9. Mampir Dulu 🪴🪴🪴🪴
"Kok nggak langsung balik ke rumah sih?" protes Dara menyadari mobil Sam menepi di tempat lain. Seketika bulu kuduk Dara meremang, teringat kejadian semalam. Dia takut hal tidak mengenakkan bakalan terulang dan jauh lebih parah. Dia tidak mengenali lingkungan sekitar, apalagi baru kali ini Dara berkeliaran.
Seharusnya Dara tidak ikut menumpang mobil Sam. Seharusnya dia mencari angkutan umum yang searah menuju rumah tempat dia tinggal sementara. Segala harus yang tadinya diabaikan itu menjadi angin lewat yang sudah lama berlalu. Dara diliputi penyesalan mendalam atas kata hatinya yang selalu ditampik di depan rupiah. Demi irit, ternyata menjebaknya dalam kesulitan.
Kedua bola mata Dara bergulir ke segala arah, memindai apa saja yang bisa dijadikan senjata untuk membela diri. Kenyataannya dia tidak menemukan apa-apa selain bakpau yang dingin di pangkuan.
Sam tersenyum kecil. Anehnya, senyuman itu menjelma seperti Rahwana gelap mata. Dengan segera Dara memejamkan mata, kalang kabut memikirkan cara agar terhindar dari marabahaya.
"Izin sebentar, Mbak. Mau ambil linggis."
"Bu.... Buat apa?" tanya Dara semakin gelagapan. Dia tahu, besi panjang itu biasanya untuk mencungkil benda berat. Namun, linggis bisa menjadi senjata pembunuhan. Akankah nasib Dara bakalan menjadi korban mengenaskan karena harta paling berharga dirampas secara memilukan?
"Mami nggak mau properti keluarga hilang. Makanya disuruh balikin. Sekalian aku mau cek hasil panenan sebentar."
Dara menghembuskan napas lega. Sia-sia dirinya parno tidak jelas. Semuanya gara-gara Sam menerobos masuk kamar. Dara agak trauma, tetapi sok-sokan bertingkah akrab sampai nekat menumpang pulang bersama. Kini sudah main tuduh kalau Sam bertindak macam-macam padanya.
"Oh, lama nggak?"
"Nggak lama. Palingan sepuluh menit." Sam melepaskan sabuk pengaman. Tidak lupa mengaktifkan rem tangan, agar mobil kijang tidak menggelinding mundur karena diparkir di tepi jalan yang curam. "Tunggu di sini sebentar, Mbak. Pintu nggak dikunci. Kamu jangan turun, becek soalnya," pesan Sam dan membanting pintu keras-keras.
Bukannya menurut, Dara ikut melompat turun. Aroma segar sawah di sekelilingnya membuat Dara segar. Namun, di tengah areal padi, terdapat sebuah rumah kaca lumayan besar yang merusak pemandangan. Seharusnya bangunan itu tidak ditempatkan di tengah sawah, sehingga pemandangan sepenuhnya bisa dinikmati kalau hanya ada area hijau alami.
Ucapan Sam benar. Kaki Dara langsung kotor. Sisa hujan semalam membuat daratan penuh lumpur di tepi sungai yang meluap beberapa jam sebelumnya. Dara tidak merasa risih. Dia anehnya menyukai sensasi becek itu. Dengan hati-hati gadis itu melangkah ke sisi Sam.
Hanya ada satu jalan setapak membelah di tengah sawah, mengarah ke satu-satunya rumah kaca yang berjarak 100 meter dari pinggir jalan. Dara hanya melihat punggung Sam seraya mendekap bakpau. Semestinya dia bisa meninggalkan makanan itu di jok mobil, tetapi Dara lebih suka membawanya.
Pintu rumah kaca untungnya tidak dikunci. Sam segera masuk dan melihat ada banyak tanaman kangkung yang bersih dibabat dan menyisakan getah kecil di atasnya. Besok, tunas kecil sudah bermunculan. Sementara itu, lele di dalam bak-bak besar masih jauh dari ukuran ideal. Belum waktunya panen raya.
"Ini tanaman air semua?" Dara terperangah. Matanya sudah serakah memindai seluruh ruangan. Mata gadis itu semakin dekat dengan tepi bak setinggi satu meter. Beberapa lele melompat terjun, panik dengan gerakan manusia tidak dikenal. Dara langsung basah kena cipratan air kolam. Yang untungnya tidak bau karena sudah dinetralkan oleh arang sebagai media dasar kangkung. Satu kali penggunaan, dampak amoniak lele kurang, dan kangkung sehat sentosa.
"Di tempat lain ada banyak lagi jenis sayurannya, Mbak. Yang ini khusus kangkung semua. Setiap hari panen sesuai jumlah permintaan."
"Wah, siapa pengelolanya? Aku mau ketemu beliau buat skripsi aku." Dara langsung mengambil gambar dari ponsel. Setahunya, pertanian menggunakan media tanah. Bukan air, meski di luar negeri memang ada perkampungan di tanah air dan punya pertanian di air juga.
"Aku." Sam menempatkan satu tangan di dada penuh perasaan dan bangga. Sudah sering Sam menanggapi ketakjuban tamu yang datang ke rumah kaca. Kebanyakan petani dari luar daerah yang ingin belajar langsung, tetapi kebanyakan dari mereka tidak ada kabar lagi soal rencana tanaman hidroponiknya.
"Masa?" Dara sanksi. Semuda itu masa pengelolanya.
Samudra memang tidak ada muka-muka petani sama sekali. Dia lebih mirip pengacara tidak jelas yang kerjaannya goleran sepanjang hari di rumah dan aktif di luar pada malam hari demi ngobrol tidak penting.
"Ya sudah kalau nggak percaya. Aduh, mana sih linggisnya," keluh Sam sambil mengobrak-abrik tempat di pojokan. Meski terlihat berantakan, tetapi lumayan bersih dengan tumpukan bak-bak berlubang yang siap pakai sebagai media tanam sayuran.
Sam akhirnya lega menemukan benda itu. Dia langsung mengajak Dara keluar karena udara semakin dingin dan langit mulai gelap. Sam menyalakan lampu penerangan di rumah kaca agar kangkungnya berfotosintesis dari cahaya buatan.
"Kamu kapan ke sini lagi? Aku harus lihat rumah kaca." Dara semakin bersemangat dan tertarik. Dia langsung betah di rumah kaca. Sesuatu yang jarang dilihat bagi kebanyakan gadis.
"Besok aku ajak ke kebun satunya, Mbak. Panen tomat ceri."
Dara mengangguk puas.
"Kamu punya berapa kebun?"
"Banyak."
Mata Sam melirik ke tempat lain, sedang menghitung ada beberapa banyak kebun pribadinya, berikut kebun titipan orang lain yang dikelola Sam. Upahnya adalah bagi hasil karena tidak perlu sewa tanah, tetapi seluruh alat, media tanam, pembangunan rumah kaca, difasilitasi Sam sampai tekor. Kadang dia lupa melewati kebun tertentu demi menyala-matikan lampu di rumah kaca.
"Ada sekitar 35. Yang aku kelola sendiri ada 10 tempat. Lainnya dikelola bareng."
"Oh, ya. Bisa jelaskan lebih lanjut lagi, Sam?"
"Besok saja. Sekarang waktunya pulang," tepis Sam. Dia tegas pada dirinya sendiri.
Dara agak kecewa, tetapi dia mengerti. Pekerjaan Sam banyak dan tidak terlihat menganggur. Sam keliling dusun demi mengecek kondisi kebunnya. Gadis itu bertahan di dalam mobil sambil menunggu Sam selesai. Sudah empat kali mobil berhenti di depan rumah kaca yang berbeda. Saat dirinya hanyut dalam mimpi, Sam mengetuk pundaknya dari luar pintu penumpang.
"Tuan Putri, bangun. Sudah sampai rumah."
Dara mengerjapkan mata silau. Dia tidak familiar berada di ruang garasi. Namun, Dara menggeliat penuh kelelahan. Dia turun dengan langkah kaki sempoyongan. Sementara itu, Sam santai-santai saja karena sudah terbiasa.
"Ya ampun, Mbak Dara darimana saja?!" Suara menggelegar itu mengagetkan keduanya.
Riani bergegas mencapai Dara dengan tatapan penuh kekhawatiran. Dia langsung mengecek sandal Dara yang kotor.
"Samudra, kamu nggak tahu keributan yang kamu timbulkan itu gimana di kampung ini? Malah mengajak Mbak Dara kelayapan. Mami kira, Dara diculik orang! Seharian hilang tanpa kabar, Mami cemas!" Riani tanpa segan menampar punggung Samudra.
"Mam, aku nggak culik yaaaa. Aduh, sakit!" Sam merengek tidak terima.
"Lagian dia sendiri yang dikerjain Putra. Kamu ketemu di stasiun kebetulan."
"Putra? Jangan cari alasan. Kamu itu yaaa...."
Sam kabur, menghindari tangan gemuk Riani. Dara malah cekikikan melihat tontonan itu. Keluarga Pak Indra memang sangat harmonis rupanya. Dara salah sangka. Siapa menduga kalau malam ini dia betah berpetualangan sendirian dan ditutup dengan kejutan tidak terduga. Prospek skripsinya selesai lebih awal membentang di depan mata.
*****
Sudah terlalu lama yaaa nggak publish. Maappppp.... keasyikan sama kerjaan. Hehehehe.
14 September 2024
19.44 Waktu Indonesia Berpikir
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro