Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Jeritan Pilu.

Warning!

Awas Baper 😚

Selamat membaca, kesayangan ❤

You should do the same too, Shan.

Shannon melamun hampir seharian semenjak Austin meninggalkan rumahnya.

Bahkan ia terduduk di sofa untuk waktu yang cukup lama hingga Gio keluar dan menanyakan keberadaan Austin.

Shannon terpaksa berbohong dengan mengatakan Austin memiliki urusan mendadak. Terlihat sangat jelas raut kecewa Gio saat tahu jika akhir pekannya akan lagi-lagi ia habiskan sendirian.

Shannon menatap pria kecil yang terlelap di sampingnya dengan amat lekat. Ia baru pulang bekerja dan kini ia tidak bisa tidur. Maka ia memilih mengamati wajah putranya yang mengingatkannya pada segala masalah yang ia pernah lalui. Gio adalah penyemangatnya, alasannya bertahan, dan nafasnya.

Shannon merapikan rambut-rambut yang menutupi wajah tampan putranya perlahan. Ia mengernyit merasakan rasa panas di kulitnya setelah bersentuhan dengan kulit Gio.

Semakin ia perhatikan lagi, wajah Gio terlihat resah dan dipenuhi oleh bulir-bulir keringat yang Shannon yakini, bukan berasal dari hawa panas di kamar mereka.

"Gio?" Shannon sontak duduk di atas kasur dan meneliti kondisi Gio. "Gio, bangun sayang..."

Mata Gio mengerjap, Shannon menghela nafas lega. Namun kemudian hal selanjutnya yang terjadi membuat Shannon semakin panik.

"G-gio kamu baik-baik saja, sayang? Ya Tuhan!" Shannon terkejut saat melihat darah yang berasal dari dalam hidung Gio mengalir. "Ki-kita ke dokter sekarang ya, sayang? Kamu kuat kan?" Tanpa membuang waktu lebih lama, Shannon segera menggendong Gio. Tidak peduli bila darah Gio akan mengenainya. Hal yang terpikirkan olehnya hanya memastikan Gio baik-baik saja.

"Uncle tampan... uncle tampan dimana, ma?" Tanya Gio di tengah kepanikan Shannon yang sedang membawanya keluar.

"Ma, Gio mau uncle tampan, ma..." Gio merengek saat Shannon tidak menanggapi pertanyaannya.

"Nanti mama hubungi ya, sayang? Sekarang kita ke dokter dulu. Gio anak baik, kan?"

"Sekarang, ma..." rengek Gio.

Shannon menatap Gio dengan tatapan bingung bercampur ragu. Tetapi ia tidak bisa egois saat ini.

"Ini sudah malam, Gio... uncle tampan mungkin sudah-" Shannon tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat Gio menangis dalam gendongannya. Kemudian ia menghela nafas dan memilih mengalah. "Mama akan telepon uncle tampan, tapi kita cari taksi untuk ke rumah sakit dulu, ya?"

Hanya ini solusi yang bisa Shannon berikan tanpa membuang waktu. Dan sepertinya Gio dapat menerima solusi itu sekarang karena ia hanya mengangguk pasrah.

***

Austin tengah mempelajari kontrak kerjasama yang baru di tandatangani oleh partner baru perusahaannya ketika ponselnya berbunyi.

Ia melirik sekilas kearah jam dan bergumam dalam hati, mengira jika salah satu saudara atau keluarganya yang menghubunginya.

Ia langsung menegakkan tubuh ketika melihat nama Shannon di layar ponselnya.

"Shan?" Sapa Austin langsung.

Terdengar keheningan di seberang sana, karena Shannon tidak mengira kalau Austin akan mengangkat teleponnya setelah apa yang terjadi, dan mengingat waktu sudah terlalu larut untuk menelepon.

"Shannon?" Panggil Austin lagi.

"A-ah... Austin." Bibir Shannon mendadak kaku. "Maaf mengganggumu malam-malam."

"Sama sekali tidak. Ada apa?" Austin menutup map di depannya dan menyandarkan punggung yang tidak disadarinya mulai terasa kaku.

"Gio... memintaku meneleponmu." Shannon menatap Gio yang terlelap dengan wajah resah di sampingnya. Keresahan itu membuat Shannon ikut merasa resah.

"Ada apa dengan Gio?" Tanya Austin.

Sebenarnya itu hanya pertanyaan yang sangat mudah. Namun mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir Austin, seperti membangunkan sisi terlemah Shannon yang selalu muncul setiap kali bersama Austin.

Bukan menjawab pertanyaan Austin, Shannon malah terisak hingga isakkannya bisa terdengar di telinga Austin.

"Shannon, kau tidak apa-apa?" Austin berusaha tenang disaat ia mulai panik menyadari jika ada hal yang terjadi dengan Gio.

"Gio sakit, Austin... dia demam, lalu ada darah yang keluar dari hidungnya... aku takut-"

"Aku akan segera kerumahmu." Tanpa mendengar penjelasan Shannon, Austin langsung mengambil keputusan.

"Tidak! Jangan kerumah. Aku sedang dalam perjalanan membawa Gio ke Rumah Sakit sekarang. Aku..."

Tanpa perlu mendengar kata-kata lanjutan Shannon, Austin mengerti ketakutan perempuan itu. "Aku akan segera kesana. Kirimi aku alamat rumah sakitnya."

Shannon mengangguk meski Austin tidak bisa melihatnya. Hanya mendengar Austin akan datang saja sudah membuatnya merasa sedikit lega.

"Shannon..." panggil Austin sebelum panggilan ia akhiri. "He'll be ok. Gio adalah anak paling kuat."

Shannon melengkungkan senyumnya dan kembali mengangguk. "I know."

Sepenggal kalimat bagai sihir itu seakan mampu membuat Shannon lebih tegar sekarang.

***

"Bagaimana keadaannya?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Austin begitu ia sampai dan melihat Shannon duduk di lorong kamar perawatan.

Shannon mendongak dan melihat wajah khawatir Austin.

"Masih di dalam. Dokter masih memeriksanya." Shannon bergumam kecil.

Bertepatan dengan itu, pintu kamar rawat Gio terbuka dan seorang dokter keluar dari dalamnya dengan raut serius.

"Bagaimana Gio, dok?" Tanya Shannon setengah mendesak.

Dokter yang sama yang pernah merawat Gio dulu itu menatap Shannon juga Austin bergantian dan menghela nafas.

Dengan bahasa Inggris yang lancar, Dokter itu menerangkan keadaan Gio pada Austin.

"Kami sudah memberinya obat penurun panas. Untuk saat ini kondisi Gio stabil, tetapi saya sarankan untuk melakukan Biopsi sumsum tulang belakang agar bisa kami periksa di laboratorium."

"Bi-biopsi?" Ulang Shannon tidak percaya. Untuk suntik imunisasi saja Shannon tidak tega pada putranya, bagaimana Biopsi?

"Kami takut jika terjadi kerusakan pada sumsum tulang belakang Gio dan ia membutuhkan-"

"Donor." Austin menyela tanpa sadar. Ia sempat mencari tahu tentang penyakit Leukemia beberapa waktu lalu. Jadi kurang lebih ia mengerti apa yang akan Dokter katakan.

Dan hal ini lah yang Austin takutkan. Jika benar Gio membutuhkan donor, maka Ayah atau saudara kandung Gio yang akan menjadi prioritas pertama untuk maju sebagai donor. Karena Gio tidak memiliki saudara, maka pilihan Ayah Gio lah yang memungkinkan. Meski tidak menutup kemungkinan jika orang lain juga bisa menjadi donor asalkan memiliki kecocokan.

Shannon menutup mulutnya dan tubuhnya melemah bersandar di dada bidang Austin yang sigap menahannya.

"Sementara, hanya ini yang bisa saya sampaikan. Selebihnya, anda bisa mengikuti Suster Mora untuk melakukan pelunasan biaya administrasi baru setelahnya kami akan melakukan tindakan biopsi," tutur Dokter itu seraya memohon diri.

Austin segera mendudukan Shannon di kursi dan membelai lembut kepala perempuan itu.

"I'll be right back after i settle the payment. Don't go anywhere." Austin mengecup kening Shannon dan beranjak mengikuti seorang suster untuk melakukan pembayaran.

Shannon menatap lirih punggung Austin yang menjauh. Ia hanya bisa menertawakan dirinya sendiri karena kata-kata Gara benar, dan ia menjilat ludahnya sendiri.

Bahwa ia adalah parasit penghisap harta meskipun ia berkata tidak butuh. Buktinya, mungkin Gio tidak akan berada di dalam kamar dengan penanganan bagus jika bukan karena Austin yang membayar seluruh biayanya.

Miris.

***

Austin melangkah mendekati Shannon yang sedang mengamati lekat wajah Gio yang sedang tertidur setelah hari melelahkannya malam itu.

Austin masih mengingat jelas teriakan Austin dan isakkan Shannon saat dokter melakukan biopsi pada tubuh kecil itu.

Jeritan pilu yang ikut menyayat hati Austin. Jikapun bisa, Austin juga ingin menggantikan posisi Gio hingga Gio tidak perlu merasakan rasa sakit itu.

"He'll be ok, right?" Suara Shannon membuyarkan lamunan Austin yang masih berdiri tidak jauh dari tempatnya.

"He will." Austin menghampiri Shannon dan menyentuh bahu Shannon. "He's the bravest and strongest man i've ever seen."

Shannon menoleh dan tersenyum kecil. Jelas sekali terlihat jejak kesedihan di wajah cantik itu.

"Bisa kita bicara sebentar?" Tanya Shannon.

Austin langsung mengangguk menyanggupinya. "I'll see you outside."

Setelah dua kali tepukan di bahu Shannon, Austin berlalu meninggalkan kamar perawatan Gio terlebih dahulu.

Shannon masih menggunakan waktunya sejenak untuk menatap wajah putranya yang terlihat tidak terlalu lelap. Mungkin karena rasa sakit akibat biopsi juga demamnya yang belum turun.

Shannon mengecup kening putranya lalu menyusul Austin yang sudah menunggunya di depan kamar Gio.

Shannon harus mengakui, segala pengertian yang Austin berikan kepadanya mampu melunakkan sisi terkeras dalam diri Shannon yang tidak ingin lagi bersinggungan dengan laki-laki manapun. Apalagi dari kalangan kaya yang rata-rata hanya datang untuk memanfaatkannya. Seperti Gara.

Tetapi Austin berbeda. Laki-laki itu seakan hadir untuk mengobati luka di dalam diri Shannon dan menggantikannya dengan sesuatu yang baru. Cinta yang baru. Kehangatan yang baru.

Shannon terkejut saat tidak menemukan Austin di luar kamar Gio. Ia menoleh kekanan dan kekiri. Lorong itu kosong, hanya ada beberapa suster yang berlalu lalang. Maklum, waktu memang masih menunjukan tengah malam nyaris pagi. Tidak ada pengunjung yang berkeliaran selain yang tinggal untuk menemani pasien. Itupun kalau mereka belum tidur.

Shannon memutuskan untuk duduk menunggu Austin kembali. Mungkin saja ia sedang ke toilet.

Ditengah kesendiriannya, Shannon kembali membandingkan Austin dengan Gara. Memang ia salah membanding-bandingkan orang seperti itu. Biar bagaimanapun, mereka adalah dua orang berbeda dengan dua rasa yang pastinya tidak akan sama. Ia hanya berharap jika ia tidak akan kembali terperosok kedalam lubang yang sama.

Segelas kopi yang masih menguarkan asapnya disuguhkan di depan wajah Shannon yang masih sedikit melamun. Shannon mengadah dan menemukan senyum yang selalu membuatnya merasa lebih baik.

"I bet you need this."

"Thanks." Shannon menerimanya lalu ia terdiam, menikmati hangat dari gelas kertas di tangannya menjalar ke tubuhnya yang terasa dingin akibat penyejuk ruangan rumah sakit itu yang menggigit tulang.

"Maaf, membuatmu harus repot membuang waktumu di rumah sakit sepagi ini." Shannon menyesap kopinya dan kembali terdiam.

"I'm glad you called me. Sama sekali tidak merepotkan." Austin tersenyum lalu menatap pintu kamar Gio tanpa suara. "Are you feeling ok now?"

Shannon mengangguk kecil lalu menoleh kearah Austin. "Sorry about what happen this afternoon."

"Aku tidak membicarakan itu. Aku mengerti jika kau membutuhkan waktu berpikir. Aku bertanya mengenai kondisi Gio. Are you ok?"

Shannon dan Austin bertatapan untuk waktu yang cukup lama hingga Shannon menghela nafas dan berkata dengan suara kecil, "i'm not." Ia tersenyum kecil dan menatap Austin lagi. "Bisakah aku meminjam bahumu sebentar?" Pintanya.

Austin menggeser duduknya sedikit lebih dekat dan menepuk bahunya tanpa berkata apapun.

Shannon menarik senyumnya lagi dan perlahan ia menyandar di bahu Austin yang terasa kokoh.

Mereka terdiam cukup lama. Hanya ada suara sepatu perawat yang berlalu lalang, atau suara pendingin ruangan. Mereka terlihat nyaman dengan keheningan dan keintiman mereka saat itu sebelum Shannon memutuskan membuka mulutnya untuk bercerita.

"Aku bertemu dengan ayah Gio beberapa hari yang lalu." Shannon menarik nafasnya dan menghembuskannya perlahan. "There's something i didn't tell you last time... Ayahnya menginginkan hak asuh Gio. Laki-laki yang pernah kau temui di tempat kerjaku, dia adalah laki-laki suruhan ayah Gio untuk memaksaku menandatangani surat penyerahan hak asuh."

Shannon menegakkan tubuhnya dari sandaran lalu menatap Austin. "Tetapi aku tidak pernah menandatanganinya. You see... Gio is everything for me. Aku tidak bisa kehilangan dia... bisa kau bayangkan, bukan perasaanku melihat Gio di dalam sana saat ini?"

Austin mengangguk mengerti. Ia kembali menarik kepala Shannon untuk di sandarkan di dadanya. Ia bergumam kecil. "I understand." Austin mengerti jika kemunculannya mungkin pernah membuat Shannon takut. Ia tidak ingin membuat Shannon merasakan itu lagi saat berada di dekatnya. "But i am not that person, Shannon. I won't take Gio away from you."

Austin bisa merasakan anggukan kecil di dadanya. Kemudian sebuah lengan kecil melingkar di pinggangnya.

"Karena itu, aku merasa beruntung bisa bertemu dengan laki-laki sebaikmu. Thankyou..." Shannon mengeratkan pelukannya sambil masih mengistirahatkan kepalanya di dada Austin. Ia merasa aman berada dalam rangkulan laki-laki itu.

Tanpa perlu mengungkapkan perasaan mereka melalui kata-kata, Shannon sudah bisa merasakan bahwa laki-laki ini memiliki hati yang tulus kepadanya.

Mungkin ini yang orang katakan, cinta tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata melainkan tindakan.

Ia merasa sangat dicintai dengan sikap lembut Austin juga kesabaran laki-laki itu.

Austin mengeratkan rangkulannya dan mengusap bahu Shannon. Ia memberikan kecupan di puncak kepala perempuan itu lalu bergumam, "my pleasure, Shannon."

Tbc

Maaf banget baru bisa up lagi. Aku lg ga enak badan dan 2 hari lemes. Padahal 2 hari lagi aku mw pergi, jadi aku di paksa istirahat supaya pulih :'(

1800 kata semoga membayar ya. Sekali lagi maaf dan terima kasih sudah menunggu. 🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro