Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Kata Hati.

Main cast :

-Daniel Hyunoo as Giorgio Febrian Nathala

-Ryan Guzman as Austin Marvello Tyler

-Diana Korkunova as Shannon Laurencia Nathala

-Phupoom Pongpanu as Anggara Sergio Febrian.

Selamat membaca, kesayangan ❤

"Uncle, uncle pernah ke sana?" Tanya Gio sambil menunjuk kearah televisi.

Saat ini ia dan Austin sedang menonton acara liburan selebriti yang sedang pergi ke pulau Dewata Bali. Austin yang tadi sedang menikmati acara liburan itu menoleh.

"Tidak. Tapi sepertinya tempat itu bagus."

"Mama bilang Mama dulu berasal dari sana," celetuk Gio pelan.

Austin mengernyit dan bertanya, "benarkah?"

Gio mengangguk sekali. "Mama juga bilang disana memang indah sekali. Tetapi Mama tidak pernah mau membawa Gio kesana setiap Gio liburan." Gio cemberut seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Kau mau kesana?" Tanya Austin sambil menahan senyumnya.

"Uncle mau membawaku kesana?" Tanya Gio antusias.

Austin mengangguk dan terkekeh. "Kalau kau berjanji akan menjadi anak manis, liburan nanti uncle akan membawa Gio juga Mama kesana, bagaimana?"

Gio melompat dari tempat duduknya dan berlutut di atas sofa sambil menatap Austin penuh harap. "Benar, uncle?"

Austin mengangguk lagi dan kali ini Gio bersorak senang sambil melompat di atas sofa.

Shannon memperhatikan interaksi Gio dan Austin dari dapur. Ia sedang menyiapkan makan malam untuk ia tinggalkan untuk Gio malam nanti saat ia pergi bekerja.

Matanya menatap Gio cukup lama lalu beralih kearah Austin.

Semenjak laki-laki itu muncul, Shannon selalu mendapati raut bahagia di wajah putranya. Bahkan di akhir pekan seperti ini, biasa Gio selalu meributinya untuk berjalan-jalan meski hanya sekedar ke taman, atau keliling komplek. Yang penting Shannon meluangkan waktu untuknya.

Tapi sekarang, hanya dengan menonton televisi dan bermain Game, Gio seakan sudah puas dengan kehadiran Austin yang menemaninya. Bahkan Gio tidak pernah lagi ribut meminta waktunya.

Shannon sadar jika Gio pasti kesepian. Terlebih keabsenan sosok ayah selama ini, membuat Gio sangat mengelu-elukan sosok Austin yang sudah seperti pahlawan di matanya.

Kamu munafik, Lauren!

Kamu egois, Lauren!

Prang!

Suara nyaring bunyi pecahan piring yang terjatuh dari tangan Shannon membuat bukan hanya Shannon, tetapi juga Austin dan Gio terkejut.

"Ma-maaf..." Shannon bergumam kecil dan langsung berjongkok memunguti pecahan beling sebelum melukai Gio atau yang lainnya.

Ucapan Gara membuatnya tertohok dan kepikiran semalaman. Selain mengenai perempuan itu, Shannon memang tidak tahu apapun mengenai Austin.

Apa yang laki-laki itu kerjakan? Dari mana asal laki-laki itu? Dan apa yang laki-laki itu inginkan dengan mendekatinya juga Gio? Jika memang laki-laki itu sekaya yang Gara katakan, kenapa Austin mendekatinya disaat Austin bisa mendapat perempuan manapun yang ia inginkan? Apa hanya karena rasa kasihan?

"Are you ok?" Suara Austin yang tiba-tiba berjongkok dihadapannya mengejutkan Shannon.

Tapi aku tidak melihat sorot kasihan dimata Austin. Shannon membatin seraya mengamati kedua mata Austin.

"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Austin lagi saat Shannon masih terdiam mengabaikannya.

"T-tidak..."

Austin menggenggam tangan Shannon ketika Perempuan itu hendak mengalihkan tatapannya dan kembali memunguti pecahan kaca.

"Something is bothering you. What is it?" Tanya Austin dengan nada yang sangat lembut yang mampu membuat Shannon merasakan sisi terlemahnya akibat perhatian yang Austin berikan.

Kilat lampu flash mengejutkan mereka, disambung kemudian tawa nyaring Gio.

"Gio, hati-hati pecahan beling, sayang!" Tegur Shannon. Ia kemudian beralih menatap benda kotak yang dipegang Gio saat ini. "Siapa yang memberimu itu, Gio?"

"I gave it to him." Austin mengacu pada kamera polaroid yang digenggam Gio.

Shannon menoleh dan menghela nafasnya lelah.

"Gio, play somewhere else. Disini banyak pecahan piring. Berbahaya."

Shannon berdiri dan membalik tubuhnya memunggungi Austin. Shannon membuang pecahan-pecahan beling yang ia punguti ke tempat sampah.

Austin berdiri dan mengikuti Shannon. "Kau marah?" Tanya Austin memastikan.

Shannon berbalik. Ia menahan nafasnya saat berhadapan langsung dengan dada bidang Austin. Ia mendongak dan berhasil menemukan wajah tampan laki-laki itu terlihat khawatir.

"Kita perlu bicara."

Austin mengangguk kecil. "Baiklah."

"Bukan disini." Shannon melirik Gio yang sedang mengamati hasil jepretannya di depan televisi.

"Baiklah." Lagi-lagi Austin bergumam jawaban yang sama. Austin mengerti maksud Shannon. Shannon pasti tidak ingin Gio mendengar percakapan mereka. Tetapi mereka juga tidak mungkin meninggalkan Gio sendirian.

"Gio, can you play in your room, honey?" Pinta Shannon yang sedang bermain robot-robotan yang lagi-lagi tidak Shannon ingat pernah ia belikan untuk Gio.

"Tapi, Mama..." Gio memprotes dengan bibir mengerucut.

"Gio, go play inside your room for a bit. your mom and i need to talk." Austin menyela.

"Ok." Dengan cepat Gio menuruti perintah Austin tanpa raut memprotes.

Hal itu sedikit membuat Shannon meringis. Bagaimana caranya Gio dengan cepat menuruti ucapan Austin?

Begitu Gio masuk ke dalam kamar tidur, Austin kembali menatap Shannon. Shannon hanya diam membersihkan sisa kekacauan yang ia buat dibawah tatapan mata Austin yang terus menatapnya lekat.

Shannon kemudian berlalu mendahului Austin kearah ruang tamu dan membereskan mainan-mainan Gio yang berserakan.

Pandangannya terjatuh pada robot-robotan yang kembali Shannon yakini, pasti dibelikan oleh laki-laki itu.

"Kau yang membelikan ini?" Tanya Shannon berbalik menatap Austin.

Austin mengangguk sekali.

"Kenapa?" Tanya Shannon lagi.

Austin mengernyit bingung. "Apa aku harus memiliki alasan untuk membelikan Gio mainan?"

"Tolong jangan belikan apapun lagi untuk Gio, -atau maksudku, jangan membelikan kami apapun lagi," pinta Shannon membuat kernyitan di kening Austin semakin terlihat.

"Hei, ada apa?" Tanya Austin. Ia menghampiri Shannon dan menyentuh pundak perempuan itu perlahan. "Baiklah, maaf kalau niat baikku menyinggungmu, tapi aku benar-benar tidak bermaksud seperti itu."

Shannon menepis perlahan tangan Austin dari pundaknya, kemudian ia mendongak. Ia menatap dalam mata khawatir milik Austin kemudian ia berkata, "kau kaya."

Austin mengernyit. Tidak mengerti arah pembicaraan juga pemikiran Shannon.

"Kau pemilik perusahaan tempat Risa bekerja, apa benar?"

Austin terkejut, meski begitu, ia tetap mengangguk.

Shannon mengangguk kemudian mendengus. Ia kembali melanjutkan memberesi mainan Gio dan mengabaikan Austin.

Austin kebingungan dan memutuskan untuk bertanya. "Apa ada hal yang salah? Kenapa aku merasa kau menghindariku?"

"Salah?" Shannon mendengus. "Tidak. Kau tidak salah. Aku yang salah karena terlalu bodoh sampai tidak sadar sudah dibodoh-bodohi bahkan ditertawakan selama ini."

"Shan." Austin mencekal tangan Shannon dan membalik tubuh perempuan itu tanpa perlawanan.

Austin terkejut begitu melihat airmata di wajah Shannon begitu wanita itu berbalik. Austin semakin dibuat panik karenanya.

"Shannon, tell me. What happen?" Dengan ibu jarinya, Austin menyeka air mata yang mengalir di kedua pipi Shannon perlahan. Membingkai wajah yang terasa hangat di telapak tangannya.

"Kenapa aku tidak tahu? Kenapa hanya aku yang tidak tahu dan terlihat seperti orang bodoh? Apa begitu menyenangkan membodohiku?" Tanya Shannon.

"Kau tidak pernah bertanya," jawab Austin menohok Shannon. "Lagipula, misalkan kau tahu siapa aku sejak awal, lalu apa?"

Lalu apa? Shannon menanyakan hal yang sama pada dirinya. Aku akan menjauhimu karena orang kaya egois? Aku akan melarang Gio tertawa bahagia dan bergantung denganmu? Aku tidak akan membiarkan diriku jatuh cinta padamu?

Sebenarnya Shannon tahu, rasa kecewa dan amarah yang ia rasakan saat ini hanyalah hasil dari pemikirannya yang tidak ingin membenarkan ucapan Gara. Ia bukan seperti Wanita yang Gara katakan hanya menginginkan harta Austin maupun laki-laki itu.

Namun Shannon juga tidak bisa mengendalikan rasa kecewanya karena Austin memilih membiarkannya berada di zona abu-abu tanpa mengatakan siapa dia sebenarnya.

"Shan..."

"Aku lelah, Austin. Bisa kau pulang sekarang?" Tanya Shannon setelah menepis tangan Austin yang akan kembali menyentuh wajahnya.

"Kau marah karena aku tidak memberitahumu?"

"Aku tidak ingin membicarakan hal ini sekarang," tukas Shannon tanpa menatap mata Austin. Ia takut tidak akan kuat dan kembali menangis jika melihat raut kecewa Austin saat ini.

Ia tahu ia egois. Ia menyakiti Austin untuk hal yang tidak laki-laki itu sengaja lakukan. Tetapi ia butuh waktu tenang untuk berpikir. Mengenai perasaannya, mengenai ucapan Gara, dan ancaman laki-laki itu. Juga mengenai Gio.

Austin terdiam. Ia memperhatikan Shannon cukup lama. Perempuan itu hanya menunduk tanpa mau menatap wajahnya atau membiarkan ia menyentuhnya. Perempuan itu kembali dalam mode defensif dan sejujurnya Austin tidak menginginkan hal itu.

Tetapi ia lebih tidak ingin memaksa. Bukan sama sekali sifatnya untuk memaksa seseorang hanya untuk memenuhi kehendaknya.

Austin kemudian menghela nafas dan tersenyum kecil. Ia mengangkat tangannya ke puncak kepala Shannon dan berkata, "baiklah. Aku pulang sekarang. Sampaikan salamku pada Gio."

Austin mengusap pelan kepala Shannon. Ia lalu berjalan meraih kunci mobilnya dan hendak berjalan menuju ke pintu keluar sebelum Shannon tiba-tiba menahan tangannya.

Austin berbalik, bingung juga bertanya tanpa suara melihat reaksi Shannon saat ini.

Shannon sendiri juga tidak tahu kenapa ia tiba-tiba menahan Austin disaat ia yang memintanya untuk pergi.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengusirmu," gumam Shannon akhirnya.

Austin mengangguk dan memutar tubuhnya berhadapan dengan Shannon. "Aku tahu, kau membutuhkan waktu sendiri untuk berpikir." Austin memberanikan diri menyentuh pipi Shannon yang kali ini tidak ditepis lagi. "Hubungi aku jika kau sudah merasa lebih baik. Ponselku aktif 24 jam."

Mengakhiri ucapannya, Austin meyakinkan dirinya untuk mengecup Shannon. Entah di pipi, bibir, atau dimanapun. Ia hanya tidak ingin meninggalkan Shannon dengan perasaan menggantung bak jemuran belum kering. Ia ingin menyampaikan pada perempuan itu jika ia tidak bermaksud mempermainkannya atau bermaksud jahat.

Dengan pertimbangan yang cukup rumit di kepalanya, Austin kembali memberanikan diri mendekat lalu mengecup kening Shannon perlahan dan cukup lama.

Shannon memejamkan matanya, meresapi kehangatan dan kelembutan yang Austin berikan kepadanya. Kenyamanan dan rasa aman yang sangat menenangkan hati Shannon.

"Aku pulang dulu. Hati-hati bekerja nanti," ucap Austin. Laki-laki itu tersenyum dan kembali berjalan kearah pintu.

"Why me?" Tanya Shannon kembali menghentikan langkah Austin di ambang pintu.

Mata biru laki-laki itu kembali mengarah ke mata hitam Shannon. Laki-laki itu kembali tersenyum lalu menggidikkan bahu.

"Aku hanya mengikuti kata hatiku. You should do the same too, Shan."

Tbc

Maaf kalau membosankan 🙏

Semoga suka hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro