Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Menjaganya. (1)

Tiga hari berlalu dan Shannon terpaksa harus kembali bekerja setelah memakai jatah cutinya untuk menjaga Gio.

Meski Gio sudah lebih baik dan sudah keluar dari rumah sakit, ia tetap khawatir dengan keadaan putranya itu. Ia tidak ingin meninggalkan anaknya yang masih dalam tahap pemulihan.

"Aku tidak keberatan menjaga Gio selagi kau bekerja, Shan." Austin yang sejak pagi sudah berada di rumah kontrakannya memberikan opsi lain atas kebimbangan Shannon.

Sejak kejadian di rumah sakit itu, Austin memang selalu menemaninya menjaga Gio. Bahkan laki-laki itu juga yang mengantar mereka pulang ke rumah kontrakan Shannon hingga sekarang laki-laki itu tahu tempat tinggalnya. Tetapi ia masih belum bisa mengendurkan tingkat kewaspadaannya pada laki-laki itu.

"Tidak perlu, terima kasih. Aku tidak ingin menambah daftar hutangku padamu. Aku akan menitipkannya pada Risa," jawab Shannon sambil menatap Risa. "Bisa kan, Ris?"

Risa terkejut mendengar namanya disebut. Ia menatap Shannon kemudian Austin yang mengangguk kecil dan meletakkan telunjuknya di depan bibir.

"Bisa, Shan. Kamu titipin sama aku aja," jawab Risa.

Shannon kemudian menatap Austin dengan tatapan puas seakan ia sudah menang. Ia kemudian berjalan menuju ke kamar tidurnya dan menyiapkan kebutuhan Gio yang masih malas-malasan di kasur.

Austin berjalan mendekati Risa dan berbisik kecil, "send him to my office. Ada kasur disana, biarkan Gio istirahat." Austin menyerahkan sebuah kunci ke tangan Risa yang hanya mengangguk patuh. "Terima kasih atas bantuanmu, Risa."

Tidak berapa lama kemudian, Shannon keluar bersama Gio dalam gendongannya dan tas kecil di tangan kanannya.

Dengan sigap Austin langsung mengambil alih Gio yang sempat hendak di protes Shannon.

Shannon menatap punggung Austin yang terlihat lebar dan wajah kecil Gio yang pulas di gendongannya. Hatinya seakan teriris melihat pemandangan itu.

Selama ini Gio hanya memilikinya dan Risa. Ia bahkan tidak pernah membayangkan memberikan Gio sosok ayah setelah apa yang terjadi dulu. Setelah pengkhianatan ayah kandung Gio.

Lalu muncul bule yang entah dari mana datangnya, mengisi kekosongan yang baru Shannon sadari, sangat terasa selama ini.

"Shan, you ready?" Austin berbalik menanyakan Shannon yang melamun di tempatnya.

Dengan gelagapan Shannon menjawab dan langsung menghampiri Austin juga Risa yang sudah menunggu di depan.

Bodoh. Apa yang ku pikirkan? Shannon menggerutu sambil memukuli kepalanya.

***

Begitu selesai menurunkan Gio dan Risa di lobby kantornya, Austin bersikeras mengantar Shannon ke tempat kerja wanita itu.

Meski awalnya menolak, Austin berhasil membujuk Shannon hingga sekarang mereka sedang menuju ke tempat kerja Shannon.

"Jadi kau bekerja pagi dan malam?" Tanya Austin memulai percakapan.

"Kenapa? Kau takut aku tidak bisa membayar hutangku?" Tanya Shannon sarkastik.

Austin mengangkat sebelah alisnya. "Memangnya kemana ayah Gio?"

Shannon terdiam mendengar pertanyaan itu. Itu adalah pertanyaan tersulit yang harus ia jawab selama ini. Setiap kali orang-orang bertanya padanya, ia tidak bisa menjawabnya langsung tanpa merasa sesak terlebih dahulu.

"Pergi," jawab Shannon setelah terdiam cukup lama.

Austin menoleh sejenak. Ia hendak melanjutkan kata-katanya, tetapi Shannon lebih dulu mengalihkan topik pembicaraan mereka.

"Kau akan kemana setelah ini? Jangan katakan kau akan kembali kesana dan menculik Gio selama aku bekerja?" Tuding Shannon bermaksud bercanda. Tetapi ia berkta terlalu datar dan bibirnya terlalu sulit untuk tertawa meski hanya pura-pura, jadi kalimatnya barusan terkesan dingin dan menuduh.

"Bekerja," jawab Austin. "Aku tidak akan menculik Gio, Shannon. Jika aku mau, aku sudah melakukannya sejak kemarin. Percaya padaku." Austin mencoba meyakinkan Shannon dengan menggenggam sebelah tangan Shannon yang terasa kecil di tangannya.

Shannon terkejut. Ini kedua kalinya laki-laki itu menggenggam tangannya dan itu terasa hangat juga menenangkan.

Shannon menarik tangannya dan berdeham. "Aku tahu," gumamnya kecil sambil menunduk. Ia mengulum sedikit senyumnya dan melanjutkan perkataannya dalam hati, aku hanya tidak mau berhenti waspada padamu.

Tidak lama kemudian mereka sampai di tempat kerja Shannon. Shannon dengan cepat meraih barang-barangnya dan keluar dari mobil Austin yang semakin terasa sesak olehnya.

"Terima kasih untuk tumpangannya," ucap Shannon di depan pintu mobil Austin. Ia menarik sedikit ujung bibirnya. Hanya sedikit dan perlu orang yang benar-benar jeli untuk melihat senyum super singkat itu. "Aku harap kau tidak memasukan ongkos bensinnya kedalam tagihan hutangku karena kau yang memaksaku untuk ikut," tambahnya.

Austin tergelak mendengar permintaan Shannon. Shannon yang merasa dirinya terlihat bodoh, dengan cepat berbalik dan berlari masuk ke kafe tempatnya bekerja tanpa menoleh lagi ke belakang.

Bodoh bodoh bodoh! Gerutu Shannon memaki dirinya sendiri. Benar-benar tidak tahu malu!

***

Austin masuk kedalam ruangannya dan langsung menuju ke kamar pribadi miliknya. Ia langsung menemukan Gio yang duduk dengan wajah kebingungan melihat sekeliling kamarnya.

"Merasa lebih baik?" Tanya Austin menghampiri Gio.

"Uncle! Ini kamar uncle?" Tanya Gio.

Austin ikut menatap sekeliling dan mengangguk. "Begitulah. Apa kau lapar? Mau makan sesuatu?"

"Wah keren!!!" Gio turun dari kasur dan berlari kearah kamar mandi yang berada di ruangan itu. "Kamarnya keren, uncle!!!"

Austin terkekeh melihat semangat Gio saat ini. Lebih baik dari pada melihat Gio terbaring lemas di atas kasur pesakitan lalu.

Austin berdiri lalu menghampiri Gio yang masih mengagumi kamar yang sebenarnya kecil karena hanya berisi kasur queen size dan kamar mandi juga lemari pakaian kecil. Tidak ada interior istimewa lainnya.

"Kau ingin kuperlihatkan sesuatu?" Tanya Austin yang langsung dijawab anggukan antusias Gio. "Kalau begitu tunggu sebentar. Paman ambilkan dulu."

Gio menunggu dengan tenang di atas kasur hingga Austin kembali dengan sekotak robot transformers di tangannya.

"Wah hebat!!! Ini punya uncle?" Tanya Gio dengan mata melebar, mengagumi robot yang ada di tangannya.

"Milikmu," koreksi Austin yang semakin membuat Gio bersorak kesenangan.

Austin lupa ia belum memberikan oleh-olehnya untuk Gio saat pulang ke LA beberapa waktu lalu. Untung saja ia selalu menyimpannya di ruangan kantornya. Jadi ia bisa memberinya sekarang.

"Terima kasih Uncle! Gio sangat sayang sama uncle!" Serunya sambil memeluk Austin. Austin terkekeh geli ketika Gio melepas pelukannya dan mulai sibuk dengan mainannya.

"Uncle... Uncle tahu tidak? Gio senang sekali bisa mengenal Uncle." Gio masih sibuk dengan robot ditangannya ketika berbicara. "Mama selalu sibuk bekerja. Mama jarang bermain dengan Gio karena harus mencari uang untuk Gio makan juga sekolah."

Austin menatap puncak kepala Gio dengan perasaan campur aduk. Ia memiliki keluarga lengkap sejak dulu. Bahkan keluarganya juga sangat hangat dan kompak. Ia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi Gio.

"Oleh karena itu Gio senang sewaktu Gio sakit. Mama menemani Gio terus. Uncle juga."

Austin mengangkat tangannya untuk membelai rambut halus Gio. "Paman akan menemani Gio. Gio boleh ke ruangan paman kalau kesepian. Nanti kita bermain robot-robotan, ya?"

Gio menoleh dan tersenyum lebar. Senyum paling tulus yang pernah ada di dunia.

"Uncle, apa uncle bisa membujuk Mama untuk berhenti bekerja malam?" Tanya Gio dengan suara lemah sambil kembali menatap robotnya. "Gio tidak apa jika tidak bersekolah. Gio hanya tidak mau melihat Mama menangis dan terluka lagi."

"Menangis dan terluka?" Ulang Austin. Ia dengan cepat berjongkok si depan Gio dan menatap wajah sedihnya. "Kenapa, Gio?"

Gio menggeleng. "Gio tidak tahu. Waktu itu Mama pulang lebih cepat dari biasanya. Saat Gio ingin menyambut Mama karena Gio belum tidur, Gio melihat Mama menangis di pelukan bibi Risa." Mengingat hal itu membuat Gio mengeratkan pegangannya pada robot yang masih di genggam. Ia nyaris terisak.

"Gio... apa yang Gio lihat, hm?" Tanya Austin sambil membelai pipi Gio lembut.

"Tangan Mama mengeluarkan darah. Bibi Risa yang mengobatinya sambil ikut menangis dengan Mama. Lalu Gio tidak jadi keluar karena Gio tidak mau Mama bertambah sedih melihat Gio belum tidur dan jadi anak tidak penurut."

Akhirnya Gio terisak tanpa bisa bocah laki-laki itu tahan. Austin juga awalnya hanya membelai pipi Gio dan akhirnya ia menarik Gio ke pelukannya, menenangkan tangisannya.

"Uncle, Mama tidak akan dijahati orang jahat lagi, kan? Sekarang Mama bekerja lebih malam. Gio takut Mama meninggalkan Gio seperti Papa..."

Austin menggeleng. "Tidak, Gio. Mama tidak akan dijahati lagi," bisik Austin.

Austin mencerna ucapan Gio dan menyambungkannya dengan kenyataan yang ia ketahui. Mungkin ini ada hubungannya dengan kejadian saat ia pulang ke LA beberapa waktu lalu. Keributan yang membuat Shannon dipecat dari kelab malamnya. Dan juga alasan dibalik seluruh sikap defensif wanita itu.

"Paman akan menjaganya, menjaga Ibumu. You believe me, Right?"

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro