LFU_7
Happy reading .... ❤❤
🌸🌸🌸
Rere hanya melirik sekilas pada laki-laki di depannya. Di mana Mahesa kini sedang menatapnya dengan senyuman yang selalu Rere rindukan. Ia salah tingkah sendiri, bingung harus bersikap seperti apa.
"Ma!" teriaknya karena sang mama yang katanya mau ganti baju sebentar, belum juga kembali.
"Apa kabar kamu, Re?"
Bukannya menjawab, Rere malah menatap heran ke arah Mahesa. "Nggak salah nanya?" ketusnya.
Mahesa menunduk, meremas kedua tangannya yang bertautan di depan. Ia tahu Rere sedang mempertahankan apa yang kini ia rasakan. Mahesa akan mencoba mengerti jika Rere masih marah. Dan akan terus bersikap ketus seperti ini.
"Maaf," katanya kembali menatap wajah Rere yang kini menampakkan raut jengah.
"Mama!" teriak Rere lagi karena mamanya seperti sengaja meninggalkan mereka berdua saja.
Baru saja Rere hendak bangkit dari duduknya, Winda, mamanya sudah keluar dengan senyum hangat. "Apa si, Re. Sopan dikit, ah. Teriak-teriak gitu!"
Rere tak menjawab, ia menggeser duduknya agar mamanya bisa duduk di sampingnya.
"Nak Mahesa udah ngomong sama Rere?"
Laki-laki itu menggeleng.
"Lah dari tadi pada diem-dieman aja?" tanya Winda heran sembari menatap Rere dan Mahesa secara bergantian.
Ekspresi Rere masih sama, nampak tak tertarik. Sementara laki-laki di depannya tersenyum kikuk.
"Ya udah Tante aja yang ngomong ini?"
"Silahkan Tante, lagian ini kan permintaan mama saya," jawab laki-laki itu ramah.
Rere mengerutkan kening bingung. Tapi dia hanya berani menatap wajah sang mama.
"Jadi gini, mamanya Mahesa kemarin lihat lukisan kamu yang itu."
Rere mengikuti arah pandang mamanya. Di mana, lukisan yang pernah ia buat saat masih dalam masa penantian tergantung di dinding. Lukisan paling berkesan menurutnya. Karena saat itu, ia masih percaya dengan janji Mahesa. Janji yang ternyata hanya bualan semata.
Rere kembali menatap mamanya. "Terus?"
"Nah, kan minggu depan omanya Mahesa mau ulang tahun, jadi mamanya Mahesa mau minta tolong kamu buatin lukisan untuk hadiah ulang tahun Omanya Mahesa."
Kepala Rere otomatis bergerak ke arah Mahesa yang masih menampakkan senyumnya.
Rere berdecak dalam hati, "Lukisan Rere kan nggak bagus, Ma! Nanti malu-maluin," kata Rere seperti dengan sengaja ingin menolak tawaran itu.
"Kata Rena sama mama kamu, kamu sering dapet pesenan." Kepala Rere kembali bergerak ke arah laki-laki yang baru saja bersuara itu, lalu menatap mamanya kesal, kenapa harus menceritakan tentang dirinya.
"Mereka suka kok liat lukisan kamu yang itu." Mamanya menggedik ke arah lukisan di dinding itu lagi.
Rere mencoba mencari alasan untuk menolak tawaran ini. Namun saat tidak ada satu kalimat pun yang terlintas di otaknya. Akhirnya terpaksa dia menyetujui permintaan itu. Lagi pula, dia memang harus bersikap profesional. Anggap saja ini adalah pesanan dari salah satu klien yang tidak dikenalnya.
*
Entah ini akal-akalan Mahesa agar bisa kembali dekat dengan Rere. Atau memang ini benar-benar permintaan mama laki-laki itu. Yang jelas, Rere bingung bagaimana cara menolak ajakan ini. Memang ada Rena di antara mereka, tapi justru itu yang membuatnya tidak nyaman.
"Mau minum?" Mahesa menggeleng. Tatapannya memang fokus ke jalanan di depannya. Namun tanpa Renata ketahui, sudut mata calon suaminya itu terus melirik ke arah kaca mobil. Di mana Rere kini dengan wajah ditekuk menatap ke luar jendela.
Ia senang karena Rere tidak menolak saat mamanya meminta mereka datang mengunjungi omanya yang tinggal di Bogor.
"Tante mau lukisannya berkesan hidup, Sayang, jadi ... kayaknya kamu perlu ketemu oma langsung, deh. Kamu ikut Mahesa sama Renata aja ke Bogor hari ini, ya?"
Rere mendesah, ia tak memiliki alasan untuk menolak. Kenapa segala yang berhubungan dengan Mahesa selalu saja membuat otaknya buntu dan menjadikannya sangat bodoh.
"Masih jauh?" Perkataan Renata yang duduk di sampingnya membuat Mahesa sedikit tersentak. Matanya sempat beradu pandang dengan Rere yang memilih langsung memalingkan wajah.
"Enggak, sepuluh menitan lagi," jawab Mahesa datar. Selalu seperti itu jika berhadapan dengan Renata. Ia tak mau Rere berpikir jika posisinya telah tergeser.
Mahesa masih menulis hatinya penuh dengan nama Rere. Ia pernah menjadi bodoh karena sempat mengecewakan gadis itu. Namun sekarang, ia harus mencari cara untuk bisa mendapatkannya lagi. Dan yang paling penting, ia harus bisa membatalkan perjodohannya dengan Renata tanpa menyakiti hati siapapun. Apalagi kondisi ayahnya kini tidak memungkinkan untuk mendapatkan sebuah kejutan. Jadi Mahesa harus hati-hati dalam mengambil langkah.
"Re! Mau camilan?" tanya Renata sembari menoleh ke belakang. Rere mendengus sinis. Renata sedari tadi sibuk sendiri. Seolah dengan sengaja sedang mencari muka dengan calon suaminya.
"Nggak," jawab Rere datar. Rena tersenyum tipis, ia sudah biasa mendapat perlakuan seperti ini. Sementara Mahesa menganggap lain sikap yang Rere tunjukkan. Ia pikir, Rere tengah cemburu, sehingga bersikap begitu dingin pada kakaknya sendiri. Tanpa dia tahu, jika kedua wanita itu memang tidak pernah akur.
Tak lama kemudian mobil Mahesa berbelok pada sebuah rumah dengan halaman yang begitu luas. Pepohonan rindang menyambut mata mereka sebelum akhirnya terlihat sebuah rumah minimalis berlantai dua.
Seorang wanita tengah siap menyambut mereka di teras dengan senyuman hangatnya. Jika tak salah tebak, ini pasti oma Mahesa.
"Oma!" kata Mahesa sembari melebarkan senyumnya saat mereka turun. Rena langsung mengekor di belakang laki-laki itu. Rere hanya bisa mencibir lalu dengan lambat mengikuti kedua orang yang sudah berdiri di depan oma Mahesa.
"Ini calon istri kamu? Cantik," kata Oma Lika sembari mengelus wajah putih Renata. Gadis itu tersenyum malu, lalu mencium punggung tangan oma calon suaminya.
"Yang itu Rere, adiknya Renata," kata Mahesa dengan senyum tulus, namun segera memalingkan wajah, takut jika omanya berhasil menangkap sorot lain dari matanya.
Rere tersenyum sembari mencium tangan Oma Lika.
*
Keempat orang itu nampak mengobrol setelah makan masakan Oma Lika. Sebenarnya hanya Renata dan oma yang tampak membicarakan sesuatu. Rena sengaja mengakrabkan diri. Dia memang paling pandai mengambil hati orang. Sementara Rere hanya diam. Dia bahkan tak tertarik dengan pembicaraan keduanya. Sesekali hanya mengangguk dan tersenyum tipis jika Rena membicarakan dirinya. Kadang Rere mendesis dalam hati jika namanya dibawa-bawa. Namun tidak bisa protes, karena urusannya bisa panjang. Setidaknya, dia tidak akan mempermalukan kedua orangtuanya di sini.
"Maaf, Oma. Boleh numpang ke toilet?" tanya Rere saat sudah jengah melihat tingkah Renata yang sok manis.
"Oh tentu, Sayang. Za," kata Oma Lika sembari menoleh ke arah Mahesa yang sedari tadi sengaja menghindari percakapan Renata dan omanya. Ia malah tiduran di sofa panjang sembari memainkan ponsel. Sesekali melirik Rere yang nampak bosan.
"Rere mau ke toilet, kamu ...."
"Ayo! Biar aku antar," kata Mahesa cepat tanpa menunggu omanya menyelesaikan kalimatnya. Iapun langsung berdiri dan melangkah masuk. Karena ia tahu, Rere pasti akan menolak jika dia menunggu gadis itu mengeluarkan suara.
Rere hanya bisa gelagapan, sedikit salah tingkah, dan dengan sangat terpaksa ia mengekor langkah lebar Mahesa. Ia tahu, laki-laki itu pasti sedang merencanakan sesuatu. Namun Rere tidak akan terjebak begitu saja.
"Kamu bisa balik ke depan duluan, nggak perlu nungguin," kata Rere saat keduanya sampai di depan pintu kamar mandi. Tanpa menunggu jawaban dari Mahesa, iapun langsung melangkah masuk dan menutup pintu.
Rere menghela napas yang tidak sengaja ia tahan selama berada dekat dengan Mahesa tadi. Dia tidak akan bohong, jika hatinya masih menginginkan laki-laki itu. Namun untuk mengembalikan semuanya seperti dulu, itu adalah hal yang sedikit mustahil.
Sementara Mahesa hanya bisa mematung di depan pintu kamar mandi. Ia menghela napas lelah. Mulai merangkai banyak kata 'andai'. Andai saja kondisinya tidak serumit ini. Andai saja dulu dia tidak pernah menjadi pecundang. Andai saja waktu bisa diputar ulang. Andai saja kesempatan untuk memperbaiki semuanya masih terbuka lebar. Andai saja .... Laki-laki itu menggeleng, percuma saja menyesalkan kesalahan yang sudah ia lakukan. Lebih baik ia mulai memikirkan cara, bagaimana menyelesaikan semua ini.
*
Cukup lama Rere berada di dalam kamar mandi. Saat hendak keluar, ia memastikan jika Mahesa memang benar-benar sudah pergi. Dan saat tidak terlihat tanda-tanda keberadaan laki-laki itu, ia pun melangkah keluar. Namun Rere memilih membelokkan kakinya pada taman yang berada di samping rumah.
Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat pemandangan rimbun pepohonan. Rumah Oma Lika sangat nyaman. Ia akui, sangat mengidamkan hunian seperti ini. Begitu tenang, jauh dari keramaian. Rere mulai membayangkan jika saja dia membawa kanvas. Ia pasti akan betah duduk berlama-lama di sini. Menatap indahnya alam ciptaan Tuhan. Menarikan jarinya di atas kanvas, dan mulai menggores warna.
Ia menghirup udara segar kota ini. Tanpa ia sadari, sedari tadi Mahesa terus memperhatikannya dari balik jendela. Dia ada di sana semenjak tadi, bersembunyi di tempat yang tidak Rere lihat.
Rere tersentak saat tiba-tiba saja Mahesa sudah berdiri di sampingnya.
"Tunggu, Re!" Mahesa menahan lengan Rere karena gadis itu berniat pergi.
"Nggak usah pegang-pegang juga, si!" Rere menyentakkan tangan Mahesa. Lalu dengan sengaja menggeser tubuhnya agar tidak berdiri terlalu dekat. Ia tidak ingin Mahesa mendengar detak jantungnya yang mulai berdebar kencang. Sial!
"Kamu ingat, dulu pernah bercerita kalau kamu menginginkan rumah seperti ini?" kata Mahesa sembari menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku, lalu menoleh karena Rere tak menyahut. Gadis itu melirik Mahesa sebentar lalu kembali menatap lurus ke depan. Ia enggan menanggapi pertanyaan itu. Ia enggan mengingat masa lalu.
"Kamu ingat, nggak? Kalau dulu aku pernah bilang aku mau ngenalin kamu ke oma?" Mahesa kembali tersenyum. Namun kali ini Rere tidak meliriknya. Gadis itu masih bungkam dan menatap lurus ke depan.
"Dan akhirnya, hari ini tiba. Meski ...."
"Cukup!" putus Rere cepat sembari memejamkan mata. Lalu ia mendongak untuk menatap wajah Mahesa yang kini juga tengah menunduk menatapnya.
"Maksud kamu apa? Nggak usah ngungkit-ungkit masa lalu! Karena semuanya memang sudah berakhir! Jangan kamu anggap aku mau menerima tawaran mama kamu ini karena aku masih peduli sama kamu. Aku nerima job ini karena profesionalitas semata. Jadi, nggak usah berharap yang enggak-enggak. Dan tolong, stop membahas masa lalu!" sungutnya lalu melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam.
Mahesa tersenyum, laki-laki yang mengenakan sweater warna biru itu mencoba maklum. Sekali lagi ia mengingatkan pada dirinya. Ini semua salahnya. Dan wajar jika Rere bersikap seperti itu. Dia menengadah ke atas langit. Lalu menghela napas panjang, sebelum akhirnya mengikuti langkah Rere untuk masuk ke dalam rumah. Tanpa keduanya ketahui, sepasang mata di balik jendela itu sedari tadi memperhatikan mereka.
🌸🌸🌸
19 Agustus 2019
Ig.dunia.aya
(follow yah)😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro