enak kalau akan menolak.

Denok meniup sebentar dan mulai merasai bagaimana kopi rasa caramel latte itu. Dan rasanya... tidak bisa dijabarkan. Caramel latte akan di blacklist olehnya.

"Denok," panggil Luki dengan serius.

Denok menoleh dengan wajah datar. "Ya?"

"Saya mau tanya kamu serius, anggap saja kita dua orang asing yang tidak saling kenal—meskipun ya," Luki kelihatan salah tingkah, tapi Denok juga membenarkan apa yang pria itu katakan. "Kita berdua, akan lebih sulit jika kita—maksudku,"

Sial Luki mendadak gugup karena ditatap secara terang-terangan oleh Denok apa anak kecil ini tidak punya rasa sopan santun?

"... saya ingin menghargai kamu, apa menurut kamu masuk akal jika kita berdua menikah?"

Denok memandangi Luki dengan sabar dan mengulum bibirnya, mau dipikir darimana pun juga hubungannya dengan Luki tidak berprogres kok. "Nggak, karena saya juga bingung, kenapa juga saya harus menikah dengan kamu?"

"See?" Luki menjentikkan jarinya di hadapan wajah Denok. "Jadi, secara tidak langsung kita berdua memang tidak menginginkan pernikahan itu terjadi, kan?"

Denok mengangguk jujur. "Sama seperti kamu, saya juga menyukai orang lain. Mungkin kamu selama ini sudah berusaha menjaga perasaan pasangan kamu. Seperti apa yang saya bilang sebelumnya, kalau kamu memang ingin lanjut dengan pasangan kamu ya jelas harus kamu yang berjuang." tambah Denok dengan santai. "Akhir-akhir ini saya baru sadar kalau saya punya perasaan sama orang lain."

"Siapa?" tanya Luki.

"Sahabat saya sendiri, Benjamin Pawaka."

Luki mengerutkan keningnya dan langsung mengetahui siapa yang Denok maksud. "Lelaki yang mengajak kamu pergi kemarin?"

Denok mengangguk lagi. "Iya, dia bahkan menawarkan kalau saat nanti saya lepas dari kamu, dia siap dengan saya."

"Siap untuk apa?!" balas Luki cepat.

Denok terheran-heran dengan respon berlebihan itu. "Siap menjadi kekasih saya, meskipun dia agak bad boy dan perempuannya banyak. Itu kenapa saya ragu untuk menjalin hubungan dengan dia, tapi akhir-akhir ini... dibandingkan kamu saya lebih pilih dia saja."

Luki mengumpat dalam hati, niatnya bicara serius untuk mengajak kompromi malah mendengarkan curhat anak kecil konyol ini!

"Tapi kamu tunangan saya!" sahut Luki terang-terangan.

"Itu dia..." gumam Denok dengan bingung. "Saya nggak mau terbebani dengan perasaan ini, dia juga belum tahu soal perasaan saya."

Luki menggelengkan kepalanya cepat, akal sehatnya mendadak hilang. Jadi, Denok Kanara Djatiwibowo ini memang tidak pernah tertarik padanya. "Dengar, Denok. Untuk saat ini, keluargamu dalam posisi terancam."

"Saya tahu,"

"Itu kenapa, saya dan kamu harus bersatu."

"Tapi nggak dengan pernikahan." balas Denok mengangkat wajahnya lagi dan membalas tatapan Luki. "Kita berdua nggak saling cinta, dan saya juga butuh lelaki yang mencintai saya. Dan sepertinya Ben, sahabat saya mencintai saya."

Luki tersenyum miring. "Baru sepertinya," gumamnya.

"Apa?"

"Hah—nggak," Luki berdeham cepat dan menarik napasnya. "Lalu maumu apa?"

"Saya nggak mau apa-apa, saya kebingungan."

Memang gadis itu adalah gadis polos yang sesungguhnya. Itu kenapa Adjie menyayangkan kenapa Denok harus bersatu dengannya. Sementara gadis yang dia tatap kini memang kelihatannya tidak pernah mengalami jatuh cinta—pdkt—pacaran—putus dan hal-hal remeh yang seharusnya dilakukan saat remaja.

Mendadak, keinginannya untuk mengajak dan memberikan pengalaman remaja untuk Denok kian tinggi, apa gadis itu akan menerimanya?

"Kamu penasaran soal pacaran tidak?" tanya Luki.

Kening Denok berkerut, dan kedua alisnya menyatu. "Pacaran?"

"Ya berpacaran," demi Tuhan Luki adalah pria dewasa dan baginya pembicaraan seperti ini sangat menggelikan. "Pertama kali saya pacaran adalah saat SD, itu pun cinta monyet."

Betapa bangganya, batin Denok. "Hebat, seharusnya anak SD nggak usah kebanyakan gaya." gerutunya.

Luki tertawa dan mengangguk. "Harusnya, makanya kamu belum pernah merasakannya, kan?"

"Untuk apa juga..." Denok menjawabnya dengan lelah.

"Untuk pengalaman, mau saya ajarkan tidak?" tawar Luki kepadanya. "Jadi, kalau suatu saat nanti kamu akan bersama sahabat kamu yang bernama Ben itu, kamu tidak akan kepayahan soal urusan percintaan."

"Apa saya harus melakukannya?" tanya Denok lagi yang ragu.

Luki mengangkat bahunya acuh. "Kalau kamu merasa butuh, saya siap jadi pacar kamu. Untuk sementara."

Denok menatap Luki dengan tatapan gamang sementara pikirannya berpikir dengan keras. Apa yang Luki tawarkan itu akan menjanjikan? Dan apa dengan tawaran itu bisa membantunya?

"Apa yang harus dilakukan oleh orang pacaran?" tanya Denok.

Tanpa Denok sadari, Luki berteriak dalam hati karena sudah merasa menang karena telah memancing gadis polos sepertinya. "Pertama, ubah gaya bicara kita berdua. Tidak ada saya, tapi—aku dan kamu."

"Lalu?"

"Aku akan memanggil kamu dengan sebutan sayang,"

"Menggelikan," gumam Denok dan mengangguk meminta Luki melanjutkan. "Lalu?"

"Aku akan membuat kamu nyaman dan jadi perempuan yang paling aku kasihi, setiap waktu yang kita lewati akan diisi dengan kenyamanan, dan aku akan memberikan keuntungan emosional pada kamu." jawab Luki dengan lugas.

"Apa itu sesuatu hal yang menjanjikan?" tanya Denok yang jelas terlihat ragu mendengarkan omong kosong yang Luki jabarkan.

Luki mendekatkan diri dan mencondongkan tubuhnya ke arah Denok hingga Denok merasa serba salah dan mundur perlahan. "Menjanjikan dong, karena nantinya perasaan kita akan saling terbalaskan."

Denok menatap wajah Luki yang begitu dekat dengannya, aroma mouth wash Luki bisa terasa olehnya, dan bagaimana napas hangat yang lembut menerpa wajahnya membuat Denok menahan napasnya tanpa ia sadari. Jantungnya berdegup dengan cepat.

Kedua mata Luki turun menjelajahi bibir Denok yang tidak memakai pewarna apa pun, dan begitu jelas matanya hingga bisa melihat ada beberapa tahi lalat kecil yang menghiasi wajah cantik itu.

"How?" tanya Luki dengan suara dalamnya.

Denok menatap Luki kebingungan, dan melihat kebingungan yang ada pada wajah gadis itu satu-satunya hal yang ingin Luki lakukan adalah, menjemput bibir itu untuk ia kecup.

Dan Luki benar-benar melakukannya, tanpa penolakan, Luki mencium bibir Denok dan membuat gadis itu mematung. Kedua tangan Denok yang ada di udara hendak menyentuh kedua bahunya namun Luki menangkapnya dengan lembut, ciuman itu belum dia gerakkan sama sekali, melihat respons Denok yang hanya diam saja, Luki mengambil alih untuk menggerakkan bibirnya melumat bibir Denok.

Denok masih diam, Luki mengangkat tangan kanannya dan mengusap pelipis Denok agar meminta gadis itu rileks, Luki melihat Denok memejamkan matanya begitu erat, seolah ia takut akan kehilangan sesuatu.

Sebab saat ini, Luki memberanikan dirinya dan menarik dagu Denok ke bawah akan bibirnya terbuka. Melesakkan lidahnya ke dalam sana dan merasai rongga mulut Denok yang hangat, ciuman itu adalah ciuman paling amatir yang pernah Luki dapat, dan sebagai pria dewasa, dia belum pernah menemukan perempuan yang begitu clueless hingga tidak tahu caranya berciuman.

Lidah Luki membelai langit-langit mulut Denok hingga membuat gadis itu berjengit menerima ciumannya, Luki menggenggam tengkuk Denok dan mendekatkan ciuman mereka hingga menjadi ciuman yang dalam.

Dada Denok menabrak dadanya, Luki mengangkat sedikit tubuh Denok yang terasa pas dalam pelukannya. Astaga, Luki belum pernah merasakan tubuh yang begitu enak untuk dia peluk seperti ini, bahkan Kezia pun tidak.

Luki melepaskan ciumannya dan menatap wajah merah padam Denok dengan tatapan mata sayu yang sedang menahan tangis di hadapan Luki. Gadis itu terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan padanya.

"You got your first kiss with me, please remember this for forever." ujar Luki di hadapan bibir Denok dan mencium pipi kiri Denok dengan hangat.

Denok mematung, dia... baru... saja... mendapatkan... ciuman... pertamanya.

***

a/n:

Diterima aja belom udah main nyosor aje lo Luki! Memang nih laki kurang adab. Oh ya, takutnya ada yang salah paham kenapa si Denok belum pernah pacaran, karena dia dari dulu sekolahnya home schooling, gesss... temannya aja ya itu-itu doang, ketemu si Abby waktu SMA.

Jadi memang anaknya kurang pergaulan, alias kuper. Dia mulai mengasah banyak sifat orang-orang ketika dia kuliah dan ambil jurusan psikologi, makanya meskipun belum ada pengalaman si Denok ini nggak bego-bego amat. Cuman Lukinya aja yang terlalu meremehkan.

Mana dibuat kelaparan mulu. Jujur, di sini ada yang pernah jalan sama cowok terus cowoknya nggak peka kalau kitu lapar? Wkwkwk. Kalau ada, udah blacklist aja, urusan perut tuh kalo ngedate harusnya jadi nomor satu sih kalo menurut aku:))))

Denok to Luki.

p.s: Happy satnight, yang punya pacar anda beruntung. Kalo pacar anda gepeng, ya nggak apa-apa:) selagi halu itu gratis.

Yang ini pacar gepeng aku. Nggak ngerti lagi, emak lo waktu hamil lo ngidam apa sih Jeeee, sampe burem aja masih aja ganteng:)

26, November 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro