Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Skylar

Rabu pagi, Luna dan aku berlari tergesa-gesa menyusuri koridor sekolah. Pagi itu kami terlambat untuk mengikuti kelas astronomi.

“Aku sudah bilang, tidak perlu mengambil kelas pagi.” Luna masih sempat menggerutu di tengah napasnya yang memburu. Aku tahu dia mengatakan itu hanya karena kesal, sebab dia tahu pasti bahwa astronomi adalah kelas favoritku.

Sebetulnya, gadis itu sudah bangun lebih awal hari ini. Akulah yang mengacaukan semuanya.

Sejak minggu lalu, aku tidak bisa tidur nyenyak karena selalu bermimpi buruk. Sebelumnya, untuk menghindar dari mimpi buruk itu, aku akan melewatkan tidur malam dan menggantinya dengan tidur di antara jeda jam pelajaran. Namun, tadi malam aku malah tertidur pukul dua pagi, dan Luna bilang, aku tidur seperti orang mati.

Anehnya, aku tidak bisa mengingat mimpi yang kualami tadi malam. Semuanya tampak samar, aku hanya ingat sekelebat tempat-tempat yang tidak pernah kulihat di dunia nyata.

***

“Aria!” Luna dan aku menoleh ke asal suara, saat itu kami sedang berdebat mengenai eksistensi alien, Luna bersikeras bahwa tidak ada planet lain yang bisa ditinggali makhluk hidup, sedangkan aku berpendapat sebaliknya. Suara itu menginterupsi perdebatan kami, yang kemudian berubah menjadi kebingungan.

“Kau juga mendengarnya?” tanyaku pada Luna. Gadis itu hanya mengangguk.

Kami bergerak menuju sisi koridor yang ramai. “Aku sudah mendengarnya sejak pertama kali aku bermimpi tentang dunia aneh itu, suara itu terus memanggilku jika aku sedang berada di tempat sepi.”

Sudah kukatakan itu berkali-kali pada Luna, tapi dia hanya mengangkat bahu sambil berkata, “Kau terlalu banyak membaca cerita horor.”

Di saat yang bersamaan, seseorang menabrak bahuku. Bukan hanya itu, dia juga tiba-tiba menarik lenganku, menyeretku menjauh dari koridor, juga meninggalkan Luna yang terlalu terkejut untuk bereaksi.

Setelah kesadaranku yang tadinya hanya separuh sudah kembali sepenuhnya, aku menarik lenganku dari tangan itu, berusaha menguasai diri. “Siapa kau?!”

Lelaki itu berbalik, menatapku sepenuhnya.

“Oh, Skylar? Ada apa?” Ternyata laki-laki itu adalah salah satu anak pendiam di kelasku.

Matanya yang berwarna hijau kebiruan masih memandangku dengan sorot mata yang tidak bisa kuartikan.

“Ariana,” ujarnya kemudian. “Tolong, ikut aku sebentar.”

Entah mengapa, aku merasa dia agak gugup. Aku baru ingin menjawab ucapannya, tetapi dia kembali menyeretku, tidak memberiku kesempatan untuk bicara.

“Kau masih bermimpi buruk?”

Pertanyaannya agak aneh. Sebab aku tidak menceritakan perihal mimpi buruk itu kepada siapa pun kecuali Luna, sahabatku. Seingatku, Luna juga tidak dekat dengan Skylar.

Apa pun itu, tapi sejak kami berada di satu kelas sejak semester lalu, Skylar memang seringkali terpergok memperhatikan Luna dan aku dengan tatapan yang membingungkan. Namun, selama ini baik aku maupun Luna hanya menganggap itu temu pandang biasa. Sampai ketika hari ini tiba, pikiranku jadi berkecamuk. Semua spekulasi yang tidak pernah terlintas selama ini, tiba-tiba berputar-putar dalam kepala seperti kaset rusak.

Lebih aneh lagi ketika aku menyadari bahwa hingga Skylar membawaku keluar dari area sekolah, aku tak melihat Luna mengejar kami. Tak seorang pun juga yang menghalangi kami untuk keluar dari area sekolah, padahal saat itu masih jam pelajaran.

Hal yang baru kusadari adalah ternyata langkah Skylar terbilang cukup cepat, dan aku hampir tidak menggunakan kakiku untuk menyamakan langkahnya. Dia membawaku.

“Kau akan membawaku ke mana?” alih-alih merasa panik, aku merasa penasaran.

Lelaki itu tidak menjawabku. Kami terus bergerak, menerobos area perbatasan kota, menyusuri pinggiran sungai, hingga memasuki hutan pinus yang lebat.

Seumur hidupku, pinggiran sungai adalah area paling jauh yang pernah kudatangi. Mengapa Skylar membawaku begitu jauh?

***

Tempat asing itu persis seperti yang sering menghantui tidurku.

Rumah-rumah semi permanen berdiri agak berjauhan, jalan-jalan setapak yang penuh kerikil, orang-orang yang setelah kuperhatikan sekali lagi, memiliki warna mata hampir serupa dengan milik Skylar. Pohon oak berdiri di satu sisi jalan, aliran sungai jernih di sisi lain. Desa itu diselimuti kabut tipis, aromanya seperti rempah yang tercampur baur.

Itulah kali pertama aku benar-benar mengenali sisi lain Skylar.

“Aku suka berlama-lama memandangmu,” ujarnya sore itu. “Kau mengingatkanku pada rumahku, hangat dan beraroma menyenangkan.”

Sejak hari itu, aku jadi sering mendatangi desa itu, duduk di atas bukitnya sembari memandangi panorama, mengenali Skylar dan tempat tinggalnya.

“Kau sadar, ucapanmu itu agak mesum? Jika kau mengucapkan itu di sekolah, orang-orang akan berpikir kau mengendus tubuhku.”

Skylar tertawa, menampilkan gigi-giginya yang rapih berjajar, matanya menyipit, manis sekali. “Orang-orang tidak akan berpikir sepertimu,” balasnya, agak mengejek.

Bukannya marah, aku malah ingin memeluknya.

Sampai hari ini, aku masih belum tahu alasan mengapa Skylar tiba-tiba membawaku ke desa tempat tinggalnya, menunjukkan identitas aslinya, dan terus berada di sisiku hanya untuk membicarakan hal remeh-temeh yang sama sekali tidak bermakna seperti percakapan kami barusan.

“Aku mendengarmu berdebat dengan temanmu tentang alien, kalian terus mendebatkan hal itu sejak pertama kali kita satu kelas,” ujarnya tiba-tiba, seakan bisa membaca pikiranku. “Aku juga tidak tahu kebenarannya, tapi saat itu aku berpikir bahwa mungkin hanya kaulah satu-satunya orang yang akan menerima keberadaanku di sekolah itu.”

Aku terdiam sebentar. Lebih karena aku tidak tahu harus merespons dengan apa, sampai, “Mengapa kau memilih untuk datang ke sekolah itu?”

“Entahlah, mungkin kau yang memanggilku.”

“Bagaimana caranya? Aku bahkan tidak mengenalmu.”

Skylar mengangkat bahu. Aku menoleh kepadanya dan melihatnya sedang menatap jauh ke arah hutan pinus, sekilas, aku menangkap ada kekhawatiran di mata itu, tapi sekejap kemudian lenyap.

“Lalu, apa kau yang membuatku selalu bermimpi buruk?”

“Mimpi buruk?” Skylar mengalihkan pandang padaku, ekspresinya yang kaget tidak dibuat-buat.

“Aku sering melihat desa ini dan hutan pinus yang berkabut dalam mimpiku, aku juga sering melihat rumah-rumah yang terbakar, seseorang berusaha ….”

Skylar tidak memberiku kesempatan untuk bicara lagi, dia segera berdiri dan menarik lenganku untuk ikut dengannya. “Mengapa kau baru mengatakan itu sekarang?” tanyanya panik.

“Kenapa?”

Skylar diam saja, dia tetap menyeretku menuruni bukit, melintasi jalan-jalan setapak yang temaram, sebab hari memang sudah semakin gelap. Lalu kami tiba di alun-alun, ketika itu aku baru tersadar bahwa aku berada dalam bahaya.

Genggaman tangan Skylar biasanya hangat, tapi kali ini tangannya dingin dan berkeringat. Aku merasa dia kembali menjadi Skylar pendiam yang dikenal orang-orang di sekolah. Alun-alun yang biasanya sepi, desa yang biasanya seperti mati, tiba-tiba malam itu hiruk pikuk.

“Aku sudah pernah menegaskan padamu, bukan?” Satu suara membuat Skylar benar-benar berhenti melangkah. “Kau diizinkan menginjak dunia manusia, bukan untuk membawa salah satunya kemari!”

“Ayah, aku sudah memutuskan, aku hanya mau menikah dengan gadis ini! Bukan dengan pilihan Ayah atau Ibu! Persetan dengan garis keturunan itu!”

Kalimat-kalimat yang meluncur itu saling bertumpang tindih, membuatku kehilangan kata. Menikah, katanya? Skylar pasti sudah gila!

“Kau penerus tunggal, kau tidak boleh egois. Satu langkah saja kau keluar dari desa ini membawa gadis itu, aku akan membunuhnya dengan kedua tanganku!”

Saat itu alun-alun dipenuhi dengan orang-orang bermata hijau, pakaian mereka sama persis seperti penyihir yang sering kulihat di televisi di rumah, jubah yang identik dengan warna ungu dan hitam, setiap orang memegang sebilah tongkat kayu berbagai ukuran.

“Jika dia mati, aku akan mati bersamanya!” Skylar mengeratkan genggamannya di tanganku. Jemariku kebas dibuatnya.

“Jika kau mati, dia tidak akan bisa kembali ke dunianya.”

Saat itu juga sang Ayah mengomando orang-orang di sana, lalu kudengar mantra diucapkan berulang-ulang, semakin lama nadanya semakin tinggi, memekakkan gendang telinga. Skylar tidak lagi menggenggam tanganku, melainkan kedua lengannya meraih tubuhku, mendekapku erat. Di tengah pekikan mantra itu kudengar Skylar berbisik di telingaku, “Ingatlah, sekalipun kita tidak lagi bisa bertemu, aku sangat mencintaimu.”

Setelah itu, segalanya kembali pada titik nol.

***

“Skylar?”

Lelaki itu menoleh sebentar, “Oh, kita teman sekelas, bukan? Ada apa?”

Tidak, dadaku hanya sedikit sesak.

“Jika kau diberi pilihan untuk tidak lagi bertemu dengan orang yang kau cintai, atau melupakan orang yang kau cintai, kau pilih mana?”

Skylar mengangkat satu alisnya. “Pertanyaan konyol,” ujarnya singkat, sebelum berlalu dari hadapanku.

“Sejak kapan kau dekat dengan laki-laki aneh itu?” Luna menepuk pundakku, lalu hari-hariku kembali seperti biasa.

Setelah memikirkan kejadian rumit yang menimpaku berhari-hari lalu, dan bersedih karenanya, tiba-tiba aku berpikir bahwa mungkin saja semua itu tidak pernah terjadi. Mungkin saja Skylar memang tidak pernah mengenalku.

Sedetik kemudian, Skylar kembali.

“Omong-omong, Ariana ….” Jantungku berdentum-dentum mendengarnya menyebut namaku. “Kau pakai parfum apa?”

“Parfum?”

“Aroma parfummu mengingatkanku pada rumahku.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro