43. The Big Day
Welcome to the end of this story❤️❤️
***
Kesibukan sudah terlihat semenjak matahari terbit dari sisi timur Sydney hari itu.
Hari yang sudah ditunggu-tunggu, setidaknya oleh Shannon semenjak dulu. Hari pernikahan impiannya dengan laki-laki pilihannya akan tiba. Ia bukan lagi akan menjadi Shannon Laurencia Nathala seperti yang dulu, melainkan menjadi seorang Istri dari Austin Marvello Tyler.
Andai saja Austin benar-benar datang tepat waktu.
"Austin masih belum menghubungimu, Auryn? Bagaimana dengan Marvel? Apa dia menghubungi kalian? Bagaimana sih?! Pernikahannya akan dimulai satu jam lagi! Tapi dia masih tidak diketahui keberadaannya!" Kepanikan Keira, ibu dari Austin, Auryn dan Alceo terdengar di sepenjuru ruangan yang sedang penuh oleh keluarga besar mereka.
"Bagaimana sih anak itu? Kenapa juga dia masih bekerja mendekati hari pernikahannya? Apa dia mengira ini hanya candaan?" Gerutunya lagi.
"Tenanglah..." Nicholas, Suami Keira, meraih bahu istrinya dan menenangkannya dengan cara mengusap. "Austin tidak akan terlambat di hari pernikahannya sendiri."
"Tapi dia tidak ada kabar, Nic!!" Protes Keira.
"Kau yang panik seperti ini hanya memperburuk keadaan. Shannon akan semakin gugup, Kei." Nicholas menggerakkan dagunya menunjuk Shannon yang hanya duduk terdiam sambil meremas kedua tangannya di atas gaun pernikahan yang sedang ia kenakan.
Shannon tersenyum kecil, namun kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya.
Keira menoleh menatap Shannon dan mulai merasa bersalah. Ia mendekati Shannon dan memeluk perempuan itu dengan lembut. "Oh maaf, Shannon. Aku tidak bermaksud membuatmu bertambah cemas."
"Tidak apa, Bibi," balas Shannon dengan suara parau. "Aku percaya pada Austin, dia pasti akan menepati janjinya untuk datang tepat waktu."
Keira tersenyum dan mengangguk kecil sambil merapikan rambut calon menantunya itu. "Kau akan menikah dengan Austin sebentar lagi. Bukankah sebaiknya kau mengoreksi cara panggilanmu pada kami, Shan?"
Shannon menatap Keira kemudian Nicholas bergantian. Ia lalu tersenyum lagi dan berkata, "Mommy, Daddy..."
"That's better," sahut Nicholas yang disetujui oleh Keira.
Dering ponsel milik Alceo memecah kehangatan di sekitar mereka.
Alceo mengernyit lalu menatap kearah istrinya untuk meminta izin mengangkat teleponnya sejenak, lalu keluar ruangan.
"Telepon dari siapa, Meg?" Tanya Keira pada anak menantunya.
"Tidak tahu," sahut Megan sambil menggidikkan bahu.
Shannon kembali menunduk dan menatap kedua jemarinya yang saling bertautan tidak tenang hingga Alceo kembali ke ruangan dengan wajah sedikit gugup. Ia mendekati Megan dan berbisik sesuatu. Ia juga melakukan hal yang sama pada Auryn dan Mike.
"Apa kau yakin sempat?"
Shannon bisa mendengar pertanyaan itu dari bibir Mike sebelum mereka meninggalkan ruangan secara bersamaan.
"Ada apa ini?" Tanya Keira kebingungan. Pertanyaan yang sama yang menghinggapi kepala Shannon saat ini.
Megan kemudian kembali kedalam ruangan dan berkata, "kalian bersiap-siap lah. Acara akan dimulai satu jam lagi."
"Sebenarnya ada apa ini Megan? Siapa yang menelepon tadi?" Tanya Nicholas kali ini.
"Itu-"
"Urusan anak muda, Dad," sahut Alceo yang tiba-tiba muncul di belakang Megan. Ia menyusul Megan karena wanita itu tidak kunjung kembali setelah memberitahu anggota keluarganya untuk bersiap.
"Apa maksudmu, young man?! Kau mengatai Mommy dan Daddymu tua?!" Protes Keira yang langsung ditahan oleh Nicholas.
Alceo langsung kabur tanpa menunggu omelan lanjutan dari ibunya sambil menarik Megan untuk bersiap-siap.
Dalam hati ia sedang setengah mati mengutuk kembarannya yang sangat menyusahkan, bahkan di hari pernikahannya sendiri. Ia menyalahkan Austin yang dengan entengnya mengambil pekerjaan di luar negeri disaat pernikahannya hanya tinggal menghitung jam.
Intinya, Alceo ingin memakan orang saat ini akibat kepanikannya sendiri setelah mendapat telepon dari Austin.
***
Satu persatu anggota keluarga Austin berpamitan keluar untuk segera menempati ruangan yang akan menjadi saksi bisu ikatan cinta pernikahan antara Austin dan Shannon. Di ruangan itu hanya tersisa Shannon, dan Ayahnya yang sedang bermain bersama Gio.
Shannon meraih ponselnya, melihat jam yang tertera di sana, dan melihat nama Austin di layar ponselnya berkali-kali.
Kau akan datang kan? Tanya Shannon dalam hatinya.
"Sudah waktunya, Shan," ujar ayahnya membangunkan dari lamunan.
"Tapi Austin belum datang, Dad..."
"Mereka bilang berjalan sesuai rencana, kan? Lagipula kita tidak bisa mengundurnya lagi sekarang," sahut ayahnya.
"Mama let's go! Aku mau bertemu Papa!" Sahut Gio penuh semangat.
Melihat wajah kedua laki-laki yang disayanginya, Shannon tidak sanggup membuat senyum itu pudar dengan keraguan yang ia rasakan sekarang. Bagaimana kalau Austin tidak datang? Bagaimana kalau Austin berubah pikiran? Atau bagaimana kalau Terjadi sesuatu pada Austin?
"Shall we?" Tanya ayahnya seraya mengangkat lengannya di hadapan Shannon.
Shannon tersenyum kecil kemudian mengangguk. Ia meraih lengan ayahnya dan menghembuskan napas perlahan.
Bukan seperti ini yang ia bayangkan ketika memikirkan sebuah pernikahan dengan Austin. Seharusnya ia bersikeras tidak membiarakn Austin pergi ke Hawaii hanya untuk menyenangkan hati rekan kerja mereka. Kalau seperti ini, hati siapa yang senang? Bukan dirinya tentu saja.
Austin seharusnya yang berjalan bersamanya menuju Altar saat ini sesuai dengan apa yang Shannon inginkan. Lalu dengan ia berjalan bersama ayahnya menuju Altar, apa akan membuat sebuah perbedaan? Austin tetap tidak ada, dan Shannon ragu kalau Austin sedang menunggunya di depan Altar.
Shannon terlalu sibuk melamun hingga ia tidak menyadari perbedaan kecil yang terjadi di sekitarnya. Ia bahkan masih melamun ketika berdiri di depan pintu besar yang akan membawanya menuju ke gerbang kehidupannya yang baru bersama Austin... kalau laki-laki itu bisa sampai tepat pada waktunya.
"Kau siap, sayang?" Tanya Ayahnya membuyarkan lamunan Shannon lagi.
Shannon ingin menggeleng, namun ia tidak mau membuat ayahnya khawatir. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk dan berharap Austin sudah berada di dalam sana.
Pintu di hadapannya terbuka perlahan-lahan. Gio yang berada di depannya juga sudah siap membawa Banner bertuliskan here's come the happy couple. Namun apanya yang Happy? Perasaan Shannon justru campur aduk antara sedih dan kecewa begitu melihat kekosongan di depan Altar.
"... pasangan berbahagia kita telah tiba di depan gerbang kebahagiaan, bersiap untuk menyambut hari kebahagiaan mereka dengan langkah pasti dan percaya diri. Pasangan berbahagia kita, Austin Marvello Tyler, dan Shannon Laurencia Nathala."
Shannon memaksakan senyumnya. Pada kenyataannya yang berada di sampingnya bukanlah Austin. Dan ia hanya seorang diri bersiap menyambut hari kebahagiaannya... atau hari terburuknya?
Shannon baru akan melangkah ketika ia mendengar suara berisik dari belakangnya dan juga Angin yang mendadak terasa sedikit kencang meniup gaun dan slayernya.
Semua orang di dalam ruangan berdiri dan melihat kearahnya dengan beragam ekspresi. Namun Shannon tahu kalau bukan dirinya yang menjadi objek tatapan kali ini, melainkan sesuatu di belakangnya.
Shannon memaksakan diri untuk ikut berbalik dan ia merasa waktu di sekitarnya berhenti.
Sebuah helikopter baru saja mendarat di tempat yang seharusnya menjadi pelataran parkir gedung gereja tersebut. Tempat yang sangat luas yang memang bisa untuk dibuat sebuah landasan helikopter disaat genting seperti ini dengan memindahkan seluruh mobil ke gedung parkir sebelah yang pastinya sangat sulit dilakukan sendirian.
Shannon kemudian berbalik dan melihat senyum juga wajah kelelahan di raut wajah Mike, Auryn, Alceo, dan juga Megan. Mereka sedang menatap Shannon dengan berjuta arti.
Apa mereka yang melakukannya? Tanya Shannon dalam hati. Tidak untuk waktu lama Shannon menatap mereka, karena ia kembali menatap kearah Helikopter yang pintunya sudah terbuka dan memperlihatkan wajah laki-laki yang sejak tadi meresahkan pikiran Shannon, sedang berdiri di ambang pintu lengkap dengan tuxedo putihnya.
"What a grand entrance..." komentar Auryn sambil berdecak dan tersenyum geli melihat wajah bodoh saudara kembarnya.
"Aku jadi ingin menikah lagi dan membuat gebrakan yang sama," ujar Alceo mengundang gelak tawa orang di sekitarnya.
Austin memang menghubunginya tadi untuk mengabarkan kalau pesawat pribadinya mengalami gangguan mesin sehingga ia harus mendarat darurat di Broken Hill. Mereka diminta untuk mengosongkang halaman gedung pemberkatan agar ia yang sedang dalam Helikopter menuju ke Sydney bisa melakukan pendaratan dan tidak terlambat dalam pernikahannya sendiri.
Dan terbukti, ia tidak terlambat, dan semua orang terpukau dengan kedatangannya beserta helikopternya itu.
"Austin?" Gumam Shannon tidak percaya. Matanya sudah berkaca-kaca melihat Austin berjalan mendekat dengan senyuman khas miliknya. "Kau benar-benar Austin?"
Austin menghela napas lega karena ia tidak begitu terlambat setelah apa yang terjadi. Ia langsung melingkarkan kedua tangannya di pinggang Shannon dan mengecup kening perempuan itu. "Maaf aku terlambat."
Mendengar suara Austin, Shannon semakin yakin kalau ia tidak sedang berhalusinasi. Ia langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Austin dan memeluknya dengan sangat erat.
"I thought you couldn't make it!" Lirih Shannon sambil terisak. Ia sepertinya sudah tidak peduli dengan make upnya. Karena yang ia rasakan adalah kelegaan yang luar biasa.
"I've go through every the broken road, so that i can be with you, Shan. I won't miss this chance where i can have you to be my wife for my entire life," bisik Austin yang membuat Shannon tersenyum bahagia ditengah isak harunya.
"Alright Prince, ini waktunya untuk menikah. Kalian memiliki waktu selamanya untuk berpelukan seperti itu setelah ini," sindir Alceo yang membuat seluruh tamu undangan tertawa.
Austin ikut terkekeh sebelum ia meregangkan pelukannya dan menahan kedua bahu Shannon di depannya untuk melihat kecantikan Shannon dalam balutan gaun pengantin dan dandanan Natural dibalik slayer yang dikenakan.
"You are so gorgeous, babe. Shall we get married now?" Tanya Austin seraya menawarkan lengannya untuk di lingkari oleh Tangan Shannon.
Shannon mengangguk kemudian ia menggandeng Austin dengan hati yang jauh lebih lega saat ini. Ia bahkan bisa melihat ayahnya sudah kembali berada di sisi ibunya, dan Gio yang sudah berdiri di depan Altar dengan mata berbinar melihat kedatangan Austin.
Austin menuntun Shannon berjalan menuju Altar sambil tidak henti-hentinya menebar senyuman dan salam serta ucapan terima kasih untuk tamu yang sudah hadir disana.
Shannon juga sesekali tersenyum dan menunduk malu karena penampilannya pasti sudah betantakan setelah menangis di depan tadi.
Semua berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan Shannon. Prosesi pemberkatan berjalan dengan khidmat hingga tiba saatnya mereka mengucapkan sumpah pernikahan mereka.
Austin sempat membisikkan kata i love you sesaat ketika mereka saling berhadapan. Shannon yang menangkap bisikkan kata itu hanya bisa tersipu malu dan membalas dengan bisikan i love you too yang membuat Austin mengulum senyumnya dan menunduk menyembunyikan kegembiraannya.
"... membacakan sumpah pernikahan mereka."
Austin mendongak masih dengan senyumannya ketika ia menerima mike dari pendeta yang memberkati pernikahan mereka.
Ia berdeham sekali kemudian ia tersenyum sambil menatap mata Shannon dari balik slayer yang masih menutupi wajah cantik Shannon.
"Dear Shannon..." Austin tersenyum. "Aku ingin memberitahumu seberapa besar rasa syukurku atas segala masalah yang pernah terjadi dalam hidupku selama ini, masalah yang pada akhirnya mempertemukanku kepadamu.
"Kau adalah wanita terkuat yang pernah ku temui setelah Ibu dan Adikku. Kau adalah wanita yang luar biasa, kau juga adalah wanita yang mampu menunjukan bahwa akan selalu ada jalan keluar asalkan kita mau berusaha. Bahwa berlari bukanlah jalan keluar. Bahwa kekebahagiaan semudah senyumanmu di pagi hari." Austin merasakan genggaman tangannya mengerat saat melihat air mata Shannon kembali mengalir menyusuri lekuk senyuman di bibirnya.
"Di hadapan seluruh keluargaku, dan keluargamu, dan dihadapan Tuhan, aku, Austin Marvello Tyler, berjanji untuk mencintaimu, mengasihimi, menyayangimu dalam suka maupun duka, Sakit maupun sehat, kaya maupun miskin. Aku berjanji untuk menjadi Pilar dan pemimpin yang baik untuk keluarga kita, menjadi ayah yang baik untuk Gio dan anak-anak kita, dan menjadi suami yang baik untukmu, Shannon Laurencia Nathala, hingga maut memisahkan kita," ucap Austin diakhiri oleh senyuman dan mata berkaca-kaca akibat air mata yang mengancam akan turun.
Austin menyerahkan mike kepada Shannon ditengah haru biru yang masih Shannon rasakan setelah mendengar janji pernikahan Austin. Auryn yang berada di dekat mereka dengan sigap langsung memberikan tissue kepada Shannon.
Disaat itulah Austin menyadari kalau bukan hanya Shannon yang tengah menangis menahan haru, melainkan hampir seluruh tamu undangan, termasuk keluarganya.
Terlebih Auryn, Megan, dan Keira. Juga Bibi-bibinya yang lain beserta sepupu-sepupu dan Nenek Kakeknya.
"My dear Austin..." ucap Shannon membuat Austin kembali menatap Shannon tepat di manik mata kekasih yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
"Rasa syukurku tidak akan pernah cukup kepada Tuhan karena telah mempertemukanku padamu disaat keputusasaan membayangiku. Kau hadir disaat aku tidak lagi mempercayai adanya cinta. Kau hadir disaat aku tidak lagi bisa percaya pada kebaikan. Kau hadir... disaat..." Shannon terisak sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. "Disaat terkelam dalam hidupku, menawarkan cahaya hangat yang..."
Austin ingin sekali memeluk Shannon untuk menguatkan perempuan itu ketika Shannon terus berhenti ditengah ucapannya. Hatinya ikut menghangat dan pilu disaat bersamaan. Isakkan juga semakin terdengar dari arah tamu undangan.
"Cahaya hangat yang tulus. Bahkan disaat aku tidak pernah meminta, tapi kau selalu disana dan siap untuk memberiku segala kebaikan dan ketulusan yang kau miliki. Mengajariku tentang cinta dan percaya. Memberikanku sebuah keluarga yang pernah hilang, mengorbankan segala hal hanya demi aku.
"I can't thank you enough for that..." Shannon terisak lebih keras saat bisikan lirih itu selesai dikatakan. Auryn memberikan 1 lembar tissue lagi kepada Shannon yang langsung diterima dan digunakan untuk menyeka air matanya.
"Di hadapan seluruh keluargaku, dan Keluargamu, dan di hadapan Tuhan, Aku, Shannon Laurencia Nathala, berjanji untuk mencintaimu, mengasihimi, menyayangimu dalam suka maupun duka, Sakit maupun sehat, kaya maupun miskin. Aku berjanji untuk menjadi penyemangatmu, Ibu yang baik untuk keluarga kita, dan menjadi istri yang baik untukmu, Austin Marvello Tyler..." Shannon tersenyum dan melanjutkan ucapannya dengan bisikan lirih akibat tenggorokannya yang tercekat oleh isakkannya, "hingga maut memisahkan kita."
Austin tersenyum lebar dengan airmata yang akhirnya mengalir menuruni pipinya. Ia merasa kelegaan yang luar biasa kali ini. Begitu juga Shannon. Austin bisa melihat seberapa lega perempuan itu sudah menyelesaikan janji pernikahannya barusan.
Austin kemudian membuka slayer yang menghalangi wajah Shannon atas arahan Pendeta, dan menukar cincin yang diserahkan oleh Alceo sebagai bestman Austin.
"Ladies and Gentleman, ini saatnya kita akhiri prosesi ini. Kita sudah menyaksikan pertukaran cincin kedua pasangan ini, dan mendengarkan sumpah pernikahan mereka. Dan mereka sudah setuju untuk saling menikah, dan dengan Tuhan, juga kekuasaan yang dilimpahkan pada saya, maka saya menyatakan kalian sebagai Suami dan Istri. Austin, kau boleh mencium mempelaimu sekarang," ucap pendeta itu menyudahi prosesi pernikahan mereka.
Austin melirik Pendetanya sekali kemudian menatap Shannon sesaat sebelum ia mendekat dan mendaratkan kecupan di bibir Shannon.
Tamu undangan yang hadir kemudian bersorak dan bertepuk tangan masih dengan wajah penuh haru melihat kebahagiaan Shannon dan Austin.
Austin membingkai kedua pipi Shannon yang tidak lepas dari senyum bahagia di bibirnya kemudian berbisik, "i love you, Mrs. Tyler."
Shannon tersipu mendengar panggilan baru yang keluar dari bibir Austin. Ia tidak menyangka perjalanan panjangnya selama ini akan melabuhkannya pada diri seorang Austin. Dia adalah laki-laki terbaik dari sekian juta populasi laki-laki di dunia ini. Ia tidak pernah menyangka bahwa laki-laki yang ditakdirkan untuknya berada 9000 mil dari tempatnya berada. Dan kini ia sudah memilikinya.
Shannon mengecup bibir Austin sekali lagi sebelum ia berkata, "i love you too, Mr.Tyler."
***
END
Terima kasih banyak untuk para Readers yang masih sangat setia menunggu cerita ini untuk di Upload.
Sekali lagi Maaf untuk penundaan cerita dikarenakan masalah Pribadi yang membuat cerita ini menjadi cerita TERLAMA dibandingkan cerita-cerita McKenzie, Bramantyo, Kim, Dan Tyler.
Hope you like it and... see you on my next story ❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro