1. Keluarga besar
Luki Amidjaja sudah hidup dalam sangkar emas sejak dia kecil, privilege keluarga yang manjur, nama yang besar, dimudahkan dalam segala hal hingga tidak pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya. Bagi Luki, apa sih yang sulit? Tidak ada yang sulit baginya, dengan otak di atas rata-rata Luki bisa membuat Opa, kakeknya yang sudah berusia delapan puluh tahun itu selalu merasa bangga kepadanya.
Bagi Luki, manusia memang harus memiliki sinarnya sendiri, meskipun Luki tahu semua manusia pada dasarnya punya sinar yang harus dikembangkan sendiri. Tapi cara kita untuk mendapatkan sinar adalah—harus berani keluar dari zona teduh atau kegelapan. Bagaimana bisa kita mendapatkan sinar kalau kita selalu diam di tempat tertutup?
Itu kenapa, sejak muda Luki tidak pernah ada di rumah. Sejak kecil, Luki tidak pernah tinggal bersama orang tuanya, menghabiskan waktu terbaik, mendapatkan petuah ataupun nasihat untuk kehidupannya sehari-hari. Tidak, Luki tidak mendapatkan itu semua.
Seperti yang Luki sudah jelaskan tadi, dibandingkan seluruh kenikmatan hidupnya yang Luki miliki, Luki memiliki segudang tanggung jawab yang sudah dia terima, bahkan sebelum Luki mengerti apa kata dari tanggung jawab itu sendiri.
Mengapa demikian? Keluarganya, membentuk Luki menjadi karakter yang keras. Istilah perbedaan gender selalu dihubungkan bagaimana kuatnya gender di kalangan sosial, hal semacam itu sudah ada karena stereotipe yang membuatnya. Itu juga yang membuat Luki merasa bahwa perbedaan gender ternyata penting dalam kehidupan.
Ada yang pernah bicara kalau, semakin kamu kaya, maka semakin sedikit keturunan yang akan dilahirkan. Dan hal itu berlaku di dalam keluarga Amidjaja.
Rajasa Amidjaja, Opanya memiliki tiga anak laki-laki. Papanya, adalah anak sulung Amidjaja, Gianjar Amidjdja. Lalu anak kedua Opanya, Pamannya—Tjarda Amidjaja ayah dari sepupunya Koentoeadjie Amidjaja, dan Paman keduanya—Sienggih Amidjaja ayah dari dua sepupu lainnya, Laksmana Amidjaja dan Martha Amidjaja.
Terang saja, dari ketiga sepupunya Luki adalah yang tertua. Itu kenapa, kediaman utama keluarga Amidjaja yang berada di Pondok Indah mendadak ramai karena perintah Rajasa Amidjaja yang menginginkan anak, menantu dan cucunya berkumpul.
Sialnya, Luki sudah membatalkan meeting bersama para board members di pulau Bintan. Sudahlah, semuanya mengesalkan. Awas saja pikir Luki, kalau Opanya malah membuat pengumuman tidak penting.
"Berasa mau dapat pengumuman harta warisan," celetuk Martha, sepupu perempuannya yang kini baru saja datang menenteng dua paper bag, Hermes yang bisa Luki tebak apa isinya dan berapa uang yang telah Martha keluarkan untuk tas kulit buaya itu.
"Lo doain Opa meninggal?!" sahut Koentoeadjie, si artis tanah air yang lebih memilih menyusahkan hidupnya di dunia industri.
Bagi Adjie, haram hukumnya menjadi kacung Luki Amidjaja. Dan bagi Adjie juga, sudah sepatutnya hidup Luki lebih sulit karena memegang tanggung jawab yang Rajasa limpahkan kepadanya. Jika sudah seperti itu, mendadak Luki menyesal kenapa diantara ketiga sepupunya hanya dia yang selalu terlihat pintar.
"Bukan doain Opa meninggal, umur kan, nggak ada yang tahu," Martha mengangkat bahunya acuh. "Umur Opa sudah delapan puluh, terus kalau sewaktu-waktu drop gimana?"
"Oma di surga ketar ketir dengar ucapan kamu yang nggak sopan itu, Martha." sahut Laksmana si manusia lurus.
Saking lurusnya, itu kenapa Laksmana masih terlihat normal saat zaman co-ass meskipun dihadapkan stase forensik dan bertemu dengan cadaver setiap harinya. Manusia itu, akan mengatakan bahwa cadaver adalah guru terbaiknya.
Luki melirik jam tangannya dengan kesal, dia sudah membuang banyak waktu di kediaman utama keluarga Amidjaja ini.
Ibunya, Ruth Helena mengusap bahunya dengan senyuman senang. Tentu saja, melihat bagaimana wajahnya yang sumringah karena melihat putra sematawayangnya yang tengah duduk manis di rumah tanpa disibukkan dengan pekerjaan.
"Sudah makan?" tanya Ruth pada anaknya sendiri.
Luki mengangguk. "Sudah,"
"Pasti kamu cuman makan kudapan?"
"Aku nggak lapar, Ma."
"Ayolah..." suara ibu Laksmana dan Martha yang kini ikut duduk di sisinya. "Tante sudah lama nggak ketemu kamu, Luk.. sehat? Sibuk mulu kamu, nggak pernah ingat kasur?"
Luki terkekeh pelan. "Aku selalu butuh kasur, Tante."
"Butuh kasur dan cewek," celetuk mulut kurang ajar Adjie.
Dua wanita di sisinya mendadak menatap Adjie dengan tajam. Memang cari mati manusia itu.
"Kamu kali yang begitu?!" cetus Virginia, Tantenya itu pasti tidak akan melepaskan Adjie dengan mudah. "Tante bilangin ke Mami kamu lho!"
Adjie tertawa puas melihat Virginia menakut-nakuti dirinya. "Tante, Mami bilang aku harus cepat menemukan perempuan, bahkan dia minta cucu terus."
"Buat cucu doang gampang, menikah yang susah." tambah Martha.
Pusing sudah kepala Luki. Luki sadar dia sudah tua, dan alamat setelah ini dia yang di ledek.
"Noh si tua!" sahut Martha dengan seringai jahilnya. "Mamas Luki sudah siap menikah, kelihatan dari rona wajahnya sudah siap membimbing istri."
Sialan, awas saja pikir Luki. Jika Martha merengek kepadanya, Luki tidak akan mendengarkannya.
"Luki sudah siap berkomitmen?!" sahut Adjie yang dramatis. "Gila ini, gila..."
"Memang kenapa sih, lo, nggak mau berkomitmen?" tanya Laksmana yang ikut penasaran padanya.
Luki menghela napasnya, Mamanya menggenggam tangan Luki merasa resah mendengarkan kata-kata Adjie. Komitmen? Persetan, semua itu hanya bualan semata.
Luki melirik bagaimana Ruth tengah tersenyum menutupi rasa kecewanya. Meskipun Papanya sudah kembali ke rumah, dan memperlakukan Mamanya dengan baik, Luki tidak bisa menaruh kepercayaan lagi pada Gianjar Amidjaja.
"Yang sudah berjanji di depan Tuhan saja berani melanggar, itu adalah janji yang suci dan besar. Komitmen bukan apa-apa, Laksmana." jawab Luki dengan tegas.
Merasa salah karena telah menggiring pembahasan sensitif, Adjie berdeham dan melihat Pamannya, Sienggih Amidjaja yang tengah sibuk memasukkan tembakau kering ke dalam lintingan rokoknya.
"Luki, jika orang tua salah bukan berarti kamu harus mengikutinya, manusia adalah tempat ketidaksempurnaan. Salah, adalah wajar, dan salah artinya menunjukkan bahwa kita sejatinya manusia yang tetap harus kembali kepada Tuhan dan meminta jalan terbaik pada Tuhan," jelas Virginia kepadanya. "Nggak semua yang terjadi di dunia ini buruk, Luki. Buktinya, bertahun-tahun lamanya, yang Papa kamu cari tetap Mamamu."
Luki mendengus dengan senyuman sinis. "Aku saja nggak paham kenapa Mama memberikan kesempatan kedua pada laki-laki bajingan seperti Papa."
"Luki!" Ruth menahan putranya agar tidak kurang ajar. "Jangan bilang kamu akan melakukan hal—"
"Aku belajar dari sang guru, Ma." balas Luki lagi dengan sinis.
"BELAJAR ITU DARI PENGALAMAN, GURU SAJA BISA BERBUAT SALAH!"
Suara besar Opanya yang baru saja datang membuat semua orang terkesiap dan aura ruangan mendadak serius. Luki menghela napasnya dengan lega, bagus sekali pikirnya semoga saja pertemuan ini dibuat cepat.
Opanya berjalan bersama asisten pribadinya, Gana yang membawa satu map hitam di lengannya.
Tongkat kayu yang dibawa oleh Opanya seperti memiliki jampi-jampi. Tahu kekuatan magis? Luki pikir, Opanya pasti bisa mengendalikan kekuatan. Buktinya, dia pernah senurut itu pada Opanya hingga terjebak di Traghana Industry dan Amidjaja Petroleum Corp., memusingkan saja.
Traghana Industry adalah perusahaan investasi milik Luki, sementara Amidjaja Petroleum Corp, memang tanggung jawab yang harus Luki bawa seumur hidup. Dua sepupu laki-lakinya itu, hanya parasit yang tidak bisa diandalkan. Pada akhirnya, Laksmana lebih memilih merger dengan Genesis Hospital Grup, sementara si curut satu bernama Koentoeadjie, suka dengan dunia hiburan dan wanita yang banyak memuji dirinya.
"Sudah kumpul semua?" tanya Opanya lagi. "Terkecuali, Tjarda dan istrinya Penelope yang tidak ada di sini." kali ini, Rajasa menyindir cucunya Koetoeadjie yang tengah menyengir.
"Opa... Mami sama Papi kan masih di Barcelona,"
"Ya, Barcelona sekarang menjadi rumah Tjarda. Dia lupa Tanah Air!"
"Lagian Opa, Adjie sudah terhitung menjadi suara yang sah mewakili Om Tjarda dan Tante Pene," cetus Martha kali ini.
Lalu Rajasa mengetukkan tongkatnya ke atas lantai. "Martha!" serunya dengan emosi kepada Martha. "Kamu buat masalah di Kalimantan? Opa dapat laporan dari Gana kamu ribut dengan preman pangkalan sana, kamu itu kenapa, sih?! Kenapa preman pangkalan kamu ajak ribut?!"
"Mereka yang ajak ribut duluan, Opa!" teriak Martha tak terima di salahkan. Virginia, dan Om Sienggih mengurut pelipisnya ketika tahu bagaimana putri mereka membuat masalah kembali. "Mereka mencegatku! Karena aku nggak memakai rompi proyek! Aku lupa, bahkan aku nggak bawa tanda pengenal karena aku pikir mereka semua akan mengenalku!"
"Gimana mau kenal?" sahut Adjie dengan tawa jahilnya. "Lo baru minggu kemarin turun lihat proyek!"
"Ah diam lo! Jangan sok tahu!" seru Martha emosi. "Gue ini rela panas-panasan di bawah sinar matahari Kalimantan dan terkena pukulan di punggung karena preman pangkalan yang bodoh! Ini semua gara-gara fasilitas yang jelek!"
"Kenapa lo jadi menyalahkan fasilitas, Martha?"
"Djie! Lo harus tahu, lo harus ke Kalimantan dan lo lihat bagaimana buruknya fasilitas di sana. Gue cuman bisa bawa mobil Pajero, harusnya gue bawa Jeep Wrangler, gila ya Mas Luki, harusnya transportasi Kalimantan diperbanyak dong!"
Luki berdecak malas. "Untuk apa fasilitas di Kalimantan diperbanyak, Martha? Proyek pembangunan kilang minyak itu sudah berjalan 90% rampung, bahkan akan selesai."
"Selesai?" Martha membulatkan matanya. "Tapi gue mendapatkan laporan kalau cooling towers di Kalimantan—"
"Sudah selesai," potong Luki, Luki tak mau Opanya memberikan ceramah tentang proyek yang akan selesai. "Gue mendatangkan cooling towers baru untuk sektor baru,"
"Kok nggak kasih tahu gue?!" protes Martha tak suka.
Bukan apa-apa, tapi setahu Martha, Luki sudah memberi tanggung jawab kepadanya untuk mengatur semua proyek Borneo, tapi sepertinya Luki tidak mempercayakan Martha agar bekerja sendirian.
"Ini baru kasih tahu," jawab Luki dengan enteng.
"Mas!" teriak Martha.
Rajasa menutup sebelah telinganya. "Arek wedhok iki... kamu itu perempuan, tapi suaramu mengalahkan speaker masjid komplek, Martha."
Adjie menahan tawanya, sementara Laksmana hanya bisa mendengus. "Aku ada operasi, nggak bisa lama-lama. Opa, dipercepat."
Rajasa mengangguk takzim. "Ya, aku baru ingat," lalu Rajasa menepuk bahu Gana dan berkata. "Berikan fotonya pada Luki,"
"Baik, Pak."
Gana berjalan melintasi meja ruang keluarga dan memberikan selembar foto seorang perempuan pada Luki.
Di sisi Luki, terdapat Virginia dan Ruth yang tengah menatap foto itu secara bersamaan. Mereka berdua menahan napas untuk sesaat, setelahnya Luki hanya bisa mengernyitkan keningnya dengan heran.
Apa yang spesial dari foto yang sedang dia lihat ini?
Hanya seorang perempuan, yang tengah menahan eskrim cone yang tengah dipegangnya agar tidak jatuh. Matanya tertutup karena tengah tertawa, sementara rambutnya terkibas karena angin. Foto itu berlatar jalanan yang tidak familiar bagi Luki, dan sudah dipastikan bukan di Indonesia.
"Cantik," puji Ruth.
Virginia di sebelah Luki mengangguk. "Sangat, dia gadis Indonesia tercantik yang pernah aku lihat,"
Luki mendesah, lalu meletakkan foto itu di atas meja.
"Bagaimana?" tanya Rajasa.
"Apa yang bagaimana?"
"Hmm..." Rajasa mengusap dagunya. "Gana, jelaskan pada Luki."
Gana mengangguk patuh. "Baik, Pak." Luki berdiri dengan tegak dan mulai menjelaskan. "Dia adalah Denok Kanara Djatiwibowo, putri dari Erlangga Djatiwibowo."
"Erlangga Djatiwibowo?!" seru Sienggih terkejut. "Bukannya dia sudah meninggal,"
"Faktanya.. Erlangga Djatiwibowo belum meninggal dunia, Pak." jawab Gana. "Beliau tengah dirawat di Singapura, karena stroke yang dideritanya. Edgar Djatiwibowo mengambil alih kursi direktur Erlangga Djatiwibowo, karena Edgar Djatiwibowo tidak menikah dan tidak memiliki istri maka—"
"He's a gay," ujar Luki dengan tenang.
Semua orang terkejut mendengarkan pernyataan Luki. Sementara Gana melanjutkan. "Betul, Edgar Djatiwibowo adalah seorang gay, namun beliau sangat menyayangi keponakannya, Denok Kanara Djatiwibowo."
"Keluarga itu..." Martha menggeleng dengan wajah kesal. "... keluarga itu penuh dengan skandal, Gana. Lo yakin kalau Denok-Denok itu putri kandung Erlangga Djatiwibowo?!"
Gana mengangguk. "Denok Kanara Djatiwibowo adalah putri kandung Erlangga Djatiwibowo, Non.. soal Ibunya, diketahui Nona Denok adalah putri dari Sisca Moestopo."
"Hah?!" Adjie menyahut kaget. "Sisca Moestopo artis? Seriusan lo, Gana?!"
"Pantas saja..." sahut Ruth. "Kita bisa lihat dan menilai, bagaimana cantiknya gadis itu. Jelas saja kalau dia putri Sisca Moestopo."
"Tapi... Sisca Moestopo sudah menikah dengan ketua DPR, Gana?" kata Adjie lagi yang tidak percaya.
Siapa yang tidak kenal Sisca Moestopo, sih? Artis senior yang cantik bukan main. Meskipun usianya sudah menginjak empat puluhan, kehidupan Sisca Moestopo yang glamor tentu disorot habis-habisan oleh media. Belum lagi, bagi netizen Sisca Moestopo adalah contoh wanita ideal.
Artis, mengenyam pendidikan S2, selain mendapatkan suami ketua DPR, Sisca Moestopo juga artis yang berotak. Jadi, tidak ada yang mungkin meragukan kepribadian seorang Sisca Moestopo.
"Menjadi simpanan konglomerat sudah biasa," tambah Sienggih kali ini. "Kehidupan Sisca Moestopo memang terlihat baik-baik saja dari luar, bahkan sangat baik. Dia tidak mungkin mengeluarkan aibnya di depan publik,"
"Lalu Denok ini apa?"
"Dia tidak pernah diakui," kata Laksmana lagi. "Sudah jelas, Denok Djatiwibowo dilindungi keras oleh keluarga Djatiwibowo."
Rajasa mengangguk, dia suka mendengarkan bagaimana kritisnya pemikiran anak dan cucunya. "Sudah, diskusinya selesai."
"Apa kita merger bersama keluarga mereka, Opa?" tanya Martha yang tak sabaran.
"Ya," jawab Rajasa dengan tenang. "Lebih tepatnya akuisisi,"
Adjie dan Martha terkejut. "What?!"
Laksmana dan Luki saling pandang, entah kenapa hati Luki mendadak tidak enak.
"Luki, nikahi gadis itu."
"WHAT?!" seru Adjie dan Martha.
Benar, kan? Pantas saja perasaan Luki tidak enak. Tidak heran, rasanya hawa kediaman utama memang tidak pernah enak.
"Kenapa harus aku?" tanya Luki balik dengan tenang.
Rajasa berdeham. "Hanya kamu yang bisa menolongnya, Luki. Dan hanya kamu yang bisa melindungi gadis itu."
Melindungi? Cih, Luki bahkan tidak yakin dengan apa yang dia dengar. Apa Rajasa tengah memujinya? Atau memang sengaja membuat Luki mengatakan iya?
"Kamu tidak bisa menolak Luki, sejak dulu kamu ingin mengacak-acak sistem Djatiwibowo, bukan? Ketika kita diberi jalan, tolong terima saja dan jangan banyak protes. Lagipula, usiamu ini sudah rentan—kalau kamu tidak dapat istri tahun ini, Opa rasa keberuntungan kamu akan habis."
Setelah mengatakan itu, Rajasa pergi meninggalkan ruang keluarga, sementara hati Luki memanas.
Denok,
Denok,
Denok.
Nama aneh itu!
Astaga, kepala Luki rasanya akan pecah.
***
a/n:
Widiwwww!
16, November 2022.
P.s: menuju akhir tahun, jadi ceritanya bakal fresh-fresh aja nih:'). Kalau ada yang mau request konflik boleh kok wkwkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro