Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. (Holy)Day - 2

Hari-hari liburan mereka di bali, di habiskan dengan penuh tawa canda.

Austin terus menemani Gio bermain di pantai sementara Shannon lebih memilih untuk menikmati angin pantai dan mengawasi dari kejauhan.

Shannon merasa bahagia melihat keakraban Austin dengan Gio. Kekompakan mereka juga tidak perlu di pertanyakan. Bagi orang lain yang melihat, mereka pasti tidak akan ragu menyebut Austin sebagai ayah kandung Gio.

Semua mungkin akan menjadi kenyataan kalau mereka benar-benar menikah, kan? Tapi berbicara mengenai pernikahan. Hingga sekarang Shannon masih belum menanyakan maksud ajakan Austin tempo hari.

Tetapi setiap mengingatnya, Shannon selalu merona malu.

Sebaiknya ia segera menanyakan hal ini pada Austin sebelum ia terbang semakin tinggi akibat angan-angannya sendiri.

Kalaupun itu bukan bercandaan, setidaknya ia mengharapkan lamaran yang lebih manis ketimbang ajakan yang terdengar seperti mengajak anak kecil itu.

***

Shannon baru mengenakan krim wajah sebagai lapisan terakhir untuk perawatan wajahnya malam itu ketika pintu kamarnya di ketuk dari luar.

Shannon tidak perlu bertanya-tanya siapa karena hanya ada satu orang yang akan mengetuk pintu karnya semalam itu.

"Austin, ada apa?" Tanya Shannon bingung. Ia menatap Austin yang sudah rapi mengenakan celana panjang, jaket dan sendal jepit di hadapannya.

"Kau sudah mau tidur?" Tanya Austin sambil menatap Shannon yang terlihat siap tidur dengan daster satin selututnya.

Shannon ikut menatap pakaiannya dan menggeleng. "Belum."

Austin tersenyum dan menghela nafas. "Aku ingin mengajakmu jalan-jalan di pantai. Ini hari terakhir di Bali, jadi..."

"Sebentar, aku ambil jaket dulu." Tanpa pemikiran menolak, Shannon langsung menyanggupi dan berbalik menuju kopernya dan menarik jaket dari dalam sana.

Gio sudah tertidur pulas akibat kelelahan bermain air, jadi Shannon tidak khawatir meninggalkan Gio sendiri. Lagipula Gio anak yang pintar, dia pasti akan baik-baik saja jika ditinggal sebentar.

"Yuk," ajak Shannon begitu selesai mengenakan jaketnya. Dalam hati, ia berjanji akan mengulang perawatan malamnya lagi nanti.

Austin mengembangkan senyum. Entah secara sadar atau tidak, Austin menggenggam jemari Shannon dengan erat. Meski mereka sudah sampai di pinggir pantai, Austin sama sekali tidak melepas genggaman tangannya dan berjalan beriringan dengan Shannon yang tidak henti-hentinya tersenyum malu.

"Kau tahu, Austin?"

"Hm?" Austin menoleh sambil tersenyum kearah Shannon.

Shannon tersenyum dan menatap kedepan dengan pasti sambil kembali berbicara, "aku sangat bahagia karena Tuhan mempertemukanku denganmu." Shannon tertawa kecil sebelum melanjutkan lagi, "aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku kalau aku tidak mengenalmu, dan kau tidak membatalkan pernikahanku. Aku sangat... sangat amat bersyukur untukmu." Shannon bersungguh-sungguh. Ia menarik nafasnya dalam dan tersenyum lebar kearah Austin. "Terima kasih sudah datang ke kehidupan kami, Austin."

Austin tidak mengatakan apa-apa sebagai balasan ucapan terima kasih Shannon. Ia hanya terdiam dan memperhatikan Shannon yang terlihat sedang menikmati angin malam yang menerpa wajahnya dan melihat kelegaan di wajah cantik wanita itu.

Austin kemudian berhenti melangkah dan menarik Shannon hingga berdiri menghadapnya.

"A-" Shannon tidak jadi bertanya ketika matanya terkunci pada mata teduh Austin yang tengah menatapnya.

Untuk beberapa waktu yang terasa singkat, mereka hanya terdiam saling menatap tanpa berbicara apapun. Mereka membiarkan angin dan suara ombak yang mengisi keheningan di antara mereka sementara Austin mengumpulkan keberanian dan Shannon mengagumi wajah Austin.

Setelah dirasa tidak cukup hanya dengan tatapan, Austin kemudian menarik Shannon dan memeluknya dengan erat seakan ia tidak akan melepaskannya lagi.

Shannon membalas pelukan Austin dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Austin. Ia lagi-lagi mendengar degup jantung itu. Degup jantung yang sama cepat dengan miliknya.

"Apa aku boleh bertanya?" Tanya Shannon pelan.

"Hm."

"Sebenarnya hubungan apa yang kita miliki, Austin? Aku bingung," tanyanya lirih. "Terkadang aku merasa spesial ketika kau memperlakukanku dengan manis, terkadang aku merasa aku bukan siapa-siapa karena aku memang tidak tahu apapun mengenaimu. Aku hanya orang asing yang secara kebetulan dan secara beruntung mendapatkan kebaikan hatimu yang menyukai Gio."

Shannon menghela nafas sekali kemudian melanjutkan pemikirannya. "Aku tahu aku terdengar naif, tetapi aku merasa nyaman dan aman berada di dekatmu. Aku bisa merasakan seluruh perhatianmu, dan itu membuatku berharap. Sama seperti ajakanmu untuk menikah di depan Gio beberapa hari lalu. Aku merasa tidak yakin kalau apa yang aku pikir dan rasakan dengan apa yang kau pikir dan rasakan adalah hal yang sama.

"Apa salah jika aku menuntutmu untuk membelikan kejelasan mengenai perasaanmu-"

"Aku mencintaimu," potong Austin.

"Maksudku- a-apa? Kau barusan berkata apa?" Shannon mengurai pelukannya dan menatap wajah Austin sambil berkedip-kedip tidak percaya.

Austin tersenyum dan menangkup kedua pipi Shannon dengan lembut. "I don't know when it start. But when i realise, i already fallen so deep into you."

Shannon menatap Austin dan mendapati keseriusan di wajah tampan laki-laki bule itu. Dari kedua bola matanya, Shannon tahu kalau Austin tidak sedang bercanda.

Austin melepaskan tangkupan tangannya di wajah Shannon dan meraih sesuatu di dalam kantung jaketnya.

Suara kotak yang terbuka di sebelah telinga Shannon membuat Shannon menoleh dan terkejut melihat batu permata yang melekat di cincin yang disinari cahaya rembulan berada di hadapannya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan dan menatap Austin dengan mata berkaca-kaca.

Austin tersenyum dan berkata, "i may not  a perfect and romantic guy in your life. I'm too coward to even tell you how i feel. But i promise you, i will cherish you and show you how much i love you you every single day until death do us part."

Austin berlutut di hadapan Shannon dan melontarkan pertanyaan yang mungkin selalu Shannon tunggu seumur hidupnya dari laki-laki yang dicintainya.

"Will you marry me, Shannon?" Tanya Austin dengan senyum lebar di wajahnya.

Ia tidak tahu bagaimana cara melamar yang baik dan benar karena ini adalah kali pertama ia melamar seorang wanita. Terlebih, selama ini ia memang tidak berpengalaman dalam hal percintaan. Ia hanya berharap ia tidak melakukan kesalahan atau membuat Shannon takut dengan lamarannya.

"Yes..." lirih Shannon terdengar seperti bisikan. Kemudian, "Yes... yes... yes...!!! Yes, i will, Austin!" Teriak Shannon. Ia tidak dapat menutupi kebahagiaannya sedikitpun.

Terlebih saat Austin menyematkan cincin di jari manisnya dan Shannon memeluk erat laki-laki yang kini dengan bangga ia sebut sebagai CALON SUAMInya.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro