26. Luka yang Tersembunyi.
Austin tengah menatap bayangannya di depan cermin kecil.
Terlihat pucat dan bakal janggut juga kumis sudah mulai terlihat bermunculan karena ia tidak bercukup dua hari ini.
Itu karena ia masih perlu melakukan perawatan selepas mendonorkan sumsum tulangnya untuk Gio.
Ia bahkan kepayahan hanya untuk sekedar duduk dan menuntaskan keinginannya untuk buang air kecil hingga kemarin.
Setidaknya hari ini ia sudah merasa lebih baikkan dan tidak lagi merasakan mual juga pening yang merupakan efek samping dari proses yang ia jalani.
Tubuhnya memang tergolong cepat dalam melakukan pemulihan karena tubuhnya selama ini memang dituntut untuk tetap sehat agar bisa memimpin perusahaan secara maksimal. Selain faktor itu, mungkin juga faktor perhatian dari Shannon yang sejak kemarin rutin mengecek kondisinya dan mengingatkannya untuk meminum obat yang membuatnya semakin cepat pulih.
Setelah pernyataan cinta tiba-tiba Shannon dua hari lalu yang tidak bisa dibalas oleh Austin selain hanya dengan sebuah senyuman dan kecupan di telapak tangan Shannon, wanita itu selalu menunjukan perhatiannya selama Austin tergolek lemah di kasur.
Wanita itu tidak menuntut Austin untuk membalas ucapannya, dan Austin juga sejujurnya bingung bagaimana mengungkapkannya. Ia merasa situasinya saat ini sedang tidak pas untuk melakukan pengakuan seperti yang Shannon lakukan.
Bagaimana tidak? Bokongnya dan punggungnya terasa amat sakit saat itu. Bahkan perutnya bergejolak untuk kembali memuntahkan isinya. Bahkan Shannon seakan terlihat ada 3 di matanya dikarenakan pening yang ia rasakan. Selang infus melintang di tangannya. Dan jangan lupakan, ia baru saja muntah dan dilihat oleh Shannon.
Setidaknya ia ingin situasi romantis untuk mengatakan pengakuannya itu. Bukan dalam kondisi memalukan seperti itu.
Suara pintu kamar yang terbuka mengembalikan Austin kembali ke kesadarannya.
Sontak senyumnya terbit memikirkan siapa lagi yang menjenguknya selain wanita yang baru saja ia pikirkan.
Wanita itu pasti akan panik mendapati Austin tidak berada di kasurnya saat ini.
Karena tidak ingin membuat Shannon khawatir juga ingin membuat sedikit kejutan untuknya, Austin mengendap sambil membuka pelan pintu kamar mandi.
"-Lauren, dan kini Gio..."
Austin mengurungkan niatnya. Ia terpaku di depan pintu kamar mandi melihat punggung seseorang yang asing tengah berdiri tegap di samping brangkarnya dan berbicara dengan nada tajam.
"Aku tidak bisa membiarkanmu untuk menghancurkan rencanaku, Mr.Tyler. Tidak setelah kau menggagalkan pernikahanku dengan Lauren," desisnya.
Austin mengenal suara itu.
"Anggap saja ini sebagai tanda terima kasihku karena kau telah menyelamatkan putraku. PERGILAH KE NERAKA!!!" Teriaknya seraya menghunus berkali-kali kearah kasur yang berisikan guling yang tertutup selimut.
Guling itu adalah pemberian Shannon karena Austin mengalami kesulitan tidur terlentang. Maka ia memberikan guling itu agar Austin lebih merasa nyaman ketika tidur dengan posisi miring.
Tapi siapa sangka guling itu kini tengah menjadi sasaran penusukan brutal yang menggantikan tubuhnya.
"Mati kau, mati kau!!!" Serunya berkali-kali, seakan belum sadar kalau yang ia tusuk adalah guling.
Suara pintu kamar mandi yang Austin tutup kemudian membuat tubuh orang itu menegang. Orang itu menoleh dengan cepat dan terkejut melihat Austin berdiri di depannya dengan kernyitan halus di kening.
"K-kau..." seakan baru menyadari kebodohannya, Orang itu langsung menyibak selimut dan mendapati guling bersarung pisang yang tadi ia tusuk berkali-kali.
"Mr.Febrian," sapa Austin datar. "Saya tidak menyangka anda akan datang menjenguk."
Gara menggeram. Ia merasa di permainkan. Tatapannya tajam mengarah ke guling itu dan dengan cepat berbalik sambil mengacungkan pisaunya.
"Kau... kau menghancurkan rencanaku!" Desisnya. "Jangan kau kira keluargamu kaya, aku akan tunduk dan takut padamu!"
"Semua bisa dibicarakan baik-baik, Mr.Febrian." Austin berbicara dengan tenang, tetapi tatapanya tetap awas melihat pergerakan pisau yang masih di acungkan itu.
Pinggangnya masih sakit. Ia ragu ia akan bisa melawan dan kabur kalau misalkan Gara menyerangnya. Maka cara terbaik adalah, bernegosiasi.
"Baik-baik katamu? Apa menurutmu menggagalkan pernikahan adalah cara baik-baik?!" Teriak Gara.
"Sebelumnya, saya minta maaf karena saya telah menggagalkan pernikahan anda." Austin memundurkan langkahnya. Perlahan ia bergerak kearah pintu yang masih terbuka tanpa ketara. "Tetapi anda juga tidak sepatutnya memaksa kehendak anda pada Shannon. Dia jelas-jelas terpaksa menerima-"
"Aku tidak peduli padanya. Aku hanya menginginkan Gio!" Seru Gara. Senyum liciknya terlihat saat ia menurunkan acungan pisaunya yang sedikit membuat Austin menghela nafas lega.
"Aku tidak peduli pada perempuan penggerogot harta itu. Aku hanya ingin hak asuh Gio! Dan perempuan licik itu tidak mau memberikannya padaku bagaimanapun caranya," lanjut Gara. Tatapannya tajam mengarah ke lantai dekat kaki Austin.
Austin ingin mengatakan kalau Shannon bukan wanita seperti itu, tetapi ia menahannya. Ia lebih penasaran akan satu hal, maka ia bertanya, "kenapa kau sangat bersikeras menginginkan hak asuh Gio? Sedangkan dari yang aku ketahui, kau tidak pernah menginginkan kehadirannya sejak awal."
Bukan menjawab, Gara tertawa. Tawa yang sangat kencang dan meremehkan. Namun Austin bisa merasakan kekosongan dalam tawa itu.
Gara berhenti tertawa dan menatap tajam Austin. "Karena aku membutuhkan Gio," sahut Gara tak kalah tajam. "Aku membutuhkan anak itu untuk menjadi penerusku kelak."
Austin mengernyit. Ia meringis saat pinggangnya terasa sakit akibat terlalu lama berdiri. Tetapi pembicaraan mereka belum selesai.
"Kena-"
"Kenapa harus Gio? Kenapa aku tidak menikah saja dengan salah satu wanita yang mengantri untuk menjadi istriku dan memiliki anak?" Gara menyimpulkan pertanyaan Austin dengan tepat. "KARENA AKU INFERTIL!!! Aku tidak bisa lagi memiliki anak karena gangguan hormon akibat obat-obatan yang aku pakai dulu."
Austin tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Aku mantan pecandu, dan bahkan sampai sekarang, aku tidak akan bisa hidup tanpa barang itu. Aku hampir mati akibat overdosis yang aku sesali tidak jadi merenggut nyawaku melainkan kemampuanku bereproduksi," desisnya. Kedua tangannya terkepal erat di kedua sisi. Austin terus mengawasi pisau yang masih di genggam Gara meski ia merasa simpatik pada laki-laki itu.
"Viola meninggalkanku tepat satu minggu sebelum pernikahan kami karena aku tidak bisa memiliki anak. Aku hanya anak tunggal yang tidak mampu memiliki keturunan. Aku gagal," lirihnya seraya tertawa. "Lalu aku ingat, aku pernah memiliki anak. Anak yang sejak dulu hingga sekarang memiliki aliran darah yang sama denganku, anak yang sampai saat ini menunggu kehadiran ayahnya. Keturunanku satu-satunya."
"Tapi kau tidak benar-benar menyayanginya." Austin memaparkan fakta itu yang merupakan kesalahan besar. Emosi Gara kembali terpancing dan kembali mengacungkan pisau kearahnya.
"Apa pedulimu? Siapa yang peduli aku menyayanginya atau tidak! Yang terpenting, dia adalah keturunanku, dan dia yang akan menjadi penerusku!!" Serunya tidak terima. "Tapi kau menggagalkan semuanya. Semua rencanaku untuk mendapatkan Gio. Ya, kau menghancurkannya!"
"Gio masih anak-anak. Tidak seharusnya kau melibatkan anak-anak untuk urusan sepelik in-"
"TUTUP MULUTMU!!!" Hardiknya. "Apa yang kau tahu, hah?! Kau tidak tahu apa-apa. Kau hanya orang asing yang datang dan menumpang di hidup mereka. Gio akan memilihku jika dia tahu aku adalah ayah kandungnya! Bukan dirimu!!!"
"Tenangkan dirimu, Mr.Febrian," pinta Austin sedikit meringis. Langkahnya hampir sampai ke depan pintu. Ia hanya perlu berbalik dan sedikit berlari. Ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat.
"Ya... bukan dirimu yang akan di terima Gio. Aku... pasti aku..." Gara berbisik kepada dirinya sendiri. Suara-suara di kepalanya mengusik ketenangannya. Obat yang ia konsumsi mulai membuatnya hilang akal sehat. "Gio tidak akan memilihmu kalau kau tidak ada... benar... KAU HARUS MATI MR.TYLER!!!" Dengan cepat ia menatap tajam Austin dan kembali mengacungkan pisau yang sempat sedikit mengendur dari genggamannya.
Namun sebelum Gara melakukan apapun, teriakan wanita yang berdiri di depan pintu mengejutkan kedua orang di dalam yang langsung menoleh kearahnya.
"Gara!!! Apa yang kamu lakukan?!" Teriak Shannon nampak terkejut melihat Gara mengacungkan pisau kearah Austin.
"Shan, jangan ma- Arghhhh."
"AUSTIN!!!" Pekik Shannon terkejut. Semua terjadi dengan sangat cepat di depan matanya.
Austin lengah, dan kelengahan Austin dimanfaatkan oleh Gara yang langsung menghunuskan pisaunya ke perut Austin hingga Austin limbung dan jatuh.
Dengan cepat juga, setelah melakukan kejahatan itu, Gara segera berlari keluar melalui Shannon yang masih terpaku melihat Austin dengan darah yang keluar dari luka tusukan itu.
Ringisan Austin menyadarkan Shannon. Air matanya mengalir tanpa ia sadari dan hal pertama yang ada di otaknya adalah mengejar Gara. Laki-laki bajingan itu tidak boleh lepas setelah apa yang ia lakukan di hidupnya dan orang-orang di sekitarnya.
Namun suara lirih Austin menghentikannya.
"Shan... shan..."
"Austin... Austin Ya Tuhan!" Lirihnya sambil mendekati Austin. "TOLONGGGGG!!! Ya Tuhan Austin bertahan..."
"Shan..." tangan Austin yang berlumur darah mencoba menggapai wajah Shannon yang mulai berbayang di matanya.
Shannon menggeleng. Air matanya tak kunjung dapat berhenti. Ia menggapai jemari Austin dan membawanya ke pipi. "Jangan bicara apapun, Austin. Aku tahu... aku tahu... kau tidak perlu mengatakannya sekarang."
Austin menarik sedikit sudut bibirnya. Apa ia masih memiliki kesempatan mengatakan kalimat itu?
"Kau harus bertahan, Austin. Jangan meninggalkanku. Demi Tuhan! TOLONGGGG!!!! kenapa tidak ada satupun orang yang menolong dirumah sakit ini!!!" Pekiknya frustasi. "Dengarkan suaraku, Austin. Fokuskan kesadaranmu pada suaraku. Tetap sadar, Austin. Jangan membuatku takut!!"
"Sha...n..."
"Gak gak gak!!! AUSTIN BANGUN!!! TOLONGGGGGG KAMI SIALAAAAAN!!!!! AUSTIN!!!!!" Air mata Shannon semakin berderai saat kesadaran Austin menghilang tiba-tiba saat ia mencoba memanggil namanya.
Yang bisa ia rasakan saat ini adalah takut. Takut kalau mata biru itu tidak akan terbuka lagi untuknya. Takut kalau ia tidak memiliki kesempatan lagi untuk berbahagia bersamanya.
Takut kalau Austin meninggalkannya.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro