24. I Object!! (2)
Denting alunan piano yang terdengar menggema di sepenjuru ruangan itu sama sekali tidak membuat sedikit perasaan Shannon merasa lebih baik. Sebaliknya, ia ingin sekali menghilang dari sana dari pada merasakan tatapan kosong pada undangan bayaran yang sengaja di sewa Gara untuk pernikahan ekspressnya ini.
Setidaknya menghilang lebih baik dari pada merasa seperti robot.
Dari sudut matanya, ia bisa melihat wajah kecewa Gio di atas kursi rodanya.
Di sisi kanannya, ia bisa melihat sepasang suami istri yang tersenyum kecut kepadanya seiring langkahnya yang mendekati laki-laki di tengah Altar semakin menyempit.
Apakah itu orangtua Gara? Atau lagi-lagi hanya orang sewaan? Jujur, ia sama sekali belum pernah bertemu orang tua Gara sebelumnya.
Gara selalu beralasan jika orang tuanya jarang berada di dalam negeri karena bisnis mereka.
Jika di pikir-pikir, hubungannya dengan Gara dulu sangat kosong. Ia tidak tahu apapun mengenai Gara dalam hal yang lebih serius. Tetapi ia malah menyerahkan dirinya untuk menanggung hal-hal yang lebih serius akibat kebodohannya dulu.
Cinta memang sebuta itu.
Dan Cinta memang semenyakitkan itu.
Sama halnya seperti yang terjadi diantara dirinya dan Austin.
Ia terlalu dibutakan oleh perasaannya hingga ia melupakan tekadnya untuk tidak lagi percaya akan cinta, tidak lagi akan berkubang di lubang yang sama, dan tidak akan lagi disakiti oleh alasan yang sama, cinta. Tapi nyatanya... menyedihkan.
Mungkin ada baiknya ia mengeraskan hati dan memperuntukkan hatinya untuk putranya seorang mulai sekarang. Setidaknya ia yakin, putranya tidak akan menyakitinya.
Tanpa sadar, lamunan Shannon membawanya hingga berdiri di depan Gara. Bahkan ucapan pemimpin pernikahan itu tidak sama sekali ia dengarkan tadi. Entah seberapa banyak yang ia lewatkan, yang jelas, detik berikutnya, disaat ia mengucapkan janji pernikahannya, ia akan membuang seluruh perasaannya. Terutama untuk Austin, laki-laki yang membuatnya lupa akan luka masa lalu, dan juga laki-laki yang sama yang mendorongnya bahkan lebih jauh dari kegelapan dulu.
"Sebelum membacakan janji pernikahan, apakah ada disini yang ingin menentang pernikahan ini untuk terjadi?" Tanya Pemimpin pernikahan itu sedikit membuat Shannon berharap.
Berharap laki-laki itu datang dan menentang pernikahan ini. Berharap laki-laki pengecut itu akan berjuang sedikit untuknya. Tetapi ia tahu bahwa itu permintaan egois. Ia mempertaruhkan nyawa Gio dengan harapannya itu.
"Mama..." suara lirih Gio membuat Shannon menoleh. Tatapan matanya penuh harap untuk Shannon membatalkan pernikahan itu.
Shannon tahu itu adalah bentuk penentangan Gio yang tidak tahu menahu kenapa ia melakukan ini semua. Tidak tahu jika ia adalah alasannya mengorbankan kebahagiannya untuk sesuatu yang ia harap sepadan nantinya.
"Jika tidak ada, maka pernikahan akan di lanjutkan," ujar Pemimpin pernikahan itu sambil membuka buku di hadapannya.
Shannon menghela nafas cukup keras sebelum ia menunduk dan mendengarkan segala ucapan juga wejangan dari pemimpin upacara sebelum tiba saatnya ia dan juga Gara mengucapkan kalimat sakral itu.
"Apakah kau, Anggara Sergio Febrian, menerima Shannon Laurencia Nathala menjadi istrimu? Mengasihi dan menemaninya dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan kalian?"
Gara berhadapan dengan Shannon seraya menggenggam kedua tangan Shannon saat ia mengatakan, "ya, saya bersedia." Matanya menatap tajam langsung menghunus Shannon seakan kalimat barusan adalah pisau yang kini telah melukai garis takdir Shannon.
"Apakah kau, Shannon Laurencia Nathala, menerima Anggara Sergio Febrian menjadi suamimu? Mengasihi dan menemaninya dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan kalian?"
Shannon terdiam. Bibirnya terasa berat untuk ia gerakkan. Bahkan ia bisa merasakan airmata sudah membasahi pelupuk matanya dan mengancam untuk turun jika ia mengatakan kalimat itu.
"S-saya..." Shannon tergagap.
Entah perasaan apa yang ia rasakan saat ini. Ia merasa sesak seakan ada tangan tidak terlihat yang mencekiknya. Ia merasa ada bisikan yang memintanya untuk menolak, dan ada juga yang memintanya untuk menerima.
Ia memakan waktu lebih lama untuk menjawab pertanyaan mudah itu hingga Gara kehilangan kesabaran dan mencengram kencang jemari tangan Shannon. Shannon meringis dan tersadar dari lamunannya yang langsung ditatapi tajam oleh Gara.
Laki-laki itu tidak akan menunggu satu menit lebih lama lagi untuk mendengar Shannon menjawabnya.
Setitik airmata Shannon mengalir di pipinya tanpa bisa ia tahan ketika ia sadar, tidak ada jalan untuknya melangkah mundur lagi. Ia terlambat, sudah sangat terlambat.
"S-saya-"
"I OBJECT!!!!!" Teriakan menggelegar disertai pintu kayu yang tiba-tiba terbuka itu mengejutkan seluruh orang di dalamnya, tidak terkecuali Shannon.
Matanya bertambah besar saat melihat orang yang berdiri dengan wajah kuyu dan pakaian berantakan di depan pintu Gereja. Airmatanya mengalir bebas tanpa tahu malu lagi.
Perlahan laki-laki itu berjalan dengan nafas tersengal mendekati Shannon juga Gara yang tengah menatapnya tajam. Shannon tahu kalau laki-laki itu pasti terburu-buru hingga bisa sampai disini.
"I object this marriage, Father." Laki-laki itu berkata. Lalu ia menatap Shannon sambil tersenyum lembut. "Am i late?"
Shannon hendak menggeleng sebelum Gara tiba-tiba saja meremas pergelangan tangannya hingga suara yang bisa ia keluarkan adalah ringisan.
"You are so late, Mr.Tyler. She is my wife now." Menyelesaikan ucapannya, Gara menarik kasar cadar pengantin Shannon ke belakang dan segera hendak mencium Shannon untuk menyudahi upacara Pernikahan itu.
Namun sebesar usaha Gara menyudahi prosesi yang belum selesai itu, lantaran Shannon belum menjawab kesediaannya, sebesar itu juga Shannon menahan tubuh Gara agar tidak menyentuh tubuhnya lagi.
Melihat pemaksaan itu, Austin langsung menarik bahu Gara dan melayangkan kepalan tangannya hingga Gara terhuyung.
"SHE IS MY WIFE!!" Teriak Gara murka.
"I AM NOT!" Teriak Shannon dari balik tubuh Austin. Ia menatap Gio sekilas dan menghela nafas. Ia memejamkan mata dan melanjutkan ucapannya dengan penuh keyakinan. "Maaf, aku tidak bisa menikah denganmu." Ia lalu beralih menatap pemimpin pernikahan yang masih terlihat kebingungan di tempatnya. Shannon kemudian berkata, "saya tidak bersedia, Bapa. Saya tidak menghendaki pernikahan ini."
Gara tersenyum miring dan menatap Shannon tajam. "Jadi kamu lebih memilih membiarkan anakmu mati dan menikah dengan bule ini, iya?!"
Shannon terkejut karena Gara membahas perihal penyakit Gio begitu saja. Ia langsung menoleh kearah Gio yang terlihat kebingungan karena namanya disebut.
"Kamu itu tidak pantas menjadi orang tua, Shannon! Kamu egois!" Gara terkekeh meremehkan Shannon, menggoyahkan tekad Shannon lagi.
"He will be alright." Suara Austin membuat Shannon menoleh cepat. Ternyata Austin kini tengah menatapnya sebelum kembali menatap kearah Gara dengan tatapan yang tidak kalah tajam.
Tapi kenapa Austin bisa seyakin itu?
"Now leave them alone. Or you'll regret, Mr.Febrian." Austin segera menarik tangan Shannon yang sama sekali tidak merasa keberatan menuju ke tempat Gio duduk.
Gio di atas kursi rodanya terlihat bingung bercampur bahagia melihat kedatangan Austin. Ia tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya yang timbul bersamaan dengan tetesan air mata.
"Uncle tampan!" Seru Gio.
"Ayo kita pergi, Jagoan," ujar Austin sambil mengacak rambut Gio dengan gemas.
Sementara Austin mengambil alih tugas suster untuk mendorong kursi roda Gio, Shannon berjalan pelan sambil mengalungkan tangan di lengan kokoh Austin menuju ke luar.
"KALIAN TIDAK BISA KELUAR DARI SINI!!!" Teriak Gara menghentikan langkah kedua orang itu.
"Uncle, Gio takut dengan paman itu," bisik Gio sambil menatap kearah wajah Austin yang tengah menahan kegeramannya untuk tidak menimbulkan keributan di tempat suci itu.
Bukan, ia bukan tipe laki-laki yang menggunakan otot dibanding otak. Ia bukan kembarannya.
"Mr. Febrian," panggil Austin dengan suara tenang sambil berbalik menatap Gara yang tengah menatapnya dengan berapi-api. "Saya menghargai anda, dan saya akui kelihaian anda dalam berbisnis. Tetapi sepertinya kita tidak bisa melanjutkan kerjasama lagi karena anda telah melanggar salah satu pandangan hidup saya untuk menghargai seorang perempuan dan juga keluarga. Asisten saya akan menghubungi anda lagi secepatnya. Maaf atas ketidak profesionalan saya. Permisi," ujarnya panjang lebar lalu berlalu sebelum Gara sempat bereaksi atau membalas ucapan Austin.
Shannon sendiri masih belum percaya Austin bisa berada di sampingnya, menculiknya dari pernikahannya sendiri, dan membawanya pulang.
***
"Apa Gio akan mati, uncle?" Pertanyaan itu terlontar saat Austin hendak menemani Gio untuk tidur sementara Shannon sedang merapikan dirinya setelah pernikahannya yang gagal.
"Kenapa paman itu berkata Gio akan mati? Dan apa benar paman itu ayah Gio?" Tanyanya berbondong.
Austin berusaha tenang sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Ia mengulas senyumnya, lalu ia berkata, "Gio akan baik-baik saja. Uncle berjanji. Gio percaya kan dengan uncle?"
Gio mengangguk penuh semangat.
Austin terkekeh lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Mengenai pertanyaan keduamu... kalau sudah besar, kau pasti akan mengerti."
"Tapi Gio sudah besar!" Protesnya sebal.
Austin kembali terkekeh dan menarik selimut Gio hingga sebatas dagu bocah itu. "Kalau Gio sudah merasa besar, maka Gio harus jadi anak penurut ketika Uncle memintamu istirahat. Sekarang, pejamkan matamu dan tidur."
"Tapi Uncle tidak akan pergi lagi seperti kemarin, kan?" Tanya Gio lirih, teringat ketika ia terbangun beberapa minggu lalu dan tidak menemukan Austin dimanapun.
"Tidak akan," janjinya dengan tegas.
Austin kemudian mengecup kening Gio lalu meninggalkan Gio di dalam kamarnya yang didominasi oleh poster transformers hampir di seluruh sisi.
Ketika Austin sampai di ruang tamu, ia menemukan Shannon sudah selesai berganti pakaian dan menghapus make-upnya. Wanita itu terlihat cantik dengan wajah polos dan kaus santai beserta celana pendek kain yang melekat di tubuh kecilnya.
Austin berjalan mendekat dan langsung memeluk tubuh itu tanpa membuka suaranya. Ia sangat merindukan Shannon. Dan ia hampir kehilangan Shannon akibat kebodohannya.
Shannon juga membalas pelukan itu tidak kalah erat. Seakan tidak perlu ada kata-kata untuk meluapkan kerinduan mereka, keheningan juga pelukan itu dirasa cukup untuk membuktikannya.
Austin kembali untuknya.
Setelah cukup lama, Shannon akhirnya mematahkan keheningan itu dengan pertanyaan yang sejak tadi membuatnya penasaran.
"Kenapa kau yakin Gio akan baik-baik saja tanpa donor dari Gara?" Tanya Shannon masih sambil membenamkan wajahnya di bahu Austin.
Austin menguraikan pelukannya dan tersenyum sambil menatap lekat wajah lelah Shannon yang tidak menutupi sinar kebahagiaan dari matanya.
"Aku melakukan tes pencocokan sumsum tulang belakang beberapa minggu lalu."
Mata Shannon membesar. "Kau melakukan apa?"
Austin terkekeh melihat ekspresi terkejut Shannon. "Aku tahu dokter menyarankan ayah kandung Gio untuk menjadi donor, tetapi itu tidak menutup kemungkinan untuk orang lain mampu menjadi donor untuk Gio, kan? Lagipula, belum tentu ayah kandung Gio memiliki kecocokan dengannya, jadi... aku rasa mencoba sama sekali tidak salah."
Shannon tidak bisa berkata-kata mendengar penjelasan Austin. Ia tahu Austin sangat baik kepadanya dan Gio, tetapi ia tidak sadar jika Austin akan melakukan hal yang tidak semua orang akan lakukan tanpa imbalan seperti Gara. Terkutuklah dirinya yang telah membandingkan laki-laki sebaik Austin dengan iblis seperti Gara.
"Beberapa hari lalu, aku baru menerima hasil tes yang dikirim melalui emailku dan aku bisa menjadi donor yang cocok untuk Gio," sambungnya seraya merapikan anak rambut Shannon yang sedikit mencuat akibat pelukannya tadi. "Tidak ada hal lain yang aku pikirkan selain melempar diriku kedalam pesawat pertama yang bisa aku dapatkan, berlari sejauh 5 kilo meter karena mobilku mengalami pecah ban, dan menghentikan pernikahanmu. Which... i'm not regret after i did it."
Shannon tergelak seraya memukul dada Austin pelan.
"Kau pasti lelah," komentar Shannon. Ia tidak bisa membantah kalau ia sudah larut dalam pesona dan keseriusan Austin. Meski Austin tidak mengatakannya, ia sudah merasa dicintai.
Bagaimana tidak? Siapa yang mau berlari sejauh itu hanya untuk menghentikan pernikahan? Sinting!
"Tidak lagi, karena tujuanku sudah tercapai. Mungkin hanya satu yang belum..." Austin menggantungkan ucapannya seraya membelai pipi Shannon.
"Apa?" Tanya Shannon seakan tahu jika Austin tengah menunggunya untuk bertanya.
Namun bukan menjawab, Austin malah memajukan wajahnya perlahan mendekati wajah Shannon. Sedangkan Shannon hanya bisa menahan nafas dan memejamkan matanya, menunggu apa yang akan terjadi setelahnya dengan jantung berdebar tidak karuan cepatnya.
Shannon cukup terkejut ketika merasakan benda lembut menyentuh keningnya. Ia membuka matanya cepat dan menelan kekecewaan karena entah mengapa, ia berharap Austin bukan akan mengecup keningnya setelah apa yang dilakukannya hari ini, dan atmosfer apa yang sedang berterbangan di sekitar mereka.
Ciuman kening itu memang romantis menurut Shannon. Tapi khusus hari ini, kecupan kening itu benar-benar menghancurkan suasana romantis mereka.
"I wanna kiss you." Gumam Austin begitu puas mengecup kening Shannon.
Diam sejenak ketika iblis dan malaikat di diri Shannon tengah berperang hebat. Dan entah sisi mana yang menang, Shannon kemudian berujar, lebih terdengar seperti tantangan. "Let me show you how kiss supposed to be."
Dan itu terjadi dengan cepat dan berlangsung dengan lama ketika Shannon menempelkan bibirnya ke bibir Austin yang dikelilingi oleh bakal janggut yang belum sempat di cukurnya.
Tapi bagi Shannon maupun Austin, itu adalah ciuman termanis selama hidup mereka.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro