Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. Meet the In-Law - 3

Setelah memaksa Gio untuk tidur di kamar Austin, dan Risa juga memilih untuk berpamitan pulang agar tidak mengganggu perbincangan Shannon dengan kedua orang tuanya, kini Austin, Shannon, dan dua orang tua Shannon sudah berkumpul di ruang kerja Austin.

Sebenarnya Shannon tidak tahu apa yang ia harapkan dengan mendengar penjelasan 'apa yang terjadi setelah dirinya di buang' saat ini. Karena itu tidak akan mengubah kenyataan apapun dan tidak akan bisa mengobati luka di hatinya sedikitpun.

"Kami berusaha membujuk Kakekmu, Shan." Ayahnya bersuara ditengah keheningan yang membuat Shannon melamun. "Daddy bahkan berlutut dan memohon pada Kakek agar menarik kembali keputusannya untuk mencoretmu dari daftar keluarga kami," sambungnya seraya tersenyum getir. Ia mengingat bagaimana hancur hidupnya mengetahui putri satu-satunya, dan putri yang ia banggakan mengecewakan kepercayaannya, dan diusir di depan matanya tanpa bisa ia bela. Ia terlalu kecewa saat itu.

"Kau memang mengkhianati kepercayaan kami, Shannon. Tapi seberapa besarpun rasa kecewa kami, itu tidak bisa mengubah kenyataan kalau kau tetap anak kami. Kami bersalah karena tidak lebih giat lagi menjaga putri kami, bahkan saat di masa terpuruknya, kami tidak bisa menolong anak kami sendiri," ujar ayahnya mulai terlihat emosional. Ibunya di sampingpun sudah menitikkan air mata. Sedangkan Shannon, berusaha terlihat tegar dengan meremas jemari tangannya di pangkuan.

"Kami berusaha mencarimu tanpa sepengetahuan Kakek. Kami selalu menggarapkan kesehatan dan keselamatanmu juga calon anakmu. Kami berusaha setiap hari untuk mengubah keputusan Kakekmu, mendesaknya, memohonnya, bahkan berlutut setiap haripun seperti sudah menjadi rutinitas Daddy." Ayahnya tergelak kecil sambil menggeleng. Ia meraih bahu istrinya, menguatkan wanita yang semakin tersedu itu. "Sampai kesehatan Kakek menurun," sambung Ayahnya menyentak diri Shannon.

"Kami tahu Kakekmu pasti bukan orang sekejam itu. Ia pasti juga mengkhawatirkanmu dan menyesali keputusannya. Ia lebih kecewa dibandingkan kami karena Kakek sangat membanggakanmu, Shan," sambung ayahnya menatap Shannon lurus. Namun Shannon memilih untuk menunduk dan menghalau segala bentuk emosinya.

Austin yang merasakan dilema Shannon, perlahan menyentuh jemari Shannon yang sudah merah di remas-remas, lalu menggenggamnya dengan lembut.

"Kami terpaksa kembali ke Australia karena kesehatan Kakekmu semakin mengkhawatirkan. Tapi bukan berarti kami berhenti mencari keberadaanmu, Shan," ujar Ayahnya meyakinkan Shannon yang sama sekali tidak mengangkat kepalanya sejak tadi.

"Tapi kami tidak menyangka kalau kau yang selama ini besar di Bali, bahkan untuk berbahasa Indonesia juga tidak terlalu lancar saat itu, akan nekat melarikan diri ke Jakarta. Kami sama sekali tidak memperhitungkan itu. Kami masih berharap kalau kau akan ada di Bali, ditempat yang bisa kami temukan." Ayahnya mengepalkan tangannya, mengisyaratkan penyesalannya yang mendalam. "Saat itu kami berpikir, selama tidak ada berita pembunuhan atau penemuan mayat yang menyerupaimu, kami setidaknya bisa berlega hati karena kami yakin, kau pasti baik-baik saja."

Austin perlahan bisa mendengar isakkan di sampingnya. Bahkan punggung tangannya yang berada tepat di bawah wajah Shannon juga bisa merasakan tetesan air mata perempuan itu.

"Hingga Austin mengirim anak buahnya menemui kami, lalu Austin sendiri datang kepada kami, memberitahu kami kalau kau baik-baik saja, begitu juga dengan Gio. Kami tidak pernah merasa selega itu sebelumnya. Bahkan Kakekmu juga-" ucapan ayahnya terpotong oleh isakkan Ibunya yang semakin keras.

Ayahnya ikut terisak dan suaranya semakin bergetar ketika melanjutkan ucapannya, "Kakekmu yang sedang berada dalam keadaan koma juga menitikkan airmata saat mendengar ucapan Austin, Shan. Kakekmu pasti juga merasa lega mengetahui kalau cucu kesayangannya baik-baik saja."

Shannon akhirnya mengadah untuk pertama kalinya. Mata merah dan basahnya membelalak. Dengan suara bergetar dan seraknya, ia bertanya lirih, "ada apa dengan Kakek?"

Kali ini ibunya yang berbicara dengan suara bergetarnya. "Kakekmu mengalami komplikasi jantung, Shan. Tidak lama setelah mengusirmu dan kami terus mendesaknya untuk mengubah keputusan, Kakekmu collapse," ujar ibunya sambil sesekali terisak bahkan tersedak isakkannya saat berbicara. "Dokter bahkan sudah menyerah dan meminta kami mempersiapkak kemungkinan terburuk, tetapi-"

Shannon terisak semakin pilu. Austin menarik bahu Shannon dan memeluk perempuan itu. Ia membiarkan Shannon meluapkan kesedihan di pelukannya.

"Kakekmmu bertahan di kondisi komanya selama 3 tahun, Shan. Dokter percaya kalau Kakekmu masih menunggu sesuatu yang tidak membuatnya tenang," sambung Ayahnya tidak kalah lirih.

"Kakek menunggumu pulang, Shan. Kakek pasti sangat menyesal telah mengusirmu dulu, sebagaimana kami menyesal tidak bisa menolongmu. Kami benar-benar meminta maaf padamu, Shan. Kami orang tua yang buruk," ujar ibunya sedikit histeris sebelum ia kembali meledak dalam tangisannya.

Austin mengusap bahu Shannon yang bergetar hebat di dalam pelukannya. Ia tahu kalau Shannon akan sangat terpukul, maka ia memilih untuk membicarakan hal ini di tempat yang lebih pribadi ketimbang parkiran restoran tempat Shannon bekerja tadi.

Cukup lama mereka menangis dan menenangkan diri. Seisi ruangan hanya diisi isakkan dan suara denting jarum jam yang terus bergerak. Cukup lama untuk Shannon yang akhirnya berani kembali membuka suaranya dengan lirih.

"Aku tidak membenci kalian," gumam Shannon pelan. "Aku hanya kecewa..."

"Maafkan kami," ucap Ibunya tidak kalah lirih.

Shannon menggeleng. "Aku berjanji pada diriku sendiri akan menjadi orang tua yang baik untuk Gio. Menjadi contoh teladan untuk anakku, dan membuatnya bangga memiliki ibu sepertiku," gumam Shannon sambil tersenyum kecil membayangkan wajah ceria Gio. "Apapun yang terjadi, apapun yang kalian lakukan, dan apapun keputusan kalian, baik atau buruk, adil atau tidak, semua itu tidak akan mengubah kenyataan kalau kalian adalah orangtuaku," sambung Shannon. Kali ini dia menatap kedua orangtuanya yang masih menatapnya bingung.

Aku juga ingin menjadi wanita yang bisa di banggakan Austin dengan memiliki hati lapang. Dan juga membuktikan ucapan Austin, Shannon membatin seraya menatap Austin yang terus menggenggam tangannya sambil tersenyum kecil menyemangatinya.

"Aku sudah memaafkan kalian, Mom, Dad," ujar Shannon dengan perasaan lega bercampur bahagia.

Seperti yang Shannon perkirakan, Austin tersenyum bangga seraya mengecup pelipisnya dengan lembut. Kelegaan juga terlihat di raut wajah yang penuh kerutan dari  Kedua orang tuanya.

When you forgive, you do not change the past. But you sure do change the future.

Senyun Shannon terasa lebih ringan saat ini.

***

"I'm proud of you," gumam Austin seraya memeluk Shannon yang baru akan menghampiri Gio di tengah kasur Austin. "I can't be more proud than having you as my future wife."

Shannon merona mendengar pujian tulus dari bibir Austin. Ia ingin mengatakan kalau ini semua karena Austin, tetapi ia malu mengakuinya. Ia mengingat seberapa menentangnya dia dengan keputusan Austin membawa kedua orang tuanya kemari beberapa waktu lalu. Ia terlalu gengsi mengakui kalau ia bersyukur Austin tidak meninggalkannya setelah ia menyalahkan Austin yang terlalu ikut campur.

Tapi Shannon yakin, seperti hari sebelumnya, seperti masalah sebelumnya, Austin pasti tahu persis perasannya saat ini tanpa perlu ia katakan.

"Aku mandi dulu. Kau beristirahatlah," ucap Austin seraya mengecup pipi Shannon dan berlalu ke arah kamar mandi yang berada di kamarnya.

Shannon terdiam dan menatap pintu kamar mandi yang menghilangkan tubuh Austin di dalamnya. "Thankyou, Austin," gumam Shannon kecil sambil tersenyum. Terlalu malu untuk mengungkapkan secara terang-terangan.

Ia kemudian menghampiri Gio, bermaksud memindahkan tubuh kecil itu ke kamar tamu di rumah Austin agar kehadiran mereka tidak mengganggu waktu istirahat Austin nanti.

Ia melihat Gio tertidur pulas. Ada senyum kecil di wajah tampan itu. Membuatnya semakin terlihat menggemaskan. Ia membayangkan, apa jadinya kalau ia menggugurkan Gio saat di kandungan dulu demi keluarga dan masa depannya. Dan setelah ia pikirkan, ia sama sekali tidak menyesal memiliki Gio dan apapun yang sudah terjadi.

Memiliki Gio dan bertemu Austin, mungkin adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya.

Kemudian Shannon terlelap begitu saja di atas kasur Austin bersama dengan Gio di sampingnya.


TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro