20. Anggara Sergio Febrian
Austin memperhatikan Shannon yang masih diam menangkup gelas kopi di kedua tangannya. Sejak keluar dari ruang dokter 30 menit yang lalu, Shannon hanya terdiam dan melamun.
Austin tahu, pertanyaan are you ok sama sekali bukan hal yang benar ia tanyakan saat ini. Karena dia tahu, Wanita itu sedang tidak baik-baik saja.
Yang bisa ia lakukan hanya berada di sisi wanita itu dan menemaninya.
"Aku akan menemuinya besok."
Suara Shannon membuat Austin menoleh menatap wajah cantik itu dan mengernyit.
"Aku akan menemui ayah kandung Gio besok." Shannon mengadah dan menatap Austin yakin. Setelah meyakinkan dirinya jika ia tidak boleh egois terkait kesehatan Gio, ia bertekad untuk menemui Gara secepatnya.
"Kau yakin?" Tanya Austin yang terdengar ragu. "Aku akan menemani-"
"Tidak perlu, Austin. Aku akan menemuinya sendiri," tolak Shannon cepat. Sangat cepat hingga membuat Austin diam. Shannon menghela nafas dan melanjutkan, "ini masalahku, Austin. Aku... aku bisa menyelesaikannya sendiri."
Austin masih terdiam. Ia tahu ia melampaui batas jika bersikeras menemani Shannon menemui ayah Gio. Tetapi satu sisi, ia khawatir.
"Lagipula, dia ayah Gio... dia pasti akan akan menyelamatkan Gio," ujar Shannon seakan mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Austin menarik sudut bibirnya dan mengangguk. "Hati-hati. Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu." Austin memutuskan untuk tidak memaksa Shannon dan membiarkan perempuan tegar itu menyelesaikan masalahnya.
Lagipula ia sudah memiliki janji besok.
Shannon menatap Austin lekat. Membalas tatapan Austin dengan penuh rasa bersalah dan kesedihan.
Banyak hal yang terjadi dalam kehidupannya yang ia sesali dan tidak ia sukai. Tapi Shannon yakin akan satu hal.
"Aku merasa sangat beruntung bertemu denganmu, Austin. Kau salah satu laki-laki terbaik yang mungkin masih tersisa di dunia ini."
"Apa gunanya menjadi laki-laki baik jika aku tidak bisa melakukan apapun untuk orang yang aku pedulikan?"
"Kau berbicara sesuatu?" Tanya Shannon sepertinya tidak mendengar ucapan Austin barusan.
Austin tersenyum lagi lalu menggeleng. "Aku juga beruntung mengenalmu. Kau wanita tertangguh setelah ibuku."
Mendengar kalimat pujian yang terdengar tulus itu, Shannon tidak bisa menahan senyumnya. Untuk sementara waktu, mereka memilih menikmati kebersamaan dan gelenyar hangat dan nyaman yang berada disekeliling mereka sebelum kembali menghadapi kenyataan.
***
Shannon berdiri menatap gedung tinggi di hadapannya dengan perasaan ragu. Tidak sulit menemukan perusahaan Gara di Jakarta karena perusahaan alat berat yang memiliki pusat di Bali itu juga menggunakan nama yang Sama dengan nama yang masih Shannon ingat jelas.
ASF Heavy Industry.
Sebuah singkatan dari Anggara Sergio Febrian.
Shannon berdiri cukup lama di depan sana hingga ia tidak menyadari jika kehadirannya tengah diamati oleh seseorang yang baru kembali dari makan siangnya dengan klien.
Seulas senyum licik terukir di bibirnya.
"Apa pada akhirnya kau sadar jika keputusanmu melawanku itu, salah?"
Suara berat itu mengejutkan Shannon hingga ia menoleh ke belakang dengan spontan.
"Shannon Laurencia Nathala? Kau masih sama seperti dulu. Terlihat menyedihkan," sindir Gara seraya menyeringai.
Shannon memejamkan matanya. Ia tidak boleh terpancing emosi saat ini. Ia harus mengalah demi Gio.
"Aku ingin berbicara." Shannon menghela nafas dan membuka matanya perlahan. Ia menatap Gara lurus tanpa emosi apapun. Demi Gio.
Gara tersenyum. Wajahnya terlihat puas saat ini. "Baiklah, di mana? Di sini? Di kantorku? Atau di kamar-"
"Ikut aku." Shannon memotong ucapan Gara dan langsung berjalan melalui tubuh tegapnya menuju ke jalan raya.
Gara terkekeh seraya mengikuti langkah Shannon yang mengarah ke kafe kecil yang cukup nyaman yang terletak tepat di sebelah gedung perkantoran Gara.
Shannon menempati meja di pojok ruangan yang terasa lebih privat di banding tengah ruangan yang masih di penuhi oleh karyawan yang sepertinya masih menikmati jam istirahat mereka.
Beberapa dari orang itu nampak menyapa segan Gara yang melewati mereka dan duduk di hadapan Shannon dengan senyum yang kini Shannon benci.
"Jadi mau berbicara apa di tempat seramai ini? Apa kau tidak merasa jika masalah kita akan lebih mudah dibicarakan di tempat sepi dan pribadi seperti ruang kerjaku atau kamar-"
"Hentikan omong kosong dan pikiran kotormu, Gara!" Seru Shannon menahan kegeramannya.
Mendengar cara Shannon menyebut namanya merupakan hiburan tersendiri untuk Gara. Apalagi melihat wajah cantik yang penuh emosi tertahan itu.
"Aku tidak mau berlama-lama menghabiskan waktuku. Jadi aku akan langsung membicarakan tujuanku menemuimu hari ini." Shannon menatap Gara yang dengan santai memanggil pelayan dan memesan minuman.
"Kau mau minum sesuatu?" Tawar Gara. "Apa kau masih menyukai Vanilla Latte-"
"Saya tidak memesan. Terima kasih." Alih-alih menanggapi Gara, Shannon menatap pelayan yang nampak kebingungan dan langsung beranjak pergi begitu selesai mencatat pesanan Gara.
"Baiklah, kenapa kau harus seserius ini? Mari kita dengarkan." Gara mencari posisi nyaman di tempat duduknya seraya menatap remeh Shannon.
Shannon menarik nafasnya dalam-dalam lagi untuk kesekian kalinya. Ia memejamkan mata dan kembali menguatkan tekadnya jika ia telah melakukan hal yang benar dengan menemui Gara.
Ia hanya akan berdiskusi mengenai putranya, menemukan solusi, dan selesai.
"Gio sakit."
"Gio? Giorgio?" Punggung yang bersandar nyaman itu mendadak berubah tegang. Tubuhnya condong kedepan agar ia bisa mendengar lebih jelas ucapan Shannon.
Shannon mengangguk membenarkan. "Gio terkena Leukemia dan saat ini dia membutuhkan-" Shannon benci dengan susunan kata yang ia ucapkan. Hal ini membuatnya terdengar seperti tidak becus mengurus Gio karena ia tidak bisa memenuhi kebutuhan Gio. Bahkan untuk kesembuhan bocah itu. "-dia membutuhkan sumsum tulang belakangmu."
Gara terdiam. Dan detik kemudian ia tertawa dengan kencang hingga membuat seluruh pengunjung kafe menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Apa ini salah satu caramu untuk memerasku? Kenapa? Bule itu tidak memberimu uang lagi?" Tanyanya meremehkan. Ia kembali tertawa.
Shannon menatap tajam Gara. Ia harus menekan emosinya. Ia tidak boleh meledak dan menghilangkan kesempatan Gio mendapat donor dari Gara hanya karena ia tersinggung dengan ucapannya.
"Aku tidak membutuhkan uangmu! Tapi Gio, Putramu, darah dagingmu, pria kecil itu membutuhkanmu, Gara!" Desis Shannon tertahan.
Tawa Gara terhenti. Ia membalas tatapan tajam Shannon tidak kalah tajam. Ia tidak suka mendengar penekanan ucapan yang Shannon lakukan saat menyebut Gio. Bukankah Perempuan itu juga yang mati-matian tidak ingin Gara mengakui Gio sebagai putranya?
"Baik. Kalau begitu berikan hak asuh Gio padaku. Aku akan memberikan-"
"Kau gila... KAU GILA GARA!" teriak Shannon. "Bagaimana kau masih bisa memikirkan masalah itu sekarang?!" Pertahanan Shannon runtuh. Air matanya kembali mengalir. Air mata putus asa yang ia tahan sejak ia duduk berhadapan dengan Gara. "Gar, aku minta tolong sama kamu... Gio satu-satunya harta yang aku punya. Kamu udah mengambil hidup aku, jangan-"
Shannon terisak sementara ia menunduk dan tangannya terkepal erat menahan seluruh emosi yang tertahan di ujung lidahnya. Ia tidak sekuat itu jika itu mengenai Gio. Ia bukan wanita tangguh seperti yang Austin katakan.
"Jangan ambil Gio, Gar. Aku mohon..." suara lirih Shannon terdengar bersama dengan isakkannya. Ia tidak ingin memohon, terlebih kepada Gara, laki-laki yang sudah menghancurkan hidupnya. Tetapi ia melakukan ini demi Gio. Demi ia agar tidak kehilangan putranya.
"Leukemia katamu?" Kalimat pertama yang keluar dari bibir Gara setelah terdiam cukup lama.
Shannon mendongak. Ia tidak lagi melihat wajah licik Gara disana. Meski masih terlihat datar, setidaknya Shannon bisa melihat kekhawatiran di sorot mata itu.
Sedikit harapan timbul di benak Shannon kalau Gara bersedia membantunya. Ia bahkan tanpa sadar menahan nafas selama keheningan berlangsung.
"Oke." Satu kata dari Gara sanggup membuat Shannon menghembuskan nafas lega dan menarik kedua sudut bibirnya. "Oke kalau kamu gak mau berpisah sama Gio," sambungnya. "Aku akan mendonorkan sumsum tulangku untuk Gio-"
"Terima kasih, Gar. Aku janji aku tidak akan melarang-"
"DENGAN SYARAT!" Potong Gara sambil meninggikan suaranya.
Shannon kembali merasa was-was ketika wajah licik itu kembali. Ia bahkan bisa merasakan bulu kuduknya meremang melihat seringai itu saat ini.
"Kita menikah."
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro