Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Gio Mau Seperti Ini Terus...

From : Shannon
Gio memintaku bertanya, apa hari ini kau bisa meluangkan waktumu menemani aku... well, maksudku, kami... berbelanja bulanan? Tidak masalah jika kau sibuk. Aku mengerti.

Austin tidak bisa menyembunyikan senyumnya ketika pesan bernada ajakan juga penolakan itu masuk ke ponselnya.

Ketika ponselnya bergetar, bahkan ditengah rapat penting yang sedang ia hadiri, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak segera membukanya ketika melihat nama Shannon sebagai pengirimnya.

Ia segera mengetik pesan balasan dengan cepat sebelum kembali terfokus pada jalannya rapat.

To : Shannon
Aku akan menjemputmu siang nanti.

Austin memasukkan ponsel kedalam sakunya dan kembali memperhatikan presentasi salah satu perusahaan yang akan bekerja sama dengannya untuk proyek mendatang.

***

Shannon merutuki dirinya sendiri yang sangat amat tidak tahu malu, mengirimkan pesan itu ke Austin sambil membawa nama Gio.

Gio memang pernah memintanya untuk jalan-jalan bersama dengan uncle tampannya. Tetapi bukan ke pasar swalayan untuk berbelanja bulanan.

Austin pasti akan berpikir kalau Shannon adalah perempuan Agresif dan ia akan segera dijauhi.

Tidak... Austin bukan laki-laki seperti itu. Shannon membatin sambil menggeleng. Mencoba mengusir pikiran buruknya sendiri.

Bunyi pesan masuk di ponselnya membuat Shannon terlonjak kecil akibat terkejut.

"Oke, itu hanya pesan balasan, Shannon. Jangan terlalu berlebihan!" Shannon menghipnotis dirinya sendiri sambil menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.

Ia saat ini sedang berada di gudang bersama dengan barang-barang bekas yang sudah tidak lagi terpakai. Ia sengaja bersembunyi disana di sela-sela jam kerjanya hanya untuk mengirim pesan untuk Austin.

Dan ia sedikit menyesali kebodohannya. Ia jadi harus berkutat lebih lama dengan dirinya mengenai harus atau tidak ia membuka pesan balasan itu sekarang.

"Ah, bodo amat! Aku akan bilang kalau ponselku di bajak andai kata dia menolak," putus Shannon.

Sudah siap malu, Shannon kemudian membuka pesan balasan Austin dengan mata terpejam. Perlahan ia membuka matanya untuk mengintip dan matanya melebar begitu membaca kalimat balasan itu. Ia membaca berulang kali dan kalimatnya sama sekali tidak berubah.

"Gyaaaa!!!" Shannon memekik tanpa sengaja melempar ponselnya. Ia menutup kedua pipinya yang mendadak terasa panas dengan telapak tangannya. "Dia akan menjemputku? Menjemputku?!"

Shannon mendadak panik. Meski balasan itu sangat amat singkat -mencerminkan sikap Austin yang juga simple-, tetapi sederet kalimat itu bisa membuat Shannon merona seperti remaja yang baru jatuh cinta.

"Aku harus keluar dari sini. Udaranya mulai panas," ujar Shannon langsung meraih ponselnya dan keluar dari ruang kecil itu.

Ia mengulum senyumnya sepanjang hari itu. Berbeda dengan Shannon yang biasanya, Shannon yang selalu memasang wajah datar tanpa senyuman.

***

"Kami tunggu kabar baik anda, Mr.Tyler." Laki-laki itu menjabat tangan Austin dengan erat sambil memamerkan senyumnya. "Kami akan sangat senang jika perusahaan kami bisa bekerja sama dengan perusahaan anda untuk proyek mendatang."

Austin tersenyum ramah dan mengangguk. "Kami akan mengabari anda secepatnya, Mr.Febrian. Kami akan mempertimbangkan proposal anda."

Austin tengah mengantar rekan kerjanya menuju ke lobby setelah meeting yang cukup lama terselenggara.

"Tentu saja. Anda bisa menghubungi saya atau sekretaris saya jika ada yang ingin anda diskusikan terkait proposal yang saya ajukan. Kami akan sangat bersedia untuk mengikuti keinginan anda," laki-laki itu masih berbicara ketika mereka tiba di lobby perusahaan dan tengah menunggu mobil jemputannya datang.

Austin hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Memang sejauh ini, perusahaan inilah yang paling mendekati kriteria yang mereka cari. Tidak menutup kemungkinan jika Austin akan sedikit mendesak perusahaan itu untuk mengubah beberapa poin dan menyetujui kerja sama itu.

"Hei hei! Berhenti! Hei!!!" Desis seseorang di belakang Austin.

Austin menoleh dan mendapati laki-laki cilik yang terlihat tampan dengan seragam sekolahnya sedang berlari melewati tangan yang mencoba mencegahnya mendekati Austin.

"Hei, Handsome guy!" Austin terkekeh dan langsung mensejajarkan tubuhnya dengan Gio yang langsung meleluknya dengan seringai jahil. "It's ok." Austin menatap kearah kepala cabang berkepala plontos yang mencoba menghentikan Gio tadi dan mengangguk kecil.

Tanpa kesulitan, Austin mengangkat Gio dalam gendongannya.

"How's your day at school, hm?" Tanya Austin.

"Super Great! Hari ini kami menggambar."

"Oh ya? Lalu Gio menggambar apa?" Tanya Austin ingin tahu.

Suara dehaman dari laki-laki di sebelah mereka membuat Austin juga Gio menoleh.

Laki-laki di sebelahnya tersenyum ramah dan berkata, "saya tidak tahu anda sudah menikah dan memiliki anak, Mr.Tyler."

Austin terkekeh dan menggeleng. "Memang belum." Ia lalu beralih menatap Gio dan berkata, "ayo, perkenalkan dirimu dengan uncle ini."

"Hai, siapa namamu anak tampan?" Tanya laki-laki itu sambil menjulurkan tangannya kearah Gio.

"Gio, Uncle. Giorgio Febrian Nathala," jawab Gio sambil membalas jabatan tangan itu.

"Febrian? Nathala?" Ulang laki-laki itu.

Gio beralih menatap Austin dan bertanya, "uncle, bolehkah Gio keruangan uncle? Gio bosan bersama bibi Risa."

"Tentu saja boleh. Tapi kita harus pergi menjemput ibumu sekarang, Gio. Bukankah kalian ingin belanja bulanan?" Austin melihat arloji yang melingkar di tangannya dan berkata, "ibumu hampir selesai bekerja sekarang."

Gio mengernyit. "Belanja bulanan? Apa itu?" Tanyanya kebingungan.

Austin terdiam sejenak kemudian ia kembali tertawa. Sepertinya Shannon sengaja membawa nama Gio untuk menutupi rasa malunya mengajak Austin pergi bersama. Tentu saja Austin tidak akan menggunakan itu untuk mengolok-olok Shannon nanti. Ia akan pura-pura tidak bertanya dan tidak tahu.

Sebuah mobil yang ditunggu berhenti di hadapan mereka.

"Kalau begitu, Mr.Tyler, saya mohon diri dulu. Saya tunggu kabar baik dari anda. Dan Gio, sampai bertemu lagi." Laki-laki itu menyeringai seraya menatap Gio.

"Terima kasih atas waktunya, Mr.Febrian. Asisten saya akan segera menghubungi anda," balas Austin seraya menjabat tangan Mr.Febrian tanpa menurunkan Gio dari gendongannya.

Begitu laki-laki itu menjauh, Gio mendekat untuk berbisik. "Uncle, uncle itu siapa? Kenapa dia terlihat menyeramkan?"

Austin tertawa dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Gio. Karena Gio juga tidak akan mengerti jika ia membahas masalah bisnis dengannya.

"Ayo kita segera jemput ibumu," ajak Austin.

***

"Giorgio Febrian Nathala..." ulang laki-laki itu sambil menyeringai menatap bayangan anak kecil yang sedang tertawa riang di gendongan laki-laki bertubuh tegap itu.

"Aku tidak percaya perempuan itu menamainya dengan nama itu." Ia kembali menyeringai saat mobilnya melaju pergi meninggalkan bayangan Austin dan Gio di belakangnya.

Ia tidak menyangka, proyek yang sengaja ia ambil karena kerap melihat perempuan itu berkeliaran disana membuahkan hasil melebihi yang ia harapkan. Meski tidak bertemu dengan perempuan itu, tetapi ia malah bertemu dengan seseorang yang lebih penting.

Putranya.

***

Austin mendorong kereta belanjaan mengikuti Gio dan Shannon yang sudah berjalan di depannya.

Mereka bercanda sambil tertawa membuat Austin yang tidak mengerti juga ikut tertawa seakan tertular oleh tawa Shannon.

"Ma, Cokelat!" Seru Gio begitu melihat cokelat di lemari yang mereka lewati.

"Gio..." Shannon berhenti tertawa dan menatap Gio lembut. "Lain kali saja, ya? Kalau beli ini, nanti mama tidak bisa beli sepatu baru untuk Gio." Shannon mencoba memberi pengertian pada Gio jika mereka harus berhemat.

Biaya pengobatan Gio tidaklah mudah. Ia harus bisa berhemat, sehemat-hematnya.

"Mama..." Gio merengek. "Gio kan mendapat nilai sempurna. Cokelat ya, ma? Ya? Satu saja..."

"Gio..."

Percakapan mereka terhenti ketika Austin memasukkan sekotak cokelat yang diinginkan Gio kedalam keranjang.

Gio dan Shannon menoleh kearah Austin dengan 2 pandangan berbeda. Gio dengan mata berbinarnya, Shannon dengan mata yang siap memprotesnya.

"Apa?" Tanya Austin seakan tidak mengetahui letak kesalahannya.

Gio segera berlari dan memeluk Austin erat. "Uncle tampan memang yang terbaik!!!" Setelah itu Gio berlari sebelum mendengar omelan Shannon.

Shannon beralih menatap Austin dan memprotes. "Austin!"

"Hm?" Austin bergumam menanggapi panggilan protes itu.

"Cokelat itu sangat mahal!" Keluh Shannon.

"Tidak masalah. Sepertinya Gio sangat menginginkannya."

"Tapi kan-" Shannon tidak melanjutkan kata-kataknya. Matanya melihat dua botol sabun cair yang tadi dilihatnya dan kembali ia letakkan di etalase saat melihat harganya. "Kapan kau mengambil ini?"

"Tadi," jawab Austin santai. Ia melihat Shannon kembali mengerang. Maka ia melanjutkan, "aku yang akan membayarnya, Shan. Jangan khawatir."

"Tapi aku mengajakmu bukan karena ini, Austin. Lagipula sabun ini tidak perlu... aku bisa menggunakan sabun batangan yang lebih mura-"

Austin menangkup kedua pipi Shannon hingga Shannon berhenti berbicara.

"Aku tahu. Tapi terimalah niat baikku sekali ini, Shan, ya?"

"Aku bahkan masih belum membayar biaya rumah sakit dan perawatan Gio," keluh Shannon.

"Ah, itu sudah habis masa berlakunya. Kau tidak perlu membayarnya lagi." Austin tertawa dan beralih meraih dorongan lagi. "Kau mau membeli apa lagi?"

Shannon menggerutu sambil mencuri pandang kearah Austin kemudian ia berbalik dengan satu hentakan kaki yang keras. "Tidak ada lagi."

Shannon berjalan meninggalkan Austin yang mengejar langkahnya sambil terkekeh.

***

Shannon, Gio, dan Austin saat ini sedang bermain di salah satu tempat permainan yang ada di pusat perbelanjaan itu.

Awalnya Gio dan Austin bermain tembak-tembakan sampai balap mobil, sedangkan Shannon hanya menunggui mereka sambil ikut tertawa ketika Gio menggerutu saat dikalahkan Austin.

"Mama, mama play this with uncle!" Gio tiba-tiba menarik Shannon yang sedang melamun menuju salah satu permainan menari. Austin sudah bersiap-siap di salah satu sisinya.

"Mama tidak bisa." Tolak Shannon dengan cepat.

"Bohong," seru Gio mencibir. "Mama sangat pandai bermain ini. Uncle ingin melihatnya. Benarkan, uncle?"

Austin sudah menggulung lengan kemejanya hingga siku dan dua kancing teratasnya juga sudah terbuka.

Apa dia tidak sadar jika perempuan-perempuan yang mulai membentuk lingkaran itu memperhatikan tubuh seksinya? Shannon membatin lalu berdecak.

Tanpa ditarik lagi oleh Gio, Shannon mengambil posisi di sebelah Austin yang sedang tersenyum miring kepadanya seakan mengejeknya. Shannon lalu berkata, "watch and learn."

Austin terkekeh dan mengangguk. "Yes, your Majesty." Perlakuan manis Austin kepadanya membuatnya sedikit bersorak gembira. Apalagi mendengar desisan kecewa perempuan-perempuan di sekitar mereka.

Lagu mulai bermain dan Shannon dengan lihai menginjak setiap anak panah sesuai urutan yang tertera di layar. Sedangkan Austin mulai kebingungan dan bergerak kaku sambil menatap layar dan kakinya bergantian.

Shannon tertawa puas melihat Skornya dan menertawakan Austin yang mendapat skor terendah. Laki-laki itu tidak terlihat malu ataupun kesal. Malahan Laki-laki itu tersenyum dengan bahagia kearahnya dan menawarkan high-5 kepada Shannon.

Gio menyeruak dari tengah dan merangkul lengan Austin juga Shannon sambil ikut tertawa.

"Gio ingin seperti ini terus, Mama, Uncle. Mama tertawa bahagia, dan Uncle menemani Gio bermain. Rasanya menyenangkan sekali," gumam Gio.

Wajah Shannon sontak kembali merona. Ia mengadah menatap Austin yang mengerling kearahnya.

Shannon tersipu dan menatap Gio. Tangannya membelai pipi putranya penuh sayang dan berkata, "iya... sangat menyenangkan."

Shannon melirik kearah Austin yang masih menatapnya lekat dan tersenyum tanpa ingin memprotes.

Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia tertawa selepas ini. Atau... apa pernah ia merasa sebahagia ini? Sejenak ia bahkan lupa mengenai Gio dan penyakit bocah itu.


Tbc

Semoga suka 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro