Telepon untuk Masa Lalu
Aku melihat fotonya yang ceria dalam pigura; dengan rambut sebahu, mata bulat yang nyaris memejam, serta senyuman lebar. Manis. Aku ikut tersenyum, sedetik, lantas bahagia itu luruh, berganti kepahitan.
Aku yang duduk di tepi ranjang, dengan potretnya di tangan, kini aku menatap sepasang kaki telanjang di atas lantai kayu yang dingin. Mataku berembun. Rasanya sakit ketika menyadari bahwa wanita itu telah pergi. Wanita yang kucintai.
Seandainya aku lebih berani. Seandainya kita bersama. Seandainya dan seandainya yang lain, apakah masa depan bisa berubah? Mungkin, kini jari-jari manis kami telah dilingkari cincin, atau setidaknya dia bahagia dengan orang lain.
Aku menangkup wajahku dengan kedua tangan. Merasa sangat frustrasi.
Tiba-tiba ponselku berdenting. Pesan dari Dennis membuatku otomatis beranjak, menyabet jaket beserta kunci mobil dan berlari keluar kamar.
--
Aku mengingat hari itu, saat kakiku yang lemas harus bertahan di antara tanah kuburan yang licin dan basah, dengan mata sembab dan merah menatap batu nisan bertuliskan “Kiara Anjani”, dengan tanggal lahir dan meninggalkan kami beberapa hari yang lalu.
Dulu, aku berpikir bahwa gadis yang aku sukai akan hidup dengan baik tanpaku. Dia cantik, baik, ceria, bahkan punya kekasih yang tampan dan populer. Apa yang kurang?
“Mas!”
Itu suara Dennis.
“Gua ... gua enggak tahu kamu masih sesayang ini sama Kia.”
Ada penyesalan dalam nada suaranya. Lalu, aku berbalik. Dia berdiri lima makan dariku.
“Den, dia cinta pertama gua. Sekarang cerita, Kia kenapa?”
“Kia ... bunuh diri,” katanya, dengan nada penuh permintaan maaf. Dennis bahkan tak berani melihatku. Sejak hari itu, aku hancur.
--
Melihat orang yang kau cintai bahagia bersama orang lain, itu jauh lebih baik daripada melihatnya tertidur di bawah liang lahad.
Aku menghabiskan nyaris seluruh waktuku untuk belajar, karena itu adalah satu-satunya hal yang aku sukai selain memandangi Kiara dari jauh. Aku ingin melupakannya, dan aku merasa semua akan baik-baik saja di masa SMA.
Aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Masuk Universitas paling bergengsi, lalu sibuk setelah memasuki jurusan komunikasi digital. Sampai akhirnya, kabar itu datang; dia meninggal.
Sejak lulus, Kia memang tiada kabar. Ia seperti hilang ditelan bumi. Setelah mengetahui kabar duka itu, aku dan Dennis mencari tahu semuanya; Kia hamil, dan Raka, kekasihnya, sekaligus ayah dari anak yang dikandungnya tidak mau bertanggung jawab. Jadi, karena frustrasi, ia gantung diri. Anehnya, ia hilang, sehari sebelum kematian Kiara.
--
Aku memarkirkan mobil di samping gerbang rumah Dennis. Berlari melalui halaman depan, lalu meluncur lantai dua di mana ia berada, dan menaiki lift yang tersembunyi di balik lemari kamarnya. Lift yang membawaku pada lantai bawah tanah, tempat kantor kami berada.
“Lu serius?”
Dennis mengangguk dengan kaku.
“Eum, hey! Hallo? Ada orang di sana?” Suara itu milik kiara, yang muncul dari speaker personal comput* kami yang tertanam di dinding.
“Y-ya,” kataku terbata-taba.
“Oh, hey!” balasnya ceria. “Apa kamu Dimas? Orang yang mau ngomong sama aku? Eum, tapi sebelumnya, boleh tahu dari mana kalian tahu nomerku?”
Aku gugup. Mungkinkah aku menjawab bahwa aku memang menyimpan nomernya? Nomer yang selalu ia pakai sejak sepuluh tahun lalu, dan sekarang, aku menghubunginya dari masa depan, dari dunia yang berbeda.
--
“Kamu yang kasih nomer ini ke aku.”
Aku terdiam. Mengernyit bingung atas jawaban orang asing di telepon. “Aku?”
“Iya.”
“Kapan?”
Orang itu menghela napas. Terdengar tertekan. “Sepuluh tahun lalu.”
Aku makin bingung. “Tapi nomer ini baru aku beli setahun lalu lo.”
“Aku tahu.”
“Kalo kamu tahu, kenapa juga kamu—“
“Diam!” teriak si penelepon. “Aku tahu ini bikin kamu bingung. Tapi kamu kasih nomer ini sepuluh tahun lalu. Beberapa tahun tahun sebelum kamu meninggal.”
“Aku apa?”
Aku pikir dia cuma orang gila. Mungkin sebaiknya aku menutup—
“Jangan tutup teleponnya! Aku jujur. Aku bakal kasih kamu bukti.”
Aku terdiam sebentar. “Oke. Jadi, sekarang, aku lagi ngomong sama siapa?”
“Panggil aku Mr. D buat sekarang. Jadi, di sana tanggal berapa?”
Aku terbangun, dengan isi percakapan aneh terngiang-ngiang di kepalaku. Mr, D, siapa pula itu? Bagaimana dia mendapatkan nomorku? Dia bahkan bilang berasal dari masa depan. Aku pikir dia cuma orang gila. Hanya saja ...
“Besok, Dimas, Riko sama Adam bakal telat masuk sekolah. Mereka bakal dihukum Pak Awal buat muterin lapangan lima kali.”
Sayangnya, aku melihat tiga anak benar-benar memutari lapangan lima kali. Dari dekat jendela, aku menonton di jam pertama. Kebetulan, bangku Dimas juga kosong. Sayangnya, aku tidak tahu siapa saja anak laki-laki tang terlambat itu.
Hingga akhirnya sebelum jam pertama selesai, Dimas muncul di ambang dengan pintu kelas dengan wajah merah dan seragam basah oleh keringat.
“Maaf, saya terlambat, Bu.”
Dengan muka galak, Bu Dina berteriak, “Berdiri di depan kelas sampai pelajaran saya selesai!”
Tanpa membantah, Dimas keluar dan menutup pintu. Belakang kepalanya yang lepek tampak dari jendela kelas. Aku mengangkat tangan.
“Ya, Kia?”
“Saya izin ke kamar mandi, Bu.”
“Silakan.”
Aku keluar, melangkah melewati Dimas yang berdiri bersandar pada tembok kelas, lalu berbalik menghampirinya sambil berjongkok. Takut ketahuan.
“Shht!”
Dimas yang menatapku sambil merunduk dan bingung mengangkat kedua alis matanya. Ia tidak berkata apa-apa.”
“Tadi, kamu dihukum sama siapa aja?”
“Eum,” dia tampak mengingat, “Riko dari 11-C, sama Adam dari 10-B.”
Aku terdiam. Berpikir, Mr. D beruntung atau ini direncanakan? Tapi, sepertinya tidak mungkin untuk tiga orang, kan?
--
Aku terduduk dengan pasrah di kursi kerjaku. Menahan teriakan di tenggorokan. Rasanya mau gila.
“Akhirnya lu ngelakuin hal ini juga,” seru Dennis dari balik punggungku.
“Gua tahu.”
Terdengar langkah Dennis mendekat, lalu mengambil buku harian yang telah kusimpan bertahun-tahun hingga sekarang. “Gua enggak tahu kalo lu suka nulis buku diary.”
“Kalo gua ngomong, paling lu bilang gua kayak bencong.”
“Ya, emang kan?”
Aku menoleh. Menatap Dennis—pria kurus tinggi berkacamata—yang tengah berdiri di sampingku, dengan pandangan kesal.
“Apa? Kan emang bener cuma perempuan yang suka nulis diary kan?”
Aku diam. Tak mau mendebat.
“Tapi lu tahu, Mas? Ini ngebantu banget.”
Aku tersenyum diam-diam.
“Apa lu yakin ini akan berhasil?” tanyaku karena tak yakin.
“Iyalah!”
Senyumku makin mengembang.
“Tapi, gua masih enggak ngerti. Kenapa lu tetep mau ngubah kehidupan Kiara meski tahu enggak mungkin hal itu bikin dia hidup lagi di dunia ini? Lagian lu juga enggak mungkin bisa hidup bareng.”
“Lu enggak tahu, karena lu enggak pernah jatuh cinta sama manusia. Dasar, wibu!”
Dennis melotot, dan sudah mengunci leherku dengan lengan kirinya sampai tiba-tiba sebuah pesan muncul: Kasih tahu aku. Apa yang bakal terjadi besok? Aku enggak tahu kenapa semua bisa terjadi kayak prediksimu, tapi aku khawatir ini Cuma kebetulan.
Aku membalas: Raka bakal nembak kamu beberapa hari lagi. Kalo benar, tolak dia. Kalo aku salah, aku enggak bakal hubungin kamu lagi.
Tidak ada balasan apa pun, tapi aku tahu Kia setuju.
Aku merindukannya, namun aku tahu, dia punya hidupnya, dan aku harus melanjutkan hidupku tanpanya. Dia milik orang lain. Dia milikku di dunia yang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro