4. Penderitaan Dimulai 😶
Gelak tawa di ruang tamu akhirnya menguap. Sam melirik jam weker di nakas. Kondisi jam weker itu mengenaskan. Kurang tersorot karena setengah sembunyi dari tumpukan mainan robot besar yang salah satu tangannya copot. Sam berupaya tidur lagi meski ada gangguan si makhluk halus mungil dengan tingkat kejahilan tidak tertolong ini.
Acara makan malam di ruang tamu itu buyar. Widya pamit pergi dan tidak mau bermalam di rumah Riani. Tidak mengapa tidur di jalan daripada pasiennya panik ditinggal lama. Begitu tukang ojek berhelm hijau datang menjemput, Widya melambaikan tangan perpisahan dengan senyum lebar. Dia hendak berangkat ke stasiun demi mengejar kereta malam. Berulang kali Widya mengingatkan Dara akan tujuannya dititipkan di rumah Riani.
"Aku tahu, Tante. Sudah pulang sana." Dara semakin jengah. Dia bukan anak kecil yang mudah lupa saat dapat perintah.
"Serius loh, ya. Korea! Yakin nggak mau lihat BBS itu?"
"BTS!" ralat Dara keras-keras. Lengkap dengan mata melotot lebar. Dara tidak sungkan menampakkan reaksi sebal kepada tantenya sendiri saking dekatnya.
"Iya. Pokoknya itulah. Katamu, mereka mau pergi ke tentara. Ya mumpung ada loh, segera berangkat ke sana."
"Iyaaaa." Dara capek meladeni Widya. Gadis muda itu berpaling ke arah lain. Khawatir kalau Widya ketinggalan kereta.
"Mbak Riani, titip Dara, ya. Tidak perlu segan kalau Dara males sama penelitiannya. Pokoknya dia harus keliling tempat buat penelitiannya."
"Iya, Mbak. Ada Sam yang bisa membantu Nak Dara," balas Riani dengan tenang.
Deru motor melaju dan semakin samar didengar. Riani dan Dara berpandangan sekilas, lantas masuk rumah karena malam.
"Masuk yuk, Nak Dara."
Riani kenal yang namanya privasi. Dia menghormati tamunya agar bisa istirahat sejenak dan menyesuaikan diri. Mengobrol secukupnya untuk mengenal siaa Dara dan apa yang akan dilakukan selama tinggal di desa tersebut.
Wanita berisi itu menuju kamar tengah di mana Putra dan Sam bergelut secara intens. Wajah Putra cemong sana-sini kena gores bedak tabur. Kedua tangannya bertelekan di pinggang, kesal dengan sumber keributan yang merusak ketenangan.
"Sam! Udah! Kamu kapan dewasa kalau kelakuannya bocah begini?" amuk Riani, lupa bahwa kamar Putra bersebelahan dengan Dara.
"Aku mau tidur, Ma. Sama Putra nih, ditendang melulu!" Sam mengadu, pokoknya lupa umur.
"Sejak kapan kamu tidur jam sembilan malem?" Riani memicingkan mata curiga. Kelakuan Sam memang tidak wajar. Tabiat anaknya selalu terlacak oleh Riani.
Tidur di waktu itu terlalu pagi bagi Sam. Dia bisa koid sementara menjelang pagi setelah minum segentong kopi tubruk. Kalau Sam tidur duluan, pasti ada rencana jahat di balik punggungnya. Bisa saja kan, Sam mencopet duit tiga ratus ribu dari dompetnya demi nongkrong di Jalen bareng kroni-kroninya? Mabuk misalnya.
"Ya masa Mama nggak lihat mataku merah dan sepet gini?" Sam protes dicurigai terus.
"Nggak ada tuh. Yang ada, Mama makin sepet karena kalian berantem terus." Riani tidak peduli.
Sam menganga. Riani memang tidak pernah bisa membelanya. Plus dia tidak sigap sama ancaman yang menghantam tiba-tiba. Sebab, Putra melayangkan guling ke mukanya.
Anak hiperaktif itu memang kurang ajar.
Emosi menggerogoti kedamaian Sam. Dia mengepit lengan dan kaki Putra dengan kegemasan tiada banding. Berharap bocah sableng titisan muntung ini enyah dari pandangan.
"Ampun, Om. Ampun!"
Putra mengaduh disertai kikik kencang.
Sam tidak peduli. Pokoknya sampai Putra menjerit lebih kencang dan sukses menangis histeris, dia akan berhenti.
Namun, Riani berbeda. Dia tidak akan terima cucunya diperlakukan tidak manusiawi sama Sam. Sam itu selalu jadi penjahatnya kendati Putra yang sesungguhnya mencari masalah duluan. Sam itu salah dan Riani maha benar.
"SAAAAM, UDAH!"
Riani melerai. Setres punya anak bandelnya bukan main. Baginya, dapat Sam saja sudah melelahkan, apalagi ditambah dengan Putra. Mereka sama saja. Sama-sama tukang ribut.
Padahal Sam sudah mulai kalem saat habis disunat di kelas 4 SD. Semenjak keponakannya lahir, jiwa isengnya meronta-ronta minta dipuaskan. Sam balik lagi menyebabkan Riani rawan naik darah.
"Ampun, EYAAAAAANG!" Putra minta pertolongan.
Selanjutnya yang terdengar adalah Sam mengaduh akibat telapak tangan Riani mendarat di punggungnya.
Pemuda berusia 28 tahun itu melarikan diri ke ruang lain, asal tidak di kamarnya sendiri. Pilihan terbaiknya adalah rebahan di sofa ruang tamu. Malang sekali nasibnya, digusur tanpa persiapan. Mau ambil bantal pun sungkan, apalagi sempak bersih.
Kelopak mata Sam mengerjap cepat. Dia balik terjaga memikirkan harta bendanya paling berharga.
Ponsel 128 GB dengan folder haram itu tertinggal di kamar. Tergeletak dingin tanpa disentuh Sam sejak sore tadi. Dia malas balik kucing dan melewati kamar Putra, berpapasan dengan Riani, serta dia tidak tahu bagaimana harus menerobos masuk kamar sendiri. Dia semakin bodoh amat dan semakin merapatkan kedua tangan terlipat di dada. Sam harus tidur.
Efek begadang mengikuti pertandingan piala dunia kemarin baru terasa sekarang. Sam harus menebus dengan bertransformasi sebagai kebo. Tidur selama dua hari tanpa diganggu. Bangun hanya saat lapar, boker, mabar, dan lapar lagi.
Tidur..... tidur..... tidur..... tidur.....
Folder!
Sam gagal merem. Dia galau seperti cacing kena tabur iodium. Dia berguling mencari posisi paling nyaman bagi lehernya yang pegal. Namun, gangguan demi gangguan menyapa Sam. Mulai dari serangan nyamuk serta udara yang semakin dingin.
Dia kalah dengan pendiriannya bertahan untuk tidak pegang ponsel. Dengan langkah ringan, Sam mengendap menuju kamar dan mengetuk pintu berpelitur hitam. Untungnya Riani sedang mendongeng kisah Timun Mas dari kamar sebelah, sehingga tidak tahu bahwa Sam melewati kamar yang pintunya terbuka. Sam lebih senang mendapati Putra tidak memergokinya. Bayangkan kalau Putra berteriak sambil menuding ada maling. Kena gebuk Riani pakai robot mainan itu perihnya minta ampun. Soalnya Sam pernah kejadian pulang subuh, dihajar pakai robot yang kini lengannya sudah patah.
Hatinya berdebar-debar tidak karuan. Sangat aneh bahwa dia hendak masuk kamar sendiri. Namun, karena ada penghuni lain, mau tidak mau, Sam harus menghormati privasi Dara.
Beragam kalimat tersusun baik di kepala Sam untuk menjelaskan perihal kunjungannya yang mendadak itu. Namun, saat pintu menjeblak terbuka dengan sendirinya sebelum Sam mengetuk pintu, Dara terlonjak kaget.
Sam lebih sigap. Tangannya menekap mulut Dara dan mendorong cewek itu mundur.
Tindakan yang mirip maling, ya kan?
Padahal nggak maksud begitu, tetapi karena terlanjur, ya sudahlah.
Sam tidak punya waktu buat menghadapi ibunya sendiri. Jantungnya semakin berpacu efek dari kamar sebelah sudah tidak ada suara apapun. Apakah waktu mendongeng sudah usai atau belum, Sam semakin waswas.
"Hmffftttt...." Dara memberontak. Serta merta kakinya menginjak kaki Sam agar bisa melepaskan diri.
"Anu, jangan berisik. Aku gak jahat, tapi malu ambil barang." Sam segera membuka pintu lemari dan mengambil pakaian terburu-buru.
"Ya ngapain malu?" tanya Dara setengah berbisik, ikutan tegang. Bayangkan, sebagai perempuan yang bermalam di rumah orang tidak dikenal, malah dibekap begitu saja. Dara jelas ketakutan sekali. Namanya bakalan beredar di akun-akun gosip sebagai korban penculikan. Namun, apakah itu tetap penculikan kalau Dara sendiri yang datang bertamu di rumah kenalan tantenya itu? Pandangannya tertumbuk ke gerakan barbar Sam saat menarik kain dari tumpukan baju.
Aksinya itu menyebabkan masalah lain. Tumpukan baju yang rapi habis disetrika itu jatuh begitu saja ke lantai dan berserakan. Sam mengernyitkan seluruh wajah. Kelemahannya adalah terbiasa hidup serba mengacau. Lalu dia mengambil ponsel, charger, dompet dan tabungan ayam jago yang suara gemerincingnya keras, beberapa kolor serta dua kaos oblong. Tidak ada tas. Otak Sam berjibaku. Dia akhirnya menggelar sarung dan meletakkan barang-barang itu. Gulungan sarung itu dikepit di ketiaknya. Sam mirip maling profesional habis menjarah rumah malam-malam.
"Malu aja." Akhirnya Sam mengaku sambil cengengesan. Dia benar-benar puas akhirnya barang yang dicari ada dalam jangkauan. Sam memakai jaket untuk menghalau dinginnya malam. "Pergi dulu, Mbak."
Dia tidak akan kelabakan mencari baju ganti lagi. Masih mengendap-endap, Sam mengintip ruang tengah. Asik sekali bisa lenggang. Sam berasumsi bahwa ibunya masih fokus mendongeng kepada Putra. Lalu Sam kabur ke arah pintu belakang, tetapi secara tidak terduga, ibunya muncul.
"MAU KEMANA KAMU, MALING?!"
********
Tuhan, kasih tahu Mama aku. Aku itu siapanya beliau sih, kok bisa gak dikenali. Dikatain maling lagi.
Tuhan, apa mata Mama rabun sampai nggak kelihatan secara face to face kalo ini aku, Samudra Marselino.
Tuhan, andai ada pertukaran jiwa pake tanda biru di dada, aku mau tukeran sama Putra. Soalnya Mama lebih sayang cucu.
Entahlah, aku nggak tahu lagi. Soalnya yang kutangkap detik berikutnya adalah suara Mama mengamuk setelah melihat kondisi kamar yang ditiduri Dara berantakan.
Satu hal yang Mama paling benci di dunia ini. Ngelihat tumpukan pakaian yang dibuat berantakan secara sengaja, padahal Mama capek ngelipatnya. Kan, Mama benci tugas bebersih rumah. Iyes, asli, Mamaku, Riani benci beberes, khususnya setrika pakaian.
Salam, anak paling nestapa karena tangannya tidak semulus bawang bombay dikupas dua lapis lagi.
Sam yang berusaha kabur dari rumah.
***********
Awal tahun, sudah sibuk saja dengan pekerjaan yang semakin bertambah, sehingga tidak segiat sebelumnya saat menulis. Aw aw aw..... semoga menghibur meski kadang bingung Sam nasibnya mau ke mana.
18.20 WIB
Banyuwangi, 04 Januari 2023
Revisi lagi 12 April 2023
Posting lagi, 23 April 2023 ; 17.53 Waktu Ini Broh!
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1 SYAWAL 1444 H
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro