Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Rindu yang Tidak Bisa di Selesaikan.

Maaf ya kemaren gak update. Aku lagi gak enak badan dan bed rest seharian :(

Jaga kesehatan ya kalian. Cuaca lagi ga bagus banget. Huhuhu

Selamat membaca, kesayangan ❤

Jangan lupa Vote dan Commentnya 😊

Seminggu berlalu selepas Shannon mencurahkan keresahannya kepada Austin dan hari dimana Shannon mengangkat panggilan dari seorang perempuan bernama Auryn.

Begitu selesai menerima panggilan, Austin kembali dengan wajah khawatir dan bergegas pergi padahal ia belum selesai membuatkan makan siang untuk mereka bertiga.

Austin beralasan jika ia memiliki urusan yang harus segera ia selesaikan.

Sebelum pergi, ia bahkan sempat berpamitan dengan Gio dan mengecup kening bocah yang terlihat kecewa karena Austin tidak bisa menemaninya bermain.

Austin membisiki sesuatu di telinga Gio dan protesan itupun seperti angin lalu. Gio mengantar kepergian Austin dengan senyum dan tawa lebar.

Bahkan ketika Shannon bertanya apa yang dikatakan Austin, Gio hanya mengatakan jika itu adalah rahasia antar lelaki.

Sekali lagi Shannon kebingungan, sejak kapan mereka bisa sedekat dan seintim itu? Pakai rahasia-rahasia segala.

Dan semenjak saat itu, Austin menghilang tanpa kabar selama seminggu.

Bukannya ia ingin dikabari oleh Austin, hanya saja... entahlah. Sepertinya ia memang ingin Austin mengabarinya, mematahkan pemikiran Shannon mengenai Austin yang sedang menghindarinya setelah menyadari jika dirinya tidak sebaik yang dikira.

Bukan menghilang tanpa kabar selama seminggu seperti ini.

Shannon menghela nafas lelah dan menatap kesepuluh jarinya sebagai pengalihan.

"MAMAAAAA..." teriakan Gio membuat Shannon beralih dan memasang senyum terbaiknya seraya menyambut Gio ke dalam pelukannya.

"How's your day, sayang?" Tanya Shannon sambil mengecup pipi Gio.

Shannon beralih kearah Risa yang sudah sangat amat membantunya dengan menjaga Gio selama ia bekerja pagi hari. "Thanks ya Ris. Ngerepotin kamu setiap hari." Shannon tersenyum simpul sambil membelai rambut Gio yang halus, sehalus rambut ayahnya.

"Gak masalah, Shan. Aku sudah menganggap Gio seperti anakku sendiri kok." Risa tersenyum dan membungkukkan tubuhnya kearah Gio. "I'll see you tonight,Gio."

Gio terkekeh antusias dan mengangguk. "See you, bibi!" Serunya sambil melambai dengan semangat 45.

Shannon dan Gio berjalan keluar menuju ke terminal bis terdekat ditemani senandung Gio yang tidak biasanya.

"Sepertinya kamu lagi senang sekali, sayang? Ada apa?" Tanya Shannon ingin tahu.

Gio menyeringai dan mengangguk. Ia lalu berkata, "Gio senang, karena Uncle tampan bilang, kalau uncle akan segera pulang."

Shannon berhenti melangkah dan menatap Gio curiga. "Uncle tampan?" Ulangnya. Si bule itu? "Uncle tampan menghubungi kamu, sayang?"

Gio lagi-lagi mengangguk. "Setiap hari," tambahnya.

Oke, dia menghubungi Gio, tapi tidak menghubungiku. Shannon membatin.

"Uncle tampan bicara apa aja, sayang?" Tanya Shannon sambil mensejajarkan tubuhnya dengan Gio. Ia melupakan niatan awalnya untuk ke terminal bus dan segera pulang.

"Bicara agar Gio menjadi anak baik, jangan nakal dan menjaga Mama juga bibi Risa," ujar Gio sambil mengingat-ingat percakapannya dengan Austin.

Shannon tergelitik ingin bertanya pada Gio akan satu hal. Senyumnya tertahan lalu bertanya, "apa uncle bertanya sesuatu tentang Mama?"

Gio menggeleng. "Tidak bertanya." Ia menegaskan.

Wajah Shannon merona dan ia menahan nafasnya beberapa detik. Ia mendadak kesal. Ia lalu berdiri dan tidak lagi melanjutkan percakapannya dengan Gio.

Dasar bule kepo rese! Apa menanyai kabarku itu dosa besar? Gerutu Shannon sepanjang perjalanannya ke terminal.

Ia sempat berharap Austin menanyai kabarnya meski itu melalui Gio. Setidaknya itu menunjukan kalau Austin tidak sedang menghindarinya. Dan ia benar-benar kesal karena hanya dia yang sepertinya penasaran akan kabar Austin dan menahan diri untuk bertanya lebih lanjut pada putranya.

Pulang ya pulang. Tidak ya tidak. Aku tidak peduli!

***

Los Angeles
11.30 pm

Austin tidak bisa menyembunyikan senyumannya setelah selesai bervideo call dengan Gio yang sudah menjadi aktivitas rutinnya selama seminggu ia di LA.

Ia memang sempat membisiki Gio untuk melakukan Video call dengannya sebelum pergi. Sebenarnya tujuannya hanya untuk menemani Gio yang harus menunggu Shannon menjemputnya agar tidak bosan karena ia tidak berada disana untuk menemaninya.

Sekaligus mungkin untuk menanyai kabar dari ibunya.

Tapi siapa sangka jika tanpa ditanya, Gio sudah terlebih dahulu bercerita mengenai hari dan juga kabar orang-orang di sekitarnya.

Ia terkekeh kecil mengingat percakapannya tadi dengan Gio sebelum bocah itu menyudahinya karena Shannon akan segera menjemputnya.

"Kapan uncle akan pulang? Disini sepi tidak ada uncle."

Austin memperhatikan Gio yang sedang duduk manis di salah satu ruangan telekonferense sambil bermain dengan robot-robotan pemberiannya.

"Sebentar lagi. Kau sudah makan siang?"

"Sudah. Bibi Risa membelikan puding cokelat tadi." Gio masih fokus pada robot-robotannya  kemudian seakan teringat sesuatu, Gio mengadah dan bertanya, "uncle, apa orang dewasa suka sekali berbicara dengan diri mereka sendiri?"

Austin mengernyit dan bertanya, "siapa yang berbicara sendiri?"

"Mama."

Austin terdiam cukup lama sebelum Gio melanjutkan ucapannya.

"Mama sering berbicara sendiri saat malam seminggu ini. Aku sering terbangun karenanya. Lalu Mama juga sering menggerutu saat membuat makan malam untukku sambil berkata 'bule menyebalkan'." Gio menatap mata Austin bertanya, "Mama tidak gila,kan,uncle?"

"Gila?" Austin nyaris tertawa.

"Ibunya Teman Gio suka berbicara sendiri, dan katanya dia lalu harus di rawat di rumah sakit jiwa," ujar Gio. "Mama tidak akan masuk rumah sakit jiwa kan, Uncle?"

Austin tertawa. Ia membayangkan Shannon yang berbicara sendiri atau menggerutu di depan penggorengan.

"Uncle? Uncle kenapa tertawa sendiri?"

"Hah? Ah tidak. Ibumu tidak gila, Gio. Hanya... ada beberapa hal yang orang dewasa memang suka bicarakan pada dirinya sendiri. Kau akan mengerti jika sudah dewasa nanti."

Gio menatap Austin aneh. Ia kemudian bergumam, "kenapa orang dewasa sangat rumit? Kalau seperti ini, aku tidak ingin menjadi dewasa dan berbicara dengan diriku sendiri."

Austin berjalan menuju ke kasurnya sambil terus tersenyum.

Ia tidak perlu menjadi ahli Bahasa Indonesia untuk mengetahui apa yang Gio katakan tadi ketika mencontoh gerutuan Shannon.

Bule adalah bagaimana cara mereka menyebut Austin yang merupakan warga negara asing.

Dan ia tidak perlu bertanya 2x, ia tahu pasti Shannon sedang menggerutu mengenainya.

Ia memang belum mengabari Shannon sama sekali, karena ia tidak tahu cara menghubungi wanita itu. Ia berharap Shannon tidak salah paham dan perpikiran ia sedang menghindarinya setelah tahu mengenai masa lalu wanita itu.

Baru ia ingin memejamkan matanya, pintu kamarnya terbuka dan seseorang mengintip dari celahnya.

"Kau belum tidur?" Tanya Austin.

"Kau sendiri juga. Aku mendengar suaramu, jadi aku kira kau belum tidur." Auryn, adik kembarnya berjalan masuk dan menghampiri kasur Austin. "Kau berbicara dengan siapa sampai tawamu terdengar keluar?"

Austin menyunggingkan senyumnya. Ia tidak menjawab pertanyaan Auryn.

"Apa dengan wanita yang kemarin menjawab teleponku?"

"Bukan," jawab Austin. Ia masih mengulum senyumnya yang semakin membuat Auryn memicingkan matanya curiga.

"Alceo sudah ke Manhattan sekarang menyusul gadisnya. Dia akan segera pulang ke DC. Jadi bisakah aku kembali besok?" Tanya Austin. Sebenarnya dengan atau tidak adanya persetujuan Auryn, ia bisa saja pulang sekarang juga.

Ia memang diminta Auryn untuk menggantikan posisi Kembaran tertua mereka yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar, sebelum orang tua mereka sadar jika putra pertamanya tidak berada di tempat.

Alhasil Austin harus berpura-pura menjadi Alceo, saudara kembarnya, selama di LA.

"Mau bertemu dengan wanita itu?" Goda Auryn sambil menyeringai.

Austin terkekeh. Ia mendorong tubuh Auryn menjauh dari kasurnya dan membelakangi perempuan itu tanpa menjawab godaan Auryn.

"Aku akan pulang besok. Sudah sana keluar, aku mau tidur," usirnya.

Auryn tidak menyerah. Ia menindih Austin dan bertanya berulang kali, "siapa wanita itu? Siapa? Siapa? Kau akan mengenalkannya pada kami?"

Austin terkekeh dan kembali mendorong tubuh Auryn dari atasnya. "Berisik."

"Austin, siapa?" Rengek Auryn sambil mengguncang tubuh Austin. Tidak mau membiarkan Austin tertidur dengan tenang tanpa menjawab pertanyaannya. "Kenapa kau harus buru-buru kembali? Kau baru satu minggu disini!"

"Banyak yang harus aku urus di Indonesia, Auryn," kilah Austin tanpa membuka matanya. Ia masih memunggungi Auryn yang masih belum menyerah.

"Urusan apa? Urusan merindu yang tidak bisa kau bendung?" Goda Auryn dengan sengaja menyenggol-nyenggol tubuh Austin. "Atau-"

Austin berbalik dan memposisikan dirinya duduk sejajar dengan Auryn yang masih memasang seringainya. Ia kemudian meraih kedua bahu Auryn dan menggiringnya keluar kamar sambil berkata, "ya ya. Ini urusan rindu yang tidak bisa diselesaikan jika aku menetap terlalu lama disini, puas?" Austin menatap wajah Auryn yang tersenyum puas mendengar jawabannya.

Sebelum Auryn sempat berkata-kata, Austin terlebih dahulu berkata, "Sekarang aku mau tidur. Selamat malam, adik kecil." Lalu Austin menutup pintu kamar dan tidak lupa menguncinya sebelum Auryn kembali mencecarnya.

Auryn mengetuk-ngetuk pintu kamar Austin dengan tidak sabaran. Sepertinya jawaban Austin kurang membuatnya puas karena pertanyaan Auryn kini semakin banyak.

"Siapa? Siapa namanya? Apa dia cantik? Kapan kau akan mengajaknya kesini? Kapan kau akan memperkenalkannya pada kami? Austinnn! Austin buka pintunyaaaa!"

Tentu saja Austin mengabaikan pertanyaan itu dan memilih tidak menjawabnya.

Ia akan menjawabnya jika memang ia sudah yakin. Dan itu bukan sekarang.

Tbc

Semoga suka ❤🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro