Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Uncle Tampan.

Perkenalan tokoh lainnya!!

Tokoh yang lumayan penting nih guys hehehe

Daniel Hyunoo as Giorgio Febrian Nathala ( 4 Years Old )

Seperti hari sebelumnya, Austin kembali menghabiskan waktu makan siangnya di kafe perusahaan dengan segelas kopi dan pemandangan jalanan ibu kota yang semerawut.

Tapi ada yang berbeda hari ini. Di samping kopinya, ada sepiring kue cokelat beserta susu cokelat hangat. Ia tersenyum pada dirinya sendiri yang sangat percaya diri kalau ia akan kembali bertemu Gio disana.

Ia melihat arloji yang melingkari pergelangan tangannya dan kembali menatap jalanan.

"Waaaaaaaah uncle, kau sanggup menghabiskan semua ini?" Suara nyaring bocah laki-laki yang di tunggunya spontan membuat Austin menarik kedua sudut bibirnya dan berbalik menatap wajah takjub di sana.

"Tidak bisa. Kebetulan aku menunggumu. Kemari." Austin melambai dan bergeser sedikit menyisakan tempat untuk Gio duduk di sebelahnya. "Bantu aku habiskan semua ini. Mau, kan?"

"Uncle tidak bisa makan habis, kenapa harus pesan? Kata mama, kita harus menghargai makanan dan tidak boleh buang-buang. Pesan secukupnya saja. Kalau seperti ini, nanti kuenya akan menangis, uncle!" Protes Gio sambil mencibirkan bibirnya.

Austin tertawa menanggapi protesan Gio, ia kemudian berkata, "Mama Gio benar. Paman yang salah. Jadi, mau kan bantu paman menghabiskan ini?"

Gio nampak berpikir sebentar, bergelut dengan pikirannya sendiri membuat Austin semakin gemas. Apa bocah 4 tahun lainnya sepintar ini sekarang? Ia bahkan tidak ingat apa yang dirinya ketahui dulu saat seusia Gio.

"Baiklah. Karena Gio tidak mau kuenya menangis, Gio akan bantu habiskan," putusnya sambil meraih garpu kecil dan memotong kue itu sebelum melahapnya.

Dari ekspresi yang di keluarkan Gio, Austin tahu sekali kalau Gio sangat menikmati kue cokelat dan susu yang ia sediakan. Meski memiliki pemikiran cukup dewasa untuk anak seusianya, Gio tetaplah anak kecil yang menyukai makanan manis.

"Uncle mau?" Tanya Gio saat menangkap Austin yang terus memperhatikannya.

"Tidak, paman sudah kenyang. Untukmu saja," tolak Austin sambil mengacak rambut Gio.

"Kau tidak bersekolah, Gio?" Tanya Austin sambil menopang dagunya.

Kalau di perhatikan, ia terlihat menyedihkan juga. Alih-alih mendapat teman bicara yang dewasa dan nyambung dengannya, ia malah menghabiskan waktu makan siangnya dengan seorang anak laki-laki yang berbeda 20 tahun darinya.

Gio mengangguk. "Aku baru pulang, uncle."

"Lalu kau kemari menemani ibumu?"

Gio mengernyit dan menoleh menatap Austin dengan bibir yang penuh dengan noda cokelat. "Apa maksud paman menunggu Mama?"

"Ah, iya. Maksudku, kau kemari untuk menunggu ibumu selesai bekerja?" Tanya Austin lagi. Kali ini Gio mengangguk.

Pertanyaan Austin barusan seakan menyadarkan Gio akan satu hal. Gio langsung terpekik dan mengguncang lengan Austin.

"Uncle, sekarang jam berapa??"

"Jam setengah 2. Ada apa?"

"Mama berjanji akan mengajak aku ke taman bermain!" Serunya bersemangat. Ia langsung melahap habis satu suapan penuh kue cokelatnya dan berbicara dengan mulut penuh. "Uncle, i neeedh thoo ghooo, byeebyeee..."

"Hei, Gio! Lap dulu mulutmu!" Teriak Austin kepada Gio yang sudah berlari dengan cepat meninggalkannya.

Entah bocah itu dengar atau tidak. Tapi Austin malah kembali menertawakan dirinya sekarang. Ia diabaikan anak kecil hanya karena janji taman bermain.

"Kenapa aku jadi sangat menyedihkan seperti ini?" Austin tertawa dan menyesap habis kopi di cangkirnya.

***

Shannon menatap kosong lalu lalang orang yang baru kembali dari makan siangnya hari itu. Ia menghela nafas dengan berat dan pikirannya kembali berkelana.

Kadang ia bingung, bagaimana setelah peristiwa 5 tahun lalu ia masih bisa duduk di sofa ini, bernafas, dan tidak kehilangan akal sehatnya untuk mengakhiri hidup disaat 95% hati dan dunianya telah hancur.

Orang-orang yang melihatnya pasti tidak pernah menyangka kalau ia telah melewati banyak hal yang sempat membuatnya menyayat urat nadi dan hampir menegak racun serangga kalau saja akal sehatnya tidak menamparnya bolak balik dan menyadarkannya.

Ia membenci dunianya. Ia merasa tidak ada orang yang pernah mengerti dirinya. Tidak bahkan keluarganya sekalipun.

Dan disaat ia mulai bisa membangun dunianya lagi, menata puing-puing reruntuhan yang pernah diterjang badai, satu persatu masa lalunya kembali dan ingin menerobos mengambil benda berharga di baliknya dengan seenaknya.

Shannon tidak pernah memohon selama ini. Ia tidak pernah meminta bantuan siapapun. Ia berdiri sendiri dan ia akan mempertahankan segalanya seorang diri.

"Maaf, lama nunggu ya?" Sebuah suara membangunkan Shannon dari lamunan.

Shannon mengerjap dan mengembangkan senyumnya menyambut dua orang yang sedang berjalan kearahnya.

"Tidak apa. Maaf banget ngerepotin kamu, Ris." Sahut Shannon beralih menatap seseorang dalam gandengan Risa, sahabat baiknya. Ia kemudian mengernyit dan berjongkok. "Kamu makan apa, sayang?"

Anak laki-laki itu memberengut dan menatap Risa dengan tatapan memprotes. "Bibi bilang nodanya sudah hilang! Kenapa Mama bisa tahu Gio habis makan sesuatu?"

Shannon membalik tubuh Gio dan menatap putranya dengan sorot tegas. "Gio, kamu makan apa? Siapa yang kasih ke kamu?"

"Uncle tampan," jawab Gio sontak membuat Shannon memucat.

"Itu, Shan. Maksud Gio itu atasan aku. Gio dengan Atasanku belakangan sangat dekat. Jadi-"

"What did i tell you about accepting things from strangers, Gio?!" Shannon menatap putranya tajam. Sumber kekuatannya dan alasan ia mengais puing-puing untuk menata kembali hidupnya.

"He is not a stranger, Mama," kilah Gio. Ia terlihat akan segera menangis karena Shannon meninggikan suaranya.

Detik setelahnya, Shannon merasa bersalah telah membentak Gio. Shannon menarik Gio dalam pelukannya dan bergumam, "maaf... Mama hanya takut, sayang. Janji sama mama kamu tidak akan menerima apapun dan memakan apapun lagi meski itu dari uncle tampan, atau siapapun, ya?"

"Kalau Gio janji, Mama tidak akan marah lagi sama Gio?" Tanya Gio ragu.

Shannon menggeleng dan menguraikan pelukannya. Ia menyeka air mata putranya dengan ibu jarinya dan berkata, "maafin Mama ya, sayang?"

Gio mengangguk dan kembali memeluk Shannon. "Gio janji, Ma. Gio sayang sama Mama."

Hati Shannon serasa tersentil mendengar ucapan putranya. Memang tidak seharusnya ia mengkerasi Gio hanya karena ketakutannya untuk kehilangan Gio.

Tetapi mendengar uncle yang disebutkan Gio tadi menyadarkannya jika surat yang beberapa hari lalu ia dapatkan saat bekerja, benar-benar menakuti dirinya saat ini. Bagaimana kalau surat itu bukan hanya sekedar salah kasih seperti yang ia coba yakini selama ini? Bagaimana jika laki-laki itu kembali?

Shannon tidak bisa membayangkan hidupnya jika sampai laki-laki itu benar-benar kembali dan mengambil sumber hidupnya.

***

Austin berjalan melalui lorong di lantai 2 menuju ke lift khusus yang langsung menuju ke ruangannya.

Langkahnya terhenti begitu melihat bayangan yang ia kenal sedang berdiri di lobby perusahaan dengan senyum yang tidak pernah Austin dapati di wajah yang selalu terlihat kosong dan murung itu.

Entah apa yang menarik dari sana, Austin bersandar di pagar penyangga dan menatap perempuan itu lekat. Ia juga baru menyadari keberadaan Gio dan karyawannya disana.

Austin ingin melangkah pergi menghampiri Shannon. Seperti sebelum-sebelumnya di bar, ia ingin menjahili perempuan itu.

Namun langkahnya terhenti dan ia mengernyit bingung ketika Shannon menggandeng Gio dan melambai kearah karyawannya yang kembali ke dalam kantor.

Austin terdiam dan menumpukan kedua tangannya di atas pagar pembatas sambil terus menatap kearah hilangnya Shannon dan Gio.

Lamunan Austin terintrupsi ketika ponselnya berbunyi. Kepala cabang mengabarkan jika meeting akan segera dimulai sehingga membuat Austin tidak sempat lagi memikirkan keanehan yang ia lihat.

Tbc

Hehehe iya, Gio anaknya Shannon.
Jangan ngejudge Shannon ya.

Just like Nathalie, she is the best for Austin ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro