28. Peeping
Hei ho!
I'm back, and i'm sorry for a long hiatus and keep you guys waiting.
Aku janji akan selesaiin Austin secepat mungkin. Dan terima kasih untuk yang sudah mau menunggu 😊😊
Selamat membaca, Kesayangan ❤
Shannon tersenyum tanpa jeda selepas mobil yang di tumpanginya meninggalkan rumah sakit yang selama ini sudah sangat lelah ia kunjungi dengan harapan orang-orang yang dicintainya segera pulih.
Setelah Gio dinyatakan pulih dan boleh pulang beberapa hari setelah menerima donor, Austin malah masih perlu di rawat akibat luka tusukan dan juga kondisi Austin yang masih lemah akibat kehilangan cukup banyak darah.
Dan hari ini, Shannon sangat bahagia karena Austin diperbolehkan pulang. Bukan hanya Gio yang merindukan laki-laki itu, dirinya juga.
"Kenapa kau tidak berhenti tersenyum sejak tadi? Apa ada kabar bahagia?" Tanya Austin yang menangkap kebahagiaan itu dengan jelas.
"Kau," jawab Shannon singkat. "Kau kembali dan aku-"
Ucapan Shannon terhenti lantaran Austin dengan cepat mengecup bibirnya tanpa permisi. Spontan saja Shannon merasa terkejut, bahagia, malu dan bersyukur disaat bersamaan. Terkejut karena kecupan tiba-tiba itu, bahagia karena ia merindukan kehangatan laki-laki itu, malu karena mereka tidak sedang berdua di mobil itu, melainkan bertiga, lalu bersyukur karena Gio tidak berada 1 mobil dengan mereka.
"Aku ingin melakukannya sejak pertama kali sadar," bisik Austin. "Sudah berapa lama itu? Seminggu? Haaaah aku kira mereka akan pulang begitu aku sadar," keluhnya mengacu pada kehadiran keluarganya di Indonesia.
Shannon terkekeh dan menepuk dada Austin pelan agar laki-laki itu menciptakan jarak di kursi belakang yang mereka tempati.
Mereka terkekeh untuk beberapa saat sebelum Shannon mulai terdiam dan menatap jemarinya yang bergerak resah.
"Ada apa?" Tanya Austin.
Shannon mendongak dan bertanya dengan wajah khawatir. "Apa menurutmu Gio akan baik-baik saja? Maksudku dengan keluargamu... apakah mereka-"
Austin menghentikan kekhawatiran Shannon dengan sebuah genggaman tangan yang erat. "Gio akan baik-baik saja. Keluargaku bukan keluarga kolot yang memandang latar belakang orang lain sebelah mata atau mengucilkan orang-"
"Maaf, b-bukan maksud aku mengatakan hal buruk mengenai keluargamu. Aku hanya-" Shannon panik mendengar ucapan Austin. Ia takut jika Austin salah paham. Ia sama sekali tidak bermaksud menjelek-jelekan keluarga Tyler. Hanya saja, penerimaan setelah penolakan yang selalu Shannon alami itu terasa seperti mimpi yang menjadi nyata.
"Aku tahu," ujar Austin menenangkan seraya mengusap kepala Shannon. "Dan aku juga mengerti. Tapi percaya padaku." Austin menggenggam kedua tangan Shannon dan menatap kedua matanya dengan lembut. "Keluargaku dan juga aku, sangat menyayangi Gio. He is a brilliant kid, the strongest kid i've ever known."
Ucapan Austin barusan berhasil membuat Shannon tersenyum. Shannon tidak bisa tidak setuju pada pernyataan Austin. Gio memang anak yang hebat.
"Lagipula, Gio tidak akan berada di mobil belakang jika keluargaku tidak menyukai Gio dan sebaliknya, kan?" Austin melirik kearah belakang mobil sambil tersenyum kecil.
Shannon terkekeh pelan, mengingat Gio yang dengan patuh masuk kedalam mobil keluarga Austin saat di rumah sakit tadi.
"Kau benar," ujar Shannon setuju. Ia tersenyum kecil dan membiarkan Austin memeluk dirinya erat sementara pikirannya berkelana.
Apa yang mungkin akan terjadi pada dirinya sekarang jika tidak ada Austin?
***
"Aku sudah menyiapkan obat yang harus kau minum malam nanti di nakas. Kemudian ada buah-buahan yang sudah aku potong di dalam kulkas. Jika kau lapar tengah malam nanti, kau bisa makan itu. Lalu..." Shannon mencoba mengingat-ingat apa lagi yang telah ia persiapkan untuk Austin seraya mengeringkan tangannya dengan lap tangan.
"Shan," panggil Austin sambil terkekeh geli. "Kau tidak perlu merepotkan dirimu. Ada keluargaku disini, dan dirumah ini juga ada asisten rumah tangga."
"Ah, kau benar," sahut Shannon tak acuh. "Kalau begitu aku tidak perlu mengganti perbanmu." Shannon menyengir dengan wajah polos menatap Austin. Ia lalu beralih menatap Gio yang sejak sampai di rumah Austin, menempel seperti perangko di pelukan laki-laki itu. "Gio, let's go home."
Gio mengerucutkan bibir kecilnya. "Tidak mau!"
Shannon berkacak pinggang mendengar kalimat penolakan itu. "Ini sudah hampir malam, dan kamu belum belajar untuk ujian besok, Gio!"
Gio menggeleng dan memeluk Austin semakin erat. "Aku ingin bersama Papa."
"Pa-" Shannon melotot terkejut mendengar Gio mengubah cara memanggil Austin. "Gio!" Wajah Shannon memerah akibat malu. Yang memanggil Gio, kenapa aku yang malu?
Austin tertawa melihat reaksi Shannon. Awalnya ia juga terkejut saat Gio memanggilnya bukan lagi dengan Uncle tampan, atau Papa Uncle tampan lagi. Namun ia sana sekali tidak memiliki niatan untuk meralatnya.
Gio merajuk seraya menggeleng ketika Shannon mempelototinya. "Papa ikut kita pulang, ya?" Pintanya pada Austin.
"Mengenai itu..."
"Bagaimana kalau Papa yang ini saja yang ikut pulang bersamamu?" Sebuah suara di belakang Shannon membuat Gio Austin dan juga Shannon menoleh.
Shannon sempat terkejut melihat wajah Austin di belakangnya. Shannon benar-benar harus membiasakan diri dengan kemiripan Austin dengan kembarannya ini agar tidak terkejut setiap saat.
Terdengar juga suara decakan di belakang Alceo setelahnya. "Dasar hidung belang!" Gerutu Megan, Istrinya. Ia lalu beralih menatap Shannon dan bertanya, "kau tidak tinggal untuk makan malam, Shan?"
Shannon tersenyum salah tingkah dan menggeleng. "Tidak. Gio ada ujian besok dan dia masih perlu belajar dan tidur cepat. Terima kasih atas ajakannya," tolak Shannon halus. Ia langsung beralih menatap Gio dan kembali mempelototinya. "Gio, cepat!"
Gio terlihat enggan, namun Austin terlihat membisikinya sesuatu yang membuat Gio akhirnya menurut dan menghampiri Shannon dengan setengah hati.
"Kenapa Papa tidak ikut pulang bersama kita, mama? Atau lebih baik lagi, kenapa kita tidak tinggal bersama Papa?" Tanya Gio tidak terima dipisahkan dengan Austin.
Shannon terkejut mendengar pertanyaan Gio. Namun detik berikutnya ia menyeringai dan menatap Austin sambil menjawab, "karena Papamu yang itu belum memiliki keberanian untuk meminta."
Austin terdiam sejenak mendengar sindiran Shannon sebelum ia menyunggingkan senyumnya.
"Ya, benar. Papamu yang itu pengecut, Gio. Lebih baik Papa yang Ini- Awwww!"
"Teruskan, dan kau tidur di sofa malam ini," ancam Megan.
Alceo berdecak. "Kau tidak seru," bisiknya pelan.
"Apa?"
"Aku mencintaimu," ujar Alceo dengan cepat sambil memamerkan cengirannya.
Austin mendengus melihat kemesraan kembarannya. Saat ia beralih menatap Shannon, Shannon juga baru mengalihkan tatapan dari Alceo, namun bukan mendengus, Shannon lebih seperti menghela nafas lelah sebelum mata mereka bertemu dan Shannon kembali mengalihkan tatapannya seakan malu sudah tertangkap basah hendak menatapnya.
Apa ini sudah saatnya? Austin membatin.
"Baiklah, kami permisi pulang dulu. Katakan sampai jumpa pada Paman dan Bibi, Gio." Shannon membelai lembut pipi Gio tanpa menatap Austin.
Gio mengerucutkan bibirnya lagi, tetapi kali ini ia menurut dan mengucapkan sampai jumpa pada Austin, Alceo dan Megan.
"Aku antarkan sampai depan," tawar Austin sesaat sebelum Shannon melangkah menuju ruang tamu bersama Gio untuk berpamitan pada anggota keluarganya yang lain.
Austin berjalan beriringan dengan Shannon menuju ke mobil yang akan mengantar Shannon pulang. Mereka hanya terdiam tanpa ada niatan untuk berbicara sama sekali. Bahkan sampai Shannon masuk kedalam mobil, Austin masih diam dan sibuk dengan pemikirannya.
Shannon berpikir, apa dirinya salah berbicara tadi? Kenapa Austin tiba-tiba mendiaminya seperti ini?
"Kau masuklah. Kau baru saja pulih." Shannon membuka suara setelah sekian lama hening.
Austin yang sedikit melamun terlihat terkejut mendengar suara Shannon. Ia menanggapi perintah Shannon seperti orang bodoh yang mengangguk-angguk tanpa mengeluarkan suara.
Sepertinya aku memang salah bicara, batin Shannon menghela nafas kecewa.
Mobil baru akan melaju, namun Austin tiba-tiba menghentikannya yang membuat Shannon terkejut.
"Apa... kau ada acara minggu depan?" Tanya Austin terdengar kaku.
"Sepertinya tidak..." jawab Shannon ragu. "Ada apa?" Shannon menahan senyumnya yang hampir mengembang. Apa Austin memikirkan ucapanku tadi dan berniat untuk meminta?
"Aku ingin mengajakmu dan Gio liburan. Bagaimana?"
"Gio mau!!!" Seru Gio dari balik tubuh Shannon.
Austin terkekeh dan menjulurkan tangannya mengacak rambut Gio. "Bagaimana denganmu?" Tanyanya beralih menatap Shannon.
Shannon nampak mempertimbangkannya sejenak. "Minggu depan aku rasa tidak masalah. Aku bisa meminta cuti, dan Gio juga sudah selesai ujian."
Mendengar jawaban Shannon, diam-diam Austin menghela nafas lega. "Baiklah, serahkan padaku. Hati-hati dijalan," ucapnya seraya menarik tengkuk Shannon dan mengecup kening wanita itu sekilas.
"Austin!" Protes Shannon. "Ada Gio disini!"
"Gio tidak melihat, Gio tutup mata." Gio menyambar. Bocah laki-laki itu sudah menutup matanya dengan kedua telapak tangan meskipun ada celah kecil yang bisa memberikannya akses mengintip. Ia tertawa lebar sambil mengintip dari celah jemarinya yang membuat Austin juga Shannon gemas dibuatnya.
Tbc
Aku berencana bikin cerita Fantasy tentang kerajaan gitu, aku mau tau siapa aja nih yang kira kira tertarik hehehe. Berikut aku ksh blurbnya.
Share your thought in comment ya 😊
Apa ada yang mau baca ceritanyaaa? 😀
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro