10. Menjaganya. (2)
Double up!!!
Selamat membaca, Kesayangan ❤
Austin mengendarai mobilnya menyusuri padatnya ibu kota malam itu.
Ia baru selesai lembur dan terpaksa berkendara sendiri karena ia tidak ingin menarik supirnya ikut lembur bersamanya.
Ditengah kesunyian mobilnya, Austin memikirkan ucapan Gio pagi tadi mengenai Shannon.
Sejak awal ia melihat kedua mata Shannon di kelab, Austin tahu jika mata perempuan itu menyembunyikan masalah juga kesedihan yang besar di dalam sana.
Tatapan kosong dan wajah datar yang selalu menghiasi wajah cantik -ya, Austin mengakui kecantikannya- itu selalu membuat Austin penasaran.
Terlebih ketika ia tanpa sengaja melihat senyum langka di wajah Shannon yang menurut Austin lebih cocok berada disana dari pada wajah datar dan tatapan kosongnya.
Tanpa disadari Austin, mobil yang ia kendarai tiba di restoran cepat saji tempat Shannon bekerja.
"What am i doing here?" Ia menertawakan dirinya sendiri.
Dari dalam mobilnya, ia melihat Shannon yang masih bekerja di balik mesin kasir. Setia dengan wajah datarnya yang dalam hati Austin takutkan akan membuat perempuan itu berada dalam masalah karena dikira tidak bersahabat oleh konsumennya.
Entah sudah berapa lama Austin duduk di dalam mobilnya dan memperhatikan setiap gerak gerik Shannon, ia tersadar begitu Shannon berjalan ke belakang dengan wajah kaku.
Austin melirik kearah jam digital yang masih menunjukan pukul 11 malam. Lebih cepat 1 jam dari waktu pulang Shannon.
Pemikiran buruk mengenai keadaan Gio membuat Austin keluar dari mobilnya.
Apa terjadi sesuatu dengan Gio? Siang tadi sebelum Shannon menjemput Gio, bocah itu masih baik-baik saja.
Langkah Austin terhenti begitu melihat Shannon berjalan dengan langkah lebar dan terlihat marah. Shannon tidak menyadari keberadaan Austin ketika ia menarik seorang laki-laki yang entah sejak kapan berada di sebelah gedung restoran itu seakan menanti kedatangan Shannon.
Ini bukan urusanku. Austin membatin seraya berjalan mundur sesaat setelah melihat Shannon berbicara dengan laki-laki itu. Ia tertawa kecil pada dirinya sendiri. Kenapa ia harus selalu peduli akan masalah orang lain? Seakan dirinya kekurangan masalah.
Austin berbalik dan bertepatan dengan itu, ia mendengar teriakan dari arah belakang yang membuatnya kembali membalikan badan dan melihat Shannon seperti sedang memberontak dari kuasa laki-laki itu.
Apa ia harus kesana? Apa ia tidak melewati batasannya?
***
Shannon terkejut ketika melihat figur laki-laki yang sama yang membuat keributan di tempat kerjanya dulu hingga mengakibatkan dirinya di pecat datang ke tempat kerja barunya.
Pertanyaan dari mana laki-laki itu tahu keberadaannya nampaknya tidak lagi penting saat ini. Laki-laki itu kaya, dia bisa mendapatkan apapun selain Gio.
Shannon tidak ingin membuat keributan, maka ia meminta laki-laki itu menemuinya di luar.
Shannon menatap tajam pelipis laki-laki itu yang membekas sebuah goretan akibat pukulan asbak darinya di kelab. Terlihat menyakitkan, sama seperti bekas sayatan beling di pergelangan tangannya yang sudah mengering.
"Untuk apa kamu mencariku lagi? Apa belum cukup-"
Shannon menghentikan ucapannya ketika laki-laki itu mengangkat secarik kertas di hadapannya.
"Bos berkata jika ini masih kurang, kamu bisa mendapatkan lebih asalkan kamu memberikan hak asuh anakmu kepada bos," ucap laki-laki itu angkuh.
Mata Shannon sejajar dengan cek bernilai tinggi yang masih di pegang oleh laki-laki di depannya. Ia merasa kesal dan terhina dengan perlakuannya. Apalagi laki-laki pengecut yang mengira uang dapat menyelesaikan semuanya.
Shannon meraih kertas itu tanpa mengalihkan tatapannya. Aura kemenangan dirasa berhembus pada laki-laki itu namun dengan cepat Shannon merobek kertas itu dan melemparnya tepat di depan wajah laki-laki yang mulai terlihat emosi.
"Katakan padanya, tidak ada satupun hal di dunia ini yang bisa membeli anakku. Tidak ada selama itu berhubungan dengan dirinya!" Geram Shannon. Ia mengepalkan tangannya dan melanjutkan ucapannya, "selama aku masih hidup, aku tidak akan memberikan anakku padanya. Anakku tidak pantas mendapat ayah bajingan seperti dirinya!"
Shannon terpekik saat laki-laki di depannya mencengkram tulang pipinya dengan kencang. Matanya menyala menyiratkan kemarahan yang sangat besar seperti malam itu.
"Sombong sekali kamu, Hah?! Dasar jalang tidak tahu diri. Kamu seharusnya bersyukur bisa mendapatkan uang semudah itu hanya dengan tubuh dan rahimmu!"
Merasa terancam, Shannon tidak mempunyai pilihan lain selain meludah di depan wajah laki-laki itu. Laki-laki itu langsung melepas cengkramannya dan menatap tajam Shannon.
"Sialan!!!"
Shannon memejamkan matanya erat begitu melihat tangan besar itu sudah melayang di depannya.
Ia sudah bersiap menerima tamparan keras itu namun yang kemudian ia rasakan hanyalah aroma harum parfum musk bercampur Vanilla dan juga rangkulan hangan di bahunya.
Shannon membuka matanya dan tidak percaya melihat Austin sedang menahan tamparan laki-laki itu dengan tangan kosong.
"Are you ok?" Pertanyaan pertama yang Austin berikan ditengah rasa terkejut Shannon.
Kemudian Austin menoleh kearah laki-laki yang nyaris menampar Shannon lalu berkata, "that's not how a gentleman treat a beautiful lady."
"Ngomong apa lagi nih bule?!" Geram laki-laki itu penuh dengan emosi menatap Austin.
Jika bukan dalam keadaan genting, Shannon mungkin akan meledak dalam tawanya. Tapi rasa bingungnya kali ini lebih besar dari rasa ingin tertawanya akibat kebodohan laki-laki sok preman itu.
"Do you want me to teach you how to treat a lady?" Tanya Austin tidak terlihat takut. Ia menyeringai.
"Banyak omong!!!"
Shannon memekik dan menutup matanya saat laki-laki itu melayangkan tinju kearah Austin.
Bisa berantem gak ya nih bule? Ia membatin takut sambil berdoa agar masalah ini cepat selesai.
"It's not appropriate to fight in front of a lady." Suara Austin memaksa Shannon untuk membuka matanya.
Laki-laki bertubuh besar itu tersungkur tidak jauh dari mereka. Austin melindungi Shannon di belakang tubuhnya hingga Shannon bisa dengan jelas melihat bahu lebar Austin yang terlihat kokoh dan kuat. Sudah sangat lama Shannon tidak melihat bahu laki-laki sedekat ini. Apalagi bertujuan untuk melindunginya.
Laki-laki bertubuh besar itu tidak menyerah. Ia kembali melayangkan tinju yang dengan mudah di hindari oleh Austin yang masih melindungi Shannon di balik tubuhnya.
Ia masih belum menyerah dan lagi-lagi melayangkan tinju untuk ke sekian kalinya ke arah Austin yang kembali di hindarinya sampai kemudian sakuriti restoran cepat saji itu datang dan menghentikan perkelahian itu.
"Ada apa ini?!" Teriak laki-laki itu menatap ketiga orang di depannya dengan sangar.
"P-pak! Orang ini mau membuat keributan disini!" Shannon segera menunjuk preman itu dari sisi bahu Austin.
Preman itu tampak tidak senang dengan aduan Shannon. Terlebih ia tidak bisa meninju Austin. Ia berdecak kemudian meludah tepat di depan kaki Austin dan berkata, "jangan mengira kalian sudah bisa lepas dariku. Aku akan kembali!"
Shannon melihat kepergian preman itu lalu mencuri lirik kearah Austin.
Aneh... bukankah dia salah satu dari mereka? Atau bukan...?
Austin berbalik dan menatap Shannon. "Kau baik-baik saja?" Tanya Austin sambil meneliti seluruh tubuh Shannon.
Jika dia bukan salah satu dari mereka, lalu siapa dia? Kenapa... dia begitu baik padaku?
"Apa kau terluka?" Tanya Austin.
Kenapa laki-laki ini begitu perhatian padaku dan Gio?
"Shan?" Panggil Austin.
Jika laki-laki ini baik, kenapa masih ada orang sebaik dia di dunia ini?
"Shannon?" Panggil Austin lagi. Ia mulai cemas karena Shannon tidak menjawabnya sama sekali.
Kenapa mata laki-laki ini seakan mengatakan bahwa tidak apa-apa, tidak perlu khawatir, semua akan baik-baik saja.
"Shan-" Austin terkejut saat Shannon tiba-tiba memeluknya begitu erat tanpa aba-aba sebelumnya.
Austin mengangkat kedua tangannya, bukan enggan untuk memeluk balik perempuan itu, tetapi lebih kepada tidak ingin membuat perempuan itu kaget dan lari.
"Terima kasih... Terima kasih..." untuk semuanya, sambung Shannon dalam hati. Ia tidak mampu menahan isakannya lagi. Ia menangis dalam pelukan Austin, meluapkan segala beban dan ketakutan yang seakan Austin persilahkan untuk ia luapkan dalam dada bidang dan hangat pria itu.
Tbc
Yuhuuuu
Udah 10 chapter nih...
Tanggapan kalian gimana? Hihihi 😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro