Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Jalan Keluar Lain?

Austin merebahkan tubuhnya di atas kursi kebesarannya sejenak. Beberapa hari belakangan sangat melelahkan, namun ia sama sekali tidak bermaksud untuk mengeluh.

Ia yakin, Shannon pasti lebih lelah luar dalam dibanding dirinya.

Setelah memastikan Shannon cukup beristirahat dan Gio dalam keadaan stabil, Austin kembali ke kantor untuk mengurus kembali pekerjaannya.

Namun sebelum itu, ia memejamkan mata sejenak.

Telepon sambungan di mejanya berbunyi mengusik ketenangannya. Ia jelas-jelas sudah memesan sekretarisnya untuk mengalihkan semua panggilan dan menjadwal ulang agendanya untuk beberapa jam kedepan.

Dengan sedikit malas, Austin memaksa tubuhnya untuk bergerak menerima panggilan itu.

"I'm sorry to disturb you Mr.Tyler. But Your brother is looking for you."

Seketika Austin mengernyit dan menegakkan tubuhnya. "Marvel? Dimana?"

"He's on line 2."

"Oke, terima kasih banyak," jawab Austin yang langsung menekan tombol nomor 2.

"Akhirnya kau tidak mati disana, Austin. Aku hampir mengabari Mom dan Dad kalau mereka harus merevisi surat wasiat mereka."

Austin mendengus dengan keras lalu menghempaskan punggungnya lagi di atas kursi. "I'm totally fine, brother. Tidak perlu merepotkan dirimu," sindirnya.

"Ahh... sayang sekali." Laki-laki itu mendesah. "Padahal setelah tidak bisa menghubungimu seharian kemarin, aku mengira aku akan mendapat bagian dari warisanmu."

"Siapa yang durhaka sekarang?" Sindir Austin lagi. "How's LA?"

"Sangat baik. Kau sudah mendapat emailku? Aku dan Auryn mencoba menghubungimu seharian tetapi tidak bisa."

Austin mengeluarkan ponselnya dan mendesah. "Ponselku mati, maaf. Aku sudah menerima email mu. Selamat sekali lagi. Aku merasa iba pada Megan karena ia pasti terpaksa menikahim-"

"Sial kau!" Seru kembarannya di seberang sana membuat Austin terkekeh senang. "Kau pasti akan kembali, kan? Minggu depan acaranya."

Austin terdiam sejenak menatap langit-langit ruangannya. Kabar pernikahan kembarannya dengan pujaan hatinya tenti adalah hal membahagiakan. Tetapi entah mengapa ia merasa resah.

Ia ingin mengajak Shannon bersamanya begitu melihat undangan pernikahan yang ia terima melalui email beberapa waktu lalu. Tetapi memang masa depan tidak pernah ada yang tahu.

Sekarang Gio terbaring lemah di rumah sakit. Ia yakin kalau Shannon pasti tidak akan mau meninggalkan Gio, ataupun membawa Gio ikut serta mengingat kondisinya.

"Austin! Austin!"

"Hm?" Austin mengerjap dan bergumam kecil.

"Kau melamun? Ada apa?" Diam sejenak sebelum Alceo lanjut bertanya. "Kau tidak sedang sedih karena Megan memilih menikah denganku, kan?"

"Idiot! Siapa juga yang sepicik itu? Aku sangat bahagia atas pernikahanmu, kau tahu?" Sungut Austin.

Alceo tertawa di seberang sana. "Baguslah kalau kau ikut berbahagia. Sepertinya aku yang terlalu panik menyambut hari pernikahan kami. Kalau begitu, i'll see you next week?"

Austin terdiam lagi. Kali ini ia menatap kalendernya dan menimang sejenak sebelum menjawab, "next week. I'll see you next week."

Ia bahkan mendengar keraguan di suaranya sendiri saat mengatakan kalimat itu.

"Kau benar-benar tidak apa-apa, Austin? I'm your brother, you remember?"

Austin tersenyum tipis. Dalam hatinya ia tahu kalau ia tidak sedang dalam kondisi yang baik-baik saja dimana ia bisa bertemu keluarganya dengan senyum lebar. Tetapi ia tidak ingin membuat keluarganya khawatir dengan keadaannya yang berada jauh dengan mereka.

"I'm fine, Marvel. Just... work and all stuff." Austin berbohong sambil tertawa. Ia berharap kembarannya mempercayainya dan tidak bertanya apapun lagi.

Austin mendesah kecil saat harapannya terkabul ketika kembarannya tidak lagi bertanya. "Baiklah, jaga dirimu disana. Jangan membuat kami khawatir seperti kemarin. Auryn nyaris memaksa Mike untuk terbang ke Indonesia besok pagi."

"Kalian berlebihan." Austin terkekeh.

"Karena kami peduli padamu. Aku rasa itu hal yang wajar. Kau saudara kami."

Austin tersenyum mendengar ucapan Alceo yang tidak biasanya bisa semanis dan seserius itu. Biasakan akan ada hal-hal tidak masuk akal seperti-

"Tetapi kalau terjadi sesuatu padamu, aku rasa aku akan dengan senang hati menerima warisan bagianmu-"

"Ok bye Marvel." Tanpa mendengar omong kosong kembarannya lagi, Austin segera mematikan sambungan telepon itu.

Baru saja ia merasa tersentuh dengan ucapan melankolis Alceo. Dalam sedetik, ia bisa menghancurkan atmosfer itu dengan kata-katanya juga.

"Idiot." Gerutu Austin memaki teleponnya.

Kembali merebahkan punggung di kursinya, Austin lalu mengadah dan menatap langit-langit untuk waktu yang cukup lama.

"God... What should i do?"

***

"Makan Gio..." bujuk Shannon seraya menyuapkan bubur untuk Gio yang baru bangun dari tidurnya.

"Where is Uncle tampan, mama?" Tanya Gio tanpa mengindahkan suapan Shannon. Ia sudah bertanya pertanyaan yang sama sejak bangun sebanyak lebih dari 10 kali.

"Uncle tampanmu sedang bekerja," jawab Shannon juga untuk yang lebih dari 10 kali.

"But it is late, mama. Gio mau disuapi Uncle," rengek Gio.

"Gi-"

"Good Evening."

"UNCLE!!!" Teriak Gio antusias begitu mendengar sapaan Austin yang baru saja muncul dari balik pintu kamar rawatnya.

Shannon menggeleng dan berdiri dari kursi tempat duduknya setelah meletakkan mangkuk bubur di meja yang tersedia.

Sebelum Austin bertanya ada apa, Shannon lebih dulu menjawabnya. "Dia hanya mau disuapi olehmu."

"Benarkah?" Tanya Austin yang langsung dijawab dengan anggukan antusias dari Gio. Austin terkekeh dan menempati tempat duduk Shannon tadi.

Bertepatan dengan itu, seorang dokter beserta dua orang suster datang untuk mengecek keadaan Gio. Maka Austin memberikan ruang untuk mereka sebelum menyuapi Gio.

Austin berdiri di samping Shannon sambil merangkul pundaknya. Mereka memperhatikan dengan seksama bagaimana dokter itu sedang memeriksa Gio.

Begitu selesai, dokter berbalik dan langsung berhadapan dengan kedua orang yang sedang menantikan kabar mengebai kondisi kesehatan Gio.

Dokter itu menarik sedikit senyumnya lalu berbicara dengan bahasa Inggris, "bisakah saya berbicara dengan anda sebentar?" Pandangan matanya tertuju pada Austin.

Austin mengernyit lalu ia menatap Shannon yang juga sedang menatapnya bingung.

"Boleh saya ikut?" Tanya Shannon. "Saya... ibunya."

"Tentu. Kita bicara di ruangan saya saja." Dokter itu tersenyum dan mendahului mereka meninggalkan ruangan.

Austin menatap Shannon sejenak sebelum beralih menatap Gio dan menghampiri bocah laki-laki itu.

"Kau bisa makan sendiri, Gio? Uncle dan ibumu ingin berbicara dengan paman dokter sebentar." Austin mengelus kepala bocah 4 tahun itu dengan lembut.

Gio mengangguk dan langsung meraih mangkuk buburnya dan makan tanpa drama apapun. Lagi-lagi membuat Shannon menggelengkan kepalanya karena Gio yang selalu menurut jika itu adalah perintah Austin.

Padahal ia sendiri memerlukan waktu hampir 30 menit untuk membujuk bocah itu makan dengan suapannya.

Mereka bersama-sama menuju ke ruangan dokter dengan Austin yang tidak melepaskan rangkulannya dari bahu Shannon seakan ia takut jika ia melepaskan rangkulan itu, tubuh Shannon akan luruh akibat tidak mampu menopang beban hidupnya lagi.

"Ada apa dengan Gio, dok? Dia baik-baik saja, kan?" Tanya Shannon begitu mereka masuk kedalam ruangan serba putih itu.

"Silahkan duduk terlebih dahulu, Tuan, nyonya." Dokter itu menunjuk kedua bangku di hadapannya lalu berbalik mengambil sesuatu dari dalam lemari di belakang tempat duduknya.

Shannon semakin gelisah menunggu ditengah keheningan dan ketegangan dalam ruangan itu.

Austin merasakan kegelisahan Shannon. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain meraih tangan Shannon dan menggenggamnya erat.

"Hasil laboratorium dari pemeriksaan Gio sudah keluar." Dokter itu kembali duduk di hadapan mereka dan berdeham. "Seperti yang saya takutkan selama ini, Tuan Nyonya... Kondisi Gio lebih buruk karena terjadi kerusakan di bagian sumsum tulang belakangnya."

Austin bisa merasakan genggaman tangan Shannon menguat. Austin bahkan bisa merasakan tetesan air di pundak tangannya yang ia yakini berasal dari air mata Shannon.

"Kemoterapi dan Radioterapi bisa kami lakukan, tetapi itu hanya upaya untuk memperlambat pertumbuhan sel kanker di tubuh Gio."

"A-ap-apa ada jalan keluar lain, dok? Gio pasti bisa selamat, kan? Gio akan sembuh, kan, dok?" Suara Shannon bergetar. Ia membiarkan airmatanya mengalir karena tidak ada gunanya berpura-pura tegar. Jika itu berhubungan dengan hidup dan mati Gio, ia tidak bisa mengabaikannya sedetikpun.

Dokter itu mengangguk. "Apakah Gio memiliki saudara lain?" Tanyanya yang dijawab gelengan cepat Shannon. Sejenak dokter itu menghela nafas lalu melanjutkan ucapannya, "Gio memerlukan donor sumsum tulang belakang untuk mengganti sel yang rusak di dalam tubuhnya. Meski donor bisa berasal dari orang lain, tetapi hanya sedikit orang yang memiliki kecocokan. Biasanya kami akan menganjurkan saudara kandung pasien untuk melakukan pencocokan. Tetapi jika tidak ada..." jeda sejenak sebelum dokter tersebut mencondongkan tubuhnya dan menatap Austin. "Pilihan kedua yang bisa kami berikan untuk anda adalah melakukan pencocokan dengan ayah kandung."

"Ayah kandung?" Shannon membeo.

Dokter itu mengangguk. Tidak menangkap ekspresi keterkejutan Shannon akibat pernyataannya barusan.

"Saya bisa menjadwalkan waktu untuk anda melakukan pencocokan sumsum terhadap putra anda jika anda ingin. Namun saya sarankan untuk tidak menunda lebih lama karena kondisi Gio akan semakin memburuk."

Shannon tidak lagi peduli jika saat itu dokter masih mengira Austin adalah ayah Gio. Kepalanya terlalu penuh dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia pikirkan selama ini.

Gio membutuhkan donor.

Gio membutuhkan sumsum tulang belakang Gara.

Gio membutuhkan Gara.

Apa Gara akan peduli?

Apa Gio akan selamat?

Seluruh dunia seakan sedang berkonspirasi untuk menjatuhkan Shannon sekali lagi. Kenapa harus Gara yang menjadi ayah Gio? Kenapa harus Gio yang menderita penyakit itu?

Kenapa harus dia yang menjadi jalan keluarnya?

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro