Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Meet the In-Law - 1

Seminggu berlalu setelah lamaran Austin di Bali, dan semua kembali ke sedia kala.

Austin kembali sibuk dengan pekerjaannya hingga mereka tidak dapat bertemu selama satu minggu penuh. Entah apa yang laki-laki itu kerjakan, tetapi seusai lamaran itu, bukankah harusnya ada perbedaan pada hubungan mereka?

Tapi sebaliknya, Shannon malah merasa Austin semakin menjauh selama seminggu ini. Atau mungkin itu hanya perasaan Shannon? Tidak tahu.

Ketidak jelasan itu juga berefek pada kinerjanya dalam bekerja.

Bukan tanpa alasan ia merasakan perasaan itu. Semua orang juga pasti akan merasakan hal yang sama ketika calon suami yang baru melamarmu, tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Jangankan telepon menanyakan kabar, pesan singkatnya saja tidak dibalas sama sekali.

"Dasar laki-laki!" Gerutu Shannon seraya melempar adonan Pizza kedalam loyang hingga menimbulkan bunyi tumbukan kencang.

Shannon sebenarnya sedikit khawatir pada keadaan Austin. Mungkin laki-laki itu sakit atau luka tusukannya menimbulkan infeksi sampai ia tidak bisa mengabari? Memikirkan kemungkinan itu membuat Shannon bergidik sendiri.

"Tidak bisa. Aku harus bicara pada Austin. Dia tidak bisa seenaknya melamar dan mencampakan orang begitu saja! Memangnya perasaanku ini apa?" Gerutunya seraya melepas ikatan apron di pinggangnya dan berjalan meraih tas tangannya. Ia melupakan pizza yang seharusnya menjadi makan siang untuk Gio nanti.

Dengan langkah terburu-buru selepas turun dari taksi, Shannon berjalan menuju resepsionis perusahaan besar itu.

"Ada yang bisa saya bantu, mbak?" Tanya resepsionis itu ramah.

"Bapak Austin Tyler. Apa beliau ada di tempat?" Tanya Shannon tanpa berpikir panjang.

"Apa anda sudah ada janji sebelumnya?" Tanya resepsionis itu dengan kening sedikit berkerut.

Shannon meringis. Ingin bertemu saja harus membuat janji. "Katakan saja Shannon mencarinya," ujar Shannon percaya diri.

Resepsionis itu tersenyum kecil dan menggeleng. "Maaf, mbak. Peraturannya disini, anda harus memiliki janji agar bisa bertemu dengan atasan kami. Jika tidak terlalu mendesak, mungkin anda bisa kembali lagi setelah membuat janji."

Shannon geram. Dari sorot mata resepsionis di hadapannya, terlihat bahwa wanita di depannya sedang menilai dirinya dan itu membuat Shannon tersinggung.

Kenapa ia sebagai tunangannya sulit sekali bertemu dengan Austin? Mengaku sebagai tunangannyapun Shannon ragu akan dipercaya. Kenapa Shannon tidak menghubungi langsung saja Austin kalau memang ia tunangannya, kan?

"Kalau begitu, Risa. Dimana ruangan Risa? Aku tidak perlu membuat janji hanya untuk bertemu dengan karyawan, kan?" Tanya Shannon tidak sabaran. Ia berencana untuk meminta Risa menghubungkannya dengan Austin nanti.

Wanita di hadapannya berdecak kecil. Ia kemudian mengecek kedalam sistem di komputernya untuk memberikan Shannon jawaban.

"Ruangannya ada di-"

Shannon tidak jadi mendengar ucapan resepsionis itu lantaran matanya menangkap sosok yang sejak seminggu ia tunggui kabarnya melalui ujung matanya.

Laki-laki itu terlihat baik-baik saja. Terlalu baik-baik saja hingga Shannon tidak mengerti kenapa laki-laki itu sampai sekarang tidak bisa menghubunginya.

"Eh... mbak mbak!!!!"

Shannon berlari menghampiri Austin dan menghiraukan panggilan juga kejaran resepsionis yang panik melihatnya menghampiri sang atasan.

"Mbakkk jangan!!!" Teriaknya seakan-akan Shannon adalah seorang teroris yang mengancam keselamatan Austin.

Shannon tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Ia juga tidak peduli jika Austin sedang dalam perbincangan bisnis saat ini. Ia memerlukan kejelasan yang lebih jelas lagi dan juga penjelasan atas sikap acuh Austin.

Ia berdiri di hadapan Austin sambil bersedekap.

Austin terlihat sangat terkejut untuk beberapa saat, dan setelahnya wajah terkejut itu berubah menjadi senyuman.

"Shannon, apa yang membawamu kemari?" Tanya Austin.

"M-maaf, Pak. Wanita ini menerobos masuk-" resepsionis yang mengejar Shannon terengah di belakangnya.

"It's ok. Kau bisa kembali bekerja," ujar Austin menengahi. Laki-laki itu kemudian beralih menatap kearah laki-laki bersetelan rapi di sampingnya dan berkata, "saya akan segera menyusul."

Rombongan laki-laki berjas itupun berlalu sambil membungkuk hormat pada Austin dan berlalu melewati Shannon.

Shannon menatap kepergian mereka sejenak, lalu kembali teringat akan tujuannya ke kantor itu.

"Kau sehat," sindir Shannon terdengar sebal.

Austin hanya menyengir dan mengangguk.

"Kita bicara di tempat lain, ya?" Ajak Austin seraya menarik tangan Shannon keluar dan menuju ke taman di sebelah gedung perusahaan itu.

"Kau tidak merasa berhutang penjelasan padaku?" Tanya Shannon kali ini berkacak pinggang.

Austin menggaruk tengkuknya dan menghela nafas. "Shan, bisa kita bicara lagi nanti?" Pinta Austin.

Shannon melotot tidak percaya dengan permintaan Austin barusan.

"Nanti? Kau seri-" Shannon menghela nafasnya dan berusaha mengatur emosinya. Ingin rasanya ia meneriaki Austin saat ini.

Lucu juga kalau dipikir, ia baru bertunangan dengan Austin, dan seminggu kemudian ia bertengkar untuk hal yang sama sekali tidak ia ketahui penyebabnya. Atau sebenarnya lamaran Austin itu hanya mimpi?

"Baiklah, kapan?" Tanya Shannon memilih mengalah.

"Aku... tidak tahu. Aku harus ke Sydney hari ini," jawab Austin terdengar ragu.

"Apa?!" Shannon memekik tidak percaya. "Austin kau-" ia kehilangan kata-katanya. "Kapan kau kembali?" Tanyanya lagi dengan nada ketus.

"Sampai keperluanku selesai," jawab Austin semakin tidak enak hati melihat reaksi Shannon.

Shannon terdiam kemudian tertawa hambar. Ia merasa bodoh sekarang. Sangat teramat bodoh.

"Shannon ma-"

Shannon menepis tangan Austin yang baru akan menyentuhnya. Ia berjalan mundur. "Sudahlah, aku yang bodoh," gumam Shannon lebih kepada dirinya sendiri. Ia menghela nafas dan menatap Austin sambil memaksakan senyumnya. "Semoga perjalananmu menyenangkan. Maaf menganggu waktumu, aku permisi."

Shannon kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan Austin terlebih dahulu. Bahkan ketika Austin memanggilnya berkali-kali, ia tidak juga berhenti.

Apa Austin tidak mengerti perasaannya? Ia sudah membuka seluruh hatinya untuk Austin, tetapi laki-laki itu seakan tidak peduli sekarang. Apalah gunanya lamaran kalau bahkan untuk perjalanan bisnis seperti ini saja tidak diberitahu sama sekali. Jangankan perjalanan bisnis, hal semudah mengabari saja tidak.

Sepertinya lamaran kemarin hanya mimpi yang terlalu manis untuk jadi kenyataan.

Shannon kini merasa bodoh sudah uring-uringan karena yang ia khawatirkan saja terlihat sehat bahkan siap untuk pergi ke Australia.

Shannon menangis sepanjang siang dan malam itu. Ia bahkan terpaksa cuti kerja hanya untuk menangisi nasibnya.

Bahkan ketika pesan masuk dari Austin masuk keponselnya, perasaannya sama sekali tidak terasa membaik.

From : Austin.
Maafkan aku, Shannon. Aku mencintaimu.

"Mencintaiku, pantat panci! Bukan begini caranya mencintai! Huaaaaaaaa~"

***

Seminggu berlalu tanpa ada kabar lagi dari Austin. Pesan masuk yang di terima Shannon malam itu adalah yang pertama dan terakhir. Laki-laki itu tidak sama sekali  terlihat berusaha untuk meminta maaf.

"I will show you how much i love you, kepala lo peyang! Dasar bule sialan! Makan tuh janji! Lo balik kesini, abis muka lo gue lap!" Gerutu Shannon seraya membersihkan kaca jendela restoran tempatnya bekerja malam itu.

Hingga sekarang Shannon masih tidak mengerti apa yang ada di benak Austin mengenai arti lamaran, tunangan, dan memiliki pasangan hidup. Bahkan perlakuannya sebelum mereka mendapat kejelasan status masih lebih manis ketimbang saat ia sudah menerima lamaran Austin.

Kalau seperti ini, ia jadi mengerti arti kata orang-orang yang mengatakan kalau masa pendekatan lebih manis daripada ketika sudah didapatkan.

"Menyebalkan!!" Gerutu Shannon lagi. Kali ini ia melempar lap tangannya ke semak-semak untuk melampiaskan kekesalannya.

"Siapa yang menyebalkan?" Sebuah pelukan juga sebuah suara yang Shannon rindukan terasa hingga membuat tubuhnya menegang.

Harum parfum yang gentle, hanya ada satu orang di benak Shannon yang mengenakannya.

"Haaaaaaahhhh aku sangat merindukanmu," bisiknya sambil mengeratkan pelukannya.

Shannon pasti bermimpi lagi.

Ia memutar tubuhnya perlahan hingga ia bisa melihat wajah lelah di wajah laki-laki yang seminggu penuh ia sumpahi dan ia kutuk sedang tersenyum tanpa dosa.

Apa dia juga barusan mengatakan kalau dia merindukanku? Shannon bertanya ragu.

Setelah 2 minggu diabaikan, laki-laki ini datang tanpa mengatakan kata maaf dan dengan wajah tanpa dosa seperti ini? Kalau Shannon tidak terlanjur kecewa, ia mungkin akan dengan mudah termakan rayuan dan wajah polos laki-laki itu.

Tapi Shannon sudah terlanjut kesal, kecewa, dan marah. Ia kemudian memberontak, berusaha melepaskan lingkaran tangan Austin dari pinggangnya.

"Lepas, Austin! Aku masih marah padamu!" Gerutu Shannon.

"Aku memiliki alasan, Shannon. Maafkan aku," pinta Austin akhirnya.

"Alasan apa? Kau berubah pikiran dan ingin menarik lagi lamaranmu?" Tanya Shannon sengit. Ia berhenti memberontak.

Austin tertawa. Laki-laki itu masih bisa tertawa disaat Shannon sudah akan menelannya bulat-bulat.

"Kau menyebalkan! Lepas!!" Seru Shannon kembali mencoba melepaskan diri.

"Shannon." Suara seorang wanita membuat tubuh Shannon berhenti memberontak. Shannon menegang mendengar suara lembut itu tidak jauh berada di sebelahnya.

Perlahan pelukan Austin terurai meski Austin masih merangkul pinggangnya sebagai sokongan agar Shannon tidak tumbang.

Shannon perlahan menoleh kearah sumber suara yang memanggil namanya, dan ia terkejut.

"Shannon, Thanks God." Suara laki-laki lain terdengar dari arah yang sama.

Bersamaan dengan itu, tubuh Shannon dipeluk dengan erat oleh wanita yang tadi memanggil namanya. Wanita itu menangis dan memanggil nama Shannon berkali-kali dalam bisikan.

Shannon masih tidak mengerti. Ia masih tidak sadar apa yang terjadi dan apa yang harus ia lakukan.

"Mommy sangat lega bisa melihatmu lagi, Sweet heart," bisiknya di sela-sela isakkan.

Tidak lama setelahnya, seorang laki-laki yang datang bersamanya juga ikut memeluk kedua wanita di depannya.

"Akhirnya kita bisa berkumpul lagi, Shannon. Akhirnya Tuhan menjawab semua doa kami," ucap laki-laki itu tidak kalah haru.

"M-mo-mom? D-dad?" Gumam Shannon tidak percaya.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro