Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Love Infusion

[hanya dipublish di http://wattpad.com/user/just-anny, jika menemukan cerita ini di situs lain artinya itu merupakan PLAGIAT/PENYEBARAN TANPA IZIN]

    

Tok tok tok

Seorang gadis dengan mata bulat, mengendap-ngendap depan jendela. Dia berusaha mengintip isi ruangan, tapi percuma. Jendela ruangan itu terlalu gelap untuk dilihat dari luar.

Tok tok tok

Inga—gadis itu—kembali mengetuk pintu dengan tangan kanannya yang ditempeli sebuah jarum. Bibirnya pucat, tapi wajahnya yang berkulit putih menampakkan pipi yang merona.

Tok tok tok

"Zaaa, Inga masuk ya." Gadis tadi memutuskan membuka pintu. Dia menyeret besi panjang beroda dengan bagian atasnya terpasang selang infus yang terhubung ke tangannya tadi.

Seorang laki-laki bernama Reza duduk santai di tempat tidur ala rumah sakit sambil membaca buku dengan sampul berwarna gelap

"Ih, Reza! Inga daritadi ngetuk-ngetuk pintu tau. Dasar telinga karet!" Inga duduk di kursi samping tempat tidur.

Reza menoleh. "Lo gak pernah diundang kesini, elah. Ngapain sih dateng terus?"

Gadis dengan bibir tipis itu tersenyum. "Inga, kangen." Inga memeletkan lidahnya dan tersenyum berbunga-bunga.

Reza menanggapi dengan acuh tak acuh. Ia kembali menikmati buku yang bersampul hitam itu.

Kamar ini hanyalah salah satu bagian kecil dari rumah sakit. Lucunya, begitu masuk ke dalam kamar ini, suasana rumah sakit tidak akan terasa begitu kental. Nuansanya di desain seperti kamar rumahan biasa.

Inga terbangun dari duduknya. "Reza gak bosen seharian diem di kamar? Gak pernah jalan-jalan. Diem mulu baca buku. Bosenin banget kegiatannya."

Reza melirik ke arah Inga dengan ujung matanya. Inga jalan-jalan di dalam kamar. Melihat jendela belakang yang terhubung ke taman, membuka kulkas dan memeriksa isi di dalamnya, lalu matanya tertuju pada remot tv.

"Aha! Gimana kalo kita nonton tv aja? Inga nyalain ya Za, tv-nya."

"Jangan!" Seru Reza sebelum Inga memencet remot itu.

Inga menoleh. "Loh? Kenapa jangan?"

"Gak, pokoknya gak boleh. Gue gak suka berisik."

Dengan wajah yang berseri-seri, Inga berjalan cepat dan duduk lagi di kursi. "Reza gak suka berisik? Gak suka keramaian dong? Reza introvert ya? Ih, kok sama? Inga juga. Inga gak suka tuh kalo harus ada di antara banyak orang. Kita cocok ya. Kayaknya jodoh deh."

Reza merengut. "Introvert? Elo? Gak salah? Sendirinya aja udah berisik. Mulutnya kayak bebek. Ngomong terus."

Inga mencubit kedua pipi Reza. Reza tersontak kaget. "Apaan nih?!" Ketus Reza.

"Dasar kurus item, mulutnya kayak biji cabe rawit. Pedes. Tapi anehnya, Inga suka! Gemes banget tau gak sih sama Reza? Suka, suka, suka, suka, ih!" Inga tersenyum puas setelah meninggalkan kemerahan di pipi Reza.

"Inga! Lo kalo gak pergi, gue panggilin suster nih. Pergi sana!" Reza menahan amarahnya.

Inga memeletkan lidah sambil cekikikan, kemudian berjalan pergi menyeret besi dengan infusnya.

.

.

--

Hari ini Reza operasi. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya dokter memberikan jadwal yang pas untuknya. Hari ini, sebelum pukul tiga sore.

"Huuu'uh. Inga pengen ikut nemenin Reza, tapi gak dibolehin suster." Inga merengek sambil memilin-milin ujung atasan piyamanya.

Reza mendengus kesal. "Lebay. Gue cuma operasi usus buntu. Siapa elo harus ngikut-ngikut gue?"

Inga—gadis yang baru beberapa hari Reza kenal itu—cemberut. "Kok gitu?! Kita ini sesama pasien harus saling nyemangatin, tau!"

"Modus. Bilang aja lo pengen deket-deket gue. Kalo nggak, kenapa coba lo datengnya ke gue? Pasien rumah sakit ini kan bejibun. Ck,ck."

Inga memukul bahu Reza keras-keras. "Duh," Reza mengaduh. "Lo bisa gak sih sekali-kali gak pake kekerasan?"

"Abisnya Reza ngeselin, tau! Kayaknya nanti Inga harus beli lakban deh. Biar mulut Reza gak bisa ngomong sekalian." Inga memeletkan lidahnya.

"Kalo lo kesel sama gue, ya gak usah nyamperin mulu lah. Lo hidup pusing amat!"

Inga menjewer sebelah telinga Reza. "Gak boleh bilang gitu! Reza harus seneng kalo Inga dateng!"

Reza geram. "Ingaaa! Sakit, tau! Kalo kayak gini caranya, gue terus deket sama lo bisa mati cepet."

"Reza ngeselin! Nyebelin! Gak peka!" Inga menyeret besi dengan selang infusnya, berjalan cepat menuju pintu.

Blam!

Reza bergidik mendengar suara bantingan pintu. "Ini nih yang bikin gue gak pernah ngerti sama cewek." Ucapnya lebih kepada dirinya sendiri.

.

.

--

Inga melangkah pendek-pendek sambil menyeret besi selang infusnya. "Reza, maafin Ingaaa." Ucap Inga begitu tiba dekat tempat tidur Reza.

Reza yag sedang tergeletak lemas, hanya mendengus. Kemudian, Reza membuang muka.

Inga menahan senyumnya. "Ih, Reza gemesin deh kalo lagi ngambek. Lucu. Bawaannya pengen Inga cubit terus bawa pulang."

"Pergi sana, lo berisik."  Ucap Reza pelan tanpa melihat ke arah Inga.

Inga duduk di kursi samping tempat tidur Reza. "Reza Dinendra, jangan marah, please." Inga menarik-narik ujung piyama Reza.

Mendengar rengekan Inga, Reza menoleh. Kemudian, Reza berdehem pelan. "Asal lo jangan berisik lagi."

Inga tersenyum, lalu mengangguk dengan semangat.

Reza tiba-tiba teringat saat kali pertama ia bertemu Inga. Hari itu adalah hari pertama Reza masuk rumah sakit. Kedua orang tua Reza yang sibuk menyebabkan dirinya lebih sering dititipkan pada suster.

Saat sedang sendirian duduk di tempat tidur sambil membaca buku, seseorang tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya.

Orang itu—Inga—terbengong ketika ia menyadari bahwa ia masuk ke kamar yang salah. Bukan hanya kamar, bahkan blok ruang yang salah. Begitulah akibatnya kalau desain blok ruang VIP perempuan sama dengan yang untuk laki-laki.

Sejak saat itulah setiap hari kamar Reza selalu didatangi oleh Inga. Inga selalu mengoceh banyak hal. Ribut berkali-kali, berantem berkali-kali, diusir berkali-kali. Tapi Inga selalu datang, datang, dan datang lagi.

.

.

--

Hari ini Inga sudah mengitari seluruh bagian di kamar Reza. Dirinya bosan. Reza yang selalu sibuk sendiri membaca buku selalu menghiraukan keberadaan Inga. Tak banyak yang bisa Inga lakukan. Bahkan hanya untuk menyalakan tv, Reza selalu melarangnya.

"Pantes aja Reza pake kacamata gitu, Reza baca buku sambil tiduran sih." Celetuk Inga.

"Reza gak sakit ya perutnya? Gak boleh baca buku dulu padahal ih. Reza kan baru beres operasi kemarin, emang gak pusing? Harusnya istirahat aja. Atau temenin Inga ngobrol, gitu." Inga terus saja mengoceh.

Reza masih saja menghiraukan ucapan Inga. Dirinya pura-pura sibuk dengan tulisan di buku yang sebenarnya tak bisa masuk ke kepalanya sama sekali.

"Zaaa, tanggepin Inga dong! Jangan cuek ih!" Inga menarik-narik lagi ujung piyama Reza.

Reza masih saja acuh tak acuh dengan rengekan Inga.

Inga mencubit lengan Reza. "Reza kurus! Reza Item! Inga lagi ngomong sama Reza, dengerin kek!"

"Aduh, Inga! Sakiiit!" Reza mengaduh sakit untuk perut bekas operasinya karena barusan dirinya bergerak terlalu berlebihan saat kaget dengan cubitan Inga.

"Ah. Ya ampun, Reza maafin Ingaaa." Inga merasa bersalah.

Reza menghela nafas jengah. "Lo mending balik ke kamar sendiri deh."

Inga menekuk bibirnya. "Gak mau! Inga mau nemenin Reza! Makanya Reza temenin Inga ngobrol dong! Inga berasa ngobrol sama bukan manusia. Kayak sama boneka. Bonekanya Mr. Bean aja tuh cokelat gelap gitu kayak kulit Reza!"

Reza geram "Inga berisik! Gue pusing denger lo ngoceh mulu daritadi!"

"Iya makanya jangan nyuekin Inga." Inga mencubit kedua pipi Reza. "Gemes banget tau gak sih sama Reza, duh!"

Dengan kekuatan seadanya, tangan Reza melepaskan cubitan Inga. "Lo tuh ya! Nyubit, mukul, nyubit, mukul. Terus aja kayak gitu. Gue bisa bonyok lama-lama deket sama lo. Serius deh, lo mending balik sana! Gue juga gak butuh lo!"

Inga menekuk bibirnya dengan wajah sendu. Ia hampir menangis. "Kok Reza ngomongnya gitu sih?"

"Gimana gak kesel coba gue? Kita ketemu baru beberapa hari lalu. Lo baru kenal gue, udah sok deket aja! Lo tuh gak tau malu, tau gak?"

Air mata Inga menetes. Tanpa membalas ucapan Reza, ia beranjak pergi dari tempat itu.

.

.

Reza kembali merubah posisi tidurnya. Kemudian, berusaha tidur dengan memejamkan mata. Beberapa saat kemudian dia merubah lagi posisinya, mencoba lagi memejamkan mata. Terus saja seperti itu.

Laki-laki—dengan wajah keturunan timur tengah—itu menatap langit-langit kamar. Kamar ini terasa sangat sepi. Harusnya Reza suka. Ia menyukai sunyi, yang berarti membenci keramaian.

Tapi, beberapa hari ke belakang selalu ada kebisingan tanpa diundang. Inga yang selalu berkunjung dan mengoceh seolah sudah menjadi kebiasaan tersendiri untuk Reza. Reza merasa aneh karena ia saat ini seolah kehilangan kebisingan itu.

Sudah dua hari berlalu semenjak Reza membentak Inga dengan hebat tempo lalu. Inga tidak pernah datang lagi. Ada rasa bersalah tersendiri yang menyelimuti hati Reza. Dia merasa dirinya keterlaluan. Dia merasa tidak enak untuk itu.

Reza merasa merindukan adanya Inga.

.

.

--

Reza mengikat kuat tali sepatunya, merapikan jaket kulit hitam yang dikenakannya, serta membetulkan posisi kacamata bingkai hitam di matanya. Ia mengacak pelan rambut hitamnya sebelum mengambil tas ransel dari tempat tidur.

"Udah siap?" Tanya seorang wanita umur empat puluhan yang datang dari arah pintu luar.

Reza mengangguk pelan lalu mengikuti arah wanita tersebut meninggalkan ruangan.

Langkah Reza tiba-tiba terhenti. "Ma," panggilnya pada wanita itu.

Wanita itu menoleh. "Kenapa?"

Reza diam berpikir. "Mama duluan aja, Reza ada urusan dulu."

.

.

--

Sudah beberapa menit berlalu sejak Reza tiba di depan suatu kamar yang terletak sama persis dengan letak kamar lamanya. Hanya saja kamar itu ada di tempat dengan blok berbeda. Reza sangat yakin ini tempatnya. Namun, ia hanya diam di depan pintu.

"Cari siapa?" Tanya suara perempuan dari belakang Reza.

Pria tinggi itu menoleh. "Ah, Suster. Hmm, penghuni kamar ini namanya Inga bukan?"

Suster tadi tersenyum. "Oh, cari Inga ya? Inga sebelumnya memang menginap disini. Tapi dua hari yang lalu sudah pulang begitu trombositnya naik."

Trombosit? Ah, gue bahkan baru tau kalo Inga dirawat karna demam berdarah. Batin Reza.

"Kalo gitu, saya permisi Sus. Makasih ya." Pamit Reza setelah tersenyum.

Reza berjalan menuju luar rumah sakit dengan lemah. Langkahnya pendek-pendek, sibuk berpikir.

"Nga, gue bahkan baru sadar kalo gue gak tau apapun selain nama lo. Gue gak tau harus nyari lo kemana sekarang."

Hari itu yang Reza tahu adalah, dirinya tidak akan lagi bertemu dengan Inga. Inga, satu nama yang akan sangat ia rindukan.

.

.

--

Dua minggu kemudian.

Sekolah yang ramai setiap jam istirahat itu biasa. Hingar bingar terdengar di setiap penjurunya. Koridor dipenuhi remaja berseragam putih abu yang berkeliaran. Kantin menjadi tempat dengan sasaran tertinggi yang padat penuh pengunjung.

Kalau bukan karena sore ini ada les renang, Reza malas pergi ke kantin. Di sana berisik, Reza tidak suka itu. Tapi perutnya harus diisi atau nanti dia tidak punya tenaga yang cukup di hari pertama latihan renangnya setelah bolos satu bulan lebih.

Saat berjalan mendekat kantin, langkah Reza terhenti. Ia merasa melihat seseorang yang tak asing. Dirinya sibuk berpikir. Kemudian langsung mencari orang tersebut hanya untuk memastikan. Mencari, mencari, dan terus mencari.

"Inga!" Panggil Reza saat ia akhirnya melihat gadis yang sedang memunggunginya itu.

Gadis tadi menoleh, kemudian terkaget sendiri. "Reza?"

Tanpa aba-aba, tanpa bicara, Reza langsung menghambur ke arah Inga dan memeluknya renggang.

Inga melepaskan pelukan Reza. "Ini di sekolah, banyak yang liatin. Main peluk aja, ih." Celetuk Inga.

Begitu sadar dengan tindakan refleksnya itu, Reza menjadi sedikit salah tingkah. "Eh, sorry." Ucapnya pelan.

Inga menghela nafas lalu mengangguk.

"Lo sekolah di sini? Sejak kapan?" Tanya Reza.

Inga mencubit kedua pipi Reza. "Sejak penerimaan siswa baru juga Inga udah ada di sini tau! Reza tuh keterlaluan, temen seangkatan sendiri gak dikenalin!"

Masih dengan pipi yang sedang dicubit Inga, Reza melotot. "Demi apa?!"

"Demikian sekilas info." Inga melepaskan cubitannya dengan wajah kesal.

"Lo kelas berapa, Nga?" Tanya Reza dengan tak percaya.

"Duh, dasar item! Kelas Inga itu cuma kehalang dua kelas dari kelas Reza. Inga kelas X-5, tau!"

Reza hanya bisa tercengang.

"Makanya Reza jangan cuma sibuk sendiri. Jangan cuma peduli sama diri sendiri. Reza gak tau kan kalo Inga suka Reza udah dari kapan? Dari penerimaan siswa baru Inga udah tertarik! Reza juga pasti gak sadar tiap hari Inga suka sengajain papasan sama Reza." Inga memeletkan lidah.

"Maaf, Nga." Reza menekuk bibirnya. "Maaf juga buat kejadian di rumah sakit waktu itu. Gue keterlaluan."

Inga mencubit lengan Reza. "Dasar item. Kurus. Mulut cabe. Gak peka. Bosenin. Inga tuh maunya lupa sama Reza. Maunya berhenti suka sama Reza, tau."

Reza meringis kesakitan. "Lagian lo juga sih, berisik banget. Kuping gue sakit, tau gak? Disuruh diem malah tambah ngoceh kayak bebek. Terus apaan tuh? Katanya suka sama gue? Gue bentak dikit aja udah ciut. Kenapa lo gak dateng lagi ke kamar gue, hah?"

Inga menekuk mulutnya. "Tuh kan Reza ngeselin lagi." Inga membuang muka.

"Nga, gue kangen sama lo. Mata bulet, mulut cerewet, tukang ngoceh, bawel, galak, suka nyubit, suka mukul. Bisa-bisanya coba gue suka sama cewek kayak lo gini, duh." Reza mengacak rambutnya frustasi.

Perlahan, Reza memegang kedua tangan Inga. "Hmm, Nga. Lo mau gak jadi pacar gue? Tapi kalo jadi pacar gue, jangan sering nyubit ya. Nanti badan gue memar tiap hari."

Inga menoleh kaget. Hatinya berdegup kencang. Pipinya merah merona.

Reza tersenyum lalu mencolek-colek sebelah pipi Inga. "Cieee, yang pipinya merah karna gue."

Bukannya menjawab atau melawan, wajah putih Inga semakin memperlihatkan warna meronanya.

"Gue baru tau Inga yang ceplas-ceplos bisa blushing juga." Reza cekikikan. "Kalo pipi merahnya gue cium bakal jadi semerah tomat gak ya?"

Inga melotot kaget.

Reza mengacak pelan ujung rambut Inga. "Bikin seorang Inga diem itu nyenengin juga ya ternyata."

Inga merengut. Kemudian dengan berani dia mendekatkan wajahnya ke arah Reza.

Cup.

Inga mengecup bibir Reza dengan kilat. Membuat Reza terdiam kaku karena kaget. Sekarang, pipi Reza yang berubah bersemu merah.

"Gak usah sok bikin orang blushing deh kalo Reza sendiri bisa kaget cuma karena Inga cium." Inga memeletkan lidah lalu mencubit hidung Reza. "Jadi pacar Inga harus betah-betah ya, Za."

Reza tersenyum lalu mengangguk.

THE END.

---------------

Cerita baru, yeay! Ini lama ada di draft, akhirnya publish juga. Buat yang tertarik baca karya gue dengan tipe yang sama sederhananya kayak ini, buka aja ya di works. Yang suka, vote ya!

Februari 2015,

just-anny


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro