Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 8

Vanilla meletakkan biolanya di atas bangku. Ia baru saja selesai memainkan sebuah instrument untuk Diego, sebagai bayaran atas buah gooseberry yang dibawa lelaki itu. Diego menyebutnya friend with benefit dalam artian yang positif.

Diego menoleh pada gadis yang berdiri di sampingnya. Ujung dress satin warna putih yang dikenakan gadis itu bergerak tertiup angin. Terlihat anggun dan berkelas. Dagu lentiknya sedikit terangkat, kelopak matanya terpejam rapat. Membiarkan bunga-bunga sakura yang berguguran membelai pipi lembutnya.

"Selain biola, kau juga sangat menyukai kelopak sakura yang berguguran," tebak Diego.

Kedua tangan Vanilla menengadah, 3 buah kelopak bunga mendarat di sana. Kemudian wajah bersemu merah itu menunduk dan menghirup aromanya.

"Aku menyukai aromanya. Manis dan menyegarkan. Sayangnya, bunga ini hanya bersemi setahun sekali."

"Kau memiliki kenangan yang mendalam tentang sakura yang berguguran."

Vanilla menghela napas. "Kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Tetapi rasanya aku tidak bisa menyembunyikan apa pun darimu. Kau selalu mengerti apa yang aku rasakan."

"Tidak semuanya. Terkadang kau seperti lembaran buku yang terbuka, sangat mudah untuk dibaca. Tetapi di sisi yang lain, kau seperti sebuah kotak yang terkunci. Menyimpan banyak sekali rahasia. Kau terlalu menutup diri, Nona. Berapa banyak luka yang kau sembunyikan?"

"Aku membenci pertanyaan itu."

"Mungkin aku orang asing di matamu. Tetapi tiba-tiba aku menjadi orang paling dekat denganmu ketika tahu kita memiliki masa kecil yang sama-sama menyakitkan."

"Kau ingin tahu seberapa banyak luka itu?" Vanilla duduk di atas bangku kayu. "Sejak kecil aku selalu mempertanyakan keberadaan ayahku, tetapi kata Mama, ayahku sudah meninggal. Lalu, suatu hari, seorang lelaki datang dan berkata bahwa aku adalah putrinya. Dan di waktu yang lain, lelaki itu membawaku ke hadapan Nyonya Kenanga, dan memintaku untuk memanggil wanita itu dengan sebutan Mama. Usiaku saat itu baru 5 tahun, dan aku sudah dihadapkan pada kenyataan yang membingungkan."

Mata gadis itu terpejam, ia menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan cairan bening yang mulai membasahi matanya. Tetapi tidak, ia tidak ingin menangis lagi.

Diego mengepalkan kedua tangan. Ingin rasanya ia menggapai tubuh Vanilla dan membawanya ke dalam dekapannya. Tapi ia tidak bisa melakukan semua itu. Tuan Ramon mengawasinya dari kejauhan. Jadi, sudah sepatutnya Diego memperlakukan Vanilla selayaknya berlian di dalam kotak kaca. Hanya bisa melihat dan mengaguminya tanpa bisa menyentuhnya.

"Mungkin kau bisa menceritakannya lain kali saja. Masih ada gooseberry yang harus kau makan. Kau menyukainya, kan?" Diego meletakkan plastik berisi sisa buah gooseberry ke atas pangkuan Vanilla. "Lain kali aku akan membawakan buah-buahan lain yang belum pernah kau makan sebelumnya."

Vanilla meraba plastik di pangkuannya dan memasukkan sebuah gooseberry ke mulutnya. Rasa manis bercampur sedikit asam yang menyegarkan.

"Terima kasih. Ini pertama kalinya aku mendapatkan perhatian dari seseorang. Aku anak tunggal, sejak kecil terbiasa hidup sendiri. Jadi, seperti inikah rasanya memiliki seorang teman? Atau mungkin beginikah bahagianya adik perempuan ketika kakak laki-lakinya menyayanginya? Semua ini terasa asing bagiku, tapi aku harus mengakui bahwa aku bahagia mengenalmu. Aku terpaksa mengakuinya, karena aku tahu kalau aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku di hadapanmu, bukan?"

"Aku bisa melihatnya dari senyumanmu. Dari rona merah di kedua pipimu, dan dari cara bicaramu yang tidak lagi ketus seperti ketika pertama kali kita bertemu. Aku senang kau mulai bisa menerimaku."

"Tapi jujur, aku masih belum bisa mempercayaimu 100 persen."

"Tidak masalah. Sudah sepatutnya kau bersikap waspada pada orang asing. Suatu saat nanti kau akan tahu bahwa aku tulus ingin mengenalmu. Kau berbeda dari semua gadis yang pernah aku kenal. Kau istimewa di mataku, Nona. Dan kau tidak usah cemas, Tuan Ramon selalu mengawasiku dengan sudut matanya. Keselamatanmu terjamin."

"Ngomong-ngomong, bagaimana lukamu? Masih sakit?"

"Hem ... luka itu kembali terbuka karena aku nekat naik ke puncak bukit. Tapi sudah diobati lagi oleh temanku. Tenang saja, luka seperti ini belum seberapa. Aku pernah berkelahi dengan sekelompok gangster. Tubuhku penuh luka dan hampir mati jika temanku tidak segera membawaku ke rumah sakit."

"Sekarang aku tahu kenapa kau tidak takut berkelahi dengan babi hutan hanya karena ingin masuk ke villa ini."

Diego tertawa. "Itu satu-satunya ide gila yang aku miliki agar aku bisa mengenal seorang gadis yang mampu memainkan instrument seajaib itu."

"Seperti apa pemandangan dari puncak bukit? Aku tidak pernah melihatnya secara langsung."

"Kau ingin mencobanya? Aku bisa membawamu ke sana kalau kau mau."

"Aku tidak mungkin berjalan sejauh itu dalam kondisi seperti ini."

"Aku akan menggendongmu."

"Lagipula apa yang bisa aku lihat dengan keterbatasanku ini?"

"Tapi kau bisa merasakan angin yang bertiup kencang, dan mendengar kicauan burung-burung yang bertengger di atas pohon. Dan kalau kau begitu penasaran ingin melihat pemandangan indah itu, maka aku akan menjadi mata keduamu."

"Kau tahu aku tidak mungkin bisa keluar dari tempat ini."

"Jika aku bisa memikirkan cara untuk masuk ke tempat ini untuk menemuimu, pasti aku juga bisa menemukan cara untuk membawamu keluar dari sini."

Gadis itu tersenyum. "Kita lihat saja nanti."

"Aku sudah berjanji ingin mengenalkanmu pada dunia luar, Nona. Kau bisa memegang janjiku."

"Oke, mungkin mulai saat ini aku harus mempersiapkan diri untuk berpetualang denganmu. Tapi bagaimana jika kita bertemu babi hutan di tengah perjalanan?"

"Tenang saja, aku akan melindungimu. Aku selalu menyelipkan pisau belati di pinggangku untuk berjaga-jaga jika sesuatu yang buruk terjadi."

"Kau selalu membawa pisau itu ke mana pun pergi?"

"Ya, untuk melindungi diri."

"Beberapa detik lalu aku berpikir kau membawa pisau untuk melukaiku."

"Melukaimu?" Diego tertawa. "Jangan konyol. Aku tidak mungkin melukai seseorang yang tidak bersalah sepertimu."

"Sejak aku tidak bisa melihat, aku selalu berpikir negatif tentang orang-orang di sekitarku. Aku selalu takut jika tiba-tiba mereka menusukku dengan pisau, atau menembakku dengan pistol."

"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kenyataannya kau masih baik-baik saja hingga saat ini, artinya mereka memang untuk melindungimu, bukan melukaimu."

Ramon berlari-lari menghampiri Diego dan Vanilla. Diego mendengus, setelah ini pasti Ramon akan mengusirnya. Benar saja, tanpa basa-basi pengawal setia itu meminta Diego segera pergi.

"Sudah hampir senja hari. Nona Vanilla harus beristirahat. Kau bisa pergi sekarang," ucap Ramon.

Diego mengangkat bahu. "Sebenarnya aku masih ingin berada di sini. Tapi, baiklah. Aku bisa datang lain waktu."

"Hati-hati di jalan. Aku akan selalu menunggu kedatanganmu." Wajah gadis itu nampak berseri-seri ketika mengucapkan kalimat itu. Jari-jari lentiknya menyelipkan rambutnya yang menjuntai ke wajah karena tertiup angin.

"Oke. Minggu depan pasti aku datang lagi."

"Terima kasih untuk buah gooseberry-nya."

"Terima kasih juga sudah bermain biola untukku. Sampai jumpa, Nona." Diego melambaikan tangan, meski ia tahu Vanilla tidak bisa melihatnya. Ia menepuk pundak Ramon perlahan, lalu pergi meninggalkan taman villa.

Ramon mengawasi punggung Diego sampai tubuh lelaki itu menghilang di belokan jalan. Tatapan Ramon beralih pada Vanilla. Baru kali ini Ramon melihat wajah nonanya terlihat berbinar. Entah apa yang Diego bicarakan sehingga mampu mengubah suasana hati Vanilla sebahagia itu.

"Nona Vanilla, apa tidak sebaiknya kau jangan menemuinya lagi? Dia orang asing yang tidak seharusnya menginjakkan kaki di tempat ini."

"Tidak apa, aku percaya dia lelaki baik-baik. Jika dia datang lagi, tolong bukakan pintu untuknya."

"Tapi, Nona. Nyonya Kenanga tidak mungkin mengizinkannya."

"Tuan Ramon, kau tahu bukan? Sejak kecil aku hidup sendirian. Ini untuk pertama kalinya ada seseorang yang mempedulikan keadaanku. Rasanya aku belum pernah merasa senyaman ini ketika berdekatan dengan seseorang."

"Dia seorang lelaki dewasa yang sudah berpengalaman mendekati seorang wanita, Nona. Aku harap kau tidak terkecoh dengan itu."

"Karena aku gadis polos yang tidak tahu apa-apa?" Vanilla tertawa. "Tidak usah khawatir, aku cukup peka untuk menilai seseorang dari cara berbicaranya. Dia tulus menawarkan persahabatan denganku."

"Kau terlalu polos untuk bisa memahami seorang lelaki, Nona Vanilla. Mungkin untuk saat ini kau menemukan ketulusan darinya. Tapi, seiring berjalannya waktu, ketulusan itu bisa berubah dan dia akan berbalik menyakitimu."

"Terima kasih sudah mencemaskanku. Tapi, aku mohon. Ini pertama kali dalam hidupku, aku menemukan seseorang yang bisa memahami perasaanku. Aku mohon, Tuan Ramon. Biarkan aku mengenal dunia luar yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya."

"Aku sudah mengingatkanmu, Nona. Jika suatu saat kau tersakiti oleh lelaki itu, maka jangan salahkan aku."

"Aku tidak akan menyalahkan siapa pun. Dan kalaupun ternyata instingku tentang ketulusan lelaki itu salah, setidaknya aku bisa sedikit merasakan kehidupan seperti orang normal lainnya. Kau tahu apa mimpi terbesarku saat ini, Tuan?"

"Tidak."

"Naik ke puncak bukit bersama lelaki itu." Seulas senyum terkembang lebar di bibir Vanilla.

Apa mimpi Vanilla terdengar gila? Entahlah, ia tidak mengerti kenapa ia begitu menaruh harapan besar pada lelaki yang bahkan sampai detik ini ia tidak tahu siapa namanya. Vanilla hanya tahu 1 hal. Dia merasa nyaman ketika mendengar suara baritone lelaki itu. Vanilla merasa aman ketika lelaki itu berkata bahwa dia menyimpan sebilah pisau belati di pinggangnya. Artinya, lelaki itu akan selalu melindungi Vanilla apa pun yang terjadi, bukan?

🎻🎻🎻

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro