13. Worst News, Ever!
Double Up!
Jangan lupa Vote dan Comment di chapter sebelah.
Selamat membaca, Kesayangan ❤
Siapkan hati kalian ya 😋
Hal pertama yang ada di pikiran Austin begitu menginjakkan kakinya di Indonesia adalah menemui Shannon.
Ia ingin melihat ekspresi seperti apa yang akan Shannon berikan padanya saat bertemu nanti.
Sudah seminggu lebih mereka tidak bertemu meskipun ia selalu mendapatkan kabar Shannon melalui Gio yang asik bercerita tanpa perlu ia tanya.
Maka, sejak ia menapakkan kaki di Bandara Internasional Jakarta, Austin langsung pergi ke tempat kerja Shannon.
Ia masih memiliki sedikit waktu sebelum rapat bulanan yang harus ia pimpin nanti di mulai.
Setidaknya ia ingin bertemu Shannon dulu dan menegaskan pada wanita itu jika ia tidak sedang menghindarinya dan tidak semenyebalkan yang ia selalu gerutukan pada panci penggorengan.
Jalanan padat selalu menjadi makanan utama Austin setiap kembali ke Jakarta. Membuatnya semakin tidak sabaran karena berbalapan dengan waktu untuk segera tiba di tempat kerja Shannon secepatnya.
"Faster, Dave." Austin melirik arlojinya dan memburui supir yang menjemputnya.
"Yes, sir."
Begitu mobilnya terbebas dari kemacetan dan tiba di tempat kerja Shannon, Austin mengkode Dave untuk menungguinya sebentar. Dave hanya menurut saja, karena memang itu pekerjaannya.
Austin masuk dan langsung di sambut oleh pelayan yang menawarinya menu dan meja.
"I'm looking for an employee... her name is Shannon."
"Oh, Shannon?" Dengan bahasa daerah yang medok, pelayan itu menjawab pertanyaan Austin. "Shannon teh sudah go back, mister."
"Go back? At this hour?" Austin merujuk ke Arlojinya yang masih menunjukan pukul 10 pagi. Terlalu pagi untuk Shannon menyelesaikan Shiftnya.
"Yes, sir. Shannon teh bilang dia mau... anu... bahasa inggrisnya apa ya? Anu... dokter sir."
"You mean she's not feeling well?"
"Iyain aja deh sir. Yes yes. Well well sir." Balas pelayan itu.
Austin pusing mendengar jawaban pelayan yang dirasa sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Ia kemudian mengucapkan terima kasih dan berlalu sebelum membuat kepalanya bertambah pusing.
"Eh, mister! Ndak jadi eat, sir?!" Teriak pelayan itu yang sama sekali di diamkan oleh Austin.
Ia masuk ke dalam mobil dan menghela nafasnya.
"Where do we go now, sir?" Tanya Dave sambil melihat Austin dari kaca tengah.
"Office. Meeting akan segera dimulai," putus Austin. Ia memijat pangkal hidungnya perlahan dan berpikir. Apa mungkin Shannon sakit? Kalau Shannon tidak bekerja, apa mungkin Gio juga tidak akan berada di kantor nanti?
Austin kembali menghela nafasnya dan memejamkan mata, mengistirahatkan diri dari jetlag yang masih mengganggunya.
***
"S-sir... sir." Suara Dave mengusik tidur Austin yang dirasa hanya beberapa detik. Austin membuka mata dan melihat supirnya. "Maaf mengganggu anda, tetapi kita sudah sampai."
"Ah... ya. Terima kasih sudah membangunkanku." Austin terekkeh lalu melihat ke sekitarnya sejenak.
Ia langsung berpaling cepat ketika ia melihat tampak belakang seseorang yang ia kenali. Ia memicingkan matanya.
Bukankah itu Shannon?
Wanita berparas belakang mirip Shannon itu hanya berdiri menatung di depan gedung kantornya.
Tidak lama kemudian ia melihat wanita itu menunduk dan berlari menuju ke samping gedung perusahaan.
Austin bereaksi ketika wanita yang ia yakini sebagai Shannon itu berlari melewati mobilnya. Ia sempat melihat sekilas wajah sedih Shannon tadi.
Ponsel Austin berbunyi, menggagalkan keinginan Austin untuk turun menghampiri Shannon secepatnya.
"Austin speaking." Bahkan suaranya sendiri terdengar tidak sabaran.
"Sir, rapatnya akan segera dimulai." Itu suara sekretarisnya.
Ia menatap pintu kantor dan tempat menghilangnya Shannon secara bergantian. Mendengarkan kata hati yang lebih kuat untuk ia dahulukan. Dan ia melakukannya. "Cancel semua janji dan meeting hari ini. Ada hal penting yang harus saya selesaikan."
"Baik, Sir."
Tanpa menunggu lebih lama, ia segera mematikan panggilan dan sebelum keluar, ia menyempatkan diri berbicara dengan supirnya.
"Bawa barang-barangku ke ruangan. Terima kasih."
Austin kemudian dengan cepat berlari menyusuri jalan mengikuti arah hilangnya Shannon tadi. Ia mengabaikan sapaan pegawai yang menyapanya.
Begitu sampai di sisi gedung, ia mendengar isakkan seorang perempuan yang ia yakini bukan berasal dari hal-hal gaib, melainkan Shannon.
Ia menemukan Shannon sedang berlindung di belakang pondasi gedung sambil meringkuk dengan bahu bergetar.
Austin berjalan perlahan, menghampiri Shannon tanpa menimbulkan suara. Dan tanpa bersuara juga, Austin bersimpuh di sebelah Shannon kemudian memeluk perempuan itu dari belakang.
Shannon terkejut ketika ada yang memeluknya secara tiba-tiba. Namun begitu menyadari siapa hanya dengan aroma tubuhnya, Shannon hanya membiarkan laki-laki itu memeluknya. Dan membiarkan dirinya menangis lagi di dalam pelukan laki-laki itu.
Pertanyaan mengenai kemana perginya Austin seminggu ini, apakah Austin sedang menghindarinya, atau kenapa ia bisa berada disana tiba-tiba, tidaklah lagi penting. Ia hanya ingin mengeluarkan kesedihannya yang ia sadari, selalu bisa ia lakukan di dalam pelukan seorang Austin.
***
Austin mengabaikan tatapan penasaran dari orang-orang di sekitarnya. Begitu juga Shannon yang nampaknya tidak terlalu menyadari jika ia sedang menjadi bahan pembicaraan dan tatapan orang di sekitar mereka.
Austin kembali dengan secangkir kopi untuk dirinya dan segelas cokelat hangat untuk Shannon.
Austin kemudian duduk berhadapan dengan Shannon yang masih melamun dengan mata sembab dan wajah sedihnya.
"Ada apa, Shan?" Tanya Austin seraya menggenggam jemari Shannon yang saling meremas di atas meja.
Shannon mengadah dan melihat senyum Austin. Wajah Austin terlihat khawatir.
Melihat wajah dan kekhawatiran Austin entah mengapa selalu membuat sisi terlemah Shannon timbul. Matanya kembali berkaca-kaca dan terisak lalu kembali menunduk.
Austin dengan cepat beralih tempat dan duduk di sisi Shannon. Menarik perempuan itu kembali menangis di pelukannya.
"It's ok. It's ok..." ulang Austin berkali-kali membisiki telinga Shannon.
Pemikiran buruk mengenai kemungkinan preman tempo hari kembali mengganggu Shannon muncul di kepala Austin. Ia hanya bisa berspekulasi kalau Shannon tidak memberitahunya.
Ia berharap Gio tidak akan datang ke Kafe ini untuk mencarinya dan melihat ibunya dalam keadaan seperti ini.
Beruntung ia tidak memberitahu Gio kapan pastinya ia akan kembali.
"Good girl, it's ok..." Austin mengecup puncak kepala Shannon. Setelahnya ia berharap Shannon tidak akan menendangnya jauh-jauh akibat kenekatannya itu.
Tubuh Austin sedikit menegang ketika Shannon melepaskan pelukannya dan menatapnya dengan air mata yang masih mengalir.
"S-shan maaf... aku tidak bermaksud-" permintaan maaf Austin tergantung ketika Shannon menggenggam tangan Austin dengan erat.
Austin bisa merasakan tangan perempuan itu bergetar hebat. Seperti tubuhnya saat pertama kali Austin memeluknya tadi.
"Apa yang harus aku lakukan?" Tanya Shannon dengan suara disertai isakkan.
"Apa yang terjadi, Shan?" Tanya Austin berbalik menggenggam kedua tangan kecil Shannon.
Shannon menggeleng. Ia kembali menangis dan terisak. "Aku... aku mendapat telepon dari... rumah sakit..."
Austin masih menunggu Shannon melanjutkan ucapannya.
"K-kau ingat, Do-dokter pernah menga-ngambil sampel darah Gio?" Kali ini Austin mengangguk. Tangis Shannon kembali terdengar memilukan sesaat sebelum ia melanjutkan ucapannya.
"G-gio... Dia terkena Leukemia... apa yang harus aku lakukan?"
Shannon kembali menangis dan Austin terkejut mendengar kabar buruk itu.
Austin kembali menarik Shannon dan memeluknya dengan lebih erat. Ia tidak bisa mengatakan segalanya akan baik-baik saja saat ini. Ia tahu kenapa Shannon menangis saat ia mengatakan kalimat itu.
Karena Shannon tahu, semua tidak akan baik-baik saja.
Tbc
Konflik dimulai ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro